Minggu, 14 September 2014

DOMINOS

“KAMU BISA DIAM?!!”
Bentakan itu luar biasa keras, membuat seorang gadis remaja yang sedari tadi tengah berbicara mengenai banyak hal langsung terdiam. Wajahnya langsung membeku, kedua tangannya saling bertautan dengan erat, ketakutan dengan apa yang ia lihat.
Seorang pemuda berumur beberapa tahun lebih tua darinya tampak berdiri menjulang di hadapannya. Matanya melotot, bulat, nyalang penuh kemarahan. Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya, menahan gejolak amarahnya kepada gadis itu.
“Dari tadi kamu tanya ini dan itu! sebenarnya apa yang sedang kamu kerjakan?! Kalau kamu butuh informasi yang terpercaya kenapa kamu nggak tanyakan saja pada penjual alat-alat itu?! atau pergi ke perpustakaan! Baca bukunya!” bentaknya kesal.
Suasana kelas hari itu memang tidak terlalu ramai. Murid-murid yang lain sudah banyak yang pulang. Hanya ada dua orang siswi dan satu orang siswa yang masih mengerjakan tugas mereka, serta ia dan gadis itu. semua mata sontak tertuju ke arah mereka, membuat sang gadis salah tingkah.
“Kamu tau! Kamu adalah orang yang paling merepotkan yang pernah aku temui di muka bumi ini! orang yang paling menyebalkan! Berhenti menanyaiku tentang hal-hal aneh itu!” ujarnya sebelum menutup buku yang tengah ia baca kemudian menarik ranselnya dengan asal, membuat sekotak kartu domino terjatuh begitu saja dari dalam tasnya yang tertutup sebagian.
Lima menit berlalu, gadis itu masih duduk di kursi yang sama, masih dengan ketakutan yang sama, masih dengan air mata yang sama.
***
“Kamu datang?” pertanyaan itu tak terjawab, dan memang tidak membutuhkan jawaban apapun. Gadis itu kembali menatap langit-langit kamar rawat inapnya. Matanya terbuka lebar, dengan usaha menahan air matanya yang sia-sia. “Maaf…” katanya dengan lirih, terdengar samar di balik alat pernafasannya. “Maaf, karena selalu merepotkanmu… tapi kamu pasti senang. Setelah ini, kalau aku mati…” ia terdiam sejenak, perih menahan isak di dadanya. “… kamu nggak akan pernah diganggu lagi,” tetesan yang lain, ia hampir terisak. “…kamu akan tenang kalau aku mati…”katanya dengan rapuh.
“Kalau kamu mati, aku juga akan mati…” itu pernyataan yang tidak pernah terduga sebelumnya, baik oleh gadis itu, maupun oleh dirinya sendiri. Mereka tertegun dalam kebingungan masing-masing. “Aku akan mati karena bosan.” Tambah sosok itu. Ia menatap sepatu sekolahnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus sembuh. Aku berjanji nggak akan membentakmu lagi.”
“Tapi aku menyebalkan…”
“Aku tau.”
“Tapi mereka bilang, mereka akan mengambil ginjalku, aku akan bergantung dengan obat. Aku nggak akan bisa berlari lagi, aku nggak akan bisa bernang lagi, aku nggak akan sama lagi.”
“Aku tau. Aku akan menjagamu, seumur hidupku. Akan ku jawab semua pertanyaan konyolmu, siang dan malam. Akan aku lakukan apapun untuk menjagamu tetap hidup. Aku akan menjagamu. Percayalah. Sembuhlah. Ku mohon…”
Senyuman gadis itu perlahan tersungging tipis. Ia begitu menyukai pemuda itu. Pemuda pintar yang terkadang menggunakan kaca mata di dalam kelas. Pemuda yang selalu menjadi favoritnya ketika menonton pertandingan basket. Pemuda yang mempesona. Pemuda yang sudah ia sukai sejak pertama kali ia berada di sekolah itu.
Gadis itu mengangguk perlahan ketika seorang suster masuk ke dalam kamar rawat inapnya. “Sudah saatnya sayang…” kata suster itu dengan ramah.
Lagi-lagi gadis itu mengangguk. Pemuda itu turut berdiri dari kursinya, membiarkan sang suster mempersiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan untuk oprasi gadis itu.
“Tunggu…” kata gadis itu dengan perlahan. “Ini…” ia mengulurkan tangannya dengan sekotak kartu domino yang mulai lusuh. “Aku senang, kita tidak seperti domino. Aku menyayangimu, dan kamu menyayangi orang lain.” Terangnya dengan lugu.
“Tidak Raihana, aku hanya menyayangimu. Cepat sembuh.”
***

Minggu, 07 September 2014

CHERISH

Itu bukan pertama kali aku melihatnya, cukup sering, mungkin beribu kali. Sesosok pria muda sebayaku, tampan dengan caranya sendiri. Tapi aku tidak yakin sejak kapan tepatnya rasa itu tiba-tiba saja muncul. Sebuah rasa yang membuatku selalu ingin pergi ke sekolah lebih pagi hanya agar bisa melihatnya lebih puas ketika berlatih basket dengan seragam yang ia gulung lengannya. Entah sejak kapan pula aku memiliki hobi-hobi aneh lainnya. Dari suka melamun sendirian, hingga berkali-kali pergi ke kantin hanya agar bisa melewati pinggiran lapangan basket, tempat biasanya ia dengan teman-temannya berkumpul untuk membincangkan segala sesuatu tentang basket yang tidak aku mengerti.
Ia menawan.
Entah sejak kapan aku berpikiran seperti itu. Namun rasanya, hanya sedetik yang lalu, pertama kalinya aku beradu pandang dengannya, dan tiba-tiba saja aku tau, aku menyukainya. Aku merindukan senyumannya, aku menyukai caranya tertawa, aku menyukai caranya berbicara, caranya mengangguk, bahkan caranya mengedipkan kedua kelopak matanya.
Ia istimewa.
Pria yang membuatku tidak bisa berkutik; yang membuatku ingin terus menatap kedua matanya, menguncinya agar hanya terpaku menatapku. Agar ia tetap hanya tersenyum kepadaku. untukku.
Berdekatan dengannya, membuatku merasakan suatu rasa nyaman yang luar biasa. Seperti zat adiktif, seperti magnet berlawanan arah, saling menarik.
Bersamanya, meski hanya dalam diam, aku takkan pernah merasa bosan, bahkan jika sampai seribu tahun berlalu pun, rasa nyaman itu selalu ada. Ia membuatku merasa aman dengan caranya sendiri. membuatku merasa tidak perlu berlari untuk mencari pundak lain ketika aku lelah.
Satu detik yang sangat berharga, yang mengubah seluruh hidupku dalam sekali kedipan.
Andai saja ia tau hal itu.
***
“Aku minta maaf…”
Aku tidak mengerti. “Untuk apa?” tanyaku dengan polos. Kami hanya duduk berselang satu meja di kantin. Aku menatap kedua matanya, seperti biasa, namun ia menghindari tatapanku. Tangannya bergerak dengan gelisah, seakan menyembunyikan sesuatu.
“Aku nggak mau terjadi kesalah pahaman di sini. Antara kita berdua.”
Aku mulai gelisah. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Aku tidak mengerti. Tapi aku hafal seluruh raut wajahnya. Terutama saat ia mulai lelah. Ketika semua yang ada di benaknya mulai membuatnya ingin menghilang di telan bumi. Ketika mungkin tidur seribu tahun tidak akan mengubah seluruh masalahnya.
Tapi aku tidak ingin mendengar. Aku tidak ingin mendengar sama sekali!!
“Sepertinya kamu sedikit salah paham. Selama ini, aku menganggapmu hanya sekedar teman biasa. Seperti aku dengan yang lain, atau kamu dengan yang lain. Ku mohon jangan berpikiran lain. Aku hanya mencoba untuk berbuat baik kepada semua orang.”
“Jangan mengharapkan lebih.” Katanya sungguh-sungguh, membuatku sejenak tertegun. Apa aku sekarang sedang terlihat tertawa di matanya? hingga ia bisa dengan santai mengatakan seluruh kata itu dengan sangat lugas dan mudah. “Aku hanya ingin bersahabat dengan semua orang.” tambahnya. “Lagi pula, kamu pasti sudah mendengar kabar mengenai aku dan Raihana. Ya, itu benar. Aku menyukai Raihana.”
***
Hujan petang itu, menghapus jejak mimpi yang sempat tersulam. Terisolasi dengan segenggam nyata yang tak terelak.
Aku menatap hujan dari balik jendela, mencoba menghapus bayang-bayang punggung bidangnya ketika akhirnya berjalan menjauh setelah mengatakan apa yang mungkin ia pikir perlu ia katakan untuk kebaikannya, untuk menyakitiku.
Mungkin pada akhirnya dia benar. Aku terlalu berharap lebih. Cinta itu selalu membuat seseorang menjadi lebih bodoh. Menjadi lebih dramatis. Selalu melebih-lebihkan seluruh rasa yang ada. Mungkin selama ini, rasa itu yang membuatku sedikit buta, bahwa yang ia lihat bukan hanya kedua bola mataku. Bukan kepada pandanganku, kedua matanya terkunci. pada gadis lain, mungkin.
Mungkin aku yang salah mengartikan senyumannya. Mungkin seluruh hormon di dalam jiwa remajaku yang sudah membuat otakku tumpul untuk lebih bijaksana dalam berpikir. Atau mungkin aku memang benar-benar bodoh karena mempercayai bahwa dia juga cukup menyukaiku?
Mungkin aku terlalu bodoh, atau cinta itu yang membuatku bodoh.  
Hujan petang itu, akan menjadi hujan terindah. Ketika kamu hanyaberbicara kepadaku, ketika pandangan itu memang ditujukan hanya kepadaku, meski akhirnya hanya untuk menuai luka yang lebih dalam. Tapi siapa peduli? Toh, gadis itu juga sudah tidak memiliki hati. lalu bagian mana yang tersakiti?
Mungkin ia akan menangis sejenak, menangisi kebodohannya, karena mempercayai, bahwa cinta itu ada. Tapi lalu ia akan segera lupa, seperti biasanya. 

