Jumat, 21 Juni 2013

PELANGI HITAM PUTIH -15-

RAIHAN


Aku tersenyum geli ketika akhirnya sambungan telepon itu terputus. Entah mengapa aku merasakan sebuah ketenangan aneh di dalam hatiku, sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah hadir. Aku masih tidak bisa berhenti tersenyum, seluruh kata-kata gadis cantik yang angkuh itu masih terus terngiang-ngiang di telingaku, suaranya yang merdu, tawanya yang riang, kata-kata ketusnya yang begitu terasa menggelikan namun jelas mampu membuatku merasa begitu bahagia. Gadis itu, gadis cantik yang tidak pernah bisa membuatku bosan itu tampaknya sudah merebut hampir seluruh asalan hidupku.
Aku adalah pria yang paling bahagia di muka bumi ini karena memiliki gadis itu, dan aku bersumpah untuk terus menjaganya seumur hidupku. Akan ku lakukan apapun untuk menjaganya tetap berada di sampingku.
Sudah dua puluh menit berlalu, namun aku masih tidak bisa berhenti tersenyum. Gadis itu benar-benar membuatku dimabuk kepayang. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan tatapan sinisnya, kata-kata ketusnya yang dingin, bahkan senyuman sarkastinya. Tapi dia mencintaiku, aku tau, aku bisa merasakannya dari pandangan menusuknya.
Oke. Ini memang terdengar sedikit konyol. Tapi di balik semua sikap dinginnya, ia pasti memperhatikanku. Walau dia selalu mencibir setiap kali aku berbicara, tapi aku yakin ia melakukannya dengan penuh cinta. Well, itu memang sedikit tidak masuk akal.
Aku menghela nafas panjang, tepat ketika David masuk ke dalam kamarku.
“Tuan Reynaldi, sudah waktunya.” Aku mengangguk, dan kembali tersenyum kepada sosok tampan di balik cermin itu.
Gadis itu harus mendapatkan pelajaran. Desisnya dingin, dan aku mengangguk setuju, memberikan sebuah senyuman sinis yang penuh janji.
Gadis itu berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya, dan itu akan selalu menjadi aku yang terbaik. Akan ku buktikan. Tambahku, sosok dalam cermin itu sedikit tidak setuju, namun ia tidak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya.
***

Kamis, 20 Juni 2013

PELANGI HITAM PUTIH -14-

ZAHRA


Well, aku pada dasarnya sangat mempercayai adanya sebuah karma kehidupan. Sewaktu kecil ibu selalu memperingatiku untuk menjaga bicaraku agar kelak tidak terjatuh karena kata-kataku sendiri. Ah tapi, aku toh memang tidak pernah terjatuh pada kata-kataku. Aku tetap bisa berdiri tegar memegang perkataanku. Buktinya sampai saat ini aku masih bisa kuat melihat kebersamaan keluarga kecil Raka yang manis itu.
Hari-hari selanjutnya benar-benar terasa berbeda. Tapi aku yakin itu karena keberadaan Anna dipanti. Bahkan tak jarang tante Luna juga datang untuk mengunjungi kami, mengunjungi putranya. Meski pada saat itu Raihan akan menekuk wajahnya sedemikian rupa, bagai seorang bocah yang tengah menginjak masa-masa remajanya, merasa malu ketika ibunya datang. Konyol memang namun itu adalah bagian favoritku. Raihan akan menjadi lebih pendiam, hanya berbicara jika ditanya, benar-benar saat-saat yang paling menggelikan. Aku sampai tidak percaya jika ia merasa malu karena mendapat kunjungan dari ibunya sendiri.
Sesekali kakek Darmawan datang menemani tante Luna, namun ia tidak pernah tinggal terlalu lama. Setelah melakukan perbincangan serius mengenai pohon tomat barunya bersama Aisah dan Anisa, ia pasti akan segera berangkat kembali. Dan aku merasa semangat Raihan akan bertambah besar setiap kali ia bertemu dengan kakek Darmawan. Seakan kakeknya sengaja membawakan bulir-bulir pil penyemangat di dalam saku jasnya, yang bisa ia berikan pada cucunya sewaktu-waktu. Tapi aku menyukai sikap Raihan setelah itu, ia seakan memancarkan aura positif yang entah bagaimana mampu menghibur orang-orang di sekelilingnya.
Di pagi hari, Raihan akan menceritakan sebuah kisah konyol tentang pelaut, atau pilot, atau apapun itu. kisah yang benar-benar membuatku tidak habis pikir bagaimana bisa ia mengarang semua itu. kisah-kisah itu terlalu klise untuk menjadi nyata, meski ummi selalu mendukungnya bercerita karena kandungan moral di setiap ceritanya. Oke. Jadi setelah menjadi pembicara biologi, ia merambah juga menjadi pendongeng, dan sialnya tidak sampai di situ. Kemampuan ia bermain music benar-benar membuat bocah-bocah itu kian lengket dengannya. Raihan hampir bisa memainkan seluruh alat music.
Pada minggu pertama di bulan Desember, aku, Raihan dan beberapa anak panti pergi ke toko music untuk membeli beberapa alat music lain, yang bahkan pada awalnya aku sama sekali tidak tau bagaimana cara memainkannya. Raihan meminta setiap anak untuk memilih alat music apa yang ingin mereka pelajari, lalu dengan sabar ia akan mengajari satu-persatu dari mereka. Aku benar-benar menyukai sosoknya ketika berada di tengah-tengah anak-anak itu. wajahnya yang angkuh akan mencair, melembut dengan sorotan mata sejuk, tawanya yang renyah kerap terdengar di antara tawa bocah-bocah itu, dan suara merdunya selalu terdengar mengalun indah ketika menyanyi untuk anak-anak itu di sore hari.
Bibit apel yang ia dan anak-anak simpan pun mulai menunjukan kecambah kecilnya, dengan bantuan kakek dan pasukan kecilnya, ia menanam biji-biji itu pada sepetak tanah yang subur. Menyiraminya setiap hari, mengukur panjang kecambahnya setiap enam jam sekali. Well, aku menyebut hal ini sebagai sebuah kebodohan mutlak! Walau bagaimanapun kecambah itu baru tumbuh setelah 24 jam, dan ia memeriksanya setiap 6 jam, entah pil semangat apa yang ia telan di setiap harinya.
Tapi semangatnya yang menggebu-gebu selalu menjadi pemandangan yang indah. Senyuman penuh kebahagiaannya, tawa renyahnya, bahkan tatapan jenakanya…
Kecuali untukku, tentu saja!
Aku masih membencinya. Aku tidak akan pernah memikirkan hal-hal tentangnya. Aku selalu memilih jalan lain ketika tidak sengaja berpapasan dengannya, aku akan menghindarinya, atau berpura-pura tidak memperdulikannya. Aku tidak akan menoleh ketika ia memanggil, aku akan menjauh ketika ia mendekat. Dia masih menjadi sosok yang angkuh dan super menyebalkan untukku. Sosok yang selalu ingin aku hindari. Aku sendiri masih tidak mengerti bagaimana mungkin ummi dan yang lainnya bisa dengan mudah menerimanya. Bahkan ibu Diah pun tampak mencintainya!
Mereka, bocah-bocah itu, membicarakannya siang dan malam, mengikutinya kemana pun ia pergi. Memintanya menyanyi, mendongeng, dan melakukan hal lain yang hanya akan membuat kepalanya terangkat semakin tinggi! Dan itu membuatku muak setengah mati. Ia menjadi sosok yang super sibuk saat ini, mengajari anak-anak ini dan itu, bernyanyi bersama mereka, pergi dengan mereka, bahkan kini berkebun dengan mereka!
Aku benar-benar membencinya!

