Minggu, 30 Desember 2012

CAHAYA CINTA -03-



Anna tersenyum tipis saat melihat tingkah murid-muridnya. Kemilau cahaya senja membuat air matanya berkilauan bagaikan mutiara.
“Kak. Anna harus sering-sering berkunjung,” rengek seorang gadis kecil berjilbab pink. Anna memeluk gadis itu erat. Ia hanya memeluknya tanpa berkata apapun.
“Kakak pergi dulu, Assalamu’alaikum,” ujar Anna sebelum naik ke dalam mobil calon suaminya.
Alan mengangguk santun saat tatapan matanya beradu dengan pemilik panti.
“Siap pergi?” tanya Alan. Anna mengaguk pelan. Dan mobil itupun melaju kencang. Membelah angin yang melambaikan berjuta rasa bintang-bintang kemilau itu.  

                                                           ***

Raka masih mematung di atas sejadahnya saat sang ibunda masuk ke dalam kamarnya.
“Ibu,” panggil Raka.
“Iya Raka, ini ibu. Ibu ingin bicara,” Raka membalikan wajahnya dan tersenyum manis.
“Apa yang ingin ibu bicarakan? Jika tentang Anna, ku rasa sudah cukup,”
“Tapi…”
“Ibu… Sudahlah. Kalaupun aku mencintainya, aku tidak akan memintanya untuk berada di sisiku. Tidak akan pernah sebagai seorang istri. Ia wanita yang baik, ia pantas mendapatkan yang terbaik untuk menjadi pendampingnya dan mungkin itu bukanlah aku,” tutur Raka tenang.
“Tapi dia sangat mencintaimu,”
“Aku tau, tapi aku tidak ingin ia tertekan karena mencintaiku ibu. Sudah ku katakan ia patut mendapatkan yang lebih baik dari sekedar orang yang buta sepertiku,” tutur Raka. Wajah tampannya terlihat letih. “Dan lagi pula aku sama sekali tidak mencintainya… tidak akan pernah,” bisik Raka. Wanita paruh baya itu menatap gadis di sampingnya dengan pilu. Namun gadis itu hanya tersenyum tipis dan mengaguk.
“Assalamu’alaikum,” bisik gadis itu sebelum berlalu bersama kekecewaannya.


                                                          ***


Sabtu, 30 Januari
Sebuah cerita mulai terukir dalam selembar kertas kosong. Sebuah cerita yang selalu diidamkan setiap gadis di seluruh dunia. Cerita indah tentang penghujung cinta yang takkan terlupakan. Namun tidak bagi Anna. Gadis bermata coklat keemasan itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Dirabanya kebaya putih yang menutupi tubuh indahnya perlahan.
'Ya Allah ampuni hambamu ini... seharusnya ini menjadi hari yang paling membahagiakan, seharusnya hari ini dilimpahi dengan senyuman, bukan air mata seperti ini. Tapi sungguh hamba tak kuasa meyembunyikan perih ini ya Allah...
Hamba mohon, kuatkanlah hati ini ya Allah...’

“Anna, sudah waktunya kamu keluar...” ujar Lia. Anna mengaguk perlahan dan mengapus air matanya. Ia meraba sanggul melatinya sebelum berlalu pergi.
‘Ayah Ibu... restuilah Anna...’

                                                          ***

Aminah menatap undangan biru itu perih. Nama gadis kesayangannya terukir indah di sampul depan undangan itu. Bertahun-tahun lamanya ia mengharapkan nama sang bunga dan putranyalah yang berada di dalam satu sampul. Namun kini ia seakan terbangun dari khayal yang tak berujung. Ditatapnya pintu kamar putra semata wayangnya yang sejak kemarin tertutup rapat. Wanita tua itu mengusap air matanya perlahan. Ia takkan pernah mengganggu putranya. Ia tau apa yang tengah dirasakan putranya saat ini.
‘Bersabarlah nak... bersabarlah... dunia akan selalu berputar. Yang harus kau lakukan hanyalah sedikit bersabar...’ bisiknya perih sebelum memasukan undangan itu kedalam laci.
“Ibu!!!” teriak Raka tiba-tiba. Aminah menatapnya terkejut.
“Astagfirullah Raka, ada apa? Kau mengagetkan ibu..” ujar wanita paruh baya itu.
“Ibu, Subhanallah, ini adalah sebuah mukzizat dari Allah...” Raka memeluk ibunya erat. Aminah masih menatapnya heran. “Ibu... aku bisa melihat kembali, aku bisa melihat, subhanallah...” pekiknya riang. Aminah menatapnya tidak percaya. Wanita tua itu langsung bersujud bahagia. “Ibu, ini adalah anugrah Ilahi...” aminah mengaguk setuju.
“Iya nak, ini adalah kuasa Allah... subhanallah,” Aminah memeluk putranya haru.
“Aku akan mengabari Anna,” ujar Raka. Aminah langsung terdiam. “Ibu ada apa?? Bukankah ini kabar gembira, ia harus tau tentang hal ini bu,” ujar Raka antusias. Aminah meghapus air matanya perlahan sebelum kembali membuka laci yang baru saja ditutupnya beberapa menit yang lalu.