Senin, 10 Maret 2014

HUJAN DAN MASA LALU.


 Plak!

Sebuah tamparan keras jatuh telak di pipi kiriku, meninggalkan rasa menyengat yang membuat dadaku langsung mendidih, marah. Aku meraba pipiku yang mungkin memerah itu, lalu membulatkan mataku pada wanita yang masih berdiri kaku di hadapanku. Matanya juga memerah, nyalang diamuk amarah. Bibirnya berkedut, terlalu murka untuk melontarkan makian, atau mungkin sedang mempersiapkan sebuah semburan yang bisa langsung menenggelamkanku pada kata-kata tajamnya.

Suasana di kamar kontrakanku mendadak hening, semuanya sunyi senyap, bahkan detakan jarum jam dinding pun tampak terdengar sembunyi-sembunyi di balik dinding yang membisu. Mulutku bungkam, lagi pula apa yang bisa ku katakan?

“Jalang.” Hanya itu yang terdengar. Berupa bisikan, tipis dan telak menusuk jantung. Tubuh angkuh wanita di hadapanku bergetar hebat, mungkin sedang berdebat dengan keinginannya untuk menamparku lagi, atau bahkan sekarang dia ingin membunuhku? Tapi apa peduliku?

Hujan di luar sana mulai turun rintik-rintik, menambah dramatis keadaan saat ini. Tidak ada petir, hanya sekedar hujan berskala rendah, yang mungkin akan bertahan sampai esok hari, atau esok lusa, atau selamanya. Tapi siapa yang peduli?

Aku duduk di atas ranjang, menghadap kearahnya, sedang wanita itu berdiri di depanku, begitu mudah jika ia ingin menamparku lagi. Mungkin ingin menjejaki pipiku yang lain dengan jemari tangannya yang panjang. Aku sudah tidak mau ambil pusing.

“Wanita jalang!” desisnya lagi. kali ini dibarengi tetesan air mata. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, mengapa dia yang menangis, bukankah dia baru saja menamparku? Seharusnya aku yang menangis, kan? ah, semakin membingungkan.

Lalu tiba-tiba saja ia menarik tangannya, menarik tubuhnya, menjauh, mundur dan bertumpu pada meja kayu tempatku meletakan tumpukan buku-bukuku.

“Kamu pikir permainan apa yang sedang kamu ikuti?” tanyanya, nada suaranya terdengar lemah, mungkin lelah. Aku tidak yakin. “Demi Tuhan De, kamu sudah dewasa! Sudah 21 tahun, kamu seharusnya mengerti semuanya. Bukannya malah bermain-main seenaknya seperti ini!” aku masih membulatkan mataku padanya, enggan berkomentar. Lalu ia berkata lagi, lebih frustasi, “kamu cantik. Kamu sudah mapan, tapi mengapa kamu melakukan hal sekeji itu?! apa itu impian masa kecilmu? Menjadi pelacur?!”

Nah. Aku merasakan sebuah potongan kayu tumpul merobek dadaku dengan paksa. Sisi-sisinya yang kasar mengoyak lapisan demi lapisan dagingku dengan kasar, memutus semua aliran darah di sana, lalu menghujam jantungku.

“Apa yang akan dikatakan ibu dan bapak kalau tau putrinya melacur di Jakarta?! Apa yang akan mereka tanyakan kepada mbak?! Harus menjawab apa mbak ketika bertemu di akhirat nanti?!” ia menangis sendiri, di kamar kontrakanku yang sepi.

Di luar masih hujan, mungkin sampai esok, tapi siapa yang peduli?!

“Ibu selalu berkata bahwa kelak kamu akan menjadi seorang wanita yang cantik, dan ibu benar. Kamu lebih cantik dari mbak. Kamu lebih pintar, kamu lebih sukses… tapi kenapa De? Kenapa harus begini?” matanya sembab, kini ia berbicara sendiri. “Karirmu masih panjang De, kamu masih bisa meraih cita-cita mu lebih tinggi lagi. Tapi sekarang kamu merusak semuanya!” lalu terdiam, menghela nafas panjang, melanjutkannya lagi, “dia bahkan hampir setua ibu, 48 tahun. Apa ini yang sebenarnya kamu harapkan De? Menikahi pria kaya yang sudah tua, lalu menikmati hartanya ketika ia mati?! Begitukah?! Jawab De!!!!” ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan keras. Menunggu tubuh lunglaiku melakukan hal lain, selain melengos tak bertenaga di atas ranjangku.

Lalu ia melangkah mundur lagi, menangis sesenggukan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Aku masih menatapnya, menunggu hujan di luar sana menetes lebih deras, membuat riak kecil di kobangan air di jalan-jalan.

“Seharusnya aku tau, sejak awal, ketika kamu mendekati internis itu, seharusnya aku tau! Seharusnya aku bisa mencegahmu sejak awal! Wanita macam apa kamu?! Semua orang membicarakanmu! Menyebutmu jalang!!”

Dan dia juga.

Semua orang.

Hujan di luar sana belum mereda, tapi tangisnya sudah menghilang, histerianya menyusut, menyisakan jejak-jejak kegalauan dalam gumaman-gumaman semunya. “Dea fayaditha, seorang manager real estate muda yang cantik, berumur awal 21 tahun, mengencani seorang internis tua berumur 48 tahun untuk mengincar hartanya.” Gumamnya sarkastis, seperti membaca sebuah headline surat kabar, namun dengan nada miris. Sebuah tawa hambar mengambang di dalam keheningan malam.

Hujan… hujan… kapan berhenti? siapa yang peduli?

Mungkin katak itu peduli. Siapa yang tahu?

“Katakan pada mbak, apa ada pria lain? Kepada siapa kamu menjajakan tubuh molekmu selain pada internis tua itu?! katakan pada mbak!!!” bentakan itu seperti meledak dikepalaku. Membuat semuanya berantakan, kosong. “Kepada siapa de??” tanyanya, lirih.

Tapi deringan ponsel yang ia simpan di saku celananya mengalihkan pandangannya untuk sesaat. Ia mengangkat telepon itu, entah telepon dari siapa. Lalu lima belas detik berlalu begitu saja. Wajahnya berubah-rubah warna, bukan pelangi, namun kekelaman. Seperti mendung yang terbiaskan malam, lalu gelap dirundung hitam.

Tidak ada kata-kata lain. Padahal di luar hujan masih sama derasnya, kapasitas sedang, merata ke semua penjuru daerah. Tamparan yang kupikir akan kembali datang tergantikan oleh sebuah pelukan erat.

Tidak ada kata-kata, tapi tangis itu pecah berantakan. Meledak. Dan hujan masih turun dengan kapasitasnya yang sama.

Suara katak menggema di bawah hujan, entah bernyanyi atau bersorak. Ramai memadati melodi malam. Dan aku tidak ingin diam, rindu untuk turut bernyanyi di bawah guyuran hujan, seperti masa lalu.

“Aku mencintai dia.” Itu sebuah pernyataan yang tulus, benar adanya. “Mungkin aku merindukan sosoknya, yang melindungiku seperti seorang ayah yang selalu melindungi putrinya, yang menyayangiku tanpa sebuah alasan yang berarti. Mencintaiku apa adanya.” wanita itu masih menangis, sama seperti hujan di luar sana, dan katak itu bersuara lebih keras lagi. entah bernyanyi atau bersorak.

“Ia mengajariku banyak hal, membimbingku menjadi sosok yang lebih bijak dalam menyikapi kehidupan, menjadi lebih dewasa, menjadi sosok yang seperti mbak lihat sekarang ini. Ia menjagaku, siang dan malam, menemani tidurku, memastikan bahwa tidak ada mimpi buruk yang menyergapku ketika terlelap, menungguku di pagi hari, menemaniku menikmati mentari pagi. Memastikan bahwa aku mendapatkan hal yang terbaik pada hari itu, begitupun untuk keesokan harinya. Jika masih memilikinya. ”

Hujan… hujan… turunlah lebih deras.

“Aku memiliki berjuta alasan untuk mencintainya. Tapi tak seorang pun peduli, bahkan diriku sendiri. Karena, bahkan jika katak itu bisa mengerti, mungkin ia akan mengatakan hal yang sama. Itu bukan cinta, melainkan sebuah kewajiban, untuk seorang internis bijak pada pasiennya yang sekarat.”

Di luar masih hujan, mungkin sampai esok, atau esok lusa, atau selamanya. Siapa yang peduli? Toh malam ini, hujan akan menjadi masa lalu dikeesokan harinya. Lalu menghilang, terkenang sejenak, dan menghilang lagi.


Rabu, 05 Maret 2014

Me VS Outline

Berumur 22 tahun lebih 7 hari,
well, ini bukan sebuah pilihan. hahaha, menjadi tua itu keharusan, atau lebih tepatnya... ya udah takdir kali neng..
mau pura-pura masih muda juga nggak mungkin, udah bukan belasan (dan udah ga pantes ngaku2 belasan. LOL)

Lama nggak pernah muncul di blog, sampai penuh sama sarang laba-laba nih blog. hahaha, abis kadang ngeblog itu rempong, dari hp (meskipun yang katanya ponsel pinter) tapi tetep aja rempong. *Bocah yang sarat dengan kemalasan* :D

just wanna write something about.... it....

masih nggak tau gimana harus mengambil keputusan.
Mereka bilang nih yah, ketika menginjak masa kuliah selepas SMA itu adalah gerbang menuju kedewasaan, menuju kehidupan yang asli, yang... apa yah istilahnya.... pokoknya kehidupan yang sebenarnya lah, or something like that. :D

Tapi buat saya, itu sama aja kaya waktu SMA. NGGAK PUNYA KESEMPATAN MEMILIH.  (kenapa ini berasa OOT. Wkwkwkw)

miris sebenernya mikirin hal ini, ketika tau masa lalu cuma akan menjadi masa lalu. <-oot lagi *Plak!

Saya lemah dalam memori, Angka, Nama, apalagi Arah. Tinggalin aja saya di tengah jalan, pasti nggak bakal bisa pulang. hahaha, Iya lebih pintar Kucing yang selalu tau jalan pulang. Itu juga yang buat saya lebih suka berkelut sama seni, yang bisa mengkreasikan hal baru di setiap detiknya, jadi nggak perlu inget-inget masa lalu. (karena emang susah ingetnya).
Nah... masalah ini juga yang bikin cerita yang saya buat suka melenceng kemana-mana, karena jujur aja... saya suka lupa sama cerita di bab awal kalau udah nulis jauh ke bab akhir. :D :D :D
jadi nggak konsisten deh alurnya. *plakkk!!!!

Outline penting dong?

Penting buanget sebenernya...
buat menjaga memori saya untuk ttp berada di alur yang sudah digariskan. *cie dah dikata apaan.
Tapi ternyata eh ternyata, saya bukan orang yang bisa membatasi diri. Maksudnya, ketika kita sudah menuliskan outline lengkap, dari awal kisah sampai akhir, saya justru akan berhenti nulis tentang hal tersebut. Hahahaha,
ditinggalin gitu aja dah...
abis kesannya, Udah nggak ada rahasia yang mau saya ulik lagi, toh kisahnya udah selesai tergambarkan. Jadi nggak ada tantangan.
Payah banget sebenernya. -___-

jadi mohon maaf kalau yang kemarin sempet baca-baca tulisan saya, dan merasa ceritanya ngalor ngidul kemana-mana. Saya sih, positifnya, menyebut itu sebagai keunikan. Hahahahaha *tawa hambar-menghibur diri sendiri*

Tapi simpelnya, kalau dari bab awal sudah tidak berkenan di hati anda, tidak perlu lah dilanjutkan ke bab-bab selanjutnya cuma buat menelisik kesalahan orang lain. Eh tapi apa perlu yah?

ya sudahlah, terima kasih untuk komen-komen cantiknya. :* sesingkat apapun itu, selalu, membuat hati yang dikomeninnya berdesir-desir gimanaaaaa gitu... *salah respon



                 XOXO


RAINY TEARS 3


“Aku tidak bisa meninggalkannya.” Gumamku ditengah-tengah tiupan lembut angin petang hari itu. Minggu kedua di bulan Desember yang berhujan. Langit di hadapan kami masih tampak gelap tertutup awan mendung. Baru saja setengah jam yang lalu hujan berhenti menyerbu bumi, namun sepertinya sekarang langit sudah siap memuntahkannya lagi. Seakan tidak pernah puas.

Untuk beberapa saat tidak ada jawaban apapun dari gadis di sampingku. Mungkin dia marah, dan aku tidak bisa menyalahkannya jika dia sampai tidak ingin lagi berbicara padaku. Mungkin cukup sampai di sini perjalanan berliku cinta itu.

Aku tidak pernah mendapatkan gelar playboy dimanapun. Di SMA aku lebih pendiam, bergemul dengan berbagai organisasi, dan mencintai basket dan musik sepenuhnya, tidak ada waktu sedikitpun untuk memikirkan masalah wanita yang bertele-tele dengan sejuta dramanya. Masa kuliah? Tidak berubah terlalu banyak. Aku lebih senang berada di jalanan, berdemo dengan komunitas kemanusiaan alih-alih duduk mengencani gadis-gadis kampus yang mati-matian berusaha tampil cantik di balik make up tebal mereka. Bagiku itu menjijikan, seakan kepala mereka hanya dipenuhi oleh tumpukan kosmetik dan cowok yang mereka sukai.

Menjelang kelulusan dari universitas, akhirnya untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tau apa yang mereka sebut dengan cinta, atau kurang lebih seperti itu.

Hari itu, minggu terakhir di bulan desember, rintik-rintik hujan jatuh tepat menjelang malam pergantian tahun baru. Sebagai seorang senior di komunitas seni yang ku ikuti setengah hati, aku terpaksa hadir dalam acara pentas seni yang diadakan di kampus untuk mengisi malam pergantian tahun baru yang basah. Aku memang menyukai musik, tapi belakangan ini aku terlalu risih dengan teriakan-teriakan gadis-gadis yang tampak gila itu ketika aku berdiri di atas panggung dengan mikrofon dan gitarku. Jadi aku memutuskan untuk berhenti, lagi pula aku harus memberikan kesempatan untuk bintang yang baru, dan mulai memfokuskan diriku pada tugas akhir skripsi yang sudah tertunda setengah tahun dari jadwal yang ku targetkan.

Pukul 14.30, tahun 2009. Jika mereka mengatakan cinta itu dari mata turun ke hati, maka itu tidak berlaku padaku. Karena bagiku, cinta itu menghampiri telingaku terlebih dahulu baru mengetuk mata dan hatiku.

Suasana bising orang-orang yang tengah mempersiapkan pentas malam itu membuatku jengah. Terlebih hujan di luar sana belum juga mereda sejak satu jam yang lalu. Untungnya panitia mengusulkan untuk mengadakan acara itu di dalam aula utama, jadi penonton yang hadir tidak perlu membawa payung kalau-kalau hujan tidak berhenti sampai malam tiba. Sambil memasukan tanganku ke dalam saku jeans, aku berdiri dari kursiku yang terletak di pojok aula, dekat sound system yang sudah terpasang sempurna. Beberapa juniorku memasangkan kain hitam yang menutupi seluruh dinding aula sebagai latar, lalu menambahkan kain-kain berwarna lebih mencolok bergambarkan graffiti-grafiti kreasi mereka. Aula itu cukup besar, mampu menampung 800 orang jika duduk lesehan di lantai.