“Hey,” aku tersentak kaget ketika mendengar panggilan di sampingku. “Aku pikir kau patung. Kau benar-benar asyik dalam lamunanmu. Apa yang kau lamunkan?” Tanya sosok cantik Risa seraya duduk di sampingku. “Ingat ini kantin, kalau kau sampai kerasukan di sini, aku yakin kau akan menjadi trending topic yang menghebohkan.” Bisiknya di telingaku. Aku meringis kikuk, dan ia tertawa geli. “Menunggu telepon seseorang?” tanyanya seraya melirik ponsel yang berada di genggamanku. Aku menggeleng dengan kikuk, dan untuk sesaat aku merasakan wajahku memerah. Tepat pada saat itu Andhini dan Hana menghampiri kami. Andhini membawa segelas lemon kesukaannya, dan Hanna membawa sebuah nampan berisikan semangkuk mie rebus, dua potong donat coklat, dan air mineral. Aku meringis menatap porsi makan kedua sahabatku yang benar-benar diluar ambang batas.
“Ada apa dengan wajahmu?” Tanya Hanna setelah berhasil meletakan semua bawaannya di atas meja dengan selamat. Ia meneliti wajahku dengan seksama. “Apa kau jatuh cinta?” tanyanya lugu. Aku menepis tangannya dengan risih.
“Aku? Jatuh cinta?! Kau pasti bercanda!” ujarku seraya menyeruput jus alpukat kesukaanku. Kemudian ketika ponselku berdering, sontak aku langsung tersenyum lebar, kemudian berlalu pergi begitu saja, meninggalkan ketiga sahabatku dengan pandangan aneh mereka.
***
“Halo.” Jawabku pada deringan ke dua.
“Wow…” suara di sebrang sana terdengar sedikit terkejut, membuat sebelah alisku terangkat heran. “Sepertinya kau membawa ponselmu kemanapun,” ujarnya. “Atau kau memang sedang menunggu teleponku.”
Astaga… desisku pelan. “Dengar, aku memang sedang bermain game ketika kau menelepon, jadi aku langsung mengangkatnya, agar aku bisa segera menutupnya lagi. Kau menggangguku. Kau tau itu?!” tudingku dengan wajah memerah.
Sosok di sebrang sana terkekeh pelan, “Kau benar-benar tidak berpengalaman dalam berbohong nona cantik.” Ujarnya santai, wajahku terasa bertambah panas. “Sejak kapan kau suka bermain game. Lagi pula, tidak ada satupun game di ponselmu.” Ujarnya, nada suaranya yang begitu santai membuat tubuhku membeku. Aku mendengus kesal, mencoba menyembunyikan rona wajahku.
“Apa pedulimu!” elakku ketus, dan ia kembali tertawa.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya lebih serius. Aku mengerucutkan bibirku, mataku nanar menatap lapangan parkir di depanku.
“Aku di kampus, tentu saja aku sedang belajar!”
“Berbohong lagi…” gumamnya, aku bisa mendengar senyuman geli dari suaranya. Dan itu membuatku mulai lemas karena merasa kalah. “Kau pasti sedang memikirkanku.”
“Kau pasti gila!”
“Aku tau.” Jawabnya pelan. “Karena aku juga tidak bisa berhenti memikirkanmu.” Tubuhku membeku mendengar kata-katanya lagi, lututku mulai terasa tidak bertenaga. “Baiklah, aku tidak ingin mengganggumu lagi. Sampai bertemu dipanti,”
“Eh, tunggu.” Panggilku. Ia berdeham pelan. “Apa kau tidak akan meneleponku lagi nanti malam?” tanyaku ragu. Dan tawa di sebrang sana semakin menggema.
“Tentu jika kau menginginkannya tuan putri. Aku akan melakukan apapun untukmu. Selalu ingat hal itu.” Ujarnya tegas, aku yakin ia mengatakan itu sambil tersenyum, karena entah bagaimana kelembutan senyumannya bisa menenangkan gemuruh jantungku yang tidak menentu. Kemudian ia mengucapkan salam perpisahan lalu menutup teleponnya.
Aku masih mematung dengan ponsel di telingaku meski sudah lima menit sosok di sebrang sana mematikan teleponnya. Namun aku masih ingin mengenang suaranya, mengenang kata-katanya lebih lama lagi.
Astaga! Apa yang terjadi padaku?! Apa yang baru saja aku katakan?! Mengapa aku masih berdiri di sini seperti idiot?! Aku pasti sudah gila.
Kumasukan ponsel itu ke dalam saku rokku, kemudian berjalan tergesa menuju lift dengan kekesalan yang tidak menentu.
Tidak aku tidak mungkin memiliki perasaan apapun pada sosok menyebalkan itu! dia itu sosok yang paling mampu membuatku jengkel setengah mati. Ia sangat sombong dan tidak berperasaan. Ia pasti type playboy yang akan dengan mudah menyakiti setiap gadis. Ia adalah pria jahat, aku tau itu!!!
But You’re so hypnotizing
You’ve got me laughing while I sing
You’ve got me smiling in my sleep
And I can see this unraveling
Your love is where I’m falling

But please don’t catch me
(Demi Lovato- catch me)
But if this love, please don’t break me, I’m giving up so just catch me…

Rabu, 19 Juni 2013

BINTANG RAMADHAN





Pernikahan…
Betapa indahnya kata itu ketika terdengar, betapa bahagianya bagi kedua mempelai, betapa sempurnanya perjalanan akhir cinta mereka…
Tapi mengapa kau memberikanku luka ini dalam pernikahanku ya Allah? Mengapa kau memberikan perih ini??





20 desember 2004

Tepuk tangan langsung menggema ketika akhirnya aku menganggukan kepalaku. Sosok tampan yang tengah berlutut di hadapanku langsung mengangkat wajahnya, mata coklat indahnya menatapku dengan pandangan tidak percaya.
“Aku tidak bisa mengatakan ‘tidak’ pada seorang pangeran sepertimu.” Bisikku lembut. Dan senyuman itu mengembang tanpa ragu-ragu lagi. Ia menggenggam tanganku dengan sangat erat, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Membuatku tak kuasa menahan air mata haru itu lagi.
“Alhamdulillah…” bisiknya penuh haru. Ia kembali berdiri di hadapanku, matanya mengunci mataku, membuatku bisa menyelami kebahagian yang tulus dari dalam dirinya. “Terima kasih Sarah. Terima kasih banyak…” bisiknya begitu lembut, begitu tulus. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi, air mataku terlalu banyak menetes, hingga hatiku mulai terasa perih karena tangis haru itu. orang-orang di sekeliling kami turut tersenyum penuh haru, mengucapkan hamdalah dengan tulus atas apa yang mereka lihat.
“Kalian pasti akan menjadi pasangan yang sempurna,” bisik Mia, sahabat baikku. Aku tersenyum penuh terima kasih padanya.
Ya Allah…
Terima kasih, terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan pada hamba-Mu ini. Terima kasih banyak karena telah menciptakan sosok baik hati ini untuk hamba… terima kasih…

***
Agustus 2013

“Sarah…” panggilan itu mengejutkanku. Dengan cepat aku menyeka genangan air mata yang mengalir di pipiku. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya lembut seraya menyentuh pundakku dengan perlahan. Aku tersenyum tipis dan menyentuh sebuah foto dari dalam album di hadapanku. Foto kami berdua yang tengah tersenyum penuh haru, saling berpegangan tangan, saling menatap seakan baru menemukan cahaya kehidupan kami masing-masing. “Hari itu… aku sangat bahagia,” bisiknya di belakangku. Aku kembali tersenyum, namun entah mengapa mataku terasa perih menahan tangis. “Aku tidak akan pernah bisa melupakannya, anggukan lembutmu sebagai jawaban dari pinanganku adalah hal terindah dalam hidupku.” Ujarnya penuh kasih. Aku terkekeh pelan di tengah tangisku. Tiba-tiba ia memelukku dari belakang; meletakan kepalanya di atas bahuku, kedua tanganya mendekap erat tubuhku yang mulai bergetar karena isak tangis. “Tenanglah Sarah, Insya Allah kita bisa melewati semua ini. Insya Allah kita bisa… kita bisa…” ujarnya menguatkan. Tapi hatiku terlalu lelah, benar-benar lelah, hingga rasanya aku hampir saja menyerah.

