Masa itu adalah masa keemasan acara
Hitam Putih di layar kaca tvku. Aku tidak pernah melewatkannya barang
seharipun. Aku menyukainya, walau terkadang tidak memahami apa yang mereka katakan.
Namun jika seorang anak 14 tahun diundang keacara itu, tentu saja mereka
memiliki alasan yang kuat. Karena aku tau mereka tidak hanya mengundang
orang-orang yang tidak berperan penting, mereka
tidak pernah.
Aku tersenyum manis sesuai instruksi,
kemudian acara pun dimulai. Suasana studio yang cukup ramai membuatku sedikit
kikuk. Apalagi aku tau wajahku akan segera tersiar keseluruh penjuru Indonesia.
“Ananda Lousiana, atau Anna…” pembawa
acara berkepala gundul itu memulainya. “Jadi kamu yang menulis surat untuk
presiden itu?” tanyanya. Aku mengangguk. Ah iya, surat presiden rupanya yang
membuatku berada disini. Untuk sesaat aku memang melupakan hal itu. Well, aku
memang gadis pelupa, gadis lemah –bukan hanya dalam ingatan-, tapi dalam setiap
hal di kehidupanku.
Aku tidak ingat sejak kapan mama mulai
melarangku main ku luar rumah, namun yang ku ingat adalah seluruh masa kecilku
hanya berpusat dilingkungan rumahku sendiri. Jangan salah paham, mama dan papa
sudah menyiapkan berbagai mainan yang terbaru untukku, mungkin mereka harap putri
mereka akan tetap bahagia meski tidak memiliki teman. Padahal tidak semudah itu
kan??!
Ketika umurku 5 atau 6 tahun,
sepertinya aku sempat memakai seragam SD yang sama dengan yang kulihat di
tv-tv. Aku tidak terlalu ingat, namun kemudian yang kutemukan saat ini adalah
papan tulis pribadi, buku-buku pelajaran yang terbaru, segala tekhnologi yang
mutakhir, dengan guru-guru terpintar di dalam bidang mereka. Ya, ya… aku memang
mengikuti home schooling tanpa alasan yang ku mengerti. Tapi aku menikmatinya, ya mau tidak mau.
Cahaya lampu studio yang menyilaukan
terkadang membuatku menyipitkan mata. Tapi aku bersyukur karena cahaya itu
juga, aku tidak terlalu bisa melihat wajah-wajah yang duduk di kursi penonton.
“Iya, aku sendiri yang menulisnya,”
jawabku pelan. Pria berpakaian serba hitam itu menganggung-ngangguk. Kemudian kembali
menatapku dengan tatapan tajamnya. Sebisa mungkin aku membalas tatapannya. Tapi
seperti biasa orang-orang yang berhadapan denganku pasti akan menampakan
tatapan iba yang menjengkelkan. Bukan tanpa alasan mereka menatapku seperti
itu. Well, tubuhku memang masuk kedalam kategori sangat mungil untuk gadis 14
tahun pada umumnya. Namun aku merasa mama dan papa memang sengaja membuatku
tetap kecil.
“Mengapa kamu menulisnya?” tanyanya
lagi. Aku mengerutkan keningku, dan berpikir. Mengapa? Bukankah kita semua memiliki alasan yang sama? Atau tidak?!
Hidupku tidak sebebas itu. jika boleh
di kata, mungkin hidupku seperti burung di dalam sangkar emas. Kau tidak akan
menemukan mainan terbaru yang paling mutakhir di Indonesia kecuali di rumahku. Kau
tidak akan menemukan guru-guru dengan nilai sempurna dalam bidang mereka
kecuali di jam belajarku. Kau tidak akan menemukan apa yang ku miliki di
lingkunganmu, seperti aku tidak memiliki apa yang kau miliki.
Itu tidak sepenuhnya benar. Mama selalu
memberikan apapun yang ku inginkan. Atau membuatku merasa kurang lebih seperti
itu. Hanya satu hal yang benar-benar tidak bisa ku sentuh. Ya kebebasanku
sendiri.
