Jam
makan siang yang sunyi. Fara menatap ponselnya yang masih mati di atas meja
kerjanya. Di balik tumpukan buku siswa dan arsip-arsip yang harus ia kerjakan,
ia menyembunyikan seluruh rasa sakitnya. Biasanya pada jam istirahat Dimas
selalu meneleponnya, untuk sekedar menemaninya makan siang. Ia akan
menceritakan banyak hal, mengatakan banyak lelucon yang tidak lucu, namun tetap
membuat dunia Fara berwarna.
Dua
bulan berlalu.
Dan
semuanya terasa seperti baru kemarin. Rasa sakitnya masih membekas sangat
dalam. Bahkan terlalu dalam. Fara masih berharap ini hanya sebuah mimpi belaka.
Ia masih berharap bahwa sebentar lagi Dimas akan menghubunginya. Ia hanya ingin
mendengar suara pria itu. ia hanya ingin berbicara dengannya. Ia ingin
mendengar desahan nafasnya. Memastikan bahwa Dimas baik-baik saja.
Vena
yang tanpa sengaja berjalan melewati meja Fara langsung menghentikan
langkahnya. Ia menatap Fara dengan pandangan sedih. “Kamu nggak apa-apa Far?”
tanyanya, membuat Fara tersentak kaget.
“Aku
nggak apa-apa.” katanya, mencoba tersenyum. Vena mengangguk pelan.
“Kamu
tau aku selalu di sini kalau kamu butuh teman ngobrol.” Katanya
sungguh-sungguh.
“Thanks
Ven.” Fara benar-benar bersyukur karena memiliki Vena di sini. Setidaknya ia
tau, ia tidak perlu berpura-pura kuat di hadapan wanita sebayanya itu.
“Bu
Fara, ada telepon.” Teriak Baskoro, guru Pkn yang duduk di dekat meja telepon.
Fara melongokan kepalanya dari balik tumpukan buku siswa.
“Dari
siapa?” tanya Fara bingung.
“Dari
Jakarta.” Jawab Baskoro seraya memberikan gagang telepon kepada Fara.
“Ya
halo?”
“Mba Fara?!”
Itu
suara adiknya. Soraya Dewi.
“Ini aku Aya.”
Fara tau. “Mba, ayah masuk rumah sakit!
Mba harus pulang.” Suara gadis 19 tahun itu terdengar kalut. “Mba…” rintihnya sebelum isakannya
pecah.
Fara
mencoba untuk tetap fokus, tapi berita itu dengan mudah menghancurkan
konsentrasinya. Yang ia dengar hanya isakan Aya di sebrang sana. “A… Aya. Mba
pulang.” Bisiknya, seperti sebuah janji, entah kepada siapa.
“Bu
Fara, ibu nggak apa-apa?” Baskoro langsung bangkit dari kursinya ketika melihat
tubuh Fara yang tiba-tiba oleng. Ia menangkap lengan Fara tepat sebelum wanita
23 tahun itu hilang kesadaran.
***
“Dasar
anak preman!!!”
Suara
teriakan itu memekakan telinga. Lalu tawa di belakangnya pecah, mengelilinginya
seperti pusaran air.
“Kata
mamaku bapaknya itu suka ngambil uang dari orang-orang! nggak pernah kerja!!
Tukang nyolong!!”
Fara
berjongkok sambil memeluk lututnya. Ia membenamkan wajahnya diantara kedua
lututnya, sangat dalam, sampai-sampai ia merasa lehernya tertarik. Tapi Fara
kecil tidak peduli.
“Iya
tukang nyolong!! Tukang berantem!!” riuh anak-anak lain di belakangnya
meneriaki kata yang sama.
“Preman
pasar!!! Fara anak preman! Fara anak preman!!” teriakan itu terus bergema,
terus meliputi Fara kecil yang ketakutan. “Fara anak preman!!!! Fara anak
preman!!”
***
Berdiri
sendiri, Fara mencoba menahan isak tangisnya. Namun sia-sia. Ingatan akan masa
kecilnya kembali muncul. Mengulitinya sampai ia berteriak tanpa suara. Air mata
Fara menetes perlahan. Ia sangat membenci kejadian itu. Ia membenci masa
kecilnya, ia membenci kehidupannya, ia membenci ayahnya! Ia membenci keadaan
mereka.
Suara
monitor jantung di samping ranjang ayahnya menjadi satu-satunya suara yang bisa
Fara dengar. matanya yang basah terus menatap wajah tua yang tengah terpejam
itu. kerutan-kerutan sudah menghiasi wajahnya, ia terlihat tua dan lelah.
Rambutnya hanya sebagian yang tersisa berwarna hitam, beberapa garis bekas luka
memanjang di pelipis dan keningnya. Menjadi codet yang tak hilang dimakan
waktu.
Tangannya
terkulai lemah di samping ranjang, terpasang selang infuse. Dulu, dulu sekali
tangan itu pernah memukulinya hingga ia tidak bisa lagi bergerak. Setiap kali
malam tiba, Fara dan adiknya pasti akan diliputi rasa takut yang luar biasa.
Lewat pukul 12 malam, ayah mereka akan pulang dalam keadaan mabuk, dengan botol
setengah kosong di tangannya. Kadang ia tertawa-tawa, kadang meracau tidak
jelas, kadang dalam keadaan marah. Ia akan memanggil kedua putrinya untuk
kemudian menyuruh mereka berdua duduk di depannya. Menyuruh mereka menenggak
minuman di dalam botol itu. Kalau mereka menolak, ayahnya akan memukuli mereka.
begitu seterusnya, hingga keesokan harinya, bahkan mereka tidak bisa bergerak
karena terlalu banyak luka yang ada di tubuh mereka.
Fara
membenci ayahnya. Ia sangat membencinya. Itulah mengapa akhirnya ia kabur dari
rumah ketika beranjak remaja. Ia rela menjadi pelayan di rumah makan untuk
mencari uang, lalu menyekolahkan dirinya sendiri.
Masa
kecil yang begitu panjang dan perih. dan semua itu hanya dikarenakan ia
memiliki ayah seorang preman yang suka mabuk!
Fara
berlutut di samping ranjang ayahnya, isaknya pecah.
“Ma…
afin… ayah… Fa…ra…”
Suara
itu berupa rintihan, serak tertahan rasa sakit. Fara tidak berusaha bangkit. Ia
tetap dalam posisinya, membiarkan air matanya mengalir sendiri.
“Fa…
ra…” panggil ayahnya dengan pelan. Masker oksigennya berembun setiap kali ia
berbicara. Mata tuanya hanya bisa menatap langit-langit. “Fa…ra…”
Fara
bahkan tidak menyangka ayahnya mengingat namanya. Ia sangat merindukan ayahnya.
Ia sangat merindukan panggilan sayang ayahnya, yang mendadak menghilang sejak
ibunya meninggal ketika melahirkan Soraya.
Dadanya
terasa sangat sesak. Fara tidak bisa bernafas. Sejauh apapun perasaan bencinya,
pria tidak berdaya itu tetaplah ayahnya.
“Fa…
ra…” semakin lemah, suara itu begitu rapuh.
“Ayah…
Fara di sini…” Fara bangkit, menggenggam tangan ayahnya dengan erat. Kepala
lemah pria tua itu sedikit bergeser untuk melihat putrinya. Lalu samar-samar
Fara bisa melihatnya tersenyum. Senyuman yang sudah lama sekali tidak pernah
Fara temukan.
“A…
ya… ma… na?” terbata-bata ia menanyakan putrinya yang lain.
“Soraya!!!!!
Soraya!!!” teriak Fara, ia tidak ingin melepaskan genggaman tangannya dari sang
ayah. Ia tidak ingin meninggalkannya. Ia tidak akan bisa.