“Tapi dia putriku…” bisikku perih. Sosok di belakangku tak lagi berkata apapun, ia hanya mendekapku semakin erat, menawarkan ketenangan yang mustahil tercipta, kemudian aku bisa merasakan tetesan air matanya di atas bahuku.

***

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat; sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al baqarah: 153)

***

Untuk kelima belas kalinya aku membaca surat al fatihah pagi itu sambil menunggu dokter selesai memeriksa putriku. Dokter paruh baya yang tetap tampak cantik itu mendesah pelan, kemudian melirik kantung infuse di sampingnya. Ia mengernyit untuk sesaat kemudian menuliskan sesuatu di buku catatannya.”Berikan terapi triparen lagi,” kata dokter Hana pada perawat yang berdiri di sampingnya. Perawat itu mengangguk, dengan sigap ia mencatat apa yang di katakana dokter itu padanya.

“Dokter, apa aku akan di suntik lagi?” Tanya putri kecilku tiba-tiba. Dokter Hana menatap lembut gadis kecilku, ia membelai kepalanya dengan sangat perlahan, seakan ia memang diciptakan untuk memberikan ketenangan pada mahluk-mahluk kecil yang malang ini. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras untuk menahan lonjakan rasa perih di dalam dadaku. Aku harus tegar, aku harus kuat untuk putriku. Putri kecilku yang baik hati. Putri Salsabila Ramadhani.

“Tidak sayang,” ujar dokter Hana lembut. Putriku tesenyum tipis kemudian menoleh kepadaku, tangan kecilnya terulur, ingin menggapaiku. Dengan cepat aku langsung menghampirinya, menggenggam tangan mungilnya dan tersenyum menenangkan. “Baiklah, dokter pergi dulu yah sayang,” ujar dokter Hana.

“Terima kasih dokter,” bisikku tulus. Dokter Hana mengangguk dan berlalu pergi bersama dua perawat lain di belakangnya. Meninggalkan aku dengan gadis kecilku berdua lagi. Aku menatap kedua mata indah putriku dalam-dalam, berusaha untuk menyelami seluruh rasa yang dialaminya beberapa hari belakangan ini. “Apa ada yang sakit sayang?” tanyaku pelan. Gadis kecil itu menggeleng.

“Maafkan Bila mama, gara-gara Bila mama harus tidur di sofa rumah sakit…” bisiknya pelan, aku tercekat mendengar kata-katanya. Ya Allah… gadis ini, ia malah mengkhawatirkan tidurku, saat sakit yang dirasakannya terkadang sampai membuatnya kehilangan kesadarannya.

Aku menggeleng perlahan dan membelai kepalanya, “Mama baik-baik saja sayang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun.” Balasku seraya mengecup keningnya, mengujaninya dengan tetesan air mataku yang jatuh begitu saja.

***

Pernikahanku adalah pernikahan terindah pada tahun itu, semua orang yang hadir selalu memuji kami sebagai pasangan yang paling serasi. Aku tidak bisa berhenti tersenyum kala itu, hingga keesokan harinya aku merasa wajahku keram karena terlalu banyak tersenyum. Sebelumnya, aku pernah merasakan perih yang teramat dalam ketika mengalami kegagalan bahkan sebelum pernikahan itu diadakan. Ya, sosok yang ku anggap sebagai kekasih hatiku selama 3 tahun lamanya ternyata menghianatiku dengan wanita lain, dan semua itu terbongkar satu bulan sebelum pernikahan kami. Aku tidak tau harus menganggap itu sebuah keberuntungan atau kepedihan. Mereka selalu mengatakan, ini lebih baik dari pada aku mengetahuinya setelah kami sah menjadi suami istri. Dan aku tidak bisa menyalahkan pendapat itu, hanya saja aku tidak tau bagaimana cara agar bisa kembali berdiri setelah itu. Luka yang tertinggal begitu dalam dan pedih, hingga akhirnya aku menyerah pada kata klise bernama cinta itu.

Pertemuanku dengan sosok Adrian bukanlah sebuah kebetulan, kami bukan secara tidak sengaja bertabrakan di lorong-lorong perpustakaan seperti yang diputar di film-film romansa itu. Tapi pertemuanku dengannya sudah diatur sedemikian rupa oleh Mia, sahabatku. Aku, yang lelah kepada cinta, hanya mengangguk pelan ketika Ia mengenalkan seorang pria yang mengatakan ingin melakukan taaruf denganku.

Hanya berselang 3 bulan, dan ketika Adrian meminangku di hadapan seluruh teman-teman kantorku, aku mengangguk dengan sepenuh hati. Seakan aku sudah mengenalnya selama tiga tahun lamanya, bukan tiga bulan; seakan kami memang sudah dekat sejak kecil bukan karena taaruf yang direncanakan oleh Mia dan suaminya. Tapi aku mengangguk, aku mengangguk dengan keyakinan yang bahkan tidak pernah ku dapatkan dari siapapun sebelumnya. Sosok itu, sosok rupawan bermata coklat itu mampu membiusku sedemikian rupa, ia mengajarkanku untuk kembali menemukan sisi lain dari balik kata cinta itu, ia membantuku kembali menemukan tujuan hidup yang lebih mulia; membangun sebuah mahligai rumah tangga yang indah, membangun sebuah keluarga yang insya Allah akan menjadi bekal kami di akhirat kelak.

Aku mencintai Adrian, seperti bintang mencintai Rembulan, seperti ombak mencintai lautan, aku mencintainya karena Allah, karena aku yakin di sanalah jalan menuju surgaku akan terbuka, kepadanyalah aku akan mengabdikan sisa hidupku untuk meraih ridho sang Khalik.

Hingga tiga tahun kemudian akhirnya Allah mempercayakan seorang putri mungil kepada kami, seorang putri yang menjadi jawaban dari do’a-do’aku di setiap sepertiga malam. Putri Salsabila Ramadhani. Putri kecil yang lahir tepat di malam penuh bintang, malam indah di hari terakhir ramadhan datang, malam menuju hari fitri yang penuh berkah.





“Aku ingin menjadi bintang…” rengeknya suatu malam, ketika hanya ada kami berdua di rumah. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Ku pikir ia sudah terlelap sejak sepuluh menit yang lalu, ketika aku memutuskan menghentikan ceritaku tentang nabi Musa karena merasakan nafasnya sudah bergerak teratur, menandakan ia sudah terlelap tidur. Dengan perlahan aku membalikan tubuhnya hingga menghadapku, aku menatap wajah mungilnya dengan penuh kasih. Ia baru berumur 6 tahun saat itu, namun ia sudah sangat ahli dalam menggambar benda lima sudut yang disebut bintang.

“Kau adalah bintang hati mama,” bisikku penuh kasih. Namun wajah mungil putriku tidak tersenyum sama sekali, matanya nanar menatap langit-langit kamarnya yang gelap.

“”Tapi aku ingin menjadi bintang di langit.” Ujarnya pelan. Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa.

“Kau akan menjadi bintang terindah.” Ujarku akhirnya, kemudian memeluk tubuh mungilnya lebih erat lagi.





Jika tau malam itu adalah sebuah pertanda darinya, mungkin aku tidak akan pernah melepaskan pelukanku darinya. Aku akan terus memeluknya sepanjang malam, hingga pagi menjelang, hingga jika ia membuka mata keesokan paginya, ia akan tetap merasa tenang melihatku di sampingnya. Namun semua itu hanya perandaian. Pada kenyataannya, aku pergi meninggalkannya, berangkat pagi-pagi buta karena alasan meeting di kantor, lalu menitipkan gadis kecilku pada pembantu rumah tangga kami.

