Rabu, 24 Oktober 2012

__________



 “Aku menyerah…” bisikku. Aku bisa mendengar nada terkejut dari sebrang sana. Namun diriku mengabaikannya.
“Kau hampir sampai,” desis suara itu, sedikit perih ku rasa. Namun lagi-lagi aku mengabaikannya.
“Aku tidak akan pernah sampai Le. Aku sudah mencoba beribu kali dan yang ku temui hanya jalan buntu.” Tuturku berusaha seriang mungkin. Hujan di luar sana membaurkan getar suaraku.
“Kau masih bisa mencoba lagi,”
“Mencoba untuk gagal kembali?” ujarku sarkastis. Lena tercekat. Aku tertegun perih. “Maaf Le, pesawatku akan berangkat sebentar lagi. Aku akan pergi, entah sementara atau selamanya.” Lena tidak menjawab. Namun aku bisa mengdenagr isakannya yang begitu perlahan. “Satu hal yang harus kau tau, aku menyayangimu.”
Dan telepon itu terputus. Seperti benang tipis yang menghubungkan aku dengan Lena. Semuanya terputus begitu saja. Begitu mudahnya. Begitu singkatnya, dan begitu menyakitkannya.
Sesaat kemudian aku menatap layar handphoneku yang sudah mati sejak dua hari yang lalu. Hembusan angin menerpa wajahku yang membeku.
                                        ***

Hujan Kemarin…

Jumat, 19 Oktober 2012

PUTRI KELABU -20-


BAB DUA PULUH 


Aku mengencangkan blazer yang diberikan kakek. Sejujurnya cuaca hari itu sama sekali tidak dingin, namun tubuhku tetap mengigil. Aku menatap kakek yang tengah berbincang dengan Are. Penerbanganku tinggal beberapa saat lagi. Ini terasa lebih baik. Aku tau ini sangat menjijikan, menjadi pengecut, berlari dari semua kenyataan ini. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan?? Tetap berdiri disana, dan menatap mereka mengucapkan janji??? Astaga, memikirkannya saja membuat tubuhku semakin sakit.
“Sayang, sudah saatnya.” Kakek meraih lenganku. Aku mengaguk, kemudian berbalik menatap Are yang mematung di sampingku. Ia mengangkat bahunya santai. Namun aku bisa melihat wajahnya mengeras, kaku. Aku memeluknya singkat.
“Terima kasih.” Bisikku perih. Are tidak membalas pelukanku. Aku mengerti, aku memang melakukan banyak kesalahan kepadanya. Termasuk menutup mataku dari cinta yang ia tunjukan. “Maaf,” hanya itu yang bisa ku katakan sebelum mengikuti langkah kakek. Are masih mematung. Sama sekali tidak bergerak. Namun perlahan aku melihatnya menunduk.
“Kimi!!” langkahku terhenti mendengar suara itu. Tubuhku bergetar. Takut untuk mencari asal suara itu, namun rindu untuk kembali mendengarnya. “Apa yang kau lakukan??!” dan ia disana menarik bahuku hingga berbalik berhadapan dengannya. Nafasnya tersenggal-senggal, rambutnya berantakan; jasnya tidak lagi rapih; dan matanya, mata itu begitu tajam dan gelap. Panuh rasa khawatir dan ketakutan. Sedetik kemudian hatiku mencelos, apa ada yang terjadi dengan Luna??
“Raka…” Kakek menatapnya tidak percaya. Namun Raka tidak memperdulikannya. Ia masih meletakan tangannya di bahuku. Menatapku tajam, seakan mencari jawabannya sendiri. Aku mundur beberapa langkah, namun ia menarik tubuhku kembali mendekat.
“Katakan apa yang kau lakukan?? Apa kau akan pergi meninggalkanku?” tanyanya. Aku menatapnya terkejut. Meninggalkanmu? Aku mencibir perih. “Tidak ku mohon jangan pergi,” Raka menarikku ke dalam pelukannya. Aku terkejut namun tidak bisa melakukan apapun; tidak mencoba melepaskan diriku, tidak juga membalas pelukannya. “Aku mencintaimu,” bisiknya di rambutku. Tubuhku menegang. Aku juga mencintaimu. Lebih… lebih dari pada apapun…
“Ku mohon, jangan pergi meninggalkanku,” suaranya terdengar parau. Aku juga tidak ingin meninggalkanmu. Aku selalu ingin bersamamu. Selamanya. Namun hati kecilku memberontak. “Tidak bisakah kau tetap tinggal, untukku… hanya untukku…” aku ingin mengaguk. Aku ingin membalas pelukannya, dan mengatakan aku memang akan selalu bersamanya. Selamanya. Namun tubuhku kaku.
“Aku juga mencintaimu,” bisikku. Kemudian aku merasa seluruh perasaan itu runtuh di sekelilingku. Raka melepaskan pelukannya, menatapku dengan tatapan hangatnya yang begitu ku rindukan. Ia tersenyum penuh terima kasih. Kemudian Are berdiri mematung di belakang kami. Menatap kami dengan sedih. Ia berbisik pelan.
“Luna kritis,” kata-kata bisikannya mampu membuat bobot tubuhku menghilang. Tatapan Raka kosong. Tangannya begitu panas di bahuku. Kemudian aku tersenyum tipis meski air mataku mulai mengalir. Dewi batinku menampar diriku. Dengan perlahan aku mulai menyadari cincin yang melingkar di jari Raka. Aku ingin menahan Raka, memintanya tidak memperdulikan kata-kata Are. Aku ingin Raka tetap menatapku. Menjadi milikku secara esklusif.
“Kau harus pergi,” bisikku. Melepaskan cengkramannya di bahuku. Raka menatapku tajam. Wajahnya tampak begitu rapuh. Ya Tuhan… kuatkan aku…
“Aku…”
“Aku mengerti,” bisikku kemudian berbalik. “Pergilah,” bisikku. Dan aku pun melangkah maju, mendekati kakek yang menatap kami perih. “Jaga Luna baik-baik,” perih menghujam hatiku.
“Tidak bisakah kau tetap tinggal?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Maaf,” bisikku.
“Jaga dirimu,” bisiknya dan kemudian semuanya menghilang. Aku tidak ingin menoleh lagi. Aku tidak ingin melihatnya lagi. “Selamat jalan,” tambahnya. Aku merasa perih mendengar kata-katanya yang membiarkanku pergi. Aku ingin ia memaksaku untuk tetap tinggal. Aku ingin ia kembali memelukku. Aku ingin dia…
Aku tersenyum perih kemudian meraih lengan kakek. Kakek menatapku dengan tatapan ‘kau yakin?’. Aku mengaguk pelan. Kemudian berlalu pergi meninggalkan asa dan kelabuku. Meninggalkan cinta dan lukaku. Meninggalkan impian dan mimpi burukku. Meninggalkan seluruh hatiku, menyerahkan sepenuhnya pada kegelapan.