Tak
lama Soraya berlari masuk dengan sekantung obat di tangannya. “Kenapa mba, ayah
kenapa?” tanya Soraya terkejut. “Ayah… ayah sakit? Bagian mana yah? Mana yang
sakit?” Soraya memeriksa infusan, lalu kepala ayahnya. “Mau Aya panggilin
dokter? Ayah tunggu dulu.”
Pria
tua itu tidak mampu menjawab, namun pandangannya berubah sedih ketika putrinya
beranjak pergi.
“Aya!!”
teriakan Fara menghentikan langkah adiknya. “Jangan pergi…” bisik Fara
tertahan.
“Tapi
aku mau panggil dokter mba…” ujar Soraya. Ia tidak suka melihat kakaknya
menangis seperti itu. kakaknya adalah wanita yang tangguh. Yang berhasil pergi
namun tetap kembali untuknya. “Aku mau panggil dokter mba…” Soraya kembali mengulangi
kata-katanya, namun kini dengan suara yang lebih lirih. Ia menahan isakannya
dengan sangat keras.
Fara
membelai lembut pipi ayahnya, mencium keningnya dengan penuh sayang. Seluruh
kenangan buruk tentang masa kecilnya menghilang, tidak lagi berarti baginya. Ia
hanya ingin ayahnya bertahan. Ia hanya ingin ayahnya tetap berada di sisinya.
“Ayah…
kami sayang ayah…” bisiknya di telinga ayahnya.
“Aku…
mau… panggil.. dokter…” ujar Soraya, namun tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Mata
tua itu berkedip lemah, membuat air mata menetes dari sudut matanya.
“Kami
sayang ayah… Aku selalu sayang ayah…” isak Fara di samping tubuh tua itu.
Soraya tidak mampu bergerak. Ia hanya membiarkan air matanya menetes tanpa
berupaya menyekanya. “Ayah… maaf…”
Kata-kata
itu tidak terjawab. Hanya terdengar suara isak dari kedua wanita itu. bahkan
suara monitor jantung yang kini hanya berbunyi satu titik tak lagi terdengar,
tertutup isak tangis keduanya.
“Ayah…”
Rasanya
begitu pedih. Kedua gadis itu menangis dengan cara mereka sendiri. melepaskan
sesuatu yang tidak pernah ingin mereka lepaskan. Merelakannya pergi.
***
Fara
menggigiti kukunya dalam cemas. Ia berjalan mondar mandir di dalam kontrakannya
yang kecil. Ia sudah siap pergi namun jiwanya sama sekali tidak tenang. Ketika
pintu kontrakannya diketuk, Fara membukanya dengan gundah.
“Aku
nggak yakin mas.” Ujarnya setengah merengek.
“Nggak
yakin kenapa lagi?” tanya pria itu. Ia tampak menawan dengan tshirt dan
jeansnya. Dimas memang selalu menawan di mata Fara. Dan itu memperburuk
keadaan. Fara merasa Dinas terlalu sempurna untuknya. Ia khawatir Dimas akan
pergi jika mengetahui siapa ayahnya. “Fara, dengar.” Dimas menangkap tubuh
kekasihnya. Mencengkram kedua lengan itu, memaksa Fara berdiri di depannya.
“Kita mau kunjungi ayah kamu. Bukan mau ke pengadilan. Berenti cemas.” Katanya
sambil meraba kerutan di kening Fara.
“Mas…
mas itu nggak kenal ayah.”
“Iya
aku nggak kenal. Makanya hari ini aku mau kenal.” Ujar Dimas tegas.
“Ayahku
preman mas!!”
“Kamu
udah bilang itu ratusan kali Fara. Dan jawaban aku juga nggak akan berubah. Dia
tetap ayah kamu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu karena ayah kamu. Aku
nggak akan pernah pergi Fara! Aku cinta kamu!!”
Fara
merasakan matanya memanas. Pada akhirnya semua orang selalu pergi. Bahkan
ibunya...