Aku terkurung. Bukankah sudah ku katakan?? Ya, aku memiliki segalanya, tapi aku
terkurung. Aku tidak bisa bermain layaknya anak-anak yang lain. Aku terlalu
sibuk dengan hal-hal yang tidak ku inginkan. Aku memantau keadaan luar rumahku
dengan jaringan internet dan tv. Kemudian aku mulai ketergantungan dengan
layar-layar datar itu. dan disana juga lah aku berkenalan dengan segala macam
kekerasan yang terjadi di negaraku. Aku akan menangis setiap melihat tayangan
berita yang menunjukan sisi anarkis orang-orang di luar sana. Aku akan menangis
ketika melihat berita tentang kekerasan pada anak-anak. Bahkan kecelakaan-kecelakaan
menyeramkan itu…
Semua itu menjadi alasan untukku mulai menulis.
Miss. Clara adalah guru bahasa
indonesiaku. Ia begitu cantik dengan rambut hitam pekat yang selalu ia sanggul.
Matanya berwarna coklat muda, dengan kaca mata berbingkai yang indah. Ia adalah
guru yang paling ku sukai, karena mungkin dialah yang termuda atau dialah yang
mengajariku untuk mengungkapkan seluruh isi hatiku. Salah satunya dengan surat
ini, yang pada akhirnya ku putuskan untuk mengirimkannya pada pak presiden.
Ketika kecil aku pernah mempertanyakan
tentang rembulan. Bagaimana mungkin kita bisa melihat bulan yang sama di setiap
penjuru kota. Maksudku, tidakkah itu berarti bulan selalu mengikuti kita?
Well, itu hal terkonyol yang pernah aku
pertanyakan. Tapi toh ketika akhirnya aku mempelajari tentang tata surya,
pendapatku tentang bulan mengikuti kita tidak pernah berubah. Aku tau itu
salah, namun terkadang menyimpan kesalahan bukanlah hal yang buruk di masa ini.
Masa yang selalu di katakan masa edan
oleh supir papaku.
“Aku pikir kita semua memiliki alasan
yang sama,” jawabku sambil mengangkat bahu. Menunjukan bahwa aku tidak terlalu
peduli, atau mungkin ragu. “Semua kejadian yang ku lihat di tv itu, menunjukan
sisi yang menyedihkan di daratan yang mereka bilang adalah tanah air kita,”
tambahku. Semuanya masih terdiam. Tidak ada satu orang pun yang bertepuk
tangan. Atau memang belum saatnya?
Tapi belakangan aku mulai melihat
sesuatu dari sudut pandang yang aneh. Aku tidak melihat pelangi sebagaimana
orang-orang melihatnya. Aku mempelajari pelangi itu, bukan hanya mengaguminya. Dan
semakin otakku berkembang, semakin jelas pula sisi intuitif dalam diriku. Terlebih
aku selalu menilai seseorang atau sesuatu dengan caraku sendiri. Aku bukan
hanya mengenal orang itu, tetapi juga mempelajari orang.
Membaca karakter bukanlah keahlianku,
namun aku lebih senang melihat seseorang dalam berbagai sudut. Kau pasti tidak akan
mengerti. Tapi yah, begitulah cara kerja otakku. Semakin dewasa, aku semakin
jelas melihat sisi munafik dari orang-orang di sekitarku. Well, walaupun aku
tidak terlalu yakin, apakah itu yang di sebut dengan saling menghargai atau
toleransi, tetapi bagiku, itu adalah kemunafikan yang selalu di tunjukan setiap
orang.
Coba saja kau menggambar sesuatu yang
jelek, atau tiru gambarku –yang juga jelek-. Kemudian kita akan menunjukan
kepada orang-orang yang sama. Aku yakin, orang-orang yang melihat itu akan
mencemooh gambarmu dan memuji gambarku. Lucu bukan, tapi ya begtulah cara kerja
otak-otak penjilat. Kalau bukan karena keluargaku yang terpandang dan kaya
raya, mereka juga akan mencemooh gambarku, jadi kau tidak usah khawatir. gambar
kita memang jelek, hanya saja orang-orang bodoh itu yang tidak bisa
menghilangkan kemunafikan mereka.
