Minggu, 02 Februari 2014

RAINY TEARS 2

Secangkir kopi, dan seberkas cahaya matahari.

Aku menghirup dalam-dalam udara kota Bandung yang selalu menyegarkan. Mengosongkan paru-paruku kemudian mengisinya kembali dengan oksigen yang baru, seakan tidak pernah puas pada kesegaran itu, satu-satunya hal yang membuatku tidak pernah rela meninggalkan kota ini terlalu lama, bahkan meski pangerang tampan itu yang memintaku pergi dari kota ini.  

Rasa dingin yang mengalir dari benda mungil di jemariku kembali menggelitik hatiku. Aku membuka mataku dengan perlahan, dan sebuah senyuman manis terukir begitu saja. Wajahku akan kembali memerah, seakan benda yang melingkar cantik di jari manisku memang membawa aliran listrik yang bisa menyengat tubuhku hingga memerah.

Semburat kemilau cahaya mentari pagi yang mulai naik, mengintip di balik dedaunan pohon cemara yang tertanam di depan rumahku. Aku tersenyum manis, kemudian menyesap kopiku dengan perlahan. Kabut-kabut yang menutupi perkebunan teh mulai menyingkir, tertiup oleh angin yang berhembus ke utata.

Calon pengantin ndak boleh melamun pagi-pagi seperti ini. tegur seorang wanita paruh baya dengan kantung belanjaan di tangannya. Aku tersenyum tipis, mungkin wajahku sedikit merona, karena ia langsung terkekeh pelan. Waktu bibi pertama kali menikah, bibi juga merasakan perasaan yang sama sepertimu, sering tersipu-sipu sendiri. selorohnya sambil berjalan melewatiku yang tengah duduk di beranda rumahku. Ia membawa kantung belanjaan yang berisikan sayur mayur itu ke dapur. Meletakannya di atas meja dapur, dan mengeluarkan semua isinya di meja. Meski terlihat tua, namun bik Asih masih selalu cekatan. Tangan kirinya meraih panci yang tergantung di dekat ventilasi udara, mengisinya dengan air kemudian meletakannya ke atas kompor yang sudah menyala.

Yang pertama? tanyaku dari beranda depan, aku sedikit menaikan suaraku agar ia mendengar perkataanku.

Ya, yang pertama. Jawab bik Asih sambil terus sibuk memotong-motong buncis dan wortel yang sudah selesai dikupas. Aku menjulurkan kepalaku ke ambang pintu, menontonnya memasak dari tempatku duduk.

Memangnya, mang Husain itu suami bibi yang keberapa? tanyaku dengan lugu. Bik Asih menghentikan gerakan memotongnya yang lincah untuk sesaat, menghela nafas panjang, kemudian melanjutkannya lagi.

Yang ketiga, jawabnya ketika memasukan potongan sayuran itu ke dalam panci, aku tidak yakin apakah air di dalam panci itu sudah mendidih atau belum, karena aku sama sekali tidak melihat uap di atas panci itu. Tanpa sadar bibirku membulat, membentuk kata Wow tanpa suara. Bibi belum cerita yah ke neng? tanyanya, ia mengelap tangannya pada dasternya, membuatku mengernyit kikuk. Suami bibi yang pertama pergi, cerai. Tidak ada tanda-tanda kesedihan yang tampak dari suaranya, dan ia memang terlihat sangat santai, seakan yang sedang ia ceritakan adalah kisah nina bobo untuk Indah, putri bungsunya yang duduk di kursi SMP.

Cerai? bisikku pelan, penasaran akan kelanjutan ceritanya. Mungkin di saat-saat menjelang pernikahan seperti ini, seluruh hal tentang pernikahan itu sendiri selalu menarik perhatianku lebih banyak. Termasuk dengan kata perceraian itu. Kenapa? tambahku.

Bi Asih termenung sejenak, meski tangannya masih terus mengaduk panci di hadapannya. Ya bukan jodoh aja neng, jawabnya, terdengar sedikit tak acuh. Aku menghela nafas panjang, kemudian kembali membetulkan posisi dudukku. Dengan perlahan aku memutar-mutar cincin yang melingkari jari manisku, termenung pada kata-kata pembantu rumah tanggaku. Jodoh sejauh mana aku dan pria itu berjodoh Tuhan???