 The End for the first book. :)

PUTRI KELABU -19-


BAB SEMBILAN BELAS


Suasana tegang langsung menyelimuti ruangan besar di hotel itu. dua orang dokter yang sengaja datang untuk merawat Luna langsung sibuk memeriksanya. Namun mereka mengatakan Luna hanya syok.
Aku sendiri masih terpaku dalam diamku. Berharap dalam cemas akan keadaan yang mungkin saja terjadi. Tubuhku menggigil membayangkan hal terburuk yang bisa dialami Raka. Tante Lia menangis dalam dekapan om Arya. Aku dan Kirana duduk terpaku di sudut ruang pertemuan itu. semuanya masih dalam ketakutan yang nyata. Sesaat kemudian Luna siuman. Ia menangis histeris. Aku tidak bisa menenangkannya, aku sendiri ketakutan hingga tidak mmapu bergerak. Are merangkul pundakku erat. Memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja. Meski iapun sedikit ragu.
Tiba-tiba pintu aula itu terbuka.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu,” ujar sosok jangkung itu santai. Spontan beberapa orang langsung memeluknya. Ia menatap kami heran. “Ada apa?” tanyanya panik, dan kembali menghela nafas lega ketika melihat Luna baik-baik saja di hadapannya.
“Kami dengar pesawatmu kecelakaan,” jawab tante Lia.
“ya, tapi hanya tergelincir sedikit. Kemudian kami di pindahkan kepesawat yang lain,” ujarnya tenang. Aku menatapnya kesal. Sangat teramat kesal. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap setenang itu. tanpa sadar aku berjalan menghampirinya.
Plak!
Sebuah tamparan kencang mendarat di pipi kirinya. Semua orang menatapku terkejut. “Berani-beraninya kau membuat Luna seperti ini,” desisku. Tubuh Raka mengejang mendengar kata-kataku.
“Rachel...” bisik Kirana. Aku menatapnya sesaat sebelum berlalu pergi. Lelah akan semua drama konyol ini.
                                                ***
Hari ini adalah hari besar sahabatku. Namun aku sama sekali tidak bisa menghapus air mata ini. aku muak pada diriku sendiri yang tampak tidak berdaya dalam perih ini. aku ingin mendampinginya, tersenyum tulus dan mendoakannya dengan sungguh-sungguh. Namun aku mendapati tubuhku hanya bisa mengeluarkan air mata.
Aku menatap pantulan wajah itu di cermin. Tatapannya kosong, matanya sembab karena menangis semalaman.
Ku kenakan gaun satin berwarna hitam dengan perlahan. Gaun itu begitu indah membungkus pas tubuhku. Begitu lembut dan ringan. Membuatku merasa seperti kapas. Aku membiarkan rambut hitamku tergerai, memberikannya jepit berbentuk bunga kecil untuk memberikan aksen natural. Kamudian memasangkan dua bunga lili terjepit indah 5 cm diatas telingaku. Aku besyukur karena Luna meminta kami menggunakan topeng, karena setidaknya dengan begitu aku bisa menutupi sembab ini.

Aku terhenyak menatap sosok Luna yang begitu cantik dengan gaun pengantinnya. Minimalis namun bisa menunjukan seluruh kecantikannya. Ia membingkai sisa-sisa rambutnya hingga menjadi helaian indah yang jatuh di sisi kiri bahunya. Ia mengenakan topeng putih berbulu yang begitu cantik.  Tubuhnya terlihat begitu rapuh. Namun ia bahagia… ya ia sangat bahagia. Dan tentu saja itu membuatku tersenyum penuh kebahagiaan juga. Tuhan… ia begitu indah.
Luna menatapku dari pantulan cermin di hadapannya. Ia tersenyum kepadaku, dan aku mendekat. “Kau sangat cantik,” bisiknya. Aku menggeleng. Akulah yang seharusnya mengatakan hal ini pada Luna, bukan sebaliknya. Tapi aku menemukan diriku tercekat dalam kebekuan.
“Ini adalah harimu. Kaulah yang akan menjadi pusat perhatian di hari ini. Semua mata akan tertuju padamu, mengagumi kecantikanmu.”
“Apakah kau pikir aku terlihat cantik?” Tanya Luna. Aku tercekat kemudian membalikan tubuhnya hingga berhadapan denganku.
“Kau lebih dari cantik.” Bisikku.
“Tapi aku merasa tidak cantik.” Aku bisa melihat mata indahnya diliputi ketakutan. Aku meraih sebuah lipstick dari meja rias di hadapannya.
“Kau hanya sedikit pucat,” suaraku bergetar. Dengan perlahan kupakaikan lipstick itu di bibir indahnya. “Lihat,” aku membalikan kembali tubuhnya menghadap cermin. “Kau sangat teramat cantik.” Ujarku. Luna mengaguk.
“Terima kasih,” ujarnya tiba-tiba. Memelukku erat. “Terima kasih untuk semuanya, kau selalu baik kepadaku. Aku tidak tau, akankah aku bisa melakukan hal yang sama kepadamu.” Ia menangis di pundakku.
“Cukup jaga dirimu baik-baik. Itu lebih dari segalanya untukku.” Luna mengaguk. “Aku ingin kau hadir di acara pernikahanku juga,” bisikku perih. Lagi-lagi Luna mengaguk. Namun kini terasa begitu menyakitkan.
“Begitu juga dengan pernikahanku,” Kirana berdiri di ambang pintu. Kemudian berjalan mendekati kami. Memelukku dan Luna secara bersamaan. “Hey, sebenarnya aku kesini untuk menjemput kalian, acaranya sudah akan di mulai,” aku melepas pelukanku dan merapihkan gaun Luna. Ia tersenyum, mengaguk. Untuk kali itu aku merasa senyumanku mengembang tulus. Memperlihatkan betapa bahagianya aku bersama kedua sahabatku di sini.. Pernikahan ini akan menjadi pernikahan terindah yang akan ku hadiri sepanjang kehidupanku.
“Aku harap aku tidak mengganggu, tapi kau benar-benar harus segera keluar,” ujar Vero di ambang pintu. Kami bertiga refleks mengaguk bersama. Aku membiarkan Vero membawa Luna dengan kursi rodanya, dan berjalan di belakangnya bersama Kirana. Tiba-tiba Kirana memelukku erat.
“Terima kasih,” bisiknya di telingaku. “Aku tau kau sangat terluka.” Tambahnya. Aku menatapnya tidak mengerti. “Aku benar-benar minta maaf karena selama ini tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Aku tersenyum dalam diam. “Kau sangat baik karena mau merelakan Raka untuk Luna. Aku tau sejak awal bertemu Raka. Tapi aku selalu menutupinya. Aku selalu menghindari kenyataan ini. Kenyataan bahwa kau dan Luna mencintai pria yang sama,”
“Sudahlah.” Kataku dingin. Walaupun sebenarnya aku tidak pernah bermaksud begitu. “Aku baik-baik saja, dan lagi pula aku selalu baik-baik saja,” tambahku. Kirana mengaguk dan melepaskan pelukannya. “Aku hanya berharap satu hal, tolong jaga Luna.” Meskipun tampak heran mendengar kata-kataku, Kirana tetap mengaguk. Kemudian kami kembali berjalan ke luar hotel.
Acara sudah hampir dimulai. Semua tamu sudah duduk di tempatnya. Luna sudah siap dengan seluruh pengiring pengantinnya. Dan ia pun begitu. Ia sudah siap di sana. Berdiri menatap sosok mempelai pengantinnya. Begitu tampan seperti biasa. Bahkan mungkin lebih tampan. Tegap dan bijaksana. Aku merasa jantungku terhimpit. Sesak menderu diriku. Tuhan… ku mohon…
Aku merasakan tatapan kakek menghujam diriku. Wajahku memucat seiring berjalannya Luna dengan pengiringnya. Sepelan mungkin aku bergerak. Namun bukan mengiringinya. Aku bergerak mundur, menunduk. Membiarkan air mataku menetes perlahan. Hatiku benar-benar sakit menahan tangis.
Tuhan, ku mohon, kuatkanlah diriku untuk kali ini saja… kuatkanlah diriku….
Cintaku untuk pangeran itu harus segera musnah. aku tidak akan pernah bisa membiarkan cinta memuakan ini menghancurkan hati sang putri. Tidak!! Tidak akan pernah!!!
Are menangkap pergelangan tanganku ketika aku berlari di parkiran. Aku terkejut dan menangis di pelukannya. Aku menangis keras, tergoncang sepenuhnya. “Please, bawa aku pergi…” bisikku terisak. Are mengaguk dalam diamnya. Kemudian menuntunku ke mobilnya. Kakek sudah ada di sana.