Hari itu berjalan normal seperti hari-hari biasanya, hingga aku mendapatkan sebuah telepon dari sekolah Salsabila tepat pada pukul sepuluh pagi. Salsabila muntah hebat, hingga membuat guru-guru panic dan membawanya ke rumah sakit. Aku menghubungi Adrian saat itu juga, kemudian melenggang pergi dari kantor, melupakan seluruh jadwal meeting lainnya pada hari itu. pikiranku mulai di penuhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan putriku. Apa yang ia makan kemarin, apa yang ia kenakan saat tidur semalam, apa dia masuk angin? Apa aku telat memberikan obat cacing padanya? Apa aku lupa memeriksa tanggal kadarluasa pada masakan yang ku masak kemarin? Apa dia jajan sembarangan di sekolahnya? Apa ia terasa panas kemarin? Dan masih banyak apa-apa lain dalam benakku. Menghantuiku bagai kunang-kunang bercahaya terlalu terang.

Salsabila masih berada di ruang IGD ketika aku sampai, dokter memberikan cairan infusan sebagai pengganti cairannya yang hilang. Hatiku langsung jatuh begitu saja ketika melihat wajah pucatnya, kepanikan langsung menghujamku. Melisa, wali kelasnya, langsung menceritakan kronologi dari sudut pandangnya. Tapi aku tidak benar-benar mendengarkan. Otakku terlalu sibuk memikirkan sosok putriku yang tampak begitu lemah di atas ranjang dorong rumah sakit ternama itu. kemudian seorang dokter yang bertugas hari itu menghampiriku dengan catatan di tangannya. Ia mendesah pelan, kemudian sekali lagi memeriksa mata putriku yang masih terpejam dengan senter kecilnya.

“Bagaimana keadaan putri saya dok?” tanyaku. Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang dilontarkan berjuta ibu-ibu lainnya ketika cemas melihat buah hatinya terbujur lemah di hadapan mereka, pertanyaan yang sudah berjuta kali terucap, pertanyaan yang seharusnya sudah familiar di telinga setiap dokter di rumah sakit, pertanyaan yang seharusnya dengan mudah di jawab oleh setiap dokter.

Tapi dokter itu malah terdiam cukup lama, seakan meragu pada analisanya sendiri. Sebenarnya aku tidak butuh jawaban apapun, aku hanya ingin mendengar dokter itu berkata bahwa putriku baik-baik saja. Bahwa ini hanya masalah spele yang berkaitan dengan makanan yang di makan oleh putriku. Setengah jam lagi, setelah cairan observasi itu habis maka putriku akan kembali baik-baik saja. Aku akan bisa membawanya kembali pulang bersamaku. Aku akan bisa kembali memeluknya dengan tenang. Putri kecilku… pelita hidupku…

“Kami masih belum bisa mendiagnosa penyakit putri anda, tapi kami menyarankan agar ia dirawat. Kami menemukan edema pada pupilnya, mungkin ia harus melakukan beberapa tes,”

Kepalaku pening ketika mendengar penuturan dokter itu. Aku benar-benar ingin focus mendengar apa yang di katakannya, tapi entah bagaimana istilah-istilah itu membuatku bingung karena perasaan cemas yang mulai bertambah kuat. “Tes?” tanyaku berusaha setenang mungkin.

Dokter itu mengangguk, “Ya, tes darah dan urin. Dan… MRI scan,” tambahnya. “Kami khawatir ada perkembangan sel abnormal di dalam dirinya.” Aku tercekat. Tepat pada saat itu pintu ruang IGD terbuka, dan Adrian berdiri di sana. Tepat ketika aku merasakan jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.

***

            Ketika duduk di sekolah SD, pelajaran yang paling ku sukai adalah pelajaran IPA dan Bahasa Inggris. Pelajaran yang sahabatku bilang paling membosankan dan sulit. Aku tidak pernah mengingkari bahwa kedua pelajaran itu memang sulit. Sering kali aku hanya mendengarkan penjelasan guru tanpa mengerti dengan apa yang tengah ia katakan. Tapi aku menyukainya, terlebih tentang tata surya di dalam IPA. Aku menyukai penjelasan pak Denias tentang perputaran matahari, bulan dan bumi. Aku menyukai semua kisahnya, seperti aku menyukai ayat-ayat indah yang kerap dibacakan oleh ibuku di malam hari.

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1). Dan bulan apabila mengiringinya (2). Dan siang apabila menampakkannya (3). Dan malam apabila menutupinya (4). Dan langit serta pembinaannya (5). Dan bumi serta penghamparannya (6). Dan jiwa serta penyempurnaan (penciptaannya) (7). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8). Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu. (9). Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10).” (As syams : 1-10)

Bukankah itu sebuah janji yang indah. Janji yang tidak akan pernah teringkari, satu-satunya janji yang membuat hatiku selalu tenang. Janji bahwa Allah akan memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang berbuat baik.

Menginjak masa-masa SMP dan SMA, kecintaanku pada bidang biologi semakin mendalam, aku menyukai bab anatomi tubuh manusia, meskipun karena masalah lemahnya ingatanku, aku tidak pernah bisa menghafal istilah-istilah ilmiah itu dengan benar. Ketika umurku 8 tahun, ibu mengatakan bahwa aku sempat demam hingga kejang, yang akhirnya kini menyebabkan ingatanku melemah, membuatku harus belajar sepuluh kali lebih giat agar bisa menyamakan taraf pemahamanku dengan siswa-siswa lain pada umumnya.

ketika sampai ke tahap perguruan tinggi, aku berhasil masuk ke jurusan Biologi Sains di sebuah perguruan tinggi negri di Jakarta melalui jalur PMDK. Namun sayangnya takdir berkata lain, entah bagaimana akhirnya aku malah terjebak disana, di tengah-tengah sekelompok mahasiswa yang mendalami masalah advokat, hingga akhirnya kini aku malah menjadi konsultan hukum, bukan seorang ahli biologi.

Belakangan aku mulai berpikir, apakah jika dulu aku tetap mengambil jurusan biologi, maka aku tidak akan mengalami ini? Aku tidak akan menjadi seorang konsultan hukum; aku tidak akan pernah bertemu dengan sosok manis sahabatku, Mia; aku tidak akan pernah melakukan taaruf dengan Adrian; aku tidak akan pernah memiliki Salsabila; dan gadis kecil itu tidak akan pernah sakit?

***

Aku tersentak bangun dari tidurku dalam sekali tarikan nafas. Tubuhku tegang, penuh oleh keringat dingin. Untuk beberapa detik pertama otakku masih kosong, meski jelas terasa dadaku di penuhi kesesakan rasa takut yang menggebu-gebu. Detik kedua, aku baru menyadari apa yang terjadi. Aku menoleh pada Adrian yang sedari tadi sudah berdiri waspada menatapku. Kedua tangannya mencengkram lengan atasku, matanya menyiratkan kekhawatiran yang teramat sangat. Bahkan rasa aman yang biasanya ku lihat di matanya pun menghilang, terkubur oleh kabut ketakutan itu. Aku tidak yakin sudah berapa kali ia meneriaki namaku, namun ketika aku kembali mendapatkan kesadaranku ia langsung mendesah lega.

“Alhamdulillah Sarah… syukurlah…” ujarnya seraya memeluk tubuhku yang masih membeku. “Kau membuatku cemas.”

“Dimana Salsabila?” tanyaku perih. Mataku menatap langit-langit putih di atas ku dengan pandangan kabur karena genangan air mataku sendiri. Adrian melepaskan pelukannya dan menatap wajahku.

“Dia sudah dipindahkan ke ruangan biasa.” Ujar Adrian.

“Mengapa kau tidak menemaninya?” tanyaku seraya beranjak bangun, namun tangan kekar Adrian menahanku. Ia menatapku dengan pandangan khawatirnya.

“Kau tenanglah dulu. Ibu dan ayah sudah menemaninya. Sekarang lebih baik kau menghabiskan infuse ini dulu, baru kita pergi bersama-sama ke kamarnya.” Aku meringis ketika melirik tangan kiriku yang terpasang jarum infuse. Aku memang memiliki fobia terhadap rasa sakit, bahkan meski itu hanya tertusuk sebuah jarum kecil sekalipun. Mendadak kepalaku kembali terasa pusing, mual langsung menghujam tubuhku. Aku mendengar Adrian meneriaki suster dan dokter di ruangan IGD itu, kemudian aku mendengar suara tirai-tirai ditarik, dentingan-dentingan peralatan rumah sakit, lalu sunyi.