Biip

Aku tersenyum ketika mendapati ponselku bergetar, pesan selamat pagi dari sosok yang paling ku cintai. Aku tidak tau sejauh mana aku berjodoh dengannya, bukankah masa depan tidak untuk kita yang menerka, cukup menjalaninya dengan sepenuh keyakinan, lalu hidup di dalamnya dengan senyuman.

Hembusan angin pagi membuat beberapa helai kertas di hadapanku hampir saja berterbangan. Dengan sigap aku menjaga kertas-kertas sketsa itu agar tetap berada di atas meja. Belakangan, aku jadi lebih sering membuat sketsa gaun pengantin, meskipun gaun pengantinku sendiri sudah selesai dibuat sejak beberapa minggu yang lalu. Namun hal ini membuat kakek semakin semangat untuk menyuruhku membuka butik gaun pengantin juga di samping butik-butik gaun malamku yang sudah memiliki cabang di beberapa tempat di bandung dan Jakarta.

Neng, sudah siap pergi? sapa mang Husain, suami dari bik Asih, dengan logat sundanya yang lembut. Aku tersenyum dan mengangguk. Mang Husain membantuku memasukan sketsa-sketsaku ke dalam tas, dan membawakannya ke mobil yang sudah terparkir di depan rumahku. Tadi kakek neng telepon, katanya besok beliau akan langsung berangkat dari Surabaya. Ujar mang Husain di perjalanan kami menuju butikku. Aku mengerucutkan bibirku, kesal pada ulah kakek. Ia pasti akan menelepon mang Husain dalam keadaan-keadaan seperti ini, karena ia tau, kalau meneleponku, itu berarti harus bersiap menerima rengekanku yang memintanya untuk segera pulang ke Bandung.

Jalanan Bandung pukul 7 pagi di hari kerja memang tidak pernah mengecewakan. Aku menatap deretan perkebunan yang membentang di sisi kanan dan kiriku. Menyapa beberapa orang yang ku kenal dengan lambaian tanganku. Aku bisa melihat mang Husain tersenyum  tipis karena tingkahku yang menurut pengakuannya tidak pernah berubah sejak aku berumur 8 tahun.

Di hari pernikahan neng, pasti banyak tamu yang datang, ujar mang Husain dengan senyuman di wajahnya.

Aku menyandarkan kembali punggungku di kursi penumpang, ikut tersenyum mendengar kata-katanya. Bagus dong mang, semuanya memang harus datang. Gumamku sungguh-sungguh.

All dressed in white, pastel and pink,
With something borrowed and something blue.

Aku kembali tersenyum setelah menuliskan kata-kata itu di samping sketsa gaun pengantin kesukaanku. Sempurna, akankah aku mendapatkan pernikahan yang sempurna itu?



Baru saja aku akan keluar dari mobilku ketika ponselku bergetar, telepon dari Alexa, salah satu teman kantor tunanganku.

Ya Lex, sapaku dengan riang, sedang otakku mulai mengingat-ngingat apakah dia sudah masuk ke dalam daftar tamu undanganku.

Nafas Alexa terdengar memburu di sebrang sana, membuatnya sedikit sulit mengatur suaranya, tapi bukan itu yang membuat otakku mendadak kosong, melainkan kata-katanya yang akhirnya bisa ku dengar, dan ku pahami dengan lebih jelas. “An..dreas kece…laka…an!

Deg.

Duniaku berhenti, Tuhan sudah merebut kehidupanku, mencabut jiwaku dengan gerakan yang tak bisa terelakan lagi. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba kembali memfokuskan pikiranku pada kata-kata Alexa, namun telingaku hanya berdengung kencang, membuatku sesak. Aku mencengkram ponsel di telingaku dengan sangat erat, membuat jemariku memerah. Air mataku menetes deras, membuat mang Husain panik bukan main. Ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan kasar, namun aku tidak bisa menjawab panggilannya, terjebak dalam genangan luka itu.