PUTRI KELABU -18-


BAB DELAPAN BELAS


Kakek memberikan sehelai selimut kepundakku. Tangan besarnya meremas bahu kiriku dengan sayang. Memaksaku tersenyum tipis penuh keperihan. Kemudian aku bisa melihat tatapan itu. tatapan sayang kakek yang begitu tulus. Perlahan namun pasti aku mulai melihat air matanya mengalir, apa ia juga menangisi nasibku?
“Kakek...” bisikku seraya menghapus air mata di kedua mata tua itu. “Ada apa?” tanyaku.
“Apa seorang kakek tidak boleh menangis melihat cucunya bersedih sepanjang hari seperti ini?” ia memandangku. “Kimi, katakanlah pada kakek. Berceritalah sayang, biar kakek membantumu mengusir semua air mata ini. kakek memang hanya lelaki tua yang tidak berdaya. Maaf kan kakek. Andai saja kakek bisa menggantikan kedua orang tuamu kala itu, mungkin kau akan bahagia saat ini,”
“Kakek,” aku menatapnya tidak percaya. Perih memilin dadaku hingga begitu sesak bernafas. “Aku menyayangi kakek dan tidak pernah menyesalinya...” aku memeluk kakek penuh kasih. Aku benar-benar menyayanginya.
“Tapi kakek tidak bisa membuatmu bahagia..”
“Keberadaan kakek disini, sudah lebih dari cukup. Ku mohon jangan berkata seperti itu lagi,”
“Kimi, katakanlah pada kakek, apa yang bisa kakek lakukan untuk membantumu,” pintanya tulus. Aku menatap kakek perih dan mengaguk.
                                                ***
Kirana memelukku erat ketika aku menjemput mereka di bandara. Aku senang sudah kembali menemukan keceriaannya.
“Gaun pengantinnya sudah diantarkan,” ujar Kirana terkikik. “Gaun pengiring pengantinnya juga sangat cantik. Begitu cocok dengan kita,” tambahnya. Aku mencoba tersenyum. Luna tersenyum malu-malu disampingku. Aku begitu senang melihat rona bahagia mereka.
“Kenalkan, ini Are,” ujarku ketika kami sampai di mobil. Luna langsung melirik nakal ke arah ku.
“Jadi ini adalah pangeran cinta mu itu?” tanya Luna. Aku tersenyum malu-malu. “Seleramu benar-benar bagus,” bisiknya. aku bisa melihat Are tersenyum sopan. Namun lagi-lagi senyuman itu tidak menyentuh mata jenakanya.
“Raka akan datang jam sembilan malam,” terang Kirana dari kursi depan. Aku mengaguk disamping Luna. “Aku dengar Vero juga memesan beberapa burung,”
“Ya, untuk mempertegas suasana. Kau tau, beberapa merpati untuk di pelaminan, bangau di taman dan gagak di...”
“Gagak?” tanya Kirana tidak mengerti. Aku mengangkat bahuku.
“Entahlah,” bisikku. Aku mempererat rangkulanku pada tubuh lemah Luna. Besok adalah hari besar untuknya. Hari dimana akhirnya ia mendapatkan semua mimpinya. Aku membantu Vero mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahannya disini. Karena ia memang ingin menikah di pantai Anyer, sebuah gagasan awal yang bagus. pernikahan outdoor. Uniknya lagi setiap tamu diwajibkan memakai topeng. Aku tau, ini adalah gagasan Luna yang tidak percaya diri akan wajahnya. Meski kami sudah beribu kali mengatakan kalau ia begitu cantik.
“Sudah sampai,” bisik Are ketika kami sampai di hotel Marbela Anyer. Aku membantu Luna kembali duduk di atas kursi rodanya, kemudian membiarkan Kirana membawanya masuk.
“Terima kasih,” bisikku. Are hanya mengaguk sekali dan berlalu pergi. Wajah itu tampak begitu berbeda dari yang aku kenal sebelumnya. Wajah jenakanya tampak dipenuhi luka, dan aku tau itu semua karena ulahku.