***

Banyak hal yang terlewatkan oleh memoriku, bukan oleh diriku. Aku melewati seluruhnya, namun memoriku tidak bisa menyimpan keseluruhannya, bahkan mungkin hanya seperenam dari rentetan-rentetan kejadian itu. Aku lupa berapa banyak rumah sakit yang kami datangi hanya sekedar untuk memastikan bahwa yang diderita putriku adalah kanker otak. Aku lupa berapa banyak dokter yang mengatakan bahwa kami masih memiliki harapan. Aku juga lupa berapa banyak dokter yang pada akhirnya menggeleng lemah, menyerah pada takdir, tanpa merasa malu pada gelar yang mereka miliki. Aku melupakan hampir semua kejadian itu. Kecuali satu hal, hal kecil yang selalu membuatku kuat, senyuman gadis kecilku yang mengembang ketika yang dirasakannya saat itu adalah sakit yang teramat sangat.

Berkali-kali aku menitikan air mata ketika melihat berbagai treatment yang dokter-dokter itu lakukan pada tubuh lemah putriku, dan berkali-kali juga aku kembali dikuatkan oleh senyumannya. Ia tau aku fobia rasa sakit, ia mengerti, hingga dengan tegarnya bocah berumur 7 tahun itu memintaku keluar dari ruangan tempatnya diperiksa. Aku masih merasa pusing satu dua kali, tapi beberapa bulan belakangan ini aku tidak pernah lagi ingin meninggalkannya sendiri. Aku selalu ingin bersamanya di setiap kesempatan, di setiap kemungkinan yang ada.

6 bulan berlalu, kini aku hanya tidak bisa mengingat berapa banyak dokter yang menggeleng, menyerah pada nasib putri kecilku. Aku mulai merasa lelah, tapi aku tidak ingin menyerah. Tidak peduli pada kenyataan memilukan yang tidak bisa lagi ku ingkari. Putriku mengidap kanker otak stadium akhir.




Malam itu, malam ke 25 bulan ramadhan, aku bisa bernafas sedikit lebih lega ketika melihat senyuman putriku yang mengembang dengan indahnya. Seluruh saudarinya datang berkunjung, bahkan teman-temannya juga, awalnya aku merasa hatiku terpilin amat perih ketika melihat kedatangan mereka. Seakan mereka tau jika hidup putriku tidak lagi lama, hingga mereka datang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat tinggal.

Aku tau, aku salah. Persepsiku pada mereka salah. Orang-orang itu sungguh baik hati hingga bersedia menjenguk putriku, mengukir segores senyuman yang jarang sekali terlihat karena keperihannya menghadapi sel-sel kanker yang semakin mengganas itu.

Rambut Salsabila sudah rontok sepenuhnya karena beberapa kali melakukan kemoterapi. Namun wajah mungilnya tetap terlihat cantik di balik kerudung pemberian ibu mertuaku. Paman dan bibinya pun turut datang membawakan baju baru untuk lebarannya kali ini. Aku menatap perih baju-baju cantik itu, entah kapan putriku bisa kembali mengenakan busana muslimah yang manis itu, bukan hanya piyama rumah sakit lagi dan lagi.


“Mengapa mama tidak memberi tahu Bila kalau sebentar lagi idul fitri?!” tudingnya marah dimalam terakhir bulan ramadhan. Aku yang saat itu tengah mengupas sebuah jeruk untuknya hanya mampu tersenyum.

“Kamu kan sudah mendapatkan banyak baju baru. Apa masih kurang? Kalau begitu nanti akan mama belikan lagi yah sayang.” Bisikku lembut. Salsabila menyilangkan kedua tangannya di dada, wajahnya merengut kesal.

“Bukan masalah baju baru! Bila nggak mau baju baru. Bila mau puasa!” ujarnya lantang. Aku tersentak kaget mendengar kata-katanya. “Kata ibu guru, orang muslim itu harus puasa di bulan ramadhan, itu hukumnya wajib Ma. Kalau kita nggak puasa, nanti dikasih dosa sama Allah. Bila nggak mau masuk neraka…” ujarnya dengan suara bergetar. Aku merasa air mataku kembali tergenang.

“Tapi Bila sakit, Allah pasti ngerti.” Bujukku. Namun gadis kecil itu masih dengan kekeras kepalaannya. Hingga beberapa saat kemudian Adrian memasuki kamar rawat inap putri kami. Ia mengecup kening Salsabila dengan sayang.

“Loh, ada apa ini putri papa kok cemberut?” goda Adrian. Salsabila memalingkan wajahnya tak acuh, membuat Adrian menatapku penuh Tanya.

“Bila mau puasa!” ujarnya ketus. “Bila nggak mau masuk neraka!” rengeknya, kemudian ia menangis. Aku sendiri sudah tidak kuasa menahan air mataku. “Bila sebentar lagi dipanggil Allah papa, kalau Bila nggak puasa, nanti Allah marah dan Bila pasti masuk neraka.” Ujarnya penuh ketakutan. Aku menggeleng dan langsung memeluknya.

“Bila nggak akan kemana-mana sayang… kamu akan tetap ada bersama papa dan mama.” Ujarku sungguh-sungguh. Aku memeluk erat tubuh mungil itu, mencoba menenangkannya, mencoba meyakinkannya bahwa aku sangat mencintainya.

“Bila putri papa yang solehah, kalaupun Allah mau mengambil Bila, Allah pasti menempatkan Bila di surga.” Ujar Adrian pelan. Tubuhku menegang kaku ketika mendengar ucapannya, merasa tidak terima akan kepasrahan yang tersirat dari kata-katanya.

“Mah…” rintih Salsabila di pelukanku. Aku langsung terjaga, dengan seksama aku meneliti wajahnya. Mencari tau dimana letak sakitnya. Putri kecilku meringis perih sambil mencengkram kepalanya.

“Pah, panggil dokter Hana!” teriakku kalut. Adrian mengangguk dan berlalu pergi.

Aku menangis sesenggukan di samping tubuh mungilnya, menggenggam erat tangannya yang bebas. “Mama Bila nggak apa-apa. Ini nggak terlalu sakit, sebentar lagi pasti hilang.” Ujarnya sambil tersenyum tipis, tapi aku bisa melihat cengkraman tangan kecilnya menguat, ia meringis kesakitan. Dan kini malah tersenyum menenangkanku yang kalut. “Bila sayang mama…” bisiknya lemah.

Dan ketika dokter Hanna datang, putriku tak lagi bergerak.