“Fara
please…” Dimas menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Aku juga takut. Aku
cemas. Aku tegang. Aku takut ayah kamu nggak suka aku. Aku takut aku nggak
cukup pantas buat kamu.”
Fara
terkekeh pelan di dada Dimas. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki pemikiran itu?
bukankah Dimas terlalu sempurna untuk seorang guru SD seperti Fara?
“Tapi
aku akan berusaha Fara. Aku udah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Aku akan
berusaha untuk ngeyakinin ayah kamu, kalau putrinya ada di tangan yang tepat!”
ujar Dimas sungguh-sungguh. “Lagi pula, aku nggak mau buat ayah kamu cemas
mikirin putri cantiknya di sini. Dia berhak tau laki-laki mana yang harus dia
cari kalau terjadi sesuatu. Aku mau jadi satu-satunya orang yang diberikan
tanggung jawab buat jaga kamu.”
“Tapi
ayahku preman mas. Dia terlalu sibuk sama minumannya, dia nggak mungkin sempat
cemas sama hal lain.”
“Fara,
aku tau. Ayah kamu preman, tapi dia tetap seorang ayah. Dia pasti sayang sama
kamu dan Aya.” Fara ingin membantah, namun dengan cepat Dimas segera
melanjutkan kata-katanya lagi. “Dan lagi pula, kamu nggak boleh batalin rencana
ini lagi. Aku udah persiapin ini sejak 1 bulan yang lalu. Aku bahkan udah bawa
senjatanya.”
Kening
Fara kembali berkerut. “Senjata?”
Dimas
mengangguk dengan wajah yang lucu. “Iya, aku harus siapin semuanya buat menarik
simpatik calon mertuaku.” Katanya dengan senyuman tulus.
Fara
menggeleng-geleng sambil terkekeh. Belakangan ia tau bahwa senjata yang
dimaksudkan Dimas adalah papan catur dan kacang rebus. Dan tentu saja pemikiran
pria itu tidak meleset. Dengan cepat Dimas mampu menarik perhatian ayah gadis
itu. Mereka bahkan sampai hampir memainkan 6 ronde catur, kalau bukan karena
Fara yang merajuk kesal di permainan ke-6 kedua pria itu.
Satu
hal yang Fara tau sore itu, ayahnya hanya seorang pria biasa. Dan Dimas-lah
yang luar biasa, karena pada akhirnya dialah yang mampu memperlihatkan sosok
lain dari diri ayahnya.
“Hahaha
nanti kalau ke sini nggak usah ajak Fara, Dim. Saya masih penasaran sama tehnik
kamu.”
Fara
melotot mendengar kata-kata ayahnya sebelum mereka keluar dari pintu rumah
susun ayahnya.
Dimas tertawa santai. “Wah kalau nggak diajak, bisa
dicingcang-cingcang saya sama Fara pak.” Selorohnya, membuat Fara semakin
membulatkan matanya.
“Fara,
kamu jangan terlalu keras jadi perempuan.”
Hah?!
Fara
melongo mendengar teguran ayahnya. Dimas tau itu sinyal yang buruk, jadi dengan
cepat ia segera membawa Fara pulang. Kalau mereka tetap di sana, ia pasti akan
benar-benar dicincang kekasihnya ketika sampai di rumah.
***
Pusaran
di hadapannya masih basah, bertabur kelopak bunga tujuh rupa yang dibelinya di
pasar. Sebuah kendi berisi air berada tepat di depan nisan kayunya yang sangat
biasa. Tidak banyak orang yang melayat.
Siapa
yang mau melayati seorang mantan preman?
Fara
merangkul Soraya yang masih berjongkok di samping makam ayah mereka. Sore yang
tenang. Dengan semilir angin yang menerbangkan ujung baju mereka, sinar
matahari muncul malu-malu di balik tumpukan awan.
Fara
menatap langit.
Kita masih di bawah langit yang
sama mas.
Ayah meninggal… kamu dimana?
***