Sabtu, 01 Februari 2014

RAINY TEARS

  
I  can do it, sure. Thanks sir.

Klik.  Aku mendesah ketika akhirnya bisa menutup telepon yang sejak tiga jam yang lalu tidak juga berhenti berdering. Jam dinding di ruangan kerjaku sudah menunjukan pukul 5 lewat tiga menit. Jam kerjaku sudah selesai dari tiga menit yang lalu. Kulirik jam yang melingkar di tanganku, sekedar memastikannya sama dengan waktu di jam dinding itu.

Belum pulan Win? aku hampir saja melompat karena terkejut akan suara itu. Hahaha lebay deh lu, makanya jangan bengong aja! Yuk pulang bareng gue, tawar Marcel, salah satu staff accounting di perusahaan tempatku bekerja. Aku menjulurkan lidahku kepadanya. Malas menjawab pertanyaan basa-basinya. Oy Win... besok itu imlek, kantor libur, ngepain juga lu lembur.

Justru karena besok libur makanya gue mau lembur sekarang! teriakku dari balik komputerku. Tapi tentu saja itu tidak benar, aku sudah sangat lelah seharian berhubungan dengan bertumpuk-tumpuk berkas di mejaku. Belum lagi atasanku yang entah bagaimana beberapa hari belakangan ini semakin rewel menyuruh ini dan itu.

Hahaha bohong! Seumur-umur Winda kerja di sini, dia nggak pernah lembur! aku melotot pada Resti, salah satu teman kantorku yang sudah berkeluarga. Ia menyeringai lebar sambil mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V, ketika berjalan melewati mejaku.

Suasana kantor yang sedikit bising membuatku mulai pening, kelelahan. Orang-orang tampak sibuk membereskan barang-barang mereka, bersiap menikmati liburan weekend yang cukup panjang karena ditambah imlek. Aku kembali menyandarkan punggungku ke kursi, mencoba beristirahat sejenak sambil menunggu orang-orang pulang terlebih dahulu. Aku paling tidak suka jika harus berdesakan di lift. Khawatir jika kelebihan muatan maka lift itu akan ambruk seperti yang kulihat di film-film thriller. Konyol bukan?!

Seorang gadis cantik dengan rok pensil selutut berjalan mendekati mejaku. Ia sudah membawa tas di pundaknya. Lo pulang sama Andreas? tanyanya. Aku mendongkak untuk melihat wajahnya.

Abis mau pulang ma lo, lo pasti pulang sama Galang. Jawabku sekenanya. Ia tersenyum tipis, mungkin sedikit tidak nyaman dengan jawabanku. Kami satu kontrakan, satu kantor, jadi sudah pasti satu arah. Tapi kami tidak pernah bisa pulang atau pergi bersama. Sejak bekerja di gedung 16 lantai itu, Mia sudah berpacaran dengan Galang, supervisor di perusahaan elektronik di lantai dua. Mereka sudah seperti suami istri, hanya saja tidak tinggal di satu rumah yang sama. Udah sana pulang duluan, gue gampang. Supir bajai masih numpuk. Tambahku. Risih karena pandangannya.

Serius lo dijemput Andreas nggak? tanyanya. 

Aku mendesah, apa pedulinya? 

Kalau lo nggak dijemput Andreas, gue pulang bareng lo aja. Biar aja Galang pulang duluan.

Dan dia akan membunuhku. Aku menggeleng tegas, Udah sana pulang!!! Iya gue dijemput Andreas! aku mendorong bahunya dengan buku-buku di tanganku.

Oke, awas yah kalau lo bohong. Kalau Andreas nggak jemput lo kabarin gue.

Terus lo mau ngirimin helicopter ke sini? tantangku. Ia tertawa.

Ya nggak, palingan gue kirimin abang ojek di gang kontrakan. Jawabnya sambil terus tertawa. Aku melambaikan tanganku, ikut tertawa bersamanya. Namun tentu saja itu sama sekali tidak menyentuh mataku. Aku sedikit lelah. Bukankah sudah ku katakan?

5.40. Keadaan kantorku sudah mulai sepi, hanya ada aku dan seorang pria berumur 40 tahunan yang tengah membersihkan sampah. Ia tersenyum dan mengangguk santun ketika matanya bertemu dengan mataku. Untuk beberapa saat aku hanya berdiri di depan jendela, memandang hujan yang belum juga mereda sejak siang tadi. Mungkin ketika sampai di kontrakan aku akan melihat serentetan berita banjir lagi. Lalu besok aku akan menemui macet yang lebih parah lagi.

Lelah dan lelah. Bahkan membayangkannya saja aku sudah lelah.

Bipp bipp.

Aku tersentak ketika merasakan ponsel di saku celanaku bergetar. Sebuah harapan akan sinar matahari kembali hadir. Dengan cepat aku membuka pesan itu, berharap nama Andreas tertera di sana. Tapi ternyata si ratu bawel, Mia.

From : Mia Bawel
-udah pulang belum lo?-

Sebenarnya aku malas membalasnya, tapi jika lebih dari lima menit tidak membalas, dia pasti akan meneleponku. Dan urusannya akan semakin memusingkan kalau dia sampai cemas.

To : Mia Bawel
-Sebentar lagi-
Sent

Jawabku singkat, dan secepat tetesan hujan menyentuh raya, sms balasan dari Mia pun tidak harus menunggu lama.

From : Mia Bawel
-Andreas belum datang?-

Aku menghela nafas panjang, kemudian kembali menatap hujan dari balik jendela besar gedung itu. Jalanan utama di depan gedung perkantoranku tampak lenggang, padahal mungkin beberapa ratus meter di sebelah kanannya, mobil sudah tidak bisa bergerak, macet mengitari bundaran HI.

Belum pulang bu? aku menoleh, pak Darwo nama office boy itu. Sudah pukul 6 kurang dua menit, memang sedikit aneh jika aku tetap berada di tempat yang sepi itu. Oh, nungguin jemputannya yah? tanyanya sambil tersenyum bijak.

Aku tersenyum simpul, Nungguin hujan reda, ujarku, bapak tua itu melirik hujan dari balik bahuku, kemudian mengangguk.

Saya ada payung, kalau ibu mau pakai, bisa saya ambilkan. Tawarnya.

Aku bisa melihat itu adalah sebuah penawaran yang sangat tulus. Orang-orang seperti mereka terkadang memang lebih tulus dalam melakukan suatu kebaikan. Tidak seperti orang-orang yang biasanya memenuhi ruangan tempatku berdiri saat ini. Setiap waktu yang dipikirkan hanya bagaimana caranya untuk mencari perhatian sang bos, lalu naik jabatan, dan naik gaji tentunya. Ah Indonesia!

Bapak tua itu masih menunggu jawabanku dengan sapu di tangannya ketika akhirnya aku menggeleng, toh sebenarnya aku juga membawa payung di dalam tasku. Di tengah cuaca seperti ini, payung seakan menjadi benda premier di Jakarta. Bahkan tidak jarang aku menemukan penjual payung dadakan di jembatan-jembatan penyebrangan. Memanfaatkan keadaan, tentu saja.

Nggak usah pak, jawabku sambil tersenyum. Kemudian berjalan ke mejaku, mengambil tasku yang memang sudah bertengger rapih sejak tadi. Saya pulang duluan pak, pak Darwo tersenyum ramah dan membalas salamku dengan riang. Ah entah kapan aku bisa kembali tersenyum seriang itu.

Aku berjalan ke lift dengan langkah pelan, menatap lantai di bawah kakiku dengan malas. Ketika pintu lift akhirnya terbuka, aku mendesah lelah melihat kekosongan di dalam sana. Bagaimana kalau aku kena serangan jantung di dalam lift dan tidak ada satu orang pun yang tau?

Aku menoleh kebelakang, mencari pak Darwo, mungkin dia tidak akan keberatan jika memintanya menemaniku sampai ke lantai bawah.

Kamu tidak akan masuk?

Aku kembali tersentak kaget ketika mendengar suara di belakangku. Entah mengapa orang-orang di sekitarku senang sekali mengagetkanku akhir-akhir ini. dengan cepat aku membalikan tubuhku, bersiap memuntahkan kekesalanku kepada siapapun yang seenaknya mengagetkanku. Namun nyaliku langsung menciut ketika melihat siapa yang berdiri di belakangku.

Pak, sapaku sambil menundukan wajahku dalam-dalam. Gugup sekaligus malu karena hampir saja aku melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada atasan dari atasan - atasannya- atasanku itu.  

Sosok tegap itu tidak menjawab sapaanku sama sekali, dan aku memang tidak mengharapkan apapun. Tapi besok pasti Mia dan Resti akan iri setengah mati karena aku bertemu dengan satu-satunya the Most Wanted Man di gedung itu. Sebenarnya menurutku ia tidak terlalu menarik, well... terlepas dari wajah blasterannya yang memang mengagumkan, dan kekayaannya yang pasti tidak akan habis tujuh turunan, tapi sikapnya yang sangat teramat dingin dan terkesan misterius membuatku muak sendiri. Dia kan masih manusia, apa pantas 
dia bersikap seangkuh itu pada manusia yang lain?!

Tapi sialnya, karena sikapnya yang misterius dan sulit ditemui sosoknya kerap menjadi subjek perbincangan hampir semua perempuan di tempatku bekerja. Bahkan mungkin dia sudah menjadi sosok dalam imajinasi liar setiap wanita di kantorku. Tapi untukku, ia hanya pria biasa, tampan memang, namun tetap tidak bisa menandingi pangeran hatiku.

Aku berjalan memasuki lift tepat beberapa langkah di belakangnya, kemudian bersandar di bagian belakang lift, tidak memiliki nyali untuk berdiri di sampingnya.

Bipp... bipp.

Sebuah pesan baru kembali masuk. Hatiku langsung kembali berdesir, berharap bahwa pada akhirnya nama pemuda itulah yang akan tertera di sana. Tapi nihil, itu sms yang kesekian kalinya dari Mia. Aku memasukan kembali ponselku ke dalam tasku tanpa membuka pesannya. Aku bisa memberikan alasan kalau sedang di mobil, dan deringan ponselku sama sekali tidak terdengar ketika kami bertemu nanti di kontrakan.

Ketika pintu lift akhirnya terbuka aku sudah lupa dengan siapa aku berada saat itu, tanpa kata-kata basa basi lagi, aku langsung berjalan ekluar lift mendahuluinya. Ketika mendapati tetesan hujan di luar sana semakin bertambah deras, hatiku kembali mencelos.

Aku melirik gedung tinggi di sebrang jalanan besar di depan kantorku. Gedung itu tidak seperti gedung perkantoran di kawasan ini, mungkin pemiliknya seorang kristiani karena terdapat dua patung aneh di gerbangnya. Arsitekturnya bisa terbilang sangat unik untuk seukuran kantor, tidak membosankan seperti gedung-gedung kebanyakan yang dilapisi kaca-kaca gelap yang mendominasi wilayah itu.

Langit sudah benar-benar gelap karena mendung yang tak kunjung hilang. Aku mengangkat bahuku, mencoba mengabaikan perasaanku sendiri. kemudian dengan langkah gontai aku berjalan keluar kawasan kantor, menuju halte terdekat, menunggu sesuatu yang bisa membawaku sampai ke kontrakanku. Sekali lagi aku meraba ponsel di kantung depan tasku, khawatir bergetar dan aku tidak menyadarinya. Namun tampaknya ponselku masih tetap terdiam, bersembunyi di balik dinginnya hujan.

Sebuah mobil mewah berwarna silver melaju cukup cepat tepat di sampingku, membuat air yang tergenang di sana menciprati celana hitamku. Aku mengumpat pelan, namun kemudian hanya bisa mendesah lelah. Ah percuma juga aku mengutuki nasibku, toh semuanya tidak akan selesai dengan umpatan itu. Kursi di halte itu masih basah karena hujan, dan membuatku terpaksa menanti bis yang lewat sambil berdiri.

Tubuhku sedikit menggigil ketika hembusan angin yang membawa tetesan hujan menyerbuku. Well, hari ini bisa menjadi salah satu hari terdingin di sepanjang eksistensi hidupku. Aku melirik gedung kantorku di balik halte, apa aku harus berbalik dan meneduh di sana? Tampaknya halte ini tidak cukup memadai untuk sekedar berlindung dari serbuan hujan yang bersekutu dengan angin kencang.

Tanganku sudah mulai membiru ketika jam di tanganku sudah menunjukan angka 7 malam. Sepertinya karena banjir dimana-mana jalanan menjadi macet, alhasil aku tidak bisa menemukan bis yang bisa ku naiki hingga ke tempat kontrakanku berada. Hujan masih terus turun, namun tidak sederas tadi. Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku sendiri, mencoba menghalau hembusan angin malam yang semakin menusuk tulang-tulangku.

Ponselku kembali bergetar, aku mendesah, telepon dari Mia. Baru saja aku akan memasukan ponselku kembali ke dalam tasku, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku. Aku melongo bingung, kemudian melirik ke kanan kiri, mencoba mencari seseorang yang bisa mendengar suaraku jika aku berteriak dari tempat itu. Ketika jendela di depanku di turunkan, aku tidak tau haruskah aku merasa lega atau sebaliknya.

Sosok di dalam mobil itu menatapku dengan pandangan tajam, seakan menghakimiku. Dan tentu saja itu membuatku semakin menciut di matanya. Mungkin sekarang aku hanya sebesar kutu kucing di dekatnya. Dan sebentarlagi akan kembali bertransformasi menjadi amoeba, tak akan terlihat tanpa alat bantu canggih.

Ia hanya menatapku untuk beberapa saat, namun aku bisa membaca banyak hal dari matanya, well mungkin ini hanya halusinasiku saja, tapi aku merasakan sebuah kemarahan pada tatapannya. Masuk. Katanya dengan nada memerintah. Aku melirik jam tanganku, saat ini sudah di luar jam kerja, aku tidak berkewajiban mengikuti kata-katanya. Melihatku yang hanya termenung bodoh di samping mobilnya, membuat kilatan marah di matanya semakin terlihat jelas.

Aku masih tertegun tak bisa bergerak, bingung dengan apa yang harus ku lakukan sekarang, hingga teguran sosok misterius itu kembali memecahkan Kristal lamunan di dalam benakku. Cepat masuk! gertaknya marah, namun sepertinya tubuhku memang membeku. Sekali saja aku bergerak, maka tubuhku akan pecah berantakan.

Tiba-tiba sosok itu keluar dari dalam mobilnya, kemudian berjalan memutari bagian depan mobilnya dengan sangat cepat. Fuck! ia mengumpat ketika menyentuh bagian lengan bajuku yang basah padahal aku masih membuka lebar-lebar payungku. Sepertinya angin benar-benar sukses menerbangkan tetesan hujan itu.

Ia membuka pintu penumpang untukku, merebut payung itu dari tanganku, melipatnya kemudian mendorong tubuhku dengan kasar untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku ingin menolak, tapi lidahku kelu. Aku kedinginan, dan aku baru menyadarinya ketika mendengar gemeretuk gigiku sendiri.