***

“Putriku…” aku membulatkan mataku ketika melihat seorang gadis kecil yang sangat ku rindukan. Putri kecilku, bintang kehidupanku…
Tangan mungilnya terulur kepadaku, senyumannya begitu lembut dengan binar mata yang begitu indah. aku merasakan keperihan yang teramat sangat karena rasa rinduku kepadanya. Gadis kecilku yang sempat bersemayam dalam rahimku selama 9 bulan, dan memberikan cahayanya selama 7 tahun lamanya kepadaku.  Gadis kecil yang begitu berarti dalam hidupku, yang membuatku percaya atas keberadaan Tuhan. Buah cintaku dengan kekasih hatiku.
“Sayang… mama sangat merindukanmu,” bisikku dengan deraian air mata. Gadis kecil itu mengangguk dan menatapku, menunjukan kerinduannya pada diriku.
“Aku juga rindu mama,” balasnya dengan suara seorang bocah yang begitu lucu.
“Kemarilah nak…” bisikku, dan ia menghampiriku dengan perlahan. aku memeluknya erat-erat, khawatir ia akan kembali menghilang.
“Ma…” bisiknya seraya menyentuh kedua pipiku yang basah dengan jemari kecilnya. “Jangan bersedih, aku baik-baik saja di sini,” ujarnya, namun air mataku tidak bisa berhenti menetes. Kerinduanku pada sosok mungil ini membuat jiwaku terguncang sedemikian dalamnya. Aku mencintainya, aku bersedia untuk melakukan apapun agar memiliki kesempatan kedua bersamanya… bersama bintang kecilku…
“Maafkan mama, tapi mama tidak bisa berhenti menangis ketika mengingatmu yang menutup mata ini,” aku menyentuh sisi mata kanannya dengan ibu jariku. Mencoba merasakan guratan-guratan lembut kulitnya. Kemudian dengan perlahan ku kecup keningnya, mencoba merasakan dirinya dalam diriku.
“Mama… aku bahagia disini. Dan justru dengan mata tertutup itulah aku bisa melihat surga,” ujarnya pelan. Tubuhku tersentak sesaat, air mataku terus menetes ketika aku mengangguk kepadanya.
“Iya sayang, mama tau…” ujarku seraya membelai kepalanya dengan perlahan. “Titipkan salam mama kepada Allah, sampaikan rasa terima kasih mama kepada –Nya karena sudah menitipkan permata seindah dirimu ke dalam kehidupan mama…”
“Allah menyayangi mama…” bisiknya perlahan. Aku memeluk tubuh mungilnya erat-erat. Mencoba kembali meraih sisi logisku.
Ya Allah… terima kasih karena anugrah terbesar yang telah Kau berikan pada diriku yang lemah ini… terima kasih
Aku tau, ia sudah bahagia bersamamu. Ia sudah terbebas dari perihnya kanker yang menggerogoti tubuh kecilnya, dan dia sudah bisa melihat surgamu, terima kasih…
Aku terus memeluk putri kecilku. Menghirup aromanya yang lembut sebelum akhirnya aku merasakan kehampaan dalam diriku. “Mama menyayangimu Nak…” bisikku sebelum semuanya menghilang.
***
“Sarah… sst…. Tenanglah,” aku masih memejamkan mataku ketika sepasang tangan itu memelukku dalam kegelapan malam. Tubuhku menggigil karena tangis yang begitu menyesakan dada. Mimpi itu terasa sangat nyata, hingga aku masih bisa merasakan kerinduanku kepadanya.
“Putriku…” isakku parau. “Dia sudah bisa melihat surga,” tambahku. Sosok di hadapanku mendekapku semakin erat, menawarkan kehangatan di dadanya, memberikan ketenangan yang susah payah ia pertahankan.
“Iya sayang… aku tau, dia juga sudah mengatakannya padaku,” ujar Adrian. Aku tersenyum di dadanya. Mencoba menenangkan gemuruh hatiku, meyakinkan diriku bahwa ia sudah bahagia di sana. Bintang kecilku… putri terkasihku… mama mencintaimu nak…

***
Itu putriku. Pelita kecilku, hadiah terindah dalam kehidupan kecilku. Kau tidak perlu menanyakan sebesar apa cintaku padanya. Karena kau tau, tidak ada yang bisa mengukurnya, begitu pula aku sendiri.
Itu putriku. Gadis mungil bermata indah seperti ayahnya. Kami menantinya selama bertahun-tahun, jadi kau tidak perlu meragukan kerinduan kami akan kehadiran sosok mungilnya.
Itu putriku. Ia penyuka benda langit bernama bintang. Awalnya aku tidak sadar jika coretan yang ia buat ketika mulai bisa memegang pensil adalah cikal bakal sketsa bintang yang begitu indah. Tapi kemudian waktu menunjukannya padaku. Ketika teman-temannya menggambar gunung dengan sekotak sawah dan jalanan panjang, ia tetap bersikukuh dengan bintang-bintang cantiknya.
Itu putriku. Bintang hatiku. namun ia ingin menjadi bintang di langit. Untuk pertama kalinya aku tidak menuruti permintaannya. Ia sudah bersinar, ia tidak perlu menjadi bintang di langit itu.
Namun ketika malam menjemput, hembusan angin membisikan sebuah kisah padaku. Kisah putri dan bintang, bulan dan bintang, atau bahkan hanya bintang itu saja. Putriku semakin mengaguminya, dan aku tidak kuasa menahannya ketika binar bahagia terpancar dari matanya setiap kali menyebutkan nama benda berkilauan itu. Aku hanya mengangguk dan menyembunyikan air mataku darinya. Menjanjikannya bahwa ia akan segera menjadi bintang di langit. Merelakannya…
Tapi aku tidak pernah memperkirakan jika perihnya sedalam ini. Aku tidak pernah tau, karena memang tidak ingin tau.
Itu putriku. Bintang terindah di langit yang kelam. Berkilauan bagai berlian, bersinar bagai pelita. Bintang paling rupawan yang pergi di malam terakhir ramadhan tahun itu.
***
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan.” (al ankabut : 57)
***



PELANGI HITAM PUTIH -13-

ZAHRA


           
“Zahra ada apa?” Tanya bibi ketika melihatku berjalan mengitari ruang tamu untuk yang kesekian kalinya. Aku memutar-mutar ponsel di tanganku dengan perasaan tidak sabar. Kemudian setelah lelah berseteru dengan perasaan bingung itu, aku duduk di samping bibi. Bibi menatapku dengan kening berkerut, menungguku berbicara.
“Pak Surya tidak bisa datang hari ini. Padahal beliau sudah menjanjikan tanaman baru pada anak-anak.” Keluhku. Bibi termenung sejenak, mencoba memikirkan solusi untuk keluhanku. “Aku sudah kehabisan ide tentang apa yang akan kami lakukan hari ini bi…”
“Bagaimana kalau kau memutarkan film documenter itu lagi?”
“Kami sudah menontonnya minggu kemarin,”
“Membuat kerajinan dari flannel?”
“Anak putra selalu mengeluh, ini pekerjaan putri, dan mereka enggan melakukannya.”
Bibi kembali terdiam sejenak. “Bagaimana kalau kau menyuruh anak putra untuk membuat kerajian dari bubur kertas. Kita memiliki banyak Koran tidak terpakai.” Usul bibi. Aku mengerutkan keningku, bingung. Biasanya kerajian tangan adalah keahlian Amy, dan kini gadis itu belum juga kembali. Hm… aku mulai merindukan keberadaannya. “Sepertinya Amy menyimpan buku tentang pembuatan bubur kertas di kamarnya.” Ujar bibi. akhirnya aku mengangguk setuju kemudian beranjak ke kamar gadis itu. Sebelum memasuki kamar Amy, aku sempat melihat sosok Raihan yang tengah memandangku dengan kening yang berkerut. Aku memalingkan wajahku, tidak memperdulikannya.