Terjebak dalam ketakutan itu.

***


Kakek? aku menatap kakek dengan pandangan nanar. Entah bagaimana ia sudah berada di rumah sakit lebih cepat dari pada aku, namun aku sama sekali tidak memikirkan waktu untuk menimbang kemungkinan bahwa selama satu minggu ini ia memang menipuku dengan mengatakan bahwa ia sedang berada di Surabaya. Tapi aku benar-benar bersyukur dengan keberadaannya saat itu, aku benar-benar butuh pelukan hangatnya untuk menenangkanku.  Andreas kek…” isakku lirih di pelukannya. Ia mengangguk pelan, membelai punggungku penuh kasih. Mata tuanya tampak basah, mungkin turut menangisi mimpi putri kecilnya yang hancur berkeping.

Tenang sayang…” bisiknya di telingaku. Semuanya akan baik-baik saja.

Aku mempererat pelukanku, mencoba meyakini kata-katanya. Semuanya akan baik-baik saja…” namun hatiku berhianat, ketakutan itu terlalu nyata. Dan aku tidak ingin kehilangannya! Aku tidak rela!!

Tante Monika, ibunda Andreas merangkul pundakku dengan penuh kasih, wajahnya yang selalu tampak muda itu terlihat begitu sedih. Bukankah mereka selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja? Lalu mengapa semua orang yang tengah berdiri di depan ruang oprasi itu berwajah muram?! Tidakkah mereka meyakini kata-kata mereka sendiri?!

Seorang gadis sebayaku berlari-lari kecil menuju ruang tunggu. Sepatu hak tinggi yang selalu ia kenanakan sama sekali tidak memperlambat langkahnya. Dari jarak pandang lima meter, ia sudah membuka tangannya, dan langsung memelukku dengan sangat erat ketika bisa mencapai tempat dudukku. Kamu baik-baik saja?! Astaga! Aku baru aja dapat beritanya, mereka bilang Andreas kecelakaan dengan tunangannya, aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandanganku. Ya Tuhan Andreas dia benar-benar melindungimu, syukurlah kamu baik-baik aja. Bagaimana keadaannya sekarang? Cindy, gadis cantik yang menjadi kepala butik-ku di Jakarta mendongkak untuk melihat tante Monika, menanyakan keadaan Andreas yang kami sendiri belum tau. Kamu tenang saja sayang, ini adalah salah satu cobaan dari Tuhan menjelang pernikahanmu, tapi semuanya akan baik-baik saja. Percayalah. Ia melepaskan pelukannya dan menatap kedua mataku yang kini menatapnya penuh tanya. Untuk beberapa saat kami hanya bertatapan, mencoba mencerna seluruh kisah itu dengan lebih seksama lagi, mencoba untuk mengerti dengan apa yang tengah Tuhan tuliskan di antara kami.

Aku bisa melihat mata gadis itu sedikit melebar, jelas terkejut pada sesuatu yang mungkin kini hadir di kepalanya, sebuah penjelasan lain yang tidak bisa ku baca. Air matanya mulai tergenang, ia menggeleng perlahan, matanya menunjukan ketidak percayaa pada sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.  Bukan kamu? gumaman itu begitu pelan, mungkin ditujukan untuk dirinya sendiri,  namun aku terlalu dekat dengannya hingga mustahil rasanya bila aku tidak bisa membaca gerakan bibirnya dengan sangat jelas.
Cindy langsung kembali berdiri, tampak syok dengan kenyataan yang dihadapinya sendiri. Aku bisa merasakan hatiku yang sudah hancur berkeping kini tersiram air garam, perih bukan main. Bahkan kini air mata itu terasa lebih panas dari pada yang pernah ku bayangkan sebelumnya.

Bukan aku?