Tetesan air membatasi sebagian rambut dan bahu kemejanya, namun sosok itu sama sekali tidak kelihatan terganggu. Ia menjulurkan tangannya ke bagian belakang mobil, menarik jasnya yang tergantung kemudian menyerahkannya kepadaku. Kamu menggigil. Katanya sambil memberikan jas itu kepadaku.  Aroma lembut dari jasnya membuat kepalaku sedikit terbuai, mencair dengan perlahan. Ponselmu, tegurnya lagi. aku melirik layar ponselku yang berkedip, kemudian dengan perlahan menempelkannya ke telingaku. Aku tidak memiliki alasan apapun untuk tidak mengangkat telepon dari sahabatku itu.

Win!!!!!! Gue dilamar!

Bukankah seharusnya aku bahagia mendengar kebahagiaan sahabatku? Tapi yang kini ku rasakan adalah sebersit rasa iri yang tak terelakan. Mengapa semua orang di sekelilingku tampak sangat mudah menemukan pendamping hidup mereka, sedang aku, sejak awal aku masih sendiri. Terus berpura-pura bahwa aku  bahagia dalam kesendirianku, hingga datang pemuda itu.

Pemuda yang sejak 3 jam lalu ku tunggu di bawah guyuran hujan.  

Astaga! Gue nggak percaya akhirnya dia ngelamar gue Win! teriak Lily, sahabatku sejak SMA.

Dia cinta lo, jadi itu pasti terjadi. Jawabku dengan perlahan. Gigiku masih mengeluarkan suara gemeretuk setiap kali tubuhku menggigil.

Tapi rasanya masih nggak nyangka. Besok tanggal merah, gue ke tempat lo yah?! Ada banyak hal yang mau gue certain. Aku tersenyum simpul, nah... satu lagi gunanya teman, wadah menumpahkan seluruh keluh kesah, senang atau sedih.

Sip, gue tunggu. Jawabku pelan. Lily masih mengatakan beberapa kata lain sebelum ia menutup teleponnya, namun aku sudah sama sekali tidak bisa mendengarnya. Terlalu sibuk dengan segudang mimpi dan pertanyaan-pertanyaan bias tentang kapan aku akan berteriak kepadanya, mengatakan seperti yang ia katakan beberapa saat yang lalu. Aku dilamar!

Sedetik setelah aku menutup teleponku dengan Lily, Mia langsung kembali meneleponku. Aku melirik sosok angkuh yang kini tampak seperti patung-patung manekin di etalase-etalase toko yang sering ku datangi bersama Andreas di minggu sore, bedanya, ia bernafas, diafragmanya bergerak konstan setiap kali ia memasukan udara ke dalam paru-parunya.

Ya Mi...

Anjrit! Gila yah lo!?! Lo kemana aja?!! Kenapa nggak bales sms gue, telepon gue juga nggak diangkat. Lo lagi sama Andreas?!? Coba mana gue mau ngomong sama dia! aku mengerutkan keningku karena nada suaranya yang super tinggi. Sekali lagi aku melirik sosok di sampingku, khawatir ia terganggu dengan pembicaraanku.

Gue... tadi nunggu bis... jawabku, bingung harus membuat kebohongan apa.

WHAT?! Bego! Jadi dari tadi lo nunggu bis?! Sekarang lo dimana?? tudingnya lagi.

Sekarang udah on the way pulang. Jawabku pelan.

Astaga! Jadi setelah 3 jam, si brengsek Andreas baru datang?!

Gue nggak bareng Andreas... jawabku lebih pelan lagi.

Terus lo sama siapa?! Win... jangan main-main deh!!!! runtuk Mia frustasi. Aku mengernyit bingung, jika aku bilang aku tengah bersama dengan sosok itu sekarang, dia pasti akan lebih heboh lagi. Jangan bilang lo naik bis! Ya ampun Win, pacar macam apa dia?! Lo pasti udah gila kalau mau tetap sama dia! Makan deh tuh cinta! Denger yah Win, kalau dia cinta sama elo dia pasti jemput lo, kantornya kan nggak terlalu jauh dari kantor kita!
Aku menahan air mataku dengan sangat payah, bahkan aku sampai harus menggigit bibirku untuk menahan isakan yang sudah memenuhi perutku. Tenggorokanku sakit menahan tangis.