Pagi itu, setelah sarapan aku mengumpulkan seluruh penghuni panti, dan membicarakan rencana kami di hari libur kali ini. “Tapi pak Surya bilang kita akan menanam tumbuhan baru hari ini…” protes Angga, bocah kritis yang duduk di kelas 6 ketika aku mengatakan pada mereka bahwa kami akan membuat kerajian tangan hari ini. Aku tersenyum kikuk dan melirik bibi, memohon bantuan.
“Assalamualaikum!” salam lantang Aisah sontak mengalihkan focus anak-anak itu untuk sesaat, dan aku benar-benar merasa bersyukur karenanya.
“Walaikum salam Aisah,” balasku sambil tersenyum tulus. Gadis kecil itu mencium punggung tanganku kemudian berjalan memasuki ruang kelas yang sudah beberapa bulan terakhir kami alih fungsikan menjadi ruang pertemuan. Ruangan itu kosong, dengan hanya sebuah papan tulis yang tertempel di belakangku. Seluruh penghuni panti duduk bersila di atas lantai, bahkan ummi pun ada di sana. Raihan duduk tidak jauh dari pintu masuk. Ia tersenyum lebar ketika Aisah menghampirinya dengan sekantung apel.
“Ini untuk paman,” ujarnya riang.
“Terima kasih,” balas Raihan.
Tak lama kemudian Raka menyusul masuk dengan membawa sepeti apel dan meletakannya di bagian depan kelas. Aku melongo menatapnya, samar-samar aku bisa mendengar decakan tidak percaya dari sosok-sosok kecil di hadapanku.
“Assalamualaikum semuanya, ini kakak bawakan apel untuk kalian semua.” Ujar Raka. Ruangan itu langsung di penuhi sorak sorai. Aku merasa hatiku mulai meleleh ketika melihat sosok tampan Raka yang tengah tersenyum pada sosok-sosok riang di hadapan kami. Pandangannya yang menyejukan mampu kembali membuaiku untuk berlama-lama berada di dalam bayang-bayang pandangannya.
Dengan santai Raka membagi-bagikan buah apel itu ke semua orang di bantu oleh Aisah dan Anisa. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata, namun pemandangan itu benar-benar membuat tubuhku membeku, terpesona dalam keindahan ciptaan Tuhan. Dengan perlahan aku mengulurkan tanganku, ingin menyentuh sosok tampannya. Menyentuh wajah kokohnya. Merasakan kehangatan dan kebaikannya.
“kak Zahra…” panggilan itu mengejutkanku, menarikku kembali ke dunia nyata yang sejenak ingin ku hindari. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan fokusku. Sosok mungil Aisah sudah berdiri di hadapanku. Tangan mungilnya membawa sebuah apel berwarna merah sempurna. Wajahnya sedikit berkerut keheranan.
“Ah iya,” jawabku seraya tersenyum manis kepadanya.
“Ini apel untuk kak Zahra, aku pilihkan yang paling merah.” Ujarnya riang. Hilang sudah wajah cemasnya. Aku tersenyum tipis dan meraih apel pemberiannya, diam-diam aku melirik sosok Raka dari balik pundak gadis itu, kemudian tersenyum mengejek pada diriku sendiri ketika lagi-lagi aku merasakan perih saat melihat tawanya yang tergores indah bukan karena diriku.
“Terima kasih sayang, kakak harus pergi dulu.” Ujarku seraya beranjak dan berlalu begitu saja dari ruangan itu tanpa memperdulikan tatapan heran dari beberapa pasang mata. Konyol memang, tapi entah mengapa aku masih belum bisa menahan gemuruh hatiku.
STOP IT ZAHRA! Hentikan semua kegilaan ini! Dia tidak mencintaimu! Kalau dia mencintaimu dia pasti tidak pernah meninggalkanmu. Teriak sebuah suara dari dalam benakku.
Tapi aku yang memintanya pergi.
Tapi jika dia benar-benar mencintaimu, dia tidak akan melakukannya! Tidakkah kau mengerti itu?!! Dia mencintai wanita lain, dan mereka sudah menikah. Mereka sudah bahagia. Tidak bisakah kau menyadari itu?! tidak bisakah kau berhenti mencintai pria yang tidak mencintaimu?!!!
Tiba-tiba aku menutup telingaku dengan kedua tanganku, merasa muak dengan seluruh pemikiran yang memenuhi benakku kala itu.
Kata-kata Andhini dan Hana mulai kembali terngiang-ngiang di telingaku. Ketika mereka membicarakan perih. Ketika mereka memintaku memilih untuk dicintai dan mencintai, ketika aku sadar itu bukanlah sebuah pilihan, ketika pada akhirnya aku menyerah pada luka itu.
***
Setelah tiga puluh menit menenangkan diri, aku mulai kembali berjalan menuju aula. Aku sudah mempersiapkan sebuah senyuman normal sebelumnya, berdiri dua puluh di depan cermin di kamarku. Lima belas menit menangis sambil memaki diriku sendiri, lima menit kemudian ku gunakan untuk membuat wajahku senormal mungkin. Menarik ujung-ujung bibirku untuk membentuk sebuah lengkungan yang mereka sebut dengan senyuman.
Mataku terbelalak kaget ketika tanpa sengaja beradu pandang dengan kedua mata elang Raihan yang tengah duduk dikelilingi oleh bocah yang tengah memakan apel.  Kejadian itu begitu cepat, hingga aku tidak sempat membaca sorot matanya. Hanya saja, aku sempat melihat kekesalan di balik tatapannya. Seakan ia tengah marah pada seseorang, tapi pada siapa? Dan mengapa?
Koko menarik tubuhku mendekat, dan memintaku duduk di sampingnya, tepat di sebelah pintu masuk. Ia memberikanku sebuah apel. Aku mengerutkan keningku ketika menyadari kejadian aneh yang tengah berlangsung di aula. Semua orang tampak sibuk mengunyah apel mereka, menggigit-gigitnya dengan penuh semangat. Aku mulai berpikir apakah sedang diadakan kontes memakan apel tercepat di sini?
“Nah kalau sudah, bijinya letakan di sini.” Ujar Raihan sambil menunjuk pelastik putih di hadapannya. Anak-anak itu menurut, kemudian meletakan biji apel yang mereka makan ke dalam plastik. “Pastikan bijinya benar-benar bersih, paman tidak mau kalau biji ini harus di cuci lagi. Karena kelembapannya akan bertambah parah.” Tuturnya. Anak-anak itu menyimak dan mengangguk. Setelah mendapat cukup banyak, dan tampaknya semua orang mulai kewalahan menggigit apel-apel itu, Raihan meminta seorang anak untuk menjemurnya di luar. “Kita akan menjemurnya di terik matahari selama tiga hari. Setelah itu kita akan memasukannya ke dalam lemari pendingin selama seminggu.”
“Selama itu?” keluh Tia, remaja yang duduk di kelas 1 SMP. Raihan mengangguk mantap.
“Ya, setelah itu kita baru bisa memindahkan bibitnya ke lahan tanah yang sudah di beri pupuk.” Tutur Raihan.
“Lalu kita akan mempunyai kebun apel! Bukan hanya kebuh cabai milik ibu Diah.” Sorak Koko riang, seraya melirik takut pada ibu Diah, sosok paruh baya yang selama ini membantu bibi mengurus panti dan urusan dapur. Sontak seloroh bocah kecil itu membangkitkan tawa orang-orang di sekelilingnya. Aku tersenyum tipis menanggapi tawa mereka. Setelah keadaan mulai tenang barulah aku sadar bahwa sosok Raka dan Anna sudah tidak ada lagi di tempat itu.
“Kemana ayah dan bunda?” tanyaku pada Aisah yang tengah asyik berbincang dengan sahabat karibnya. Bahkan bibi pun menghilang.
“Ayah, bunda dan Ummi sedang pergi. Tadi ayah bilang, ayah mendapat telepon mendadak. Tapi sebentar lagi bunda akan kembali lagi.” Ujar Aisah, wajahnya begitu polos dan lugu. Sama sekali tanpa emosi, namun entah mengapa aku merasa sedikit cemas, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Raka.
Raihan memalingkan wajahnya ketika aku melirik kearahnya, memergokinya tengah memandangku. “Baiklah, sekarang kalian bisa menanyakan apapun pada paman.” Ujar Raihan tiba-tiba. Anak-anak yang rata-rata berusia lima sampai dua belas tahun itu langsung bersorak riang. Aku memutar bola mataku pada tuan sok pintar itu dengan kesal.
“Mengenai apapun?” Tanya Mimi, gadis manis bergamis kuning dengan mata berbinar. Raihan mengangguk mantap.
