Rabu, 02 Oktober 2013

MR. RIGHT -05-


–THE PROPOSAL-

Keesokan harinya, sabtu pagi di akhir bulan September, aku masih tidak bisa berpikir jernih, aku kelelahan dan kurang tidur. Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Aku menatap lembayung fajar yang mulai menyingsing di balik pepohonan rindang di halaman rumahku yang cukup luas. Untuk beberapa alasan, memiliki rumah cantik di kawasan puncak Bogor memang cukup menyenangkan, meski kami memang bukan orang Bogor asli.
Kamarku berada di bagian depan rumah ini, dengan jendela besar yang menghadap ke halaman depan. Perkebunan teh menjadi pemandangan utamaku, dihiasi beberapa puncak-puncak perbukitan dengan kelok-kelok jalanan yang tampak mengecil dari tempatku melihatnya. Kamarku tidak juga mewah, bahkan terkesan sangat sederhana, maklum rumah ini memang rumah keluaran lama dan masih menjaga eksistensi barang-barang lamanya. Ranjangnya masih berupa ranjang kayu yang memiliki tiang-tiang tinggi seperti kanopi, yang dipasangkan kelambu cantik di setiap sudutnya. Padahal aku hampir tidak pernah merasakan gigitan nyamuk sedikitpun di sini, jauh berbeda ketika aku berada di Jakarta, ternyata bukan hanya manusia saja yang padat di sana, bahkan kaum nyamuk pun mulai merasakan kepadatan penduduk.
Lagi-lagi sebuah meja kayu jati berada tidak jauh dari ranjangku, sebuah benda wajib tempatku melakukan pekerjaanku sebagai penerjemah. Rak-rak berukiran bunga mawar cantik berada di samping jendela, penuh oleh novel-novel dan majalah-majalah yang ujung-ujung halamannya mulai berlipