ZAHRA
AIR
MATAKU SUDAH mengering, namun perih yang kurasakan masih belum juga menghilang.
Aku berdiri mematung di kamarku yang gelap, seperti biasa, termenung sendiri
sambil menatap langit malam yang kelam, seakan dengan begitu perlahan-lahan
semua rasa dalam hatiku akan menghilang.
Aisah sudah pergi ke kamar Anisa sejak tadi
sore. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan, dan lagi pula aku sudah tidak
peduli. Aku tau bibi marah padaku karena kejadian tadi, tapi aku tidak bisa
mengatakan apapun, aku tidak menyangkal dan mencoba membela diri, karena itu
adalah hal yang memang ada di benakku.
Aku mencengkram erat rokku, sudah beberapa jam
berlalu, dan belum ada berita sama sekali. Aku sudah hampir pergi menyusul
kakek Darmawan jika bibi tidak melarangku. Dan sialnya, entah mengapa Anna juga
malah tetap berada di sini. istri macam apa dia?! Mengapa dia tidak ikut
mencari Raka?! Bagaimana jika Raka membutuhkannya. Apa Anna akan menunggu
terus, sama seperti ia menunggu suaminya yang terdahulu? Menunggu jenazah
suaminya…
Wajahku mengeras ketika memikirkan kemungkinan
itu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Raka. Aku benci pada
kematian. Aku benci! Aku benci pada kenyataan bahwa kematian bisa mengubah
hidup seseorang semudah itu, merusak seluruh harapan, dan menebarkan luka.
Masih belum hilang rasa sakit ketika pada akhirnya aku harus berdiri di ambang
pintu kamar mayat, dan memastikan dua mayat yang bersimbah darah itu adalah
kedua orang tuaku, itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, namun rasa
sakitnya masih begitu membekas. Meremukan seluruh jiwaku, menarikku pada sebuah
jurang kegelapan yang begitu kelam.
Mungkin mereka benar, jika bukan karena bibi aku
mungkin sudah benar-benar hilang. Tapi pada kenyataannya meski aku berdiri di
sini, aku merasa eksistensi kehidupanku tetap akan menghilang. Ketika tengah
berdiri sendiri seperti ini, hal yang terlintas di benakku adalah seluruh kisah
masa laluku yang berlalu begitu singkat, namun jelas menyisakan luka yang
teramat dalam. Aku tau, aku bukan gadis yang baik, aku bukan sosok yang dapat
dengan mudah dicintai oleh orang lain. Aku tidak bisa mengatakan iya ketika
otakku mengatakan tidak. Dan hal yang paling menakjubkan dalam hidupku adalah,
ketika pada akhirnya aku merelakan sosok cinta pertamaku menikah dengan wanita
yang teramat dicintainya.
Tidak ada penyesalan, atau lebih tepatnya aku
berusaha untuk menerimanya, toh aku melakukannya karena itulah yang menjadi
jawaban shalat-shalat istikharahku. Tapi pada kematian… haruslah aku
melerakannya juga?
Aku pikir, setidaknya setelah perpisahan yang
menyakitkan itu, aku tetap akan melihatnya, menatap kebahagiannya, membalas
senyumannya… namun jika semuanya berakhir seperti ini… aku tidak yakin,
mampukah aku terus berdiri tegar di atas dunia ini.
Cinta itu menyebalkan, meski aku masih belum tau
apa arti cinta itu sendiri, namun sejujurnya pada detik ini aku membenci cinta!
Aku membenci diriku yang lemah karena cinta itu. Aku lelah menjadi sosok yang
tersakiti karena cinta itu. Aku membenci cinta yang hanya mempermainkan seluruh
hatiku. Mungkin aku gila karena perasaan yang tak kunjung mati ini, tapi
sebesar apapun usahaku untuk melenyapkan rasa cinta itu, maka semuanya semakin
nyata, seakan memang mereka terus ingin membayang-bayangi kehidupanku.
Tubuhku tersentak ketika mendengar rebut-ribut
dari luar kamarku, dengan segera aku langsung meraih ponsel yang tergeletak di
meja kerjaku dan berlalu keluar kamar. Bibi tampak tengah merangkul pundak Anna
yang terduduk lemah di depan meja telepon, wanita itu mengatupkan kedua
tangannya di depan mulutnya, entah mencoba untuk menutupi isakannya atau apa,
namun bagiku, semuanya sia-sia, air mata wanita itu sudah menghancurkan jiwaku,
menarik tubuhku menuju jurang terdalam yang selama ini tersimpan apik dalam
hatiku.
Dengan perlahan Anna meletakan gagang teleponnya
kembali, lalu menyandarkan kepalanya ke pundak bibi, seakan ia sudah sama
sekali tidak memiliki kekuatan. Aku bisa melihat air mata bibi mulai menetes,
dengan lembut ia membelai kepala wanita itu. aku tersenyum pahit penuh
kegetiran, sebisa mungkin memalingkan wajahku dari semua pandangan itu,
menyembunyikan jiwaku dari kelam perih kisah yang bukan milikku lagi,
membohongi diriku sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
“Zahra… kami akan ke rumah sakit, kau ingin ikut
nak?” Tanya bibi beberapa saat kemudian. Aku tidak bisa menjawab, bahkan
menoleh pun aku tak kuasa, tubuhku kaku menahan keperihan.
“Aku akan menyusul,” bisikku setelah terdiam
selama lima menit. Kemudian aku bisa mendengar pintu ganda panti tertutup di
belakangku. Dan saat itulah aku kehilangan seluruh kekuataanku, tubuhku ambruk
begitu saja, jatuh terduduk kemudian dengan perlahan aku menekuk lututku,
memeluk keduanya dengan amat erat, menyembunyikan wajahku di sela kedua
lututku, dan menumpahkan seluruh tangisku.
Kenangan beberapa tahun yang lalu kembali
menghiasi benakku. Ketika mereka meneleponku untuk segera datang kerumah sakit
karena orang tuaku mengalami kecelakaan. Aku yang saat itu tengah sibuk dengan
tugas kuliahku di kampus langsung meninggalkan semuanya, kecemasan langsung
memenuhi seluruh relung jiwaku. Aku begitu khawatir jika kedua orang tuaku
mengalami luka yang parah, aku begitu ketakutan.
Ketika sampai di rumah sakit, aku langsung di
hadang oleh seorang polisi. “Nona Zahra?” tanyanya, aku tidak sempat memikirkan
bagaimana ia mengetahui namaku, namun aku langsung mengangguk tidak sabar.
“Dimana orang tua saya? Bagaimana keadaan
mereka?” tanyaku cepat, nafasku hampir terkuras karenanya.
“Nona, sebaiknya nona tenang dulu, kami
membutuhkan beberapa informasi terlebih dulu sebelumnya.” Ujar polisi itu. aku
mengernyit tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ia memintaku untuk tenang??!
“Aku ingin bertemu dengan orang tuaku! Bagaimana
keadaan mereka? Aku harus kemana? IGD? Apa mereka ada di dalam??” tanyaku
frustasi sambil melangkah menu ruang IGD. Polisi itu menangkap tanganku, menahan
langkahku dengan tatapan anehnya.
“Apa ini foto anda?” tanyanya seraya menyerahkan
selembar foto yang bagian-bagian ujungnya sedikit hangus. Aku mengerutkan
keningku, dan mengangguk. Itu adalah foto wisudaku, lengkap dengan kebaya ungu
muda yang khusus di pesankan oleh ibuku. “Anda harus ikut dengan kami,” ujarnya
dengan perlahan. Untuk pertama kalinya selama 2 jam terakhir itu aku merasa
kehilangan akalku. Aku berjalan perlahan di belakang polisi paruh baya itu.
mataku manatap nanar punggung tuanya yang tampak sedikit lelah. Tanpa sadar
kami melewati beberapa ruangan, lorong-lorong panjang rumah sakit itu cukup
ramai, namun tampak sunyi di mataku.
Polisi itu menghentikan langkahnya ketika sampai
di sebuah ruangan yang sedikit jauh dari ruangan rumah sakit lainnya. “Saya
ingin anda memastikan apakah jenazah di dalam itu adalah orang tua anda…”
Deg.
Leherku terasa begitu kaku dan berat ketika
menoleh ke arah ranjang di dalam ruangan serba putih itu. Aku menggeleng
perlahan. “Kami bisa melakukan tes DNA kalau nona ingin,” ujar seorang dokter
berjas putih.
Aku kembali menggeleng, pipiku terasa panas
ketika air mata itu mengalir perlahan. Pemandangan mengerikan di hadapanku
membuat jiwaku hancur. Namun bukan pemandangan sepasang jenazah yang hanguslah
yang membuat air mataku menetes… melainkan kenyataan bahwa aku mengenal mereka
berdua, sehitam apapun api menghanguskan mereka.
Kenyataan bahwa aku mengenali tangan-tangan
sosok kaku itu, kenyataan bahwa aku mengenali keseluruhan tentang diri mereka
seperti aku mengenali diriku sendiri. Kenyataan bahwa tangan yang hangus itu
lah yang dulu menggendongku, menimangku dengan penuh kasih, bahkan meski
seburuk apapun kelakuanku. Ibuku… sosok wanita yang kini terbaring kaku tak
terkenali secara fisik.
Dan ia, sosok lain itu…. aku mengenalnya, aku
bahkan masih bisa merasakan sentuhan penuh kasihnya, aku masih bisa mendengar
nasihat-nasihatnya, yang pada saat itu langsung ku sangkal, aku mengenali
mereka… aku mengenali mereka sebagai orang tua yang ku cintai…
Tubuhku jatuh terduduk di atas lutut. Sepasanga tangan
dengan sigap langsung menahan pundakku agar aku tidak jatuh ke lantai dan
membenturkan kepalaku sendiri, meski saat itu, aku benar-benar ingin
melakukannya.
Tuhan sudah mengambil orang tuaku, namun aku
merasa bahwa IA juga mengambil jiwaku. Jadi untuk apa raga ini tetap hidup jika
tak ada lagi Jiwa yang bisa dipertahankan??
Untuk apa aku tetap hidup, jika alasan hidupku
sudah menghilang??
***
Ketika hidup dan mati hanya sekedar wacana
Air mata pun takkan mampu mewakili luka…
Pergi jauh jauh dan lupa jalankembali,
hingga letih memaksa mati
4 komentar:
akhirny diposting jg.........dtggu lanjutannya.....^_^
Ziaaaaa cantik terimakasih Ɣª sayang. Zahra kasihan ( '́⌣'̀)/(´._.`) zahra...
Kapan Raihan'a? :D
Selalu ditunggu cantik ♏ùάçĥº°:*<3<3 º°º♏ùάçĥ:*<3<3. ^.^
Lnjutn-y jngn lma2 yach mba...
Mba fathy d tnggu lnjutan I found you in london-y....kpn d post lg?
Mksh...
Iya mb. Fathy.. Kangen sm i found u in london... Plis lanjutin donk....
Posting Komentar