Mia benar. Dan selalu aku yang salah.

Gue cerita di rumah, bisikku sebelum mematikan sambungan teleponku dengannya begitu saja.

Macet akhirnya menghadadang kami, tetesan air hujan masih menyerbu, membuat langit sepenuhnya hitam tak berbintang. Cahaya-cahaya lampu jalanan menjadi temaram tertutup kabut dingin sang hujan. Sosok di sampingku perlahan bergerak, mengingatkan aku bahwa dia bukan sebuah patung pria yang super tampan. Tangannya terulur untuk menyalan radio di mobilnya. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela di sampingku, mencoba menikmati suara merdu sang penyiar yang tengah mengabari tentang kemacetan di kota Jakarta yang mulai memburuk di setiap detiknya. Mungkin kami hanya tinggal menunggu waktu hingga Tuhan akhirnya memutuskan untuk melenyapkan kota metropolitan itu ke dalam lautan. Amblas tak bersisa, berakhir menjadi sejarah memilukan negaraku tercinta.  

Sebuah lagu dari glee mengalun lembut setelah sang penyiar lelah bercuap-cuap. Aku menatap jalanan dengan tatapan nanar, hari ini benar-benar melelahkan. Tapi aku tidak ingin menutup mataku, bahkan mengedip-pun aku enggan, khawatir genangan di mataku akan menetes jika aku menggerakan kelopak mataku lebih sering lagi.


Turn around
Every now and then I get a
little bit
 lonely and you're never coming 'round

Turn around
Every now and then I get a little bit tired of
listening to the sound of my tears

Turn around
Every now and then I get a little bit nervous that the best of all the years have gone by
Every now and then I get a little bit terrified and then I see the look in your eyes

Turn around
 bright eyes
Every now and then I fall apart
Turn around bright eyes
Every now and then I fall apart

And I need you now tonight
And I need you more than ever
And if you'll only hold me tight
We'll be holding on forever

And we'll only be making it right
Cause we'll never be wrong
Together we can take it to the end of the line
Your love is like a shadow on me all of the time

I don't know what to do, I'm always in the dark
We're living in a powder keg and giving off sparks

I really need you tonight
Forever's gonna start tonight
(Forever's gonna start tonight)

Once upon a time I was
 falling in love,
Now I`m only falling apart
There's nothing I can do
Total eclipse of the heart

Once upon a time there was light in my life,
Now there's only love in the dark
Nothing I can say
Total eclipse of the heart
                                                                                                -Glee Cast- The total Eclipse of my Heart-


Once upon a time I was falling in love, now Im only falling apart... setetes air mata akhirnya mengalir perlahan. Mewakili rasa perih yang mengungkung hatiku. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku adalah wanita kuat yang bahagia. Perasaan tidak aman itu tidak akan membunuhku seperti ini.

Kulirik ponselku yang kembali mati. Seharian aku menunggu pesannya, namun tidak ada satu pesan pun yang masuk, dan aku terlalu pengecut untuk sekedar mengiriminya pesan terlebih dahulu. Khawatir ia justru akan membenciku karena mengiriminya pesan di saat-saat yang tidak tepat.

Entah sudah berapa lama aku merenung sendiri, menyibukan diri dengan lagu-lagu yang mengalun indah dari radio, mendengarkan celoteh riang sang penyiar, hingga ketika akhirnya sosok itu menghentikan laju mobilnya, aku terkesiap bingung.

Astaga. Aku sampai lupa dengan siapa aku sekarang. Dia pasti akan langsung memecatku karena sikap tidak sopanku hari ini.

Kami sudah berada di dekat gedung kontrakanku. Hujan membuat bangunan dua lantai itu tampak sangat sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, hanya terdengar suara tawa renyah dari kamar satu, sedang tiga kamar di lantai bawah, dan empat kamar di lantai atas sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan apapun, kecuali lampu depan yang menyala terang.

Aku mengernyit bingung, bagaimana mungkin dia tau dimana tempatku tinggal? Apa dia mempelajari seluruh data karyawannya dengan sangat teliti, khawatir salah satu diantaranya adalah seorang teroris, mungkin?

Kamu baik-baik saja? tanyanya, lagi-lagi membuatku tersentak karena terkejut.

Aku menunduk, mengembalikan jasnya yang tanpa sadar sudah menjadi penghangatku di sepanjang perjalanan itu. Ya, terima kasih pak. Jawabku sedikit kikuk. Entah dimana aku meletakan akal sehatku saat ini, hingga aku benar-benar lupa bagaimana caranya bersopan santun kepada presiden direktur di kantorku sendiri.

Kita bisa pergi ke tempat lain,

Hah? aku melongo bingung pada kata-katanya. Sosok itu sama sekali tidak menatapku. Pandangannya lurus ke depan, tajam seperti siap untuk membunuh. Kedua tangannya mencengkram erat kemudi. Apa dia tidak memiliki ekspresi lain dari pada ekspresi marah itu?!

Kita bisa pergi ke tempat lain, jika...

Kata-kata selanjutnya tak lagi bisa ku dengar dengan baik, fokusku langsung teralihkan pada sosok lain yang berdiri di depan gerbang kontrakanku dengan payung di tangannya. Ia masih mengenakan kemeja kerjanya, meski kini dasinya sudah dilepaskan dan disandarkan di kursi penumpang di mobilnya, bersama dengan jasnya. Ia tampak kedinginan, membuatku ingin merengkuh wajahnya, menghangatkannya dengan segenap cinta dari dalam lubuk hatiku.

Hatiku berdesir lembut, kupu-kupu di dalam perutku mulai kembali beranak pinak, berwarna lebih cerah lagi sekarang. Lupa sudah bagaimana menyedihkannya aku menunggu sosok itu selama 3 jam di bawah guyuran hujan petang ini. Ternyata dia di sini, menungguku.

Terima kasih karena sudah mengantarkan saya, terima kasih banyak. Ujarku sungguh-sungguh sebelum keluar dari mobilnya. Sosok itu tidak mengucapkan apapun. Dan aku juga tidak mengharapkan apapun lagi, keberadaan pria tampan itu di depan gerbang kontrakanku, sudah lebih dari apa yang kubutuhkan saat ini.

Ketika menyadari kedatanganku, senyumannya langsung mengembang indah. membuatku tidak tahan untuk memeluknya. Seperti biasa, ia akan menutup payungnya, kemudian masuk kedalam naungan payungku, bukankah itu sesuatu yang sangat romantis?

Aku memeluk tubuhnya dengan sangat erat, mencoba menghirup dalam-dalam aroma pria yang sangat ku rindukan itu.

Aku sangat merindukanmu, katanya sambil mengecup puncak kepalaku. Aku membenamkan wajahku lebih dalam lagi ke dadanya. Mencoba mencari kebenaran kata-katanya dari detak jantungnya. Maaf karena tidak sempat menjemputmu...

Ya, jalanan bandung - jakarta memang macet, potongku cepat. Informasi itu ku dapatkan langsung dari penyiar radio di perjalanan pulang tadi. Tubuh Andreas mendadak membeku di dalam pelukanku, membuat sebuah senyuman simpul yang menyedihkan terukir begitu saja dari wajahku.

Aku melepaskan pelukannya, Senang melihatmu di sini. Kataku sungguh-sungguh. Tapi kurasa, kisah kita cukup sampai di sini. Tambahku dengan suara bergetar.