“Gue cabut dulu,” kataku pada Hendra, salah satu teman seperjuanganku di komunitas itu. Hendra yang tengah menyeting gitarnya menoleh kepadaku.

“Lo nggak mau liat anak-anak cek sound dulu?” tanyanya. Aku melirik ke atas panggung di dalam aula dengan malas.

“Ntar sore aja. Males gue. Lagian yang tampil masih dia-dia juga kan?” cibirku sarkastis. Hendra menghela nafas panjang. Namun tidak berkomentar.

“Jangan salah bung An, sekarang kita punya bintang baru.” Tiba-tiba saja Dimas merangkul bahuku. Ia menyeringai lebar penuh antusias. “Garapan si bung Hendra tuh,” ujarnya sambil menunjuk Hendra dengan tatapannnya. “Lo nggak cerita Hen?”

“Percuma aja cerita,” gumam Hendra sebagai jawaban. “Sekarang kan tuh bocah udah sibuk sama kerjaannya.” Tambahnya seakan-akan aku tidak berada di sana. Aku tertawa pelan, lalu dengan asal mendorong bahunya.

“Ya udah lah gue cabut dulu. Kalau sore nggak datang, berarti gue datang malem.”

“Sial. Nggak adil banget bung Hen, masa lo biarin si kunyuk pergi sih?!” gerutu Dimas ketika Hendra tidak mencegahku berjalan keluar aula. Aku hanya melambaikan tanganku tanpa menoleh lagi. mengabaikan kekesalan Dimas yang terus memanggilku untuk kembali.

Tapi baru saja satu langkah aku melewati pintu ganda aula kampusku yang megah, jantungku langsung berhenti berdetak ketika mendengar suara dari speaker yang juga sudah terpasang sempurna di setiap sudut strategis. Suara itu mengalun merdu, begitu lembut dan menyejukan. Dan entah bagaimana, aku merasa suara itu sangat harum. Seakan aku bisa bernafas dengan oksigen dari alunan lembut suaranya.

Aku berbalik. Dan meski Hendra tidak menoleh sama sekali kepadaku, masih terfokus pada gitarnya, aku tetap bisa melihat sebuah senyuman khas terukir di wajahnya. Seakan dia sudah tau dengan apa yang akan terjadi. Lalu sekarang tersenyum penuh kebanggaan pada dirinya sendiri.

Gadis itu mengenakan gaun selutut berwarna ungu muda, dengan jaket atau apapun nama sejenisnya yang berbahan lebih lembut, berwarna pink pudar. Rambutnya hitam sedikit kecoklatan, bergelombang, dan panjang, dijepit seadanya di kedua sisinya, membuat anting-anting giwang berbentuk hati terlihat samar-samar di telinganya. Kulitnya tidak seputih orang-orang keturunan cina, bahkan hampir berwarna coklat muda, tapi begitu halus. Ia memejamkan matanya ketika bibirnya bergerak di depan mikrofon. Sedang jemarinya dengan anggun menari di atas nuts hitam putih piano yang ada di hadapannya.

Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, dan suaranya yang sudah membuat jiwaku jatuh sedemikian dalamnya ke kubah cinta.

Berdiri diambang pintu, aku melipat kedua tanganku ke dada, sedikit bersandar, dan tersenyum pada apa yang ku lihat di atas panggung. Akhirnya di sepanjang hari itu, aku tidak pernah sekalipun melangkahkan kakiku dari aula, tidak pernah selama aku bisa melihat sosok cantik nan anggun itu tetap berada di sana. Melakukan tes vocal, dan menerima beberapa pengarahan dari seniornya, Hendrawan Firman.

***

“Gimana menurut lo?” kami tengah duduk berdua ketika jam tanganku menunjukan pukul 7 malam. Beberapa juniorku masih sibuk dengan persiapan-persiapan akhir-menyulap aula itu. sedangkan yang lainnya tengah beristirahat dan mempersiapkan diri mereka untuk penampilan nanti malam. Acaranya dimulai satu jam lagi, namun aku bisa melihat lapangan kampus sudah mulai dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang siap menonton acara malam itu.

Aku menyesap kopi yang dibuatkan juniorku dengan perlahan. Mengabaikan hawa panas yang terlihat dari kepulan asapnya. Kami duduk tepat di bagian belakang aula, menatap lurus kearah panggung. “Soal apa?” tanyaku berpura-pura tak acuh.

“Yang tadi sore.” Jawab Hendra, ikut menyesap kopinya juga.

Seorang gadis bertubuh langsing menyelinap melewati pintu aula ketika aku menatap kesekeliling aula itu. Ia tersenyum, tersipu malu-malu ketika menyadari aku tidak sengaja menatap kearahnya. Tapi aku langsung memalingkan wajahku lagi, jengah melihat usahanya untuk menarik perhatianku pada tubuhnya dengan membusungkan dadanya yang hanya terbalut kaos putih berbelahan rendah. “Lumayan.” Jawabku asal.

Hendra menyunggingkan senyum tipis lalu mengangguk-ngangguk. “Dia pandai main musik. Pertama kali gue liat, langsung gue tarik.” Ujarnya membanggakan diri.

“Siapa namanya?” tanyaku berusaha sebisa mungkin tidak tampak mencolok.

“Winda. Winda Aldena Clarisa.” Aku mendengus dongkol ketika tiba-tiba Dimas sudah berada di antara kami. Menyomot pisang goreng dengan seenak jidatnya. juniorku yang satu ini sepertinya memiliki kekuatan jin iprit hingga bisa muncul di manapun dengan sekedipan mata.

Nama itu terus terngiang-ngiang di telingaku sampai dipenghujung malam itu. “Boleh juga.” jawabku cuek. Dan Hendra terkekeh pelan. “Lumayan.”

“Bukan lumayan, tapi produk super. Apa kata gue. Bung An ini pasti langsung bertekut lutut di hadapan Winda!” ujar Dimas menggebu-gebu. “Bung Hendra ini awalnya meragukan teori gue!” ujarnya, membusungkan dadanya dengan angkuh. Hendra yang paling tidak suka mendengar tambahan kata ‘Bung’ di depan namanya langsung mengalihkan pandangannya, mengabaikan Dimas. Sang cowok metroseksual.  

Aku bangkit dari kursiku, malas meladeni kedatangan Dimas yang sebenarnya satu tahun dibawah kami namun berlagak seperti senior yang merasa tau segala sesuatu. “Gue cabut dulu.” Kataku pada Hendra yang langsung dijawab dengan anggukannya.

Oke, sepertinya aku berhutang maaf pada Hendra dan tepukan kagum atas acara malam ini. Pentas seni menyambut malam tahun baru berjalan sangat meriah. Sebuah opera musical yang dimainkan oleh anak-anak drama benar-benar menakjubkan. Dan dari selentingan yang ku dengar, tangan dingin Hendra juga yang mengaransemen musiknya hingga menjadi spektakuler seperti itu. Penampilan Winda lebih mempesona lagi.

Ia masuk di bagian akhir drama musikal, menyanyikan lagu penutup dengan suaranya yang luar biasa lembut. Lampu tembak langsung menyorotnya ketika pertama kali ia menekan nuts-nuts piano di atas panggung. Aku tidak yakin kapan ia naik ke sana, mungkin tadi, ketika semua penonton tengah sibuk memperhatikan lakon para pemain drama. Ia mengenakan gaun putih yang cukup panjang sampai menutupi kakinya. Rambutnya lagi-lagi hanya digerai, namun berhiaskan sebuah jepit bunga lili yang cukup besar. Silau lampu membuat aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hingga akhirnya tanpa sadar aku terus berjalan mendekati panggung. Melewati beberapa penonton yang terusik karena langkah-langkah besarku, mengabaikan pandangan cemas bercampur heran dari Hendra. Gadis cantik itu sudah benar-benar menyihirku.

Riuh tepuk tangan dari penonton menyadarkanku dari keterpesonaan akan kecantikan Winda. Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku. Apa yang sebenarnya sudah ku lakukan?!

“Tunggu!” teriakku tiba-tiba ketika gadis cantik itu hampir saja menghilang di balik panggung bersama dua orang pemuda berpakaian hitam, keduanya dikalungi papan nama yang bertuliskan panitia. Gadis cantik itu menoleh. Dan aku bisa melihat keindahan wajahnya lebih nyata lagi. benar-benar cantik. “Maaf, aku perlu bicara sebentar.” Kataku tanpa basa-basi. Aku memberikan lirikan ‘mengusir’ kepada kedua panitia yang tentu mengenaliku itu, dan meski bingung akhirnya keduanya pergi meninggalkan kami di belakang panggung. Winda mengerutkan keningnya, matanya menunjukan sedikit kecemasan ketika melihat kedua panitia itu menghilang di balik panggung. Tapi aku tidak peduli. “Kamu Winda?” tanyaku.

Wajah cantiknya sedikit memucat, ia menggigit bibir bawahnya, membuatku semakin dimabuk kepayang oleh kecantikannya. “Maaf,” katanya ragu-ragu. “Saya…”

“Lily?” tiba-tiba saja Hendra sudah berada di belakang punggungku. Aku mendengus kesal. kenapa pula dia harus muncul di saat-saat seperti ini?!

“Mas Hendra,” katanya dengan nada lega.

“Yang lain sudah menunggumu,” ujar Hendra sebelum aku bisa memotong kata-katanya. Dua orang panitia yang tadi ku usir kembali muncul, sedikit menunduk lalu menghampiri Winda dan membawanya pergi begitu saja. Aku menggeram pada Hendra. “Apa?” tanyanya tanpa rasa bersalah. “Katanya lo mau ketemu Winda, ayo!”

“Lho, tadi?”

“Yang tadi sepupu jauh gue, Lylianne. Dia sahabat Winda, tinggal di Bandung.” Terang Hendra. Aku terkekeh pelan. Jadi aku salah? Pantas saja tadi dia terlihat cemas. “Gue minta maaf karena nggak ngabarin lo sebelumnya. Yah, gue pikir nggak ada yang akan sadar juga kalau dia bukan anak kampus kita. Toh dia Cuma muncul di penutupan. Ternyata mata lo cukup jeli. Sori men.” Hendra meninju lenganku dengan pelan. Dalam komunitas kami memang ada satu aturan mutlak, tidak boleh mengambil orang lain untuk tampil dari luar komunitas. Tapi siapa peduli?!

Aku mengernyit, “Buat apa lo minta maaf sama gue?!” tanyaku bingung.

“Loh, tadi bukannya lo?”

“Gue pikir dia yang namanya Winda.” Jawabku asal. Kini giliran kening Hendra yang berkerut. “Gue ke sini karena gue mau ngedeketin dia, eh elo malah nongol kampret!”

“Bukannya lo naksir Winda?”

“Ya mana gue tau yang namanya Winda itu yang mana.”

Hendra mengacak rambutnya frustasi. “Itu Winda, yang tadi main biola di samping sepupu gue,” katanya sambil menunjuk seorang gadis yang masih berada di atas panggung. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat sosok yang ditunjuk Hendra itu dengan cukup jelas. Ia tinggi semampai, mengenakan gaun berwarna hitam, menutup sampai kakinya juga, rambutnya di kuncir, lurus, mungkin itu yang mereka sebut kuncir ekor kuda. Tak berkelok sama sekali. Ia memiliki paras yang cantik, dan sesuatu di dalam matanya menunjukan sebuah nuansa tegas yang mempesona. Seorang wanita mandiri. Tapi aku hanya mengangkat bahu tak acuh ketika Hendra menanyakanya sekali lagi.

“Jadi lo bener-bener naksir Lily?” tanyanya, suaranya terdengar masih sangat tidak percaya. Aku tidak mengangguk, tapi aku yakin dia bisa melihat keseriusan di mataku. “Hm, lo liat kan dia pakai…”

“Kursi roda?” potongku. Hendra mengangguk, matanya menerawang jauh ke kerumunan penonton yang antusias menunggu penampilan band selanjutnya.

“Dia lumpuh, kecelakaan sejak umur 11 tahun. Orang tuanya meninggal.”

Aku tidak tau harus berkata apa, jadi kami hanya terdiam. Tapi lagi-lagi aku yakin Hendra bisa melihat keseriusan itu di mataku.

***

Desember 2013

Jika masih hidup Hendra pasti akan membunuhku kalau tau apa yang terjadi saat ini. Tiga atau empat tahun yang lalu, Dimas mati-matian bersikeras kalau aku sebenarnya mencintai Winda, bukan Lily, dan meskipun tidak berkomentar apa-apa, aku bisa melihat kerutan cemas di antara kedua mata Hendra. Tapi setidaknya, hingga sosok hebat itu menghembuskan nafas terakhirnya karena DBD akut di tahun 2011, ia masih mengenal aku yang mencintai Lily dengan sepenuh hati.

Aku sendiri tidak tau kapan tepatnya aku pertama kali jatuh hati kepada Winda. Mungkin ketika aku, Lily dan Winda pergi bersama, ke Bandung, lalu setelah mengantar Lily pulang, kami berduaan di mobil; atau ketika hari-hariku banyak dihabiskan bersamanya, karena ketika lulus kuliah, aku lah yang membantu Winda mendapatkan pekerjaannya sekarang sebagai sekretaris di sebuah perusahaan yang berkantorkan pada sebuah gedung yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari kantorku sendiri; atau mungkin sejak aku tau dia mencintaiku.

Ini sebuah kesalahan, aku tau itu. Tapi apa yang bisa ku lakukan ketika gadis cantik itu tiba-tiba saja mengutarakan perasaannya kepadaku. Ia tidak memintaku untuk membalas cintanya, namun aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Sampai akhir tahun 2012, aku tidak pernah membalas cintanya, bahkan aku seakan-akan menganggap itu tidak pernah terjadi. Mengabaikan perasaannya begitu saja. Menikmati cintaku dan Lily tanpa memperdulikannya. Toh meskipun aku tidak pernah membalas cintanya, ia tetap berada dekat denganku. Dia adalah sahabat baik Lily. Dan itu membuatku mudah untuk memantau gerak-geriknya.

Winda sosok yang mandiri. Ia tidak pernah merengek. Selalu tampak tegar dan santai. Aku menyukainya dalam hal itu. Membuatku tidak perlu merasa khawatir ketika harus meninggalkannya untuk menemui Lily. Dia hampir tidak pernah menangis di hadapanku. Lalu semuanya berjalan begitu saja. Entah bagaimana, aku pun mencintainya. Sesederhana itu.

“Apa aku harus melumpuhkan kakiku juga?”

Aku terkesiap ketika mendengar suaranya yang sedikit bergetar. Kami masih duduk diam di dalam mobil seperti setengah jam yang lalu. Di depan kami sebuah danau buatan yang hampir dipenuhi sampah beriak tenang. Beberapa bocah kecil berlarian kesana kemari, lalu jatuh, sengaja menggulingkan tubuhnya di rerumputan, tidak peduli pada teriakan ibu-ibu mereka di dekat pedangan makanan. Anak yang lebih dewasa mengayuh sepedahnya kuat-kuat, seakan bisa membelah angin. Mengabaikan langit mendung yang menutupi sebagian cahaya matahari.

“Apa aku harus lumpuh juga seperti Lily untuk membuatmu tetap di sisiku?” tanyanya lagi. Aku tidak tau harus berkata apa.

“Sebaiknya kita pulang.” Kataku sambil menyalakan mesin mobil. Lalu mundur untuk kembali ke jalan raya. Meninggalkan taman kota yang semakin ramai petang itu.

Gadis di sampingku menatap keluar jendela, merenungkan sendiri kata-katanya. “Awalnya aku pikir aku bisa mengikhlaskan kalian. Kamu dan Lily,” gumamnya pelan. Aku terdiam, aku tidak pernah mendengar nada suaranya yang selirih ini. atau aku memang belum benar-benar mengenalnya? “Tapi ternyata tidak bisa. Terlalu menyakitkan.”

“Win, aku sudah bilang, aku nggak akan meninggalkan kamu. Tapi aku juga nggak bisa meninggalkan Lily.” Kataku sungguh-sungguh. Dan itu memang benar. Aku membutuhkan mereka berdua.

“Tapi kamu akan menikahinya…” Winda menyeka air matanya dengan perlahan. “Cepat atau lambat kamu akan benar-benar meninggalkanku.” Aku mendesah lelah. Aku sudah menegaskan berkali-kali kepadanya, kalau aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya. Aku mencintainya. “Mungkin kalau aku juga lumpuh seperti Lily, kamu nggak akan pernah tega meninggalkan aku. Kamu pasti akan kasihan kepadaku seperti kepada Lily.”

“Win, aku mencintai Lily dengan tulus. Bukan karena kasihan pada keadaannya yang lumpuh!” ujarku tegas, mulai lelah pada semua kekhawatiran dan tuduhan-tuduhannya yang tidak masuk akal. Mengapa sekarang ia ikut bersikap dramatis seperti wanita-wanita picisan yang murahan itu?! Winda yang ku kenal adalah Winda yang tegas dan tegar. Bukan gadis yang suka merengek seperti ini.

“Kalau begitu, jangan-jangan kamu justru akan meninggalkanku ketika aku lumpuh?! Kamu sudah direpotkan dengan Lily yang lumpuh, jika aku juga lumpuh, tentu semuanya akan semakin berantakan!”
Berantakan? Ya! Tapi tidak seperti yang ia asumsikan.

“Kamu pasti akan meninggalkanku.” Katanya lebih dramatis lagi. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Winda!” kami sudah berada di jalan tol ketika aku membentaknya. Ia menangis sesenggukan di kursinya, benar-benar bukan Winda yang selama ini ku kenali. Entah dimana ia menyembunyikan seluruh sisi itu dariku selama ini. “Dengar, apapun yang terjadi aku nggak akan meninggalkamu. Bahkan walau kamu lumpuh sekalipun.” Aku harap dia mengerti. Karena aku benar-benar tulus dengan apa yang ku katakan.

Winda mengangkat wajahnya, matanya kembali menunjukan sisi tegasnya yang selalu mempesona di mataku. “Baik.” Katanya dengan tegas. “Kalau begitu, mari buktikan!”

Aku mengernyit bingung, dan terlalu syok dengan apa yang terjadi setelah itu. Dengan cepat Winda melepas sabuk pengamannya, lalu memutar kemudi yang ada di tanganku. Aku terlalu bingung dengan apa yang ia lakukan, dan kejadiannya terlalu cepat. hingga ketika tersadar, aku sudah terlambat. Kami sudah berada di arah berlawanan, berhadapan langsung dengan sebuah bis yang melaju cepat. Tepat beberapa meter di depan kami.

Lily akan menangis lebih kencang jika kehilangan sahabat terbaiknya, itulah yang kupikirkan ketika menarik tubuh Winda yang terlihat siap menantang maut, melindunginya dengan tubuhku sendiri. Tapi aku tidak bisa membiarkannya, aku tidak ingin gadis yang paling ku cintai menangis. Aku terlalu mencintai Lily, aku terlalu mencintainya hingga tidak ingin mengecewakannya.

***

Sentuhan lembut diwajahku mengusik ketenanganku. Aku tersadar, namun masih didalam kegelapan. Hanya bisa mendengar suara orang-orang yang berada di sekelilingku. Jemariku mati rasa, tapi samar-samar aku bisa merasakan seseorang mengecup punggung tanganku. Ia membelai lagi tanganku, membersihkan dari tetesan air yang membasahinya.

“Sayang…” katanya dengan sangat pelan. Aku tau itu Lily. Aku mengenali suaranya seperti aku mengenali diriku sendiri. Gadis pertama yang ku cintai dengan sepenuh hatiku. “Kenapa…” kata-katanya terpotong isakan lirih yang membuatku merasa seperti pengecut. Tercambuk rasa sakit pada tubuhku yang mati rasa. Sesuatu di dalam diriku terasa seperti tertarik. Membuat nafasku tersenggal kehabisan udara, tapi aku masih bisa mendengar pertanyaan terakhir dari bibir manisnya, sebelum teriakan namaku memeuhi ruangan itu, tepat ketika aku hilang dalam kegelapan, selamanya.

“Kenapa harus Winda?”


The end


INNOCENT LOVE - Karena Cinta tidak pernah salah…



“Iya sayang… besok aku akan langsung pulang.” Ujarku dengan senyuman mengembang. Aku bisa merasakan senyuman lebar sosok di sebrang telepon itu. “Love you too.” Balasku ketika ia mengucapkan kata I love You, kemudian aku mematikan teleponku. Mulai merasa rileks setelah seharian bersiteru dengan berkas-berkas kantor dan seluruh pekerjaan kecil lainnya yang menumpuk bagai gunung merapi yang mematikan.

Aku mengernyit ketika merasakan ponselku kembali bergetar. Telepon dari nomor baru. Dengan perlahan aku kembali memakai earphoneku. Mataku terfokus pada jalanan dan kemudi yang tengah ku kendalikan, jalanan Jakarta sore itu –dan sore-sore lainnya- memang tidak pernah sepi.

“Halo.”

“Emily, apa ini kamu?” aku mengernyit mendengar kecemasan dari suara itu.

“Ya, saya sendiri.” Jawabku ragu.

“Ya Tuhan, syukurlah… aku Stela, aku ingin mengabarimu tentang Safira.” Kerutan di keningku semakin mendalam. Stela? Safira? Tubuhku mendadak kaku ketika akhirnya otakku menemukan dimana aku menyimpan folder-folder usang tentang memori beberapa tahun yang lalu, ketika seragam putih abu-abu masih menjadi sahabatku.

“Ada apa dengan Safira?” tanyaku mulai merasa cemas.

“Safira koma, sekarang dia ada di rumah sakit. Bisakah kau datang?”

DEG.

Kedua tanganku mencengkram erat kemudi di hadapanku, mataku nanar menatap jalanan berdebu kota Jakarta petang itu.

“Aku tau, dari kabar yang ku dengar sekarang kau tinggal di Bali. Tapi ku mohon, bisakah kau menyempatkan dirimu untuk datang menemuinya sebentar…” Gadis itu menghentikan perkataannya sejenak, ia berdeham pelan, mencoba mengatur kembali nada suaranya yang sempat hilang ditelan serak tangis. “Aku baru saja menemukan diarinya, dan namamu-lah yang banyak tertulis di sana. Aku tau kalian bersahabat. Dan dokter mengatakan bahwa dia tidak lagi memiliki waktu banyak…”

Aku tercekat mendengar penuturan sepupu sahabatku yang juga satu SMA dengan kami. Namun kenyataan bahwa sahabatku, Safira Anatasya, terbujur koma membuatku mulai merasa sesak. Kami bersahabat lama, bahkan terlampau lama, hingga rasanya kami berdua sudah menyatu. Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain. Ketika lulus SMA, Safira terpaksa ikut ibunya ke Australia untuk menghindari ayah kandungnya. Sedangkan aku tetap memilih berkuliah di Jakarta.

3 bulan pertama kami masih berhubungan secara intensif, memanfaatkan berbagai media komunikasi yang sudah sangat maju. Whatsapp, skype, facebook, twitter, email, dan berbagai social media lainnya. Kami selalu bertukar kabar, mengobrol panjang lebar sepanjang waktu, bertukar foto, bertukar cerita, dan ketika memungkinkan kami akan bertatap wajah menggunakan skype.

Banyak hal yang kadang membuatku iri kepadanya. Seumur hidupku aku tidak pernah pergi ke luar negeri, dan melihatnya tengah asyik bermain bola salju membuatku iri setengah mati, meski ia sudah berjanji untuk mengajakku berkunjung ke rumah indahnya suatu saat nanti.

Sebuah janji yang indah bukan?

Tapi seiring berjalannya waktu, 6 bulan setelah kepergiaannya, kami semakin disibukan oleh masalah-masalah kampus yang seakan menyita seluruh perhatian kami. Dari kabar terakhir yang ku dengar ia diterima di universitas Harvard, sebuah prestasi yang sangat membanggakan, sedang aku hanya berkuliah di sebuah universitas swasta, karena ternyata keberuntukan tidak memihakku ketika ujian masuk diadakan kala itu.

Setahun berlalu, saat itu hanya tinggal email yang ku terima darinya, itupun dibalas dengan rentan waktu yang cukup panjang. Kadang satu minggu, satu bulan, bahkan emailku yang terkahir baru mendapat balasan 3 bulan kemudian.

Ia sibuk, aku tau, ia selalu mengatakannya. Dan aku mulai merasa lelah menunggu kabarnya, menunggu balasan emailnya. Meski ketika akhirnya ia membalas emailku aku akan tetap tersenyum lebar penuh kebahagiaan.

Hari-hari berlalu, email itu tidak pernah berbalas lagi. Sudah lebih dari 2 tahun sejak terkahir kali ia membalas emailku. Sampai saat ini aku masih rutin memberikan ucapan selamat ulang tahun kepadanya, meski aku sadar, mungkin ia sudah melupakanku, semudah ia melupakan password email lamanya.

Setetes air mata mengalir perlahan dari pelupuk mataku. Suara di sebrang sana masih memanggil-manggil namaku. Memastikan apakah aku masih mendengarkan ia berbicara. Aku mengerjap beberapa kali untuk membersihkan air mataku. “Aku sedang di Jakarta. Dimana ia dirawat?” tanyaku dingin.

“Syukurlah, dia ada di rumah sakit Harapan Kita. Aku benar-benar menanti kedatanganmu, dan kurasa Safira juga…”

“Baik.” Jawabku singkat seraya memutus sambungan teleponku dengannya. Aku memutar kemudiku ke kiri, menepikan mobilku tepat di bawah sebuah pohon rindang yang sejuk. Ku matikan mesin mobilku, kemudian menundukan kepalaku hingga kehingku menempel dengan kemudi. Aku hanya butuh sedikit waktu, untuk sekedar menangis sendiri.

***

“Aku tidak bisa pulang sekarang.” Bisikku serak.

“Kenapa? Bukankah pekerjaanmu sudah selesai?” Tanya suara di sebrang sana heran.

“Masih ada beberapa urusan yang harus ku tangani…” ujarku pelan. Mengingat urusan itu adalah sahabatku yang terbujur koma, dadaku mulai kembali terasa sesak.

“Sayang, apa kau baik-baik saja?” aku menggigit bibir bawahku untuk menyembunyikan getaran suaraku.

“Aku baik-baik saja.” Dustaku setenang mungkin. Sosok di sebrang sana terdiam lama, tampak sibuk dengan pemikirannya sendiri.
“Perlu ku jemput?”
“Tidak!” jawabku cepat. “Aku baik-baik saja dan akan segera pulang setelah semuanya selesai. Kau baik-baiklah di sana.”

“Baiklah, tapi ingatlah untuk terus menghubungiku. Aku menyayangimu.”

“Aku juga menyayangimu.” Balasku sebelum menutup ponselku, kemudian berbalik menatap rumah sakit yang ditunjukan oleh Stela.

6 tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya, 6 tahun sudah. Aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri saat ini. Aku sangat merindukannya, namun menemukan dirinya yang terbujur koma seperti ini tidak pernah terpikirkan olehku. Aku masih belum mengantisipasi untuk kenyataan buruk apapun. Di benakku, aku memang meyakini bahwa suatu hari nanti kami akan kembali bertemu, tapi bukan di rumah sakit, bukan dengan keadaannya yang tidak sadarkan diri. Di mimpiku kami akan bertemu dengan predikat sukses yang sudah kami kantongi, dan dengan keluarga baru kami, saling mengenalkan suami kami masing-masing, dan kalau memungkinkan kami bisa menjodohkan putra-putri kami.

Kenyataan bahwa mimpiku takkan pernah menjadi nyata mulai kembali menampar diriku. Menarikku pada sebuah jurang gelap yang dibuat oleh takdir.

Aku menguatkan hatiku, dan setelah menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, akhirnya aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah sakit. Seorang perawat di balik meja resepsionis menyapaku dengan ramah, aku melihatnya, namun otakku terlalu sibuk untuk mempersiapkan diriku menghadapi berbagai kemungkinan yang ada… kemungkinan terburuk.

“Emily!” pertahananku hampir saja roboh ketika mendengar teriakan Stela dari ujung lorong panjang rumah sakit itu. Ia tengah berdiri dengan kantung obat di tangannya. Aku berusaha menunjukan sebuah senyuman simpul, tapi gagal, tentu saja. Ketika melihat tatapan sendunya, aku merasa perutku mulai melilit perih, tubuhku dingin dan kaku, mataku perih karena tidak ingin berkedip sama sekali.

Stela tampak lebih kurus dengan stelan jas dan rok mini hitamnya. Ia menggunakan stiletto  berwarna merah sesuai dengan blusnya. Wajahnya yang tirus tampak sedikit lelah, meskipun sudah tersamarkan oleh make up tebal yang ia kenakan. Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku padanya, menjabat tangan kurusnya. Sekilas aku membaca papan nama berwarna emas di dada kirinya dan tersenyum tipis, Stela Maharani, CEO.

“Ayo ku antar. Kebetulan aku juga baru saja menebus obatnya.”  Ujar Stela seraya mengangkat bungkusan plastik putih di tangannya. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum tipis dan berjalan dalam diam di sampingnya. Beberapa kali Stela mencoba mengajakku berbicara, namun sikap bungkamku akhirnya membuat gadis itu menyerah. Aku terlalu lelah untuk sekedar berbasa basi, dan pertemuanku dengan Safira kali ini sepertinya mampu membius tubuhku hingga menjadi sangat kaku. Aku merasa tidak memiliki perasaan apapun, tidak sedih atau bahagia. Semuanya terasa kosong, kebas, hatiku tidak tersentuh sama sekali. Mataku memang terbelalak lebar, tapi hanya itu, otakku kosong, dan semua yang ku lihat hanya seperti gambaran tv berwarna yang tak bersuara.

Stela berjalan satu langkah di hadapanku, rambut hitamnya menari-nari perlahan seiring dengan langkah gemulainya. Beberapa kali aku melihat pundaknya tampak naik turun, menunjukan bahwa pemilik tubuh itu tengah menghela nafas panjang, entah untuk alasan apa. Akhirnya kami berbelok masuk ketika sampai di sebuah ruangan berpintu ganda dengan tulisan ruang isolasi. Aku mengerutkan keningku dengan bingung, tapi otakku terlalu lelah hingga tidak tau apa yang seharusnya aku tanyakan.

Langkah Stela melambat, ia melirik ke sembarang arah kemudian berjalan mendekati meja resepsionis di tengah ruangan bercat ungu itu. Ada empat perawat jaga di sana, yang seluruhnya tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, tertunduk tenggelam dalam pekerjaan mereka. Aku menunggu sebentar di belakang tubuh Stela, hingga gadis itu berbalik dan mengangguk padaku, memintaku untuk kembali mengikutinya.

Aku menurut, bagai bocah lima tahun uang berjalan di tengah pasar bersama ibunya, memasuki sebuah ruangan yang berdindingkan kaca tembus pandang setelah sebelumnya mengenakan baju khusus berwarna biru langit. Safira berbaring tenang di hadapan kami, terbatasi oleh kaca untuk menjaga ruangannya tetap steril. Dada kurusnya bergerak naik turun dengan lemah, di sekelilingnya terpasang alat-alat yang tidak pernah ku lihat kecuali di dalam film- film yang mengambil setting rumah sakit. Wajah cantiknya terlihat sangat pucat, rambut panjangnya terurai tak bercahaya.

“Ia sakit, komplikasi penyumbatan jantung.” Ujar Stela, matanya menatap sosok Safira penuh kasih. “Tapi dia tidak pernah ingin kau melihatnya seperti ini. Dan mungkin kalau dia bisa membuka mata serta mulutnya lagi, dia pasti akan memaki aku, tapi sejujurnya itulah yang ku harapkan.” Stela menyeka air matanya dengan perlahan, ia menghela nafas panjang lelah.

“Sejak kapan?” hanya itu yang mampu ku katakan, tenggorokanku terlalu perih menahan tangis. Mengharapkan sebuah mukjijat yang rasanya sangat jauh dari gapaianku.

“Sejak ia berangkat ke Australia.”

Aku tak lagi mampu membendung air mataku, selama itu… selama itu ia menyembunyikannya dariku.

“Ini…” Stela mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepadaku. “Buku harian Safira,” katanya dengan perlahan. Aku mengambil buku itu, mencoba mengenang sosok sahabatku lebih dalam lagi. meskipun tentu saja semuanya hanya meninggalkan perih yang semakin dalam. Namun setidaknya, aku tau apa yang ia ingin kan saat ini, di saat-saat terakhirnya.

***

“Sayang? Astaga, apa kau sakit?” Sebuah pelukan erat langsung menenggelamkanku dalam lautan haru dan perih yang tak tertahankan. Tangisku langsung pecah begitu saja. Dan lagi pula memangnya aku punya pilihan apa, selain menangis dan menangis? “Ada apa Emily, apa yang kau lakukan di rumah sakit? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya penuh rasa cemas. Aku tidak bisa menjawabnya, mulutku terlalu sibuk mengeluarkan isak tangis. “Emily, ku mohon, tenanglah, bicaralah.” Pintanya sungguh-sungguh.

Alih-alih berbicara aku malah mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jasku. Ia tertegun, menatap foto mesra dirinya dengan gadis lain.  Foto yang tersimpan di dalam buku harian sahabatku. Selama ini Safira tidak pernah mengatakan apapun padaku, padahal ia paling tidak bisa menyembunyikan apapun dariku. Mungkin untuk kali ini ia memilih menyembunyikannya dari pada menyakitiku. Tapi toh pada akhirnya takdir memutuskan untuk memperlihatkan foto yang bermakna lebih itu kepadaku.

“Em…” sosok itu menatapku dengan pandangan bingung yang serba salah. Lalu ia hanya terdiam, tampak tidak berniat untuk memberikan penjelasan apapun.

Kami masih berdiri berhadapan di lorong rumah sakit, orang-orang berjalan berlalu lalang di sekeliling kami. Namun tidak ada satupun yang memperdulikan kebekuan kami. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Aku menghela nafas panjang, menyerah.

“Kau menghianatiku.” Itu sebuah pernyataan, dan aku tidak membutuhkan jawaban apapun untuk membenarkannya. Foto itu sudah menjelaskannya dengan sangat gamblang. Senyuman mereka tidak akan seindah itu jika mereka tidak sedang dimabuk cinta. “Kau penghianat.” Tambahku dengan suara bergetar.

“Tidak, aku tidak menghianatimu.” Jawabnya dengan wajah tertunduk. Kaca matanya sedikit berembun, sedang bibirnya membentuk sebuah senyuman samar yang menahan perih.

Bukti itu sudah sangat jelas. Meski Safira tidak menuliskan apapun pada buku diarinya, kecuali namaku dan selembar foto itu, tapi itu sudah menjelaskan semuanya. Jadi mengapa ia masih mengelak?!

“Aku tidak pernah menghianatimu,” ulangnya lagi, kali ini dengan menatap kedua mataku. Dan aku tau dia sungguh-sungguh. “Aku tidak pernah menghianatimu dengan siapapun, aku menghianati Safira dengan mencintaimu.”

Deg.

Duniaku hancur. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dan air mata itu seakan menjadi lautan tsunami yang langsung membobol pertahananku sejak pertama kali aku melihat foto suamiku dengan sahabatku kemarin petang. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat, kehilangan aksara untuk mengutarakan rasa yang memenuhi asa kami masing-masing.

“Maafkan aku…”

“Sejak kapan?” tanyaku dengan suara terbata.

“Sejak ia pergi ke Autralia.”

“Aku mengerti.” Aku mengangguk pelan, membuat air mataku kembali menetes.

“Tapi aku tulus mencintaimu Em…” katanya seraya meraih tanganku. Aku ingin mengangguk, tapi dadaku terlalu perih. Aku yang melukai Safira, aku yang membuatnya menjadi seperti ini. lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?! memohon maaf pun tak lagi bermakna, semuanya sudah terlambat. Aku lah yang salah…

“Al, aku ingin kau menemuinya.”

“Tidak Em, aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak ingin…”

Tapi aku sudah menyakitinya. Sahabat macam apa aku?!

“Ku mohon, demi keluarga kecil kita. Temuilah ia,” Alex menggeleng perlahan, “Dia sakit Al, komplikasi Jantung, dan sekarang tengah koma.” Bisikku lirih.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa melihat kedua mata suamiku kehilangan cahayanya. Satu kedipan saja, dan aku bisa melihat sebesar apa cintanya pada sahabatku.

Mengapa harus aku yang berada ditengah-tengah mereka? mengapa harus aku yang menyakiti mereka? mengapa harus cinta yang hadir di antara kami?!

***

                                                                                                                        13 Januari 2009

Untuk sahabat baikku, Emily Diana

Aku sebenarnya tidak terlalu yakin dengan apa kegunaan surat ini. Tapi Stella memaksaku untuk membuatnya. Kau tau, seperti surat terakhir, semacam itulah. Hahaha

Jangan marah padaku, kumohon. Semuanya sudah takdir. Kau sendiri yang selalu mengatakan takdir Tuhan selalu lebih indah dari pada yang kita bayangkan. Kalaupun sekarang terasa pahit, pasti membawa makna yang besar.

Sebenarnya menulis surat ini seperti membunuh diriku sendiri, seakan aku sudah menyerah pada takdir.

Aku sakit, ku rasa jika kau sudah memegang surat ini, itu tandanya Stela sudah mengatakannya kepadamu. Aku tidak tau apa kau akan membaca surat ini ketika aku sekarat, atau ketika aku sudah di dalam kuburku.

Stela bersikeras untuk memberitahumu tentang semuanya, namun aku tidak bisa. Entahlah, anggap saja aku pengecut. Tapi akhirnya ia berjanji padaku untuk memberitahumu ketika semuanya sudah berakhir, jadi aku tidak perlu melihat air matamu karena ketidak berdayaanku.

Aku sakit, sudahkah aku mengatakan hal itu?

Mungkin tidak akan lama lagi, tapi dokter selalu mengatakan aku memiliki semangat hidup yang sangat kuat, ia bahkan selalu memujiku karena semangat hidupku. Mungkin aku ingin tetap bersama kalian, menikmati cinta.

Ah cinta, jangan salahkan cinta.

Kau tau, cinta tidak akan pernah salah. Jadi ketika aku mengetahui kekasihku mencintai sahabat baikku, aku tidak marah sama sekali. Aku justru bersyukur kepada Tuhan, itu berarti aku tidak perlu khawatir ketika akhrinya harus meninggalkan Alex.

Begitu banyak hal yang ingin aku tuliskan di sini, tapi setiap menuliskan satu kata, hatiku akan teriris perih. aku tidak tau harus bagaimana menyikapi semuanya. Ini seperti menghitung detik-detik sebelum kematian. Terancam setiap saat.

Aku mencintaimu dan Alex. Dan aku tau kalian pun saling mencintai. Perih, luar biasa perih! ku mohon, sebagai wanita kau harus memaklumi perasaanku. Tapi pada akhirnya ini adalah jalan terbaik. Jangan pernah salahkan dirimu dan Alex. Ini adalah jalan Tuhan Em, jalan untuk kita. Hanya saja, aku tau terlebih dahulu dibandingkan kalian.

Cintailah cinta Em…

Mungkin kau melihat sedikit penghianatan cinta di sini, tapi sekali lagi ku katakan padamu, cinta tidak pernah salah. Cinta selalu hadir tanpa terprediksi. Tak bisa dipaksakan, dan tak terelakan.
Maafkan aku karena sudah menyembunyikan seluruh kisah semu itu darimu dan Alex. Maafkan aku…

Aku menyayangimu Sahabatku, dan aku juga sangat menyayangi Alex. Aku bahagia akhirnya kalian bersama. tetaplah berbahagia Em, Aku tidak akan rela jika takdir merebut kebahagian itu darimu. Biar, cukup aku yang menyerah di sini. Kalian harus tetap berjalan. Kenang aku, dan cintai aku sebagai sahabat kalian. Ku mohon…

Ini bukan akhir Em, hidupmu masih sangat panjang. Dan aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. Tetaplah tegar dan menjadi wanita yang hebat. Aku menyayangi kalian semua. Sampaikan maafku pada Alex, aku selalu menyayanginya.
                                                                                                            

                                                                                                             Dengan cinta sepenuh hati
                                                                                                            Sahabatmu, Safira Anatasya

***

“Seperti biasa, dia selalu satu langkah di depan kita.”

Aku melipat surat yang diberikan Stela ketika pemakaman pagi itu dengan perlahan, lalu menyeka air mataku dengan tisu yang diberikan Alex di sampingku. Ia menggenggam tanganku dengan sangat erat.

Cinta tidak pernah salah…

Aku membisu dalam isak tangisku. “Tapi cinta itu berhutang berjuta maaf kepadanya.”

Alex mengangguk perlahan, lalu menarikku ke pelukannya. Tidak membenarkan atau menyangkal perkataanku. Untuk beberapa saat kami hanya berdiri diam di sana, merasakan sepoi angin siang di kota Jakarta. Menatap langit yang mendung jauh di balik kaca hotel yang kami tempati.

“Aku juga mencintaimu Safira, berbahagialah kau selalu di sana. Doa kami selalu menyertaimu…” bisikku sungguh-sungguh.



 the end