“Tapi kakak sarankan, kalian menanyakan hal yang tidak biasa. Sepertinya paman Raihan ini sangat ahli dalam segala hal.” Sindirku sinis. Raihan terkekeh pelan dan mengangguk.
“Kita lihat saja.” Ujarnya santai.
“Mm… paman, apa guna dari bulu hidung kita?” Tanya koko sambil memasukan salah satu jari telunjuknya ke dalam hidung. Sontak beberapa anak langsung tertawa mengejek. Aku tersenyum tipis dan menggeleng-geleng, betapa menakjubkannya anak-anak ini. Betapa mudahnya cara pikir mereka. Mereka mengutarakan apa yang ada di benak mereka. Itulah yang aku sukai dari anak-anak, tidak ada kemunafikan.
“Bulu hidung itu sebagai penyaring.” Jawab Raihan setelah tawa yang membuat wajah Koko sedikit memerah itu berhenti. “Bulu-bulu halus di dalam hidung itu berfungsi untuk menyaring debu dan kotoran yang masuk ke dalam hidung ketika kita bernafas.” Raihan menarik nafas panjang sebagai contoh.
“Bagaimana jika kita bernafas menggunakan mulut?” kini Anisa yang bertanya.
Aku tersentak ketika melihat sosok itu tersenyum begitu ramah pada Anisa. “Itu tidak baik.” Ujarnya lembut. “Itu akan membuat debu dan kotoran dengan mudahnya memasuki rongga paru-paru kita, lalu semuanya akan menumpuk dan menyebabkan penyakit sesak atau batuk.” Tanpa sadar senyumku sedikit terukir ketika mendengar penjelasannya. Bukan, bukan karena apa yang ia jelaskan. Namun caranya menyampaikan semua itu kepada anak-anak di hadapannya memperlihatkan sisi lain dalam dirinya. Sisi yang selama ini selalu tersembunyi di balik sosok angkuhnya.
“Bagaimana kalau yang sedang ingusan paman?!” Tanya seorang bocah lain, ia duduk di barisan yang paling belakang, hingga ketika bertanya ia harus menegakan tubuhnya agar bisa terlihat oleh Raihan dari atas kursi rodanya. Bocah itu mengangkat jari telunjuknya yang basah oleh ingus. Mendadak suasana ruangan itu langsung dipenuhi oleh desisan jijik. Dan aku tidak bisa menahan kegelianku atas kepolosannya.
Raihan meraih sebuah kertas kosong di sampingnya, dan mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam sakunya. Ia menggambar sesuatu, seperti jalanan menurun, dengan sebuah rongga lain di dalamnya. Aku meringis geli ketika menyadari bahwa gambar jelek yang dibuatnya adalah bentuk hidung dalam versinya.
“Itu apa?” Tanya Melani. Bocah 7 tahun yang duduk di barisan terdepan. Raihan mengerutkan keningnya dan menatap gambarnya sekali lagi.
“Ini hidung.” Jawabnya.
“Tapi tidak seperti hidung.” Tutur bocah yang lainnya.
Aku terkikik geli. Lihatkan, betapa mudahnya anak-anak itu mengutarakan apa yang ada dipikiran mereka. Ah… aku mulai merindukan masa kecilku…
Raihan menggeram pelan, kemudian dengan huruf capital ia menulis kata hidung di bagian atas kertasnya. “Intinya ini hidung.” Ujar Raihan bersikeras.
“Untung hidungku tidak sejelek itu,” bisik Aisah seraya meraba hidungnya.
Aku tersenyum geli. “Untung punyaku juga tidak.” Bisikku di telinganya. Dan gadis itu tertawa pelan. Raihan melirik sinis kearah kami, kemudian dengan angkuh ia kembali mengangkat kertasnya, tampak sudah tidak peduli dengan cemoohan kami akan gambarnya.
“Ini adalah rongga hidung. Di dalam hidung kita itu dilapisi oleh selaput lendir, yang akan di basahi oleh air dalam hidung ketika kita pilek. Itu adalah cara tubuh untuk menyembuhkan jaringan-jaringannya.” Tutur Raihan.
“Tapi di hidungku ingusnya berwarna gelap.” Seloroh seorang bocah 11 tahun berkepala botak sambil menyeringai dan menunjukan telunjuknya yang di penuhi oleh kotoran hidungnya.
Aisah meringis jijik, “Itu namanya upil, Dion!” ujarnya risih.
Dan aku tertawa.
***
Hari itu berlalu dengan keceriaan aneh yang belum pernah ku temui sebelumnya. Setelah diselang shalat zuhur, anak-anak itu kembali mengitari Raihan dan menyerbunya dengan berbagai pertanyaan aneh yang benar-benar membuatku geli. Kebanyakan yang mereka tanyakan seputar tubuh mereka, atau hal-hal yang tanpa sengaja mereka lihat di hadapan mereka. Salah satu hal yang membuatku tersenyum geli penuh rasa kagum adalah ketika Raihan menanyakan pada mereka apa fungsi tanah, seorang bocah di antara mereka menjawab. “Untuk kuburan,” jawabnya. Lalu semua orang menertawakannya. Tapi aku tidak bisa.
Jawabannya memang tidak biasa, tapi bukan berarti itu salah. Padahal semua orang juga tau bahwa yang ia katakan itu benar. Tanah juga memang di pakai untuk pemakaman. Tapi mengapa jawabannya mengundang tawa. Apa melakukan sesuatu yang tidak biasa itu selalu di masukan dalam kategori salah, dan di permasalahkan, lalu di tertawakan?
“Apa yang sedang kau pikirkan?” hampir saja aku meloncat dari kursiku karena terkejut. “Rileks Zahra…” ujarnya. Aku mendengus dan berusaha untuk kembali tenang. “Kau benar-benar tampak sibuk kalau sedang melamun.” Ujarnya dengan senyuman miringnya. Aku memalingkan wajahku, merasa kesal karena kalah pada segores pesona yang terpancar dari wajahnya.
Pesona?!
Astaga apa-apaan aku ini. Pria ini tidak lebih dari sekedar pria sombong yang luar biasa menyebalkan. Makiku dalam hati.
“Melamun lagi.” Gumam Raihan.
“Apa pedulimu.” Ujarku ketus. Kemudian sosok itu kembali tersenyum, sebuah senyuman miring yang menyebalkan, merendahkan namun tampak menawan.
“Bagaimana aku tidak peduli jika yang menjadi bahan lamunanmu adalah diriku.” Ujarnya santai. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Pria ini benar-benar membuat kekesalanku memuncak. Hingga rasanya saat ini aku benar-benar ingin mencincang-cincang tubuhnya.
“Kau terlalu besar kepala tuan!” desisku sinis.
“Kalau aku salah, mengapa sampai sekarang kau terus menggenggam gambarku?” tanyanya seraya melirik kertas yang berada di atas pangkuanku. Aku mengikuti arah pandangannya dan memekik kesal dalam hati. Memaki kebodohanku. Aku yakin wajahku sudah memerah tomat terlalu masak saat ini.
“Well…” ujarku tenang. “Aku hanya bertanya-tanya sebenarnya kau ini seorang dokter atau guru biologi?” tanyaku seraya menilai gambarnya dengan mimik mencibir. Ia tertawa pelan. Tawa sombong yang super menyebalkan.
“Kenapa? Kau pasti terpesona melihat aksiku hari ini. Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentangku nona manis…” tuturnya santai. Aku mendesis geram, tingkat kesombongan pria itu sudah benar-benar melambung tinggi rupanya.
“Lagi-lagi kau terlalu besar kepala. Aku hanya tidak habis pikir bagaimana kau bisa bersikap sepercaya diri itu, padahal menggambar hidung pun kau tidak bisa.” Tuturku seraya meletakan gambarnya di atas meja. Raihan terdiam, dan aku bersumpah, aku sempat melihat kibekuan di matanya. Aku yakin ia tidak pernah menyangka aku akan mengatakan hal ini. Ia sudah terlalu besar kepala. Dan aku membencinya! Apa lagi yang ia harap untuk ku katakan?
“Karena aku mampu.” Ujarnya setelah kembali bisa memasang topeng ‘wajah sempurna’nya. Aku mendengus dan tersenyum sarkastis padanya. “Kau hanya belum mengenalku…” bisiknya. “Aku yakin, ketika kau akhirnya mengenalku lebih jauh lagi, kau pasti akan jatuh cinta kepadaku.”
“Ah! Lagi-lagi kau bermimpi. Ini masih terlalu sore untuk sekedar memejamkan matamu dan mengucapkan selamat malam kepada langit.” Ujarku sinis seraya beranjak dari kursiku, meraih ponselku di atas meja, dan berlalu pergi.

***