Suasana hujan di sekeliling kami menyamarkan suara getaranku, namun tidak dengan mimik wajahku yang kini terlihat seperti pesakitan. Win... please, aku benar-benar minta maaf soal hari ini. Aku berjanji nggak akan melakukannya lagi. Membuatmu menunggu tanpa kepastian seperti hari ini. Aku benar-benar minta maaf.

Ssttt... aku meletakan telunjukku di bibirnya, kamu nggak boleh mengucapkan janji yang nggak bisa kamu tepati. Sepertinya kata-kataku cukup menohok egonya, wajahnya terlihat memerah, marah.

Win, aku sayang kamu. Aku cinta kamu... aku nggak mau kita berpisah...

Aku juga mencintaimu, tapi mencintaimu sama seperti menghitung bintang, sekeras apapun usahaku untuk menghitung bintang di langit itu, aku tidak akan pernah mendapatkan hasil apapun.

Win... kita bisa menjalani ini, bukankah kita sudah menjalaninya selama dua tahun?! Dan kita selalu bisa mengatasinya. Aku mencintaimu, aku mencintaimu yang selalu bisa mengerti kesibukanku. Aku mencintaimu yang selalu ada di saat aku lelah, aku mencintaimu. Kamu selalu bisa menjadi yang terbaik buat aku.

Entah mengapa kata cinta itu terdengar seperti lelucon di telingaku saat ini, membuatku muak pada diriku sendiri.

Aku lelah, pulanglah.

Andreas tertegun menatapku, meminta kata-kata lain yang bisa menenangkan hatinya. Namun aku benar-benar lelah.

Baik. Istirahatlah, ujarnya dengan lembut, kemudian mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. Namun secepat mungkin aku memalingkan wajahku. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku lelah?

Andreas berjalan perlahan ke mobilnya dengan payung yang masih tertutup di tangannya, membiarkan tetesan hujan menyentuh bagian atas kepala dan kemejanya dengan dramatis. Mm... Andreas... panggilku, tepat sebelum ia membuka pintu mobilnya.

Sosok itu menoleh, menunggu kata-kataku.

Aku belum tau, bagaimana jawaban Lily atas lamaranmu? tanyaku sungguh-sunggu. Sosok itu langsung membeku. Wajahnya memucat, dan payung di tangannya jatuh begitu saja. Benar-benar seperti yang terjadi di opera sabun membosankan yang selalu Mia tonton sepulang kerja. Apapun jawabannya, ku harap itu yang terbaik untuk kalian. Oya, besok dia akan ke tempatku. Kamu akan menjempunya ke Bandung bukan? tanyaku sebelum masuk ke dalam gerbang kontrakanku, tanpa menunggu jawaban darinya.
***


I can hold my breath
I can bite my tongue
I can stay awake for days
If that's what you want
Be your number one

I can fake a smile
I can force a laugh
I can dance and play the part
 
If that's what you ask
Give you all I am

I can do it
I can do it
I can do it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
 
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I can turn it on
Be a good machine
I can hold the weight of worlds
 
If that's what you need
Be your everything

I can do it
I can do it
I'll get through it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I'm only human
I'm only human
Just a little human

I can take so much
'Till I've had enough

Cause I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and i break down
your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

*Christina Perri - Human*




5 komentar:

Anonim mengatakan...

I am only human.. salam kak cherry.. :P.. aku penggemar lama yang baru meninggalkan jejeak hihi.. sukses ya kak cher.. kutunggu slalu cerpen cetarrrr nya

Unknown mengatakan...

Ternyata oh ternyata yg ngelamar lily andreas pacarnya win !!!

Unknown mengatakan...

Ternyata oh ternyata yg ngelamar lily andreas pacarnya win !!!

soetojo mengatakan...

Astaga. Dasar laki brengsek

Uh, pengen deh nendang 'itunya' kayak d film2. Udh ngelamar sahabat pacar, masih aja sok2an sayang

admin mengatakan...

Bagus struktur bahasanya