Kembali lagi ke keheningan itu. Aku
merasa tubuhku menciut dibawah tatapan mereka. Ah, tapi aku tidak peduli dengan
tatapan mengintimidasi mereka. Toh aku dan mereka sama-sama manusia. Tidak ada perbedaan bukan?
Lucu memang, tapi hanya orang bodoh
yang tidak melihat perbedaan antara diriku dengan orang-orang pada umumnya. Sudah
ku katakan tubuhku terlampai kecil jika di katakan berumur 14 tahun. Sepatuku masih
berukuran sepatu anak SD. Dengan hanya tulang berbalut kulit. Tapi aku hidup,
aku bukan zombie!
“Hm…” pria botak itu berdeham, menarik
fokusku lagi. “Sejak kapan kamu tau, kalau kamu mengidap hemophilia?”
Wuuzz….
Aku pernah membaca beberapa buku
dongeng. Semuanya berceriita tentang putri-putri yang cantik dan lika-liku
kehidupan mereka. Semua anak selalu ingin menjadi seorang putri. Seorang putri
yang cantik dan menikah dengan pangeran tampan lalu hidup bahagia selamanya. Belakangan
ini aku mulai berpikir tentang beberapa hal mengenai dongeng itu. Setiap
dongeng memiliki akhir yang bahagia. Dan wajarlah jika mereka menginginkan
posisi putri untuk menjamin kebahagiaan mereka. Namun mengapa mereka bersedih
ketika mendapatkan segala macam rintangan dalam kehidupan mereka? apakah mereka
lupa jika kisah dongeng itupun diawali dengan kegetiran sang putri dalam
kehidupannya?
Cinderella harus berjuang ditengah
tekanan ibu dan saudara tirinya. Putri salju terpaksa tinggal dengan 7 kurcaci
karena diusir oleh ibu tirinya, bahkan Belle harus menerima sosok menyeramkan
sang pangeran yang tersembunyi di balik tubuh singa. Bukankah semuanya tampak
begitu nyata?!? Tapi mengapa yang anak-anak itu ingat hanyalah akhir dari kisah
itu? mengapa mereka tidak mengingat bahwa sebelum menikah dan hidup bahagia,
para putri juga harus hidup dalam kesulitan mereka masing-masing. Mengapa?
Dan tentang hidup bahagia selamanya…
well, itu adalah kebohongan besar. kebohongan yang semakin lama semakin ku
benci. Kata ‘selamanya’ itu sangat ambigu. Namun itu adalah diksi yang paling
tepat untuk menyembunyikan hal lain yang seharusnya tertera di sana. ah…
penulis dongeng itu sepertinya lupa, jika orang-orang yang membaca karya mereka
hanya menyukai akhir yang bahagia. Tanpa memikirkan hal yang harus mereka
tempuh sebelum mandapat kebahagiaan itu. Dan kata ‘selamanya’ mungkin sebaiknya
segera diganti sebelum semua orang menuntut Tuhan ketika akhirnya kematian
menjemput dan merobek semua prosa klise tentang kebahagiaan selamanya.
Aku merasakan udara membuldak
disekelilingku. Bukan karena kantong udara yang bocor dan memenuhi sisi ruangan
itu. Ayolah… itu hanya lelucon konyol. Tapi karena orang-orang disekitarku
menaha nafas mereka untuk sesaat. Mata mereka melebar dengan mulut –yang entah
disadari atau tidak- ternganga lebar. Aku ingin tertawa melihat reaksi mereka.
Aku ingin menertawakan mereka. Namun akhirnya aku malah terdiam seribu bahasa
ketika melihat wanita cantik di ujung kursi penonton menangis.
Isakannya bagai ketukan palu dalam
hatiku. Tidak begitu keras, namun bisa menggetarkan seluruh tubhuku. Wanita itu
adalah ibuku. Wanita cantik yang memiliki berjuta prestasi membanggakan. Namun
siapa yang tahu kalau pada akhirnya ia akan menangis seperti itu.