***


Bapak Andreas tidak mengalami kecelakaan tunggal, dia bersama tunangannya ketika bus itu menabrak mobilnya. Dan bapak Andreas melindungi tunangannya dengan tubuhnya sendiri, hingga ia hanya mengalami beberapa luka ringan. Keterangan dari perawat yang ku temui secara diam-diam itu kembali terngiang jelas di telingaku. Hembusan angin petang yang menyelinap masuk dari jendela kamar rawat inap itu menyapu wajahku yang membeku. Mataku nanar menatap langit yang mulai menguning. Bagai pemutaran film, kepalaku dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang terangkat kembali. Membuatku merasakan dadaku semakin sesak, namun akhirnya aku menyerah, karena pada akhirnya aku tidak bisa melakukan apapun.
Sekarang tunangan bapak Andreas ada di ruangan perawatan,  aku ingin berlari ke ruangan perawatan saat itu juga, menampar siapapun yang sudah berani-beraninya merebut tunanganku. Memaki siapapun yang sudah dengan bengisnya membuat tunanganku seperti ini, seseorang yang sudah merusak mimpi indahku!!

Dan sekarang di sanalah aku, duduk dengan wajah membeku, menunggu Tuhan mencabut jiwaku untuk menghilangkan seluruh rasa perih ini. Gadis di hadapanku masih memejamkan matanya ketika aku datang. Dua jam berlalu, kini aku bisa melihat jemarinya perlahan bergerak. Dengan perlahan kelopak matanya mulai membuka, ia memicingkan matanya karena cahaya matahari petang yang menyilaukan. Setelah mulai terbiasa dengan cahaya itu, matanya mulai terbuka lebar, dan pandangannya langsung tertuju kepadaku. Untuk sesaat aku hanya terus memandang langit dari jendela kamarnya, menunggu saat-saat kemarahanku mengambil alih jiwaku. Namun tampaknya, tangis selama berjam-jam itu sudah menghabiskan kekuatanku.

Pandangan kami bertemu, saling mengunci satu sama lain, sedang otak kami sibuk merangkai kata yang tak akan pernah bisa terucap. Bertepatan dengan itu, seorang perawat mengetuk pintu dengan perlahan. Ia mengangguk santun dan berjalan mendekati kami. Bu, ini milik tunangan ibu. Katanya sambil mengulurkan sebuah cincin berwarna putih yang begitu familiar dimataku, kepada gadis yang tengah berbaring di hadapanku. Aku merasakan sengatan benda yang melingkari jari manisku sendiri semakin menyakitkan, seakan ia memang berniat untuk meremukan jari-jariku.

Sakit itu kembali menghujam dadaku, menusuk-nusuknya hingga memecahkan seluruh rusukku. Tangan perawat itu masih terulur dengan cincin di atas telapaknya, kami beruda hanya terdiam. Lelah pada kenyataan itu. Maaf, tapi tunangan ibu tidak bisa diselamatkan.” Ia meletakan cincin itu di atas meja kecil di samping ranjang pasien, kemudian keluar dari kamar itu tanpa sepatah katapun, mungkin memberikan waktu untuk sang tunangan meratapi kematian tunangannya sendiri.

Air mata itu kembali menetes, perih acap kali mengingat kenyataan pahit itu. Aku lelah menangis, namun rasanya air mata itu tidak pernah bisa berhenti menetes. Kehilangan orang yang kau cintai, bukankah itu sangat menyedihkan. Mimpiku mendadak sirna, menghilang tak berbekas. Hanya menjadi kenangan menyedihkan semata. Dan rasa rindu akan sosoknya membuatku seakan terbelenggu dalam sakit. Menyesali seluruh kenangan yang tidak akan bisa kembali ku miliki, hari-hari indahku bersamanya.

Gadis di hadapanku menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya, air matanya mulai menetes. Membuatku semakin tak berdaya pada kenyataan itu.

Ia menangis terisak, dadanya bergerak tak beraturan karena kerasnya tangis itu. Seperih itukah? Seperih itukah ia atas kematian tunanganku?!

Seekor burung pipit hinggap begitu saja di jendela kamarnya, lalu kembali terbang ketika angin sore berhembus lebih kencang, menerbangkan gorden-gorden putih yang membingkai manis jendela rumah sakit ternama di kota Jakarta itu. “Maaf gue nggak seharusnya menghianati lo, bisiknya dengan perlahan, masih terisak sesenggukan di atas ranjangnya.