                                                          


Gemuruh tepuk tangan membangunkan sosok Anna dari lamunannya di hari pernikahannya sendiri.
“Apa kalian tidak bermalam disini dulu?” tanya Lia. Alan melirik gadis disampingnya sesaat.
“Biasalah, mungkin pengantin baru memang butuh privasi yang lebih,” ujar ibunda Alan. Tamu-tamu yang lain tersenyum lebar. Alan mengaguk santun dan memohon pamit kepada seluruh tamu.
“Kamu siap pergi?” tanyanya pada gadis cantik yang masih membisu di sampingnya. “Anna,” tegur Alan sekali lagi. Anna mengaguk pelan. Alan terdiam lama sebelum menjalankan mobilnya.



Alan melirik wajah cantik disampingnya melalui kaca spion. Sudah lebih dari 56 kilometer dari tempat tinggal Anna, dan sampai saat itu mereka masih bergelut dengan hening. Alan tau, gadis itu tidak mencintainya sebagaimana ia mencintainya sejak pertama bertemu. Dan bukan berarti ia mengambil kesempatan untuk menikahi gadis yang diinginkannya begitu saja, hanya saja ia merasa inilah yang terbaik untuk Anna saat ini.
“Kau ingin kembali?” tanya Alan saat hari mulai gelap. Anna menoleh sesaat. Ingin rasanya ia berteriak, mengiyakan pertanyaan suaminya. Namun alih-alih berkata iya, Anna malah menggeleng pelan. Ia menyeka air matanya perlahan.
“Maaf,” bisiknya pelan. Alan menggenggam lembut jemari Anna disampingnya. Membuat wajah gadis itu merona dan kikuk.
“Kau tidak perlu meminta maaf,” ujar Alan. Hatinya terasa perih kala melihat guratan kesedihan di mata gadis yang dicintainya. “Kau akan mampu melewati semua ini, percayalah...” bisiknnya lagi. ia menatap kosong jalanan dihadapannya.
“Maafkan aku. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik untukmu,” Anna menangis perih di kursinya. Alan melambatkan laju mobilnya.
“Terima kasih, itu sudah lebih dari cukup atas apa yang aku butuhkan selama ini. terima kasih Ann, kamu adalah satu-satunya gadis yang membuatku bergelut dengan sebuah kata klise bermakna cinta. Aku tau, semua kisah kita terasa begitu berat penuh tekanan, tetapi kau harus tau, aku mencintaimu karena Allah Ann. Dan aku akan selalu mencintaimu kini dan nanti. Kau harus berbahagia. Karena hanya dengan senyumanmulah kau dapat membuktikan kalau kau cukup menghargaiku sebagai suamimu,”
“Ka, Terima kasih...” bisik Anna tak kuasa menahan tangis. Baru kali itu ia berani menatap wajah suaminya yang tampak begitu tenang menatap kelamnya malam. Ia memang tidak setampan Raka, namun wajah itu menyiratkan kesejukan yang teramat sangat. Seketika itu juga Anna merasa begitu bersalah karena masih mencintai orang lain, dan memalingkan wajahnya sendiri dari suaminya.
“Kau harus bahagia Ann,” bisik Alan lagi. Anna mengerutkan keningnya ketika cengkraman suaminya menguat.
“Kak, AWAS!!!”

                                                          ***

Keajaiban yang terjadi kepada kedua mata Raka tidak pernah berhenti menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya. Meski akhirnya perlahan-lahan kabar tentang kebesaran Illahi itu sedikit demi sedikit hanya menyisakan tasbih bagi yang melihatnya.
Meski berubah, Raka tetap meneruskan pekerjaanya sebagai pengajar sukarelawan dipanti asuhan. Meski kini ia tidak lagi sesering dulu berada dipanti, karena saat ini ia tengah mengemban amanat dari seorang pengusaha darmawan asal Solo untuk menjalankan sebuah yayasan pondok pesantren. Bagi Raka anak- anak panti itulah yang meredakan rindunya pada sang putrid yang sampai saat ini tidak pernah ia tanyakan keberadaannya. Meski dalam setiap sembah sujudnya, nama itu adalah nama kedua setelah ibunya yang selalu ia do’akan berbahagia di bawah naungan Illahi.

                                                

Pelangi mulai menghiasi langit setelah hujan beberapa saat yang lalu. Bias cahayanya seakan mengiringi gelak tawa bintang-bintang kecil di dalam panti berwarna warni itu. Seorang gadis cantik berjilbab jingga tersenyum dari kejauhan. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ia baru menyadari keindahan ini setelah sekian lama. Bagaimana mungkin ia berani menjalani waktu lalunya untuk berkuliah sedangkan disinilah ia menemukan rumahnya.
“Zahra, kemarilah… bisakah kau menggantikan bibi sebentar, ada tamu yang harus bibi temui,” ujar ustadzah Aisyah pemilik panti itu. Zahra langsung terbangun dari lamunanya dan dengan kikuk berjalan melewati anak-anak yang tengah mendengarkan penjelasan Raka tentang sifat-sifat Rasulullah. “Nak Raka, tidak apa-apa kan jika umi tinggal sebentar?”
“Iya umi tidak apa-apa,” jawab Raka.
“Kak Raka, hujannya sudah berhenti… bisakah kita melanjutkan menyanyi di luar lagi?” Tanya Anisa, gadis Sembilan tahun yang begitu periang. Raka melirik jendela di sampingnya sesaat. Dahulu kala, selalu ada Anna yang bersuara merdu yang menemani mereka bernyanyi bersama. Menegaskan keindahan kuasa Illahi yang tak terkira.
“Astagfirullah,” bisik Raka pelan membuat Zahra yang duduk beberapa meter di sampingnya menoleh. “Ya tentu, lagi pula ini ada kak Zahra, dia tentu lebih bisa menemani kalian bernyanyi di banding kakak,” ujar Raka.
“Tapi kak Raka harus tetap ikut. Lagi pula biasanya juga seperti itu. Kak Anna yang bernyanyi dan kak Raka yang memainkan gitar,” protes seorang bocah kecil berkoko kuning. Zahra memalingkan wajahnya ketika nama itu kembali disebut. Ia tidak pernah bertemu dengan wanita benama Anna itu, namun sepertinya ia sudah lama mengenal Anna dari semua memori yang terlontar lantang. Sayangnya ia tidak pernah memahami, sepenting apakan sosok Anna untuk bintang-bintang kecil itu.
Biasanya jika sudah ada yang mengungkit nama Anna, suasana rindu akan menghampiri. Mendadak semua bintang itu memandang jemari mereka yang bertautan. Menahan tangis yang selalu dibenci Anna.
Dibalik pintu Amy menutup mulutnya keras-keras agar isak tangis itu tidak terdengar. Hatinya sakit saat menyadari kerinduan bintang itu pada sang rembulan, terlebih ia tidak pernah bisa melakukan apa-apa untuk mereka.

                                                          

Zahra menatap gelap dari jendala kamarnya yang terbuka. Berkali-kali ia menghela nafas panjang menenangkan gemuruh hatinya yang tidak menentu. Pribadi ‘kota’nya yang sudah melekat membuatnya tidak bisa berfikir jernih. Berkali-kali ia mengusap lembut sampul buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari Raka.
Andai ia tidak pernah berkuliah di Jakarta, mungkin disini lah ia sejak 4 tahun yang lalu menemani bibinya mengasuh bintang-bintang itu. Andai ia tidak pernah mengikuti kekerasan kepalanya untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau jauh ke kota metropolitan itu, mungkin namanya lah yang akan selalu di sebut bintang-bintang itu. Andai ia mengikuti kata hatinya, mungkin namanyalah yang kini terukir di hati pemuda itu… dan andai saja semua perandaian itu menjadi nyata…

                                                          ***

Aminah tersenyum manis sebelum memasuki kamar putranya yang kosong. Meski ia merasa telah kehilangan sosok putranya, ia tetap bersyukur atas segala memori itu. Anna memang bukan gadis biasa yang dapat dilupakan dalam hitungan bulan. Bahkan sejak dua tahun kepergiannya, Aminah masih bisa mendengarkan tawa renyahnya ketika menceritakan tentang anak-anak panti kesayangannya. Kelembutan senyumannya dan kepedihannya…
“Ibu…” bisik Raka tertegun di belakang ibunya.
“Hm… andai ibu bisa mendengar kembali suara tawa itu…” ujar Aminah seraya menutup matanya.
“Ibu, tidak baik berandai-andai,” bisik Raka dingin. Aminah menghapus butiran air matanya dan berlalu pergi. “Ibu… maafkan aku,” batinnya perih. 



Sabtu, 29 Desember 2012

INDEKS NOVEL






1. PUTRI KELABU

bab 01    bab 02   bab 03   Bab 04   Bab 05   Bab 06   Bab 07    Bab 08    Bab 09    Bab 10

Bab 11   Bab 12   Bab 13  Bab 14   Bab 15   Bab 16    Bab 17    Bab 18   Bab 19    Bab 20

Bab 21   Bab 22   Bab 23  Bab 24   Bab 25   Bab 26    Bab 27    Bab 28   Bab 29    Bab 30

Bab 31   Bab 32   Epilog



2. I Found You In London by mba Fathy

Bab 01   Bab 02    Bab 03   Bab 04   Bab 05   Bab 06   Bab 07   Bab 08   Bab 09   Bab 10

Bab 11   Bab 12    Bab 13   Bab 14



3. HUJAN KEMARIN

Bab 01     Bab 02     Bab 03     Bab 04     Bab 05    Bab 06    Bab 07   Bab 08   Bab 09   Bab 10

Bab 11     Bab 12     Bab 13     Bab 14     Bab 15    Bab 16    Bab 17   Bab 18   Bab 19   Bab 20

Bab 21     Bab 22     Bab 23     Bab 24     Bab 25    Bab 26    Bab 27   Bab 28 -Ending-   Epilog




4. CAHAYA CINTA

Bab 01   Bab 02   Bab 03   Bab 04   Bab 05   Bab 06   Bab 07   Bab 08   Bab 09   Bab 10 

Bab 11   Bab 12   Bab 13   Bab 14   Bab 15   Bab 16 -end-



5. Written In the Star

Bab 01   Bab 02   Bab 03 -end-


6. Midnight Wishes

Bab 01    Bab 02   Bab 03   Bab 04   Bab 05   Bab 06   Bab 07 -end-


7. LOVE RAIN

LR part 1   LR part 2 -end-


8. Pelangi Hitam Putih

Bab 01   Bab 02   Bab 03   Bab 04  Bab 05  Bab 06  Bab 07  Bab 08  Bab 09  Bab 10

Bab 11   Bab 12   Bab 13   Bab 14  Bab 15  Bab 16  Bab 17  Bab 18  Bab 19  Bab 20

Bab 21   Bab 22   Bab 23




PERIH


Kau tidak pernah ta bagaimana perihnya menjadi yang terbuang. Menjadi seorang yang benar-benar tidak berguna dalam kehidupan ini.
Kau tidak pernah tau.
Kau tidak pernah merasakan bagaimana pahitnya air mata itu. kau tidak pernah tau betapa sakitnya dirimu ketika melihat air mata itu mengalir penuh kekecewaan pada dirimu.
Kau tidak pernah merasakan.
Aku hanya ingin sedikit menoleh kebelakang. Mengatakan bahwa akupun lelah, aku lelah berharap. Aku bukan seperti mereka yang bisa menggapai seluruh cita dan cinta mereka dengan mudah. Aku hanya gadis biasa yang kurang beruntung dalam hidup ini.
Aku hanya gadis biasa…
Tapi aku menyayangi kalian,
Aku sangat menyayangi kalian. Aku juga ingin membuat kalian bangga, membuat kalian tersenyum akan keberhasilanku. Klise memang, tapi itu mimpiku.
Tapi toh aku hanya bisa bermimpi.
Aku minta maaf, untuk seluruh air mata dan tetesan keringat itu. aku minta maaf, karena tidak bisa mengganti semua waktu yang terbuang itu.
Tapi kalian harus tau, aku menyayangi kalian, juga.
Hanya mungkin aku terlalu naïf untuk menunjukannya.  Bahkan hingga kini akhirnya aku pergi meninggalkan kalian.

  
Manakala hati menggeliat mengusik renungan
Mengulang kenangan saat cinta menemui cinta
Suara sang malam dan siang seakan berlagu
Dapat aku dengar rindumu memanggil namaku

Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu
Kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku

Sukmaku berteriak, menegaskan ku cinta padamu
Terima kasih pada maha cinta menyatukan kita
Saat aku tak lagi di sisimu
Ku tunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah

Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati
Saat aku tak lagi di sisimu

Ku tunggu kau di keabadian
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan

Pasti tahu cinta kita sejati
Lembah yang berwarna
Membentuk melekuk memeluk kita
Dua jiwa yang melebur jadi satu
Dalam kesunyian cinta

Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati


(CINTA SEJATI ost. habibie & ainun -BCL)

Kamis, 27 Desember 2012

Bumiku


Hujan perlahan turun. Aku berdiri terpaku memandang tetesan itu dari balik kabut tebal. Asap hitam memenuhi seluruh sudut pandangku. Nafasku mulai terasa sesak. Hatiku sakit menahan isak tangis.
“Kau harus kuat,” ujar ibuku. Aku ingin menggeleng, aku tidak ingin mengiyakan permintaannya. “Ibu akan melindungimu,” ujar ibu. “Hanya sebentar lagi dan semuanya akan segera berhenti, kau harus bertahan,” ibuku terus mengulang-ngulang perkataannya bagai mantra yang memiliki kekuatan magis. Aku menangis dan menggeleng, merengek bagai bocah lima tahun.
“Aku tidak ingin ibu pergi,”
“Ibu tidak akan pergi, ibu hanya ingin melindungimu,” dan selalu itu yang ia katakan, menguatkanku. “Lihat, sebentar lagi bantuan akan datang. Kau hanya perlu bertahan sedikit lagi. Kau tau banyak orang membutuhkan dirimu, kau harus bisa membantu mereka. kau harus terus hidup untuk membantu mereka.”
Dan ibu akan pergi meninggalkanku?
Aku tercekat. Namun tidak bisa meneriaki pertanyaan itu. aku hanya bisa terdiam dan terdiam, bahkan ketika akhirnya lautan warna merah membara itu menutupi sosok ibuku hanya sedetik sebelum mereka datang.
Suara sirine mengaung-ngaung disekelilingku, namun tidak bisa mengalihkan pandanganku dari sosok ibuku yang menghitam dibalik kilauan membara si jago merah. Aku ingin menangis, dan memberontak. Namun tubuhku terlalu kaku.
Orang-orang mulai sibuk menumpahkan air, mencoba meredam amuk api itu. aku hanya terdiam, kaku tak bisa bergerak. Tiba-tiba hujan mulai turun bertambah deras. Entah membantu para pemadam kebakaran atau menumpahkan tetesan air mata kesedihan…
Samar-samar ku dengar seseorang berteriak. “Mohon bantuan, ada kebakaran hutan,” katanya lantang. Aku tersenyum miris. 
Ku tatap sosok ibuku yang sudah menjadi abu. “Apa yang harus ku lakukan bu? Haruskah aku melindungi orang-orang yang menyebabkan bumiku hangus seperti ini? Haruskah aku hidup untuk melindungi mereka yang membuat langit negriku menangis sedemikan derasnya?”
Teriakan itu kembali terdengar, kini tampak bertambah panik. “YA, BANYAK POHON YANG TERBAKAR!”
Dan salah satunya adalah ibuku…




Unforgotten woman




Wanita itu, dia pelitaku. Cantik bukan?
Ia begitu baik hati, wanita itu. kau akan langsung jatuh hati ketika pertama kali melihatnya. Ia memiliki mata terindah, dengan senyuman yang luar biasa menenangkan. Papa sangat menyayanginya, begitu pula diriku. Ia adalah penerang hidupku, wanita itu.
aku ingat, aku sering melakukan hal bodoh selama ini. Hal nakal yang kerap menggores hati wanita itu. tingkah yang terkadang seharusnya tidak berhak menerima maaf. Tapi ia, wanita itu, tidak pernah berhenti menyayangiku. Ia tidak pernah berhenti tersenyum padaku. Seakan aku memang pantas mendapatkannya setelah apa yang ku lakukan padanya.
Terlalu banyak kesalahan yang ku perbuat, namun kau tidak akan percaya dengan seluruh cinta yang ia berikan padaku. Wanita itu…
Wanita itu, penyejuk hatiku, akan selalu menjadi yang terbaik dalam hatiku.
Mama, terima kasih, maaf telah membuatmu terluka. Terima kasih untuk cinta itu. 

Rabu, 26 Desember 2012

CAHAYA CINTA -02-




2 minggu kemudian.
        Anna mematung di balik kamar rawat inap Raka. Ia terus bersyukur atas keselamatan Raka hari ini dan hari-hari sebelumnya. Dan ia pun tidak lupa mendo’akan keselamatan Raka untuk detik-detik selanjutnya.
          “Dia masih  tidak mau menemui nak Anna,” ujar ibu paruh baya yang kerap dipanggil ibu Aminah.  Anna mengaguk kecewa, namun ia tetap bersyukur akan keselamatannya.
          “Aku akan kembali nanti,” ujar Anna pelan sebelum berucap salam dan berlalu pergi.
          Seusai shalat lail Anna kembali ke kamar Raka. Ia berucap salam  dan memasuki kamar itu perlahan. Anna tersenyum manis saat melihat Raka yang masih terduduk di atas sajadahnya.
         “Ibu,” panggil Raka pelan. Air mata Anna menetes perlahan. “Ibu,” panggil Raka lagi.
       “Raka…” bisik Anna pelan. Raka langsung terdiam seribu bahasa. Wajahnya menoleh kesana kemari mencari asal suara gadis cantik itu.
          “Untuk apa kamu kesini?”  tanyanya sinis. Anna tidak tersinggung sama sekali dengan nada suaranya yang mungkin lebih senang atas ketidak beradaannya. “Untuk apa kamu kesini, Hah?”  bentak Raka. Air mata Anna kembali menetes.
            “Aku hanya ingin menjenguk sahabatku,” jawab Anna pelan.
       “Pergi.” ujar Raka penuh tekanan. “Kau sudah mengetahui semuanya, jadi sekarang pergi dan jangan pernah kembali,” Tutur Raka.
          “Maaf mengganggu anda tuan. Aku hanya ingin berbincang dengan sahabatku, namun rasanya aku salah orang. Maaf,” tutur Anna perih. “Tuan, aku hanya ingin menitipkan salam untuknya. Aku tidak peduli ia akan mendengarkan kata-kataku atau tidak. Hanya saja aku ingin berterima kasih padanya karena memintaku bertawakal  dan  bersabar,” tutur Anna. Raka hanya menunduk dalam. Karena ia sendiri sama sekali tidak mengetahui dimana keberadaan gadis cantik itu.
          “Kau masih ingin bertemu dengan sahabatmu??”
     “Tidak pernah tidak,” jawab Anna. Raka tersenyum dan mengangkat wajah tampannya. “Dimana kau?” tanya Raka. Anna tersenyum dan menyentuh pergelangan tangan Raka perlahan.


          Mereka mengobrol banyak meski akhirnya Annalah yang kelelahan karena terus bicara. Tanpa mereka sadari waktu sudah menjemput subuh.
          “Izinkan aku bermakmum kepadamu,” tutur Anna.
          “Tidak, kau tidak boleh bermakmum kepadaku,”
         “Kenapa? Apa karena kamu seorang yang buta?” tanya Anna geram. Raka hanya terdiam. “Apakah Allah pernah membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya? Jika ingatanku tidak salah, Allah tidak akan membedakan seseorang dari kekurangan fisiknya, dan hanya membedakan dari segi ketaqwaannya,” tutur Anna panjang lebar. Raka menghela nafas panjang sebelum berlalu mengambil air wudhu dengan langkah tertatih.
                                                          ***
          Kini Anna mempunyai tugas lain, selain mengajar di madrasah panti. Seusai bertemu anak-anak dipanti ia selalu datang menemani Raka pada senja hingga menjelang isya.
          Bagi Anna tinggal bersama Raka dan keluarganya adalah pengobat rindunya pada kedua orang tuanya. Ibu Aminah sangat menerima kehadiran gadis cantik bertutur kata indah itu. Dan bahkan beliau selalu mencarinya jika ia tidak datang ke rumah.
          “Anna,”
          “Ya, bi.” jawabnya seraya berlari ke dapur.
          “Sore ini seusai mengajar kamu harus langsung pulang,”
          “Memangnya ada apa?” tanya Anna penasaran.
          “Bibi akan mengenalkanmu dengan calon suamimu,” ujar  wanita paruh baya itu ketus.
          “Maksud bibi?”
          “Anna, kamu sudah dewasa, dan tentu kamu harus segera menikah. Bibi tidak mau kamu menjadi sorotan masyarakat karena terlambat menikah, lagi pula bibi sudah mencarikan calon yang baik untukmu,” tuturnya. Anna menatap bibinya tidak percaya.
             “Tidak bi, Anna masih ingin mengajar dan…”
         “Dan apa? Bertemu dengan pemuda buta itu, hah? Anna tidak sepantasnya kamu selalu bersama dia. Lagi pula apa yang kamu harapkan dari pemuda buta seperti dia? Bukankah itu hanya akan menjadi beban hidupmu?”
            “Astagfirullah bibi, aku tidak pernah memandang seseorang seperti itu,”
         “Ya kalau begitu kamu harus berpandangan seperti itu mulai sekarang! kamu harus berfikir secara rasional. Pemuda itu tidak akan memberikan manfaat untukmu,
            “Tapi bi…”
          “Sudahlah, lekas pergi dan jangan lupa sore ini kamu memiliki janji,” Anna tak menjawab, hanya sebuah kata salam yang terlontar dari bibir manisnya.
                                                          ***
          Dunia seakan berputar begitu cepat. Hingga sudah kembali menjemput petang yang masih tertutup lembayung selepas hujan siang ini. Anna merapihkan bukunya dengan malas. Otaknya masih berfikir tentang kata-kata bibinya. Bagaimana mungkin bibi Lia bisa berfikiran seperti ini.
       “Ann, kamu ga pergi ke rumah Raka?” tanya Amy teman pantinya. Anna tersenyum tipis tanpa menggeleng atau mengaguk sama sekali. Amy mengangkat bahunya kemudian berucap salam dan berlalu pergi.
          Anna menghela nafas panjang sebelum berlalu dari panti. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah mobil BMW hitam terparkir di depan rumah bibinya.
          “Nah, ini dia Putri Zainna Zahratussofhia,” ujar bibi Lia saat melihat sosok Anna di depan pintu.
          “Wah, cantik sekali,” ujar seorang ibu paruh baya. Anna hanya mengangguk santun. “Oya, kenalkan ini Alan. Anak tante,” ujar wanita tua itu. Lagi-lagi Anna hanya mengangguk santun tanpa memperhatikan Alan yang terus memandangnya.
          “Permisi, saya ke dalam dulu. Assalamu’alaikum… “ ujar Anna tanpa basa-basi lagi.
                                                          ***
        “Anna, apa yang kamu lakukan, kenapa kamu masuk begitu saja?”  tanya Lia ketus. Anna menutup bukunya perlahan.
          “Bibi, aku tidak ingin menikah denganya,” tutur Anna pelan.
          “Jangan bodoh, kalau tidak dengan dia dengan siapa lagi kamu akan menikah?” tanya Lia sinis. “Dengan pemuda buta itu, hah?”  tanyanya lagi.
         “Bibi!! Bibi tidak berhak berkata begitu!!! Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing,”
          Plak…
                                                          ***
          Senja itu tampak begitu memukau, dengan berbagai warna yang tidak bisa di gambarkan oleh kata-kata seindah apapun. Di balik itu semua, sang rembulan tampak menunduk sayu. Cahaya indahnya seakan meragu untuk bersinar.
          Hari itu, seusai mengajar Anna menyempatkan diri pergi ke rumah sahabatnya. Sudah 2 hari ia tidak mengunjungi Raka. Entah mengapa ia seakan muak kepada dirinya sendiri karena menerima begitu saja perjodohan ini.
         “Assalamu’alaikum…” salam Anna. Wanita paruh baya itu langsung tersenyum senang. Anna mencium punggung tangannya santun.
          “Anna, kemana saja kamu?”
          “Maaf  ibu, aku mempunyai suatu urusan. Raka ada?” tanya Anna pelan.
          “Ada, masuklah. Ia pasti senang bertemu denganmu,” ujarnya. Anna tersenyum tipis dan mengaguk.
          “Assalamu’alaikum.”
       “Walaikum salam, aku kira aku sudah kehilangan bunga itu,” ujar Raka. Anna tersenyum dan duduk di sampingnya. Wajahnya yang cantik menatap lembayung senja yang menyisakan sedikit warna cantik.
        “Hari ini aku membacakan sebuah cerita untuk anak-anak,” ujar Anna pelan. “Kisah tentang dua merpati yang saling menyayangi. Namun terpaksa berpisah karena hal kecil yang menimbulkan kedengkian,” lanjutnya.
          “Raka, beberapa hari yang lalu seseorang datang kepadaku, memberikan sebuket bunga dan sebuah mahar,” Raka tertegun sejenak namun tetap dalam posisinya yang terlihat tenang. “Aku menerima bunga itu sebagai tanda aku menerima tali silaturahmi yang mereka tunjukan, namun aku menolak mahar itu,
       “Jangan!” potong Raka cepat. “Tidak baik seorang wanita menolak sebuah lamaran,” ujar Raka tenang. Anna menatapnya tidak percaya.”Bahkan meski kamu tidak menyukai mahar itu,”
           “Aku kira wanita bisa memilih,” tutur Anna parau.
       “Pilihlah yang terbaik dalam hidup ini. Jangan tatap sebelah mata atas segala sesuatu yang datang,” tuturnya. “Aku sahabatmu dan akan selalu begitu. Aku akan selalu mendukungmu atas segala hal baik yang datang kepadamu,” tutur Raka parau. Anna tersenyum getir.
          “Meski hal itu menyakitkanku?” tanya Anna pelan. Raka hanya terdiam.
          “Tidak ada pernikahan yang menyakitkan, Anna…”
          “Tentu ada,” potong Anna pelan. “Saat kita menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai,”
          “Kalau begitu cintailah pemberi mahar itu, agar pernikahanmu kelak mendapat rahmat-Nya,” tutur Raka pelan. “Anna, dengarkan aku, dunia ini akan selalu berputar. Jangan pernah menanti gurun sahara tertutup air lautan, karena saat itu terjadi takkan ada matahari yang terbit lagi untuk hari esoknya. Dalam kehidupan slalu ada pilihan. Dan terkadang pilihan itu tidak selalu menyenangkan, tapi jika ikhlas, insya allah mendapat berkah,” Raka tersenyum tipis. “Anna, kau sahabatku dan akan selalu begitu,” bisik Raka pelan. Anna menghela nafas panjang mencoba menenangkan gemuruh hatinya yang begitu menyakitkan.
          “Terima kasih,” bisik Anna parau. “Semua ini sangat berarti bagi ku,” ujar Anna perih. “Satu hal yang ingin ku sampaikan, mungkin esok semua akan berubah, seperti yang kau katakan. Dunia akan selalu berputar. Dan aku tidak akan menunggu matahari berubah warna, karena aku tau meski lembayung hujan telah menghampirinya matahari akan tetap dalam pendiriannya,” Anna bangkit dari duduknya. “Aku pergi, Assalamu’alaikum…”
         “Walaikum salam…” balas Raka pelan. Setetes air mata mengiringi kepergian gadis yang paling di kasihinya.
          “Raka,”
          “Ibu…”
          “Ibu tidak pernah mengajarimu untuk berbohong,” Raka terhenyak sesaat. “Ibu kira kamu mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita dengan baik,”
          “Aku mengerti ibu, dan ini adalah yang terbaik untuknya…” bisik Raka perih. 


INDEKS