Biologi adalah salah satu bidang
kesukaanku. Meskipun dengan guru yang sangat menyebalkan, namun aku menyukai
pelajaran itu. Bab terakhir yang kupelajari minggu ini adalah tentang genetika.
Aku membaca bab itu 4 kali, dan baru memahami beberapa kata ketika itu. Tapi
aku sudah mempelajarinya. Tentang kromosom X dan kromosom Y, tentang jumlah
normal dan tidak normal, dan tentang penyakit yang dibawa dan di derita akibat
genetika, atau mereka sebut penyakit turunan.
Ketika akhirnya aku merasakan udara di
sekelilingku mulai normal kembali, tubuhku malah membeku. Jiwaku kosong, dengan
tatapan yang membaur. Aku sedang tidak ingin menangis, namun aku juga tidak
ingin berbicara lebih. Aku merasa tubuhku lelah… sangat teramat lelah dengan
kepura-puraan yang selama ini ku jalani.
Aku sehat, aku baik-baik saja, aku
bahagia, aku bisa tersenum, aku disayangi, dan banyak lagi kata-kata klise yang
indah. Namun kau tau, itu hanya kepura-puraan semata, atau itu adalah pengharapan
mereka.
Mereka ingin aku sehat, aku baik-baik
saja, aku yang bisa tersenyum, dan aku yang merasa di sayangi. Well… terkadang
hidup dalam kepura-puraan memang indah. Tapi setidaknya kau harus sadar, jika
suatu hari nanti tirai sandiwara itu akan tertutup. Dan mau tidak mau, kau akan
kembali menemui kehidupan aslimu. Kau tentu tidak ingin melewati sisa hidupmu
di atas panggung yang kosong bukan?
Itu yang kurasa saat ini. Terkejut
ketika layar panggung sandiwara keluargaku tertutup. Ah… aku ingin bertepuk
tangan. Tapi mengapa mereka hanya terdiam? Apa masih belum saatnya?
Aku masih mengingat dengan jelas
obat-obatan yang kuminum selama ini. Aku tidak pernah tau apa yang salah dengan
tubuhku. Namun aku selalu menurut. Hanya saja, satu yang ku pahami adalah,
obat-obatan itu seakan menekan pertumbuhanku.
Aku berumur 14 tahun. Dan aku belum
pernah jatuh cinta secara normal. Jika kita memiliki definisi normal yang sama.
Namun yang ku lakukan selama ini hanyalah mengagumi pria-pria tampan di layar
tvku. Dan tentu saja gadis-gadis itu juga. Bukan karena mereka cantik, bukan
hanya karena itu, tapi karena mereka tumbuh sehat dan normal.
Aku berumur 14 tahun. Dan setiap hari
aku akan melihat mama semakin murung menatapku. Seakan-akan aku adalah bom yang
akan segera meledak dan… wuzzzz…. Menghilang. Aku belum pernah menstruasi
seperti kebanyakan gadis pada umumnya. Ya, kini ku tau, semuanya adalah
skenario mama dan beberapa dokter yang sengaja menekan pertumbuhanku. Karena itu
akan menjadi salah satu tombol merah untuk memulai peledakan dalam diriku
sendiri.
“Anna…” suara itu kembali menarik
perhatianku. Matanya melebar penuh rasa ingin tahu akan jawaban atas
pertanyaannya. Aku bahkan sudah lupa tentang apa yang ia tanyakan.
“Aku…” aku kembali melirik mama. “Mengetahui
jika aku mengidap hemophilia sejak sepersekian detik yang lalu, ketika anda
menanyakannya padaku,” kataku datar. Dan kemudian wajah-wajah itu semakin
pucat.
Ahhh… kehidupan. Mengapa masih tidak
ada yang bertepuk tangan? Mengapa? Bukankah kita semua tau jika kebanyakan
orang tergila-gila untuk dipuji? Mengapa tidak ada satu orang pun yang memuji
diriku? Apa masih belum saatnya?
Namun aku takut, aku tidak memiliki
waktu untuk menunggu tepukan tangan mereka. karena kemudian aku sadar, tangisan
mama tidak akan pernah berhenti sampai akhirnya aku benar-benar menghilang.
0 komentar:
Posting Komentar