Tidak… tidak bisakah dia berpura-pura kalau ini tidak pernah terjadi? Tidak bisakah ia mengelak, agar semuanya menjadi lebih mudah untukku?

Aku tersenyum miris. Namun bibirku masih membeku, tidak bisa mengatakan apapun.  Li…” panggilnya lebih lirih.

Aku menghela nafas panjang, kemudian mencoba tersenyum lebih tulus lagi, namun setiap gerakan yang ku lakukan hanya membuat dadaku semakin sakit. “Gue seneng lo baik-baik aja,” bisikku, entah tulus atau tidak.  “Di kursi belakang mobilnya ada bunga ini. aku memberikan sebuket bunga mawar yang sudah lusuh itu kepadanya. Bunga itu terbungkus kantung plastik, yang sengaja ku ambil dari tangan para polisi yang entah ingin membawanya untuk apa. Ini pasti buat lo, ia menggeleng, bibirnya perlahan itu bergerak, mungkin hendak mengelak. Win, bisikku sebelum ia berbicara. “Please… kalau Andreas membawakan ini buat gue, itu tandanya dia sama sekali nggak mencintai gue,” bisikku dengan isakkan yang tertahan. “Gue masih Lily yang sama Win. Lily yang memiliki alergi pada serbuk bunga.” tanpa sadar aku mencengkram erat bunga itu, membuat plastic yang menutupinya berbunyi gemerisik. “Dan gue masih berharap kalau dia mencintai gue… setidaknya, sedikit…”

Li… dia sayang lo,” ia menyentuh tanganku dengan perlahan, namun aku langsung menarik diriku menjauh. Bibirku bergetar, menahan emosi yang memenuhi relung hatiku.

“Kalau dia cinta gue, itu tandanya lo yang menghianati gue.” Gadis itu terdiam mendengar kata-kataku, membuatku menyerah pada kenyataan yang menyakitkan itu. “Besok pemakamannya, datanglah.” Bisikku, bersiap pergi, kemudian memutar kursi rodaku. “Tapi Win, seharusnya lo nggak setega itu… merebut pacar sahabat lo yang lumpuh ini. aku terdiam sejenak di depan pintu kamarnya. “Karena sekarang gue nggak yakin, bagian mana yang lebih menyakitkan, kematian Andreas atau penghianatan lo…” Kata-kataku melayang begitu saja di ruangan itu, tepat sebelum aku keluar dari kamarnya.

Dan tangis yang sudah ku tahan sejak tadi itupun pecah begitu pintu di belakangku tertutup. Aku terisak keras, mungkin Winda bisa mendengar suara isakkan tangisku dari dalam sana, namun aku tidak peduli lagi. Aku lelah! Aku hanya ingin semuanya kembali!!! Kenapa harus aku yang mengalami semua kisah menyakitkan itu?! tidakkah Tuhan puas dengan membuatku lumpuh seperti ini?! Mengapa harus tunanganku… sahabatku… dan kematian itu?!

Aku mencintainya Tuhan! Aku berjanji akan menutup mataku pada penghianatannya, aku bahkan rela membagi cintanya dengan sahabatku sendiri, asalkan Kau mengembalikannya kepadaku.

Aku masih menangis keras ketika kakek datang bersama seorang perawat, mereka berlari-lari di sepanjang lorong. Tapi meski akhirnya pelukan itu sampai padaku, aku masih tidak bisa berhenti menangis, walaupun sejujurnya aku sendiri tidak terlalu yakin untuk apa aku menangis saat itu. Apakah karena kematian tunanganku, atau karena penghianatan sahabatku sendiri?

Tapi pada akhirnya, kedua hal itu sama-sama menghancurkan mimpiku. Menghancurkan hidupku.

***

Baby why'd you leave me
Why'd you have to go?
I was counting on forever,
now I'll never knowI can't even breathe

It's like I'm looking from a distance
Standing in the background
Everybody's saying,
he's not coming home now
This can't be happening to me
This is just a dream

-Carrie Underwood - Just A Dream

0 komentar: