Sabtu, 18 Mei 2013

PELANGI HITAM PUTIH -07-


ZAHRA

AIR MATAKU SUDAH mengering, namun perih yang kurasakan masih belum juga menghilang. Aku berdiri mematung di kamarku yang gelap, seperti biasa, termenung sendiri sambil menatap langit malam yang kelam, seakan dengan begitu perlahan-lahan semua rasa dalam hatiku akan menghilang.
Aisah sudah pergi ke kamar Anisa sejak tadi sore. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan, dan lagi pula aku sudah tidak peduli. Aku tau bibi marah padaku karena kejadian tadi, tapi aku tidak bisa mengatakan apapun, aku tidak menyangkal dan mencoba membela diri, karena itu adalah hal yang memang ada di benakku.
Aku mencengkram erat rokku, sudah beberapa jam berlalu, dan belum ada berita sama sekali. Aku sudah hampir pergi menyusul kakek Darmawan jika bibi tidak melarangku. Dan sialnya, entah mengapa Anna juga malah tetap berada di sini. istri macam apa dia?! Mengapa dia tidak ikut mencari Raka?! Bagaimana jika Raka membutuhkannya. Apa Anna akan menunggu terus, sama seperti ia menunggu suaminya yang terdahulu? Menunggu jenazah suaminya…
Wajahku mengeras ketika memikirkan kemungkinan itu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Raka. Aku benci pada kematian. Aku benci! Aku benci pada kenyataan bahwa kematian bisa mengubah hidup seseorang semudah itu, merusak seluruh harapan, dan menebarkan luka. Masih belum hilang rasa sakit ketika pada akhirnya aku harus berdiri di ambang pintu kamar mayat, dan memastikan dua mayat yang bersimbah darah itu adalah kedua orang tuaku, itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, namun rasa sakitnya masih begitu membekas. Meremukan seluruh jiwaku, menarikku pada sebuah jurang kegelapan yang begitu kelam.
Mungkin mereka benar, jika bukan karena bibi aku mungkin sudah benar-benar hilang. Tapi pada kenyataannya meski aku berdiri di sini, aku merasa eksistensi kehidupanku tetap akan menghilang. Ketika tengah berdiri sendiri seperti ini, hal yang terlintas di benakku adalah seluruh kisah masa laluku yang berlalu begitu singkat, namun jelas menyisakan luka yang teramat dalam. Aku tau, aku bukan gadis yang baik, aku bukan sosok yang dapat dengan mudah dicintai oleh orang lain. Aku tidak bisa mengatakan iya ketika otakku mengatakan tidak. Dan hal yang paling menakjubkan dalam hidupku adalah, ketika pada akhirnya aku merelakan sosok cinta pertamaku menikah dengan wanita yang teramat dicintainya.
Tidak ada penyesalan, atau lebih tepatnya aku berusaha untuk menerimanya, toh aku melakukannya karena itulah yang menjadi jawaban shalat-shalat istikharahku. Tapi pada kematian… haruslah aku melerakannya juga?
Aku pikir, setidaknya setelah perpisahan yang menyakitkan itu, aku tetap akan melihatnya, menatap kebahagiannya, membalas senyumannya… namun jika semuanya berakhir seperti ini… aku tidak yakin, mampukah aku terus berdiri tegar di atas dunia ini.
Cinta itu menyebalkan, meski aku masih belum tau apa arti cinta itu sendiri, namun sejujurnya pada detik ini aku membenci cinta! Aku membenci diriku yang lemah karena cinta itu. Aku lelah menjadi sosok yang tersakiti karena cinta itu. Aku membenci cinta yang hanya mempermainkan seluruh hatiku. Mungkin aku gila karena perasaan yang tak kunjung mati ini, tapi sebesar apapun usahaku untuk melenyapkan rasa cinta itu, maka semuanya semakin nyata, seakan memang mereka terus ingin membayang-bayangi kehidupanku.
Tubuhku tersentak ketika mendengar rebut-ribut dari luar kamarku, dengan segera aku langsung meraih ponsel yang tergeletak di meja kerjaku dan berlalu keluar kamar. Bibi tampak tengah merangkul pundak Anna yang terduduk lemah di depan meja telepon, wanita itu mengatupkan kedua tangannya di depan mulutnya, entah mencoba untuk menutupi isakannya atau apa, namun bagiku, semuanya sia-sia, air mata wanita itu sudah menghancurkan jiwaku, menarik tubuhku menuju jurang terdalam yang selama ini tersimpan apik dalam hatiku.
Dengan perlahan Anna meletakan gagang teleponnya kembali, lalu menyandarkan kepalanya ke pundak bibi, seakan ia sudah sama sekali tidak memiliki kekuatan. Aku bisa melihat air mata bibi mulai menetes, dengan lembut ia membelai kepala wanita itu. aku tersenyum pahit penuh kegetiran, sebisa mungkin memalingkan wajahku dari semua pandangan itu, menyembunyikan jiwaku dari kelam perih kisah yang bukan milikku lagi, membohongi diriku sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
“Zahra… kami akan ke rumah sakit, kau ingin ikut nak?” Tanya bibi beberapa saat kemudian. Aku tidak bisa menjawab, bahkan menoleh pun aku tak kuasa, tubuhku kaku menahan keperihan.
“Aku akan menyusul,” bisikku setelah terdiam selama lima menit. Kemudian aku bisa mendengar pintu ganda panti tertutup di belakangku. Dan saat itulah aku kehilangan seluruh kekuataanku, tubuhku ambruk begitu saja, jatuh terduduk kemudian dengan perlahan aku menekuk lututku, memeluk keduanya dengan amat erat, menyembunyikan wajahku di sela kedua lututku, dan menumpahkan seluruh tangisku.
Kenangan beberapa tahun yang lalu kembali menghiasi benakku. Ketika mereka meneleponku untuk segera datang kerumah sakit karena orang tuaku mengalami kecelakaan. Aku yang saat itu tengah sibuk dengan tugas kuliahku di kampus langsung meninggalkan semuanya, kecemasan langsung memenuhi seluruh relung jiwaku. Aku begitu khawatir jika kedua orang tuaku mengalami luka yang parah, aku begitu ketakutan.
Ketika sampai di rumah sakit, aku langsung di hadang oleh seorang polisi. “Nona Zahra?” tanyanya, aku tidak sempat memikirkan bagaimana ia mengetahui namaku, namun aku langsung mengangguk tidak sabar.
“Dimana orang tua saya? Bagaimana keadaan mereka?” tanyaku cepat, nafasku hampir terkuras karenanya.
“Nona, sebaiknya nona tenang dulu, kami membutuhkan beberapa informasi terlebih dulu sebelumnya.” Ujar polisi itu. aku mengernyit tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ia memintaku untuk tenang??!
“Aku ingin bertemu dengan orang tuaku! Bagaimana keadaan mereka? Aku harus kemana? IGD? Apa mereka ada di dalam??” tanyaku frustasi sambil melangkah menu ruang IGD. Polisi itu menangkap tanganku, menahan langkahku dengan tatapan anehnya.
“Apa ini foto anda?” tanyanya seraya menyerahkan selembar foto yang bagian-bagian ujungnya sedikit hangus. Aku mengerutkan keningku, dan mengangguk. Itu adalah foto wisudaku, lengkap dengan kebaya ungu muda yang khusus di pesankan oleh ibuku. “Anda harus ikut dengan kami,” ujarnya dengan perlahan. Untuk pertama kalinya selama 2 jam terakhir itu aku merasa kehilangan akalku. Aku berjalan perlahan di belakang polisi paruh baya itu. mataku manatap nanar punggung tuanya yang tampak sedikit lelah. Tanpa sadar kami melewati beberapa ruangan, lorong-lorong panjang rumah sakit itu cukup ramai, namun tampak sunyi di mataku.
Polisi itu menghentikan langkahnya ketika sampai di sebuah ruangan yang sedikit jauh dari ruangan rumah sakit lainnya. “Saya ingin anda memastikan apakah jenazah di dalam itu adalah orang tua anda…”
Deg.
Leherku terasa begitu kaku dan berat ketika menoleh ke arah ranjang di dalam ruangan serba putih itu. Aku menggeleng perlahan. “Kami bisa melakukan tes DNA kalau nona ingin,” ujar seorang dokter berjas putih.
Aku kembali menggeleng, pipiku terasa panas ketika air mata itu mengalir perlahan. Pemandangan mengerikan di hadapanku membuat jiwaku hancur. Namun bukan pemandangan sepasang jenazah yang hanguslah yang membuat air mataku menetes… melainkan kenyataan bahwa aku mengenal mereka berdua, sehitam apapun api menghanguskan mereka.
Kenyataan bahwa aku mengenali tangan-tangan sosok kaku itu, kenyataan bahwa aku mengenali keseluruhan tentang diri mereka seperti aku mengenali diriku sendiri. Kenyataan bahwa tangan yang hangus itu lah yang dulu menggendongku, menimangku dengan penuh kasih, bahkan meski seburuk apapun kelakuanku. Ibuku… sosok wanita yang kini terbaring kaku tak terkenali secara fisik.
Dan ia, sosok lain itu…. aku mengenalnya, aku bahkan masih bisa merasakan sentuhan penuh kasihnya, aku masih bisa mendengar nasihat-nasihatnya, yang pada saat itu langsung ku sangkal, aku mengenali mereka… aku mengenali mereka sebagai orang tua yang ku cintai…
Tubuhku jatuh terduduk di atas lutut. Sepasanga tangan dengan sigap langsung menahan pundakku agar aku tidak jatuh ke lantai dan membenturkan kepalaku sendiri, meski saat itu, aku benar-benar ingin melakukannya.
Tuhan sudah mengambil orang tuaku, namun aku merasa bahwa IA juga mengambil jiwaku. Jadi untuk apa raga ini tetap hidup jika tak ada lagi Jiwa yang bisa dipertahankan??
Untuk apa aku tetap hidup, jika alasan hidupku sudah menghilang??
***
Ketika hidup dan mati hanya sekedar wacana
Air mata pun takkan mampu mewakili luka…
Pergi jauh jauh dan lupa jalankembali,
hingga letih memaksa mati

4 komentar:

Unknown mengatakan...

akhirny diposting jg.........dtggu lanjutannya.....^_^

Fathy mengatakan...

Ziaaaaa cantik terimakasih Ɣª sayang. Zahra kasihan ( '́⌣'̀)/(´._.`) zahra...

Kapan Raihan'a? :D
Selalu ditunggu cantik ♏ùάçĥº°:*<3<3 º°º♏ùάçĥ:*<3<3. ^.^

kania naytaza putri mengatakan...

Lnjutn-y jngn lma2 yach mba...

Mba fathy d tnggu lnjutan I found you in london-y....kpn d post lg?
Mksh...

nophy.oks@gmail.com mengatakan...

Iya mb. Fathy.. Kangen sm i found u in london... Plis lanjutin donk....