Luna tampak duduk sendiri menatap pantai dari kamar hotelnya. Wajahnya begitu tenang, tampak begitu sehat dan normal. Aku mendekatinya. “Cinta itu rumit,” ujarnya tiba-tiba. Aku menatapnya tidak mengerti. “Kau tau, rasanya aku tidak akan pernah menggapai impianku,”
“Apa maksudmu? Raka tulus mencintaimu,”
“Tapi dia membagi cintanya,” Luna menoleh menatapku, membuatku terkejut karena tatapannya. “Dia mencintai gadis lain juga,” tambah Luna. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras. “Awalnya aku tidak percaya. Bukan karena tidak menyadari, namun aku tidak mau menerima kenyataan itu. aku tidak mau,” desisnya. “Namun semuanya tampak lebih nyata lagi sekarang. Aku sangat menyayangi dia, dan ingin dirinya bahagia. Tapi aku bukan gadis yang bisa membaginya dengan orang lain. Aku menyayanginya. Dan aku membencinya ketika mencintai orang lain,”
“Di.. dia tidak mungkin,” bisikku tercekat.
“Aku harap juga tidak, percayalah! Tapi sepertinya gadis itu sudah membuatnya berpaling dariku. Lucu memang,” bisiknya. “Gadis itu tentu lebih cantik dariku, lebih sehat, lebih sempurna...” Luna menggigit bibirnya. Memaksanya menahan tangis. Tanganku terulur kearahnya.
“Tapi gadis itu tidak akan mendapatkan apapun, kalian akan segera menikah,” hiburku. Luna menangis dalam diam.
Veronica membanting pintu di belakang kami tiba-tiba. Wajahnya pucat. “Kakak kecelakaan,” bisiknya. aku bisa merasakan tubuhku terhantam batu keras. Kemudian hilang dalam gelombang lautan. “Kak Luna!!” teriak Vero menyadarkanku. Luna terkulai lemas disampingku. 

PUTRI KELABU -17-


BAB TUJUH BELAS


Jalan itu tampak begitu berdebu. Namun aku menikmati pemandangannya. Menikmati semua gerakan debu yang terombang-ambing dalam buaian angin sore. Kirana duduk dihadapanku dengan kopinya. Turut terhanyut dalam pemandangan berdebu sore itu. ia berdehem pelan, membersihkan tenggorokannya. aku masih belum tau maksud kedatangannya hari ini ke rumah sakit. Namun wajah itu terlihat berbeda. Tidak ada tanda-tanda keceriaan disana. Aku bersyukur karena ia bukan membawa berita mengerikan tentang Luna.
“Raka dijodohkan dengan gadis lain,” aku membeku mendengar kata-katanya. “Luna benar-benar kalut mendengar berita itu. dia sempat drop,” aku menggenggam cangkirku erat-erat. “Aku sangat khawatir karenanya. Luna takut Raka akan berpaling pada gadis yang tentunya lebih sempurna itu darinya. Ia sangat mencintai Raka, dan aku rasa begitu pula sebaliknya. Tapi dari yang aku dengar, ibunya adalah orang yang sangat keras kepala. Aku khawatir Luna tidak akan bisa meraih impian terbesarnya. Menikah dengan pria yang mencintainya tulus. Klise bukan?” Kirana menatap kopinya. “Hm, aku harus segera kembali,” bisiknya. aku menatap beberapa anak yang tengah berlari riang.
“Ki, katakan pada Luna, ia tidak perlu khawatir. Aku akan memastikan gadis itu akan mendapatkan cintanya, impiannya,” aku terdiam mengatur nafasku.
“Hidupnya tidak akan lama lagi. Ku harap kau mengerti apa yang ku maksudkan. Kau tau, ini sangat berarti untuknya,”
“Aku mengerti, pergilah,” bisikku tanpa menoleh. Kirana mendesah panjang sebelum berlalu tanpa menyentuh kopinya sekalipun. Bahkan rasanya semua ini sudah dapat ku tebak sejak awal.
Tidak, tentu saja bukan hanya mereka yang peduli pada Luna. Akupun peduli padanya. Aku menyayanginya sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri. Namun entah mengapa aku merasakan berbagai penghianatan di dalam jiwaku. Betapa mudahnya orang-orang membenciku karena hal ini. Betapa mudahnya orang-orang memandang rendahku karena mau merebut Raka dari sosok sahabatku yang sekarat.

Tante Lia duduk diam menatap langit dari jendela kamar kakek. “Kalau tante memang ingin aku bersama Raka. Aku harap tante mengizinkan ia menikahi Luna,” bisikku lagi. Om Arya memejamkan matanya, terduduk di sofa. “Tante... Om, kami sudah dewasa. Kami bisa menentukan jalan hidup kami sendiri,”
“Bagaimana dengan perasaanmu?” tanya tante Lia akhirnya. Aku tersenyum selebar mungkin.
“Aku baik-baik saja. Luna adalah sahabatku, begitu pula Raka. Aku menyayangi mereka berdua,” jawabku. Tante Lia berjalan mendekatiku. Memelukku erat. “Alya sangat menyayangimu, begitu pula kami terhadapmu,” bisiknya di telingaku. Aku mengaguk setegar mungkin. “Aku akan merestui mereka, jika itu yang membuatmu bahagia,” aku tersenyum lebar. Air mataku mengalir tak tertahankan.
“Terima kasih,” bisikku tertahan. “Terima kasih banyak...”
                                                ***
Aku memejamkan mataku perlahan ketika hembusan angin menerpa wajahku. Begitu lembut dan menenangkan. Aku sudah mendapat telepon penuh haru dari Kirana pagi tadi. Bahkan Vero memelukku penuh terima kasih beberapa saat yang lalu. Kini gadis itu sudah kembali ke Singapura untuk menemani Luna lagi. Aku tersenyum memandang wajah kakek yang tampak tenang di belakangku.  Andai saja aku bisa menyimpan ketenangan itu.
“Kimi...” aku tercekat melihat mata kakek perlahan terbuka.
“Kakek!!!” pekikku girang, memanggil dokter dengan berkali-kali menekan bel darurat di samping ranjang kakek. Kakek memelukku lemah. Aku menangis di dadanya yang bergetar. “Tuhan... terima kasih,” bisikku bahagia.

Are tersenyum lebar disampingku. Ia menggenggam jemariku ketika memperhatikan dokter memeriksa kakek, dan melepas beberapa alat yang lain. Aku sudah mengabari yang lainnya. Dan aku tau tante dan om Arya sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia.
“Terima kasih Dokter,” bisik kakek lemah seraya menatap lurus pada Are. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Yang selama ini menjaga kakek adalah aku, tapi mengapa Are adalah orang yang mendapatkan ucapan terima kasih dari kakek??
“Maaf sudah membuat kakek lama menunggu. Bahan-bahan obatnya sungguh sulit ditemukan,” ia tersenyum. Kakek juga. Aku semakin tidak mengerti.
“Bukan untuk obat saja, tapi untuk menjaga cucuku,” wajahku memerah ketika sadar genggaman tangan Are yang tidak juga terlepas. Aku menghentakannya, ia nyengir. Aku berjalan menghampiri kakek dan menuntut penjelasan atas semuanya. “Kakek memang memintanya meracik obat ini, seminggu sebelum kakek kambuh. Hm... sudah berapa lama kakek tertidur?? Sepertinya kakek banyak bermimpi tentang seorang gadis menangis di samping kakek,” wajahku memerah.
“Kalau kalian tidak keberatan, aku harus pergi sebentar,” ujarnya. Aku dan kakek mengaguk dan mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Sesaat kemudian pintu terbuka, dan ia disana. Berdiri terengah-engah. Rambut tembaganya tampak lebih berantakan dari pada biasanya. Ia hanya mengenakan T-shirt dan Jeans hari ini. begitu tampan dan santai.
“Raka,” sapa kakek ramah. Raka berjalan tertatih menghampiri kakek dan mencium punggung tangannya. Aku menatapnya penuh rindu. Andai daja aku bisa kembali melihat senyumannya, andai saja aku bisa kembali memandang mata abu-abunya. Raka berbincang sejenak dengan kakek. Begitu normal, begitu menyenangkan. Membuatku semakin perih menyadari semuanya akan berubah sebentar lagi.
“Ayah,” panggil tante Lia. Ia berlari memeluk kakek.
“Thalia... Arya...” kakek membalas pelukan tante dan om Arya. Aku bisa melihat kebahagian di setiap pandangan mata itu. tiba-tiba tubuhku menegang, mendapati Raka menatapku tajam. Ia mengisyaratkanku untuk mengikutinya keluar kamar. Aku melirik kakek, om dan tante Lia yang masih berbincang ragu. Kemudian berjalan beberapa meter di belakangnya.

Kami berdiri dalam diam di taman rumah sakit yang sepi. Aku mendapati tubuhku sedikit menggigil, entah karena tegang atau karena hembusan angin yang cukup kencang sore itu.
“Apa yang sudah kau lakukan?” tanyanya datar. Aku menatap punggunya tidak mengerti. “Apa yang kau katakan pada mom?” aku tersentak.
“Hal yang kau inginkan,” bisikku, sedikit terkejut mendengar suara dinginku. Raka berbalik menatapku.
“Kau salah,”
“Salah?” aku menatapnya tidak mengerti. “Sudahlah, aku sudah lelah dengan semua kepura-puraan ini. kau mencintai Luna, begitu pula sebaliknya. Dan kau lihat, kakek sudah siuman. Jadi kau tidak punya alasan untuk khawatir padaku lagi,”
“Kau salah,” ulangnya. Aku mendesah frustasi.
“Ya, aku selalu salah. Selalu aku...” bisikku tidak kuasa menahan getar dalam suaraku. “Maaf,” aku mengatur nafasku sebaik mungkin. “Aku memang salah dengan mengatakan bersedia untuk menjadi yang kedua setelah Luna. Tentu saja itu sepenuhnya salah. Aku tidak akan bisa menggantikan Luna, aku tau itu, dan kau memang tidak pernah melakukannya. Aku hanya ingin membuat tante Lia tenang. Dan suatu saat nanti aku akan mempunyai alasan yang lebih baik lagi untuk menghindarimu,”
Raka mencibir perih. “Menghindariku?” tanyanya pelan.
“Ya. Menghindarimu, dan semua tentangmu,” bisikku, menatap lurus kedalam matanya. Raka terlihat begitu kacau. Bahkan pandangan itupun terlihat memilukan. Aku ingin segera memalingkan wajahku. Namun pandangan matanya seakan mengunciku. Membeku dalam luka. “Luna lebih membutuhkanmu,” bisikku akhirnya. Tatapan itu mencair. Memperlihatkan sisi rapuhnya yang lain. Setetes air mata menghiasi pipiku.
“Ya,” jawabnya atas semua pandangan memilukanku. “Maafkan aku karena tidak bisa terus berada di sampingmu,” Raka berjalan perlahan kearahku. Mengecup keningku begitu dalam. Aku menikmati moment itu. ketika perasaan itu begitu nyata dan menyakitkan. “Aku menyayangimu,” bisik Raka. Nafasku tercekat.
“Aku juga menyayangimu,” bisikku saat ia sudah berlalu pergi. Aku merasakan sesuatu menghimpit dadaku. Tangis yang selama ini tertahan dalam diriku yang terdalam. Luka itu. perih itu. semuanya menyatu, memberontak dalam diriku, meledak.
Aku menangis sesenggukan di kursi taman. Menangisi semua nasib burukku dalam hidup ini. mengutuki kebodohanku. Ingin rasanya aku menahannya pergi. Mengatakan bahwa akupun membutuhkannya, aku mencintainya. Namun aku tidak akan menebar luka pada hati siapapun. Tidak, tidak akan pernah.



PUTRI KELABU -16-


BAB ENAM BELAS


Aku berjalan cepat di koridor kampusku. Beberapa buku terdiam manis di dekapanku. Aku sudah memulai kuliah untuk mengusir semua tekanan yang ku alami beberapa hari belakangan ini. Ini memang sedikit membantu.
“Rachel,” tegur seseorang. Aku menoleh. “Aku memanggilmu berkali-kali,” pemuda itu berlari menghampiriku. Wajahnya yang tampan tampak berpeluh. Ia membetulkan letak kaca mata tak berbingkainya. Jas putih labnya masih ia kenakan. “Aku hampir tidak percaya kau ada di sini,”
Aku pun tidak percaya.
“Bagaimana keadaanmu? Dan kakek mu? Maaf aku tidak ikut dengan yang lainnya menjenguk kakekmu. Aku ada sebuah proyek. Tapi semuanya sudah hampir selesai sekarang, aku yakin akan sukses,” ia nyengir menunjukan wajah jenakanya. Entah mengapa bibirku pun turut tertarik, menyerupai garis lengkung yang pernah ku kenal sebagai senyuman. “Kau tenang saja,” ia meletakan kedua tangannya di bahuku. “Setelah semua ini selesai, aku akan bersamamu untuk melihat kesembuhan kakek,” ujarnya optimis. Aku terharu menatapnya. “Tidak, tidak jangan menangis,” ia menyeka air mataku.
“Trims Re,” bisikku sesaat sebelum ia menarikku ke dalam pelukannya.

Aku sudah lupa bagaimana baiknya teman-temanku di sini. Betapa menyenangkannya berkemul dengan waktu perkuliahan, buku dan para dosen. Kesibukanku di rumah sakit seakan menarikku ke dasar dunia lain, hingga menutup diriku dari sisi dunia yang lainnya, yang tanpa ku sadari, sangat ku rindukan.
Are menggenggam erat tanganku ketika kami berjalan dan tertawa di dalam kelas. Aku merasakan perlahan semua himpitan itu mulai menghilang.
“Kau pasti menyesal karena tidak bisa melihat bagaimana bodohnya Are membelah tubuh katak waktu itu,” gurau Kana. Teman satu kelasku. Aku melirik Are yang langsung mengelak atas tuduhan Kana.
“Aku punya bukti!” teriak Desi seraya mengangkat handphonenya. “Aku merekamnya!!” tambahnya. Sontak wajah tampan Are langsung memucat. “Tapi bohong...” tambah Desi. “Tapi lihat wajahmu sudah seperti mayat hidup! Pucat pasi!” aku terkekeh menyadari kebenaran kata-kata Desi. Are menatap garang padaku.
“Ada apa?” tanya Are ketika tiba-tiba wajahku membeku.
“Aku memikirkan kakek,”
“Jangan bodoh! Kakekmu adalah salah satu direktur rumah sakit Siloam, kau pikir mereka tidak akan menjaganya?!” aku menatap are. Ia benar, namun tetap saja aku khawatir akan dirinya. “Tenanglah,” Are menarikku, memeluk bahuku erat. “Ia akan segera sembuh, aku janji,” bisiknya. entah mendapat kepercayaan dari mana aku mengaguki kata-katanya.

“Aku senang melihatmu kembali,” ujar Kana ketika kami duduk di kantin kampus yang cukup ramai. Baru kali ini Are membiarkanku sendirian, setelah sekian lama ia mendampingiku di kampus hari ini. Panggilan di lab apoteker tampaknya membuat ia begitu ketakutan. “Kami semua ikut prihatin akan apa yang terjadi pada kakekmu,” ujarnya. Aku mengaguk berterima kasih. “Are juga tampaknya sangat khawatir,” tambahnya, pandangannya menerawang jauh kedepan. “Namun dia memiliki cara tersendiri untuk menunjukannya padamu,” Kana kembali ke sisiku. Ia tersenyum manis.
“Rachel!!” teriak Are. Aku dan Kana sampai terkejut karenanya. “Ayo pulang, aku sudah selesai di sini,” teriaknya lagi. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Kana tersenyum kecil.
“Dasar, bocah itu!” bisiknya. Are masih tertawa lebar. Ia memang bisa menenangkan gemuruh hatiku, seperti Raka menenangkanku, namun tentu saja dengan caranya sendiri.
                                                ***
“Maaf membuat kakek menunggu,” aku mendelik ketika mendengar bisikan Are di telinga kiri kakek. Namun aku tidak menanyakan apa maksudnya. Ia nyegir menatapku. Selalu kekanak-kanakan. Mengingatkanku pada sosok seseorang, sosok sahabat kecilku yang kini telah berubah menjadi sosok pria tampan, yang dingin dan begitu dewasa.
Aku tercekat ketika melihat Raka memasuki kamar kakek. Ia mengenakan setelan rapihnya seperti biasa. Aroma maskulin tubuhnya langsung menyeruak. Raka menatap Are, menilai. Are berjalan santai kearahnya. “Hai, aku Are,” ujarnya. Raka masih terdiam. Baru kali ini aku melihatnya tampak tegang ketika berhadapan dengan orang lain. “Apa kau bisa berbicara bahasa indonesia?” tanya Are setelah Raka terus diam.
“Ya, maaf. Aku Raka,” balasnya, menjabat tangan Are. Kemudian Are berbalik kearahku.
“Hai,” sapaku pada Raka, kikuk. “Dia teman kampusku,” entah mengapa aku langsung memberikan sebuah penjelasan singkat tentang sosok berkaos abu-abu ini padanya. Ia mengaguk dan berjalan mendekati ranjang kakek, kini terlihat lebih tenang.
“Bagaimana keadaan kakek?” tanyanya, masih menatapku dengan tajam.
“Stabil,” bisikku. Ia mengaguk sekali, kemudian melirik Are yang masih duduk di sofa. “Aku harus ke kantor sekarang,” ujarnya kembali dingin dan menusuk. Aku mengaguk pelan. Raka berbalik tiba-tiba dan menarikku kedalam pelukannya. Aku tersentak. Sedetik kemudian ia sudah berlalu pergi. Aku melongo dibuatnya. Apa-apaan tadi??
                                                ***
“Rachel!” teriak Are di depanku. Aku tersadarkan dari lamunanku. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. Aku menatapnya bingung. Terlebih saat ia sibuk memeriksa tubuhku. Aku mendelikan mataku menyadari betapa silaunya matahari pagi ini. Astaga, di mana aku??
“Rachel, bicaralah!” perintah Are. Aku menatap wajahnya kosong. Ia tampak begitu khawatir.
“Aku... ba... baik saja,” bisikku terpatah-patah. Are mendesah lega kemudian memelukku erat. Wajah jenakanya kembali muncul, meski masih dengan raut cemas.
“Syukurlah,” bisiknya lega. Aku merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang. Calon dokter anak ini benar-benar tengah ketakutan. Membuatku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Apa yang terjadi?” tanyaku lugu. Ia menatapku tidak percaya. Ketakutan itu perlahan mencair, kemudian aku bisa melihat senyumannya kembali menghiasi wajah tampannya. Ia menggeleng perlahan.
“Tidak ada yang penting,” bisiknya seraya mengangkat tubuhku dari jalanan. Apa?? Aku memutar mataku menyadari keberadaanku. Kami berada di lapangan parkir kampus 2, dan aku baru saja tergeletak di jalan itu, di tengah-tengah kerumunan orang-orang. Sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku??
Are mendekapku di dalam gendongannya. Aku bisa mencium aroma tubuh Are yang bercampur cologne kesukaannya, begitu fresh dan menyenangkan. Berbeda dengan aroma Raka yang maskulin dan memabukan. Astaga, kenapa sekarang aku mulai membanding-bandingkan mereka?

“Kau baik-baik saja?” tanya Mario, anak Lab yang menyukai Kana. Aku melongo.
“Dia baik-baik saja,” Are yang menjawab dengan cengirannya. Ia mendudukanku di sofa lab. “Dia hanya syok,” Are mengambilkan segelas air untukku. Mario dan yang lainnya langsung berlutut di hadapanku.
“Astaga kau mengagetkan kami. Kau pikir kau bisa menghindari pengendara motor itu, hah??!” tuding Mario. Aku terkesiap dan mulai teringat akan kejadian beberapa saat yang lalu. Ketika aku tanpa sadar menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. “Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan??!! Kau hampir mati, tau??!!!”
Aku menatap Are yang masih menyeringai. Namun kali ini senyuman itu tidak menyentuh matanya. Senyuman palsu.
“Sudahlah guys, dia harus beristirahat sekarang,” ujar Are ringan. Mario masih menggerutu atas sikapku yang dianggap sangat berbahaya. Aku melihat tubuh Are perlahan rileks di sampingku. Ia memejamkan matanya kemudian memijit pangkal hidungnya. Aku membisikan kata maaf. Ia menoleh dan menatapku tanpa berkata apapun. “Jangan pernah mengulanginya lagi,” ujarnya setelah diam beberapa saat. Aku bergeming. Bagaimana mungkin aku bisa menghilangkan lamunan tentang Raka?







Rabu, 10 Oktober 2012

PUTRI KELABU -15-


BAB LIMA BELAS

            Aku berlari sepanjang koridor rumah sakit yang sudah sangat ku kenal. Vero mengikutiku di belakang.
“Kimi, Vero,” tante Lia menatap kami bergantian. Ia tampak begitu cemas. Om Arya tengah berbicara dengan seseorang di teleponnya. Aku menanyakan apa yang terjadi dengan pandangan sedihku. “Kakek sadar,” hatiku mencelos. “Namun ia langsung muntah darah, hingga akhirnya kembali di bawa ke ruang ICCU,” perutku melilit memikirkan kakek, kepalaku terasa begitu pening. Aku lelah! Lelah dengan semua kenyataan dan ketakutan yang tersimpan di dalam hatiku. Aku bisa melihat takdir tertawa mengejekku. Mencemoohku karena menyerahkan diri pada luka.
Prang!!
Aku melemparkan ponselku hingga jatuh berkeping. Aku berteriak dalam ketercekatan! Menangis keras, terduduk diatas lututku. Aku lelah!! Aku lelah!! Batinku meronta. Om Arya mencoba menenangkanku. Vero menangis di pelukan ibunya. Aku juga ingin ada mama di sini!! Aku ingin semuanya kembali. MILIKKU!!!!


Tatapanku nanar, namun aku tidak berani berkedip. Khawatir akan kehilangan satu moment lagi. Kakek sudah stabil, namun untuk berjaga-jaga ia masih di tempatkan di ruang ICCU. Aku merasakan seseorang menyentuh pundakku. Tante Lia dan om Arya berdiri di sana di belakangku. “Tante, om... aku ingin berbicara,” ujarku dingin. Entah dimana aku meletakan rasa sopan santunku pada mereka. “Aku ingin membatalkan perjodohan ini,” suaraku tercekat mengingat sosok Luna dan Raka. Tante Lia tampak syok di belakangku.
“Kimi ada apa?” tanya tante Lia. Aku menggeleng tanpa menoleh.
“Aku rasa, aku tidak bisa mencintai Raka,” bisikku.
“Kimi, kami tidak akan memaksamu bertunangan lagi. Kami akan menunggu sampai kau benar-benar siap,” ujar om Arya. Aku kembali menggeleng dan berbalik menghadap mereka. “Kami tidak ingin kau sendirian,”
“Aku tidak sendirian, aku punya kakek, tante, om, Vero, Raka dan sahabat-sahabatku, Kirana dan Luna,” tante Lia tercekat mendengar kata-kata terakhirku. dia tentu mengenal Luna, tunangan putra tersayangnya. Ia mencengkram lengan suaminya erat. “Tante, Luna dan Raka saling mencintai,” ujarku perih. Diam-diam aku bisa mendengar isakan Vero dari balik pintu. “Aku tidak mungkin berdiri menjadi penghalang diantara mereka,”
“Tapi gadis itu akan segera mati,” tante Lia menatap jauh kedepan. Aku menggeleng tidak percaya.
“Tidak,” bisikku lebih pelan dari yang ku harapkan. “Luna akan selamat, dia akan baik-baik saja,” bisikku sebelum hilang kesadaran.


Aku terbangun oleh aroma yang aneh. Aroma menyenangkan yang begitu maskulin dan dingin. Hatiku perih mengingat dari mana aroma itu berasal. Aku enggan membuka mata dan mendapati hayalku akan aromanya akan menghilang. Aku ingin tetap begini, menikmati dirinya meski hanya dalam hayalku.
Sebuah tangan mengusap punggung telapak tanganku. Aku terkesiap menikmati sentuhannya.
“Kau?” tanyaku tidak percaya. Raka menatapku jelas tampak khawatir. Wajahnya mendadak mencair ketika melihatku membuka mata. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku kikuk. Ia memelukku erat, membuatku kembali merasakan pahit itu. tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku mendorong tubuhnya dengan lemah. Raka menatapku, terkejut.
“Aku mengkhawatirkanmu,” ujarnya. Aku memalingkan wajahku ke sisi lain. Enggan menatap wajah tampannya. Aku harus melupakannya.
“Mana Luna?” tanyaku dingin. Aku muak pada diriku sendiri karena memiliki setetes rasa cemburu dalam hatiku. Aku menyayangi gadis itu.
“Dia bersama Kirana,” jawab Raka menyadari keenggananku.
“Pergilah,”
“Aku berjanji pada diriku sendiri untuk pergi saat mendapati dirimu baik-baik saja,”
“Dan aku baik-baik saja sekarang,” potongku. Kaget mendengar suara menyakitkan itu sendiri. “Pergilah,” kini berupa lirihan. Raka duduk menegang disampingku. Wajahnya mengeras.
“Tidak, aku juga berjanji pada Luna untuk memastikanmu baik-baik saja,”
Jadi semua lelucon ini karena Luna. Astaga Tuhan...



PUTRI KELABU -14-


BAB EMPAT BELAS

Hujan masih mengguyur raya ketika aku keluar dari toko makanan terdekat. Aku membeli beberapa roti dan selai kesukaan Luna. Aku mendesah, menyesali kata-kata Kirana yang menyarankanku untuk membawa payung. Entah mengapa perasaanku kali ini begitu getir sekaligus hambar. Aku seakan tidak memiliki perasaan di permukaan, dengan mudahnya aku bisa membuat wajahku sedatar mungkin. Membuat orang lain percaya kalau aku baik-baik saja.
“Aku sudah menyuruhmu membawa payung,” ujar Kirana. Aku mencari asal suaranya dan melihat ia berdiri tepat di hadapanku. Aku menyeringai. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya ketika kami berjalan beriringan. Aku menatapnya bingung. “Kau terlihat seperti memendam sesuatu,” suaranya tampak samar di tengah derasnya hujan.
“Aku oke,” jawabku singkat.
“Hel,” Kirana menangkap lenganku sebelum kami masuk kedalam rumah sakit. “Kita di sini bukan untuk saling menyakiti,” ujarnya. Aku mendesah dan mengaguk.
“Aku hanya menghawatirkan kakek,” jawabku atas pandanganya.


Luna tersenyum senang ketika melihat aku dan Kirana memasuki kamar rawat inapnya. Raka masih menggenggam jemari Luna, membuatku –yang entah mengapa- langsung mengalihkan pandanganku kesisi lain ruangan ini.
“Aku membelikan selai strawberi kesukaanmu,” ujarku. Luna tersenyum manis dan mengaguk. Aku duduk di samping ranjangnya. Beserbangan dengan Raka. “Terima kasih,” bisiknya lemah. “Aku senang bisa bertemu kalian di sini,” ujarnya. Aku terdiam. “Aku tidak tau sampai kapan bisa tetap membuka mata seperti ini, berbicara pada kalian, tersenyum...” ia menyentuh wajah tampan Raka dengan jemarinya. “Aku minta maaf,” bisikknya. Kirana menatap hujan dari balik jendela besar. Air matanya mengalir perlahan.
“Kau tau Hel, sekarang aku merasa sangat tenang melihat kalian semua dalam keadaan yang baik,” ia menatap kami satu persatu. “Jika suatu hari aku pergi...”
“Tidak,” potong Raka cepat. Dan saat itulah aku bisa kembali melihat wajahnya yang penuh ketakutan dan kesedihan, begitu kontras dengan keseharian Raka yang begitu santai. Dadaku mendadak sakit. “Kau tidak bisa pergi kemanapun. Kau harus di sini, tetap di sini,” Raka menggenggam erat jemari Luna, seakan dengan begitu Luna akan tetap berada di hadapan kami. Luna tersenyum dan mengaguk, memuntahkan genangan air di matanya yang indah.
“Aku juga tidak pernah ingin meninggalkan mu,” bisiknya tulus. Entah mengapa air mataku mengalir perlahan.
Krek.
Tiba-tiba pintu terbuka.
“Kak Luna,” sapa gadis cantik dengan blazer kuning yang begitu cocok dengan kulit putihnya. Aku tersentak. Veronica. Vero menatap kami semua bingung. Wajahnya mendadak pucat.
“Hai Vero, masuklah. Kenalkan ini sahabat yang selalu kakak ceritakan. Rachel dan Kirana,” terang Luna. Vero masih tertegun di ambang pintu. namun sedetik kemudian ia mengaguk dan berjalan mendekati kami. Menjabat tanganku dan Kirana. Ia mengucapkan kata hai yang tidak bersuara padaku. Kemudian  menatap Raka, menuntut penjelasan. Luna tersenyum lebar. Aku mundur beberapa langkah untuk menenangkan gemuruh hatiku.
Kami semua hampir terlonjak kaget ketika mendengar ponselku berdering. Aku langsung mengangkatnya. Tante Lia.
“Ya tante,” bisikku. Keempat pasang mata itu menatapku cemas. “Aku mengerti,” ujarku lirih. Dan air mata itu mengalir di sana. Mendobrak segala pertahananku. “Aku mengerti,” ujarku sekali lagi. Kemudian menutup teleponku.
“Ada apa?” tanya Kirana khawatir.
“Kakek masuk ICCU lagi,” bisikku tercekat. Kirana memelukku erat. Luna menatapku sedih. Aku bisa melihat wajah Raka mengeras, bahkan Vero tampak terpaku menatap sepatu ketsnya, menangis. “Aku harus pulang,”
“Biar aku mengantarmu,” itu suara Raka. Aku menoleh kearahnya cepat. Aku ingin mengaguk. Tentu saja, aku membutuhkannya saat ini. Namun pandanganku beralih pada gadis yang terbaring di hadapnnya. Dia lebih membutuhkanmu. Batinku berteriak kepadanya.
“Aku bisa pulang sendiri,” jawabku. Kirana menggeleng. “Kalian tenanglah di sini. Aku akan baik-baik saja sungguh.” Ujarku. “Kau harus menjaganya,” tambahku ketika Kirana menangis di pundakku.
“Biar aku yang mengantarmu,” bisik Vero setelah diam cukup lama. Kami semua menoleh kepadanya bingung. Luna dan Kirana bingung karena menganggapnya orang asing untukku, sedangkan aku dan Raka menatapnya ngeri akan keadaan. “Kebetulan aku juga harus pergi ke Indonesia. Kak Luna kalau kakak tidak keberatan aku akan pergi dulu, dan segera kembali lagi,” ujarnya, tampak begitu menyayangi Luna.
“Terima kasih sayang,” Luna meremas jemari Vero. “Tolong jaga ia untukku,” bisiknya. aku melirik Raka yang masih mengejang diam. Ia melirik Vero dalam satu lirikan cepat dan Vero mengaguk.


“Kau tidak perlu melakukannya,” bisikku ketika kami sampai di bandara. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Vero tidak menjawab. Ia berjalan cepat di hadapanku.
“Aku minta maaf,” bisiknya. aku tertawa pelan. “Aku tidak pernah tau kalau kau adalah sahabatnya,” tambahnya. “Aku selalu mendengar cerita kalian darinya, tapi bodohnya aku karena tidak pernah menyadari kalau kau adalah Rachelnya,” aku menggeleng.
“Sudahlah itu tidak lagi penting,” bisikku perih. Kini semuanya mulai tampak jelas. Ketakutan Raka, maksud permintaan maafnya dan kata-kata terlambatnya. Semuanya sudah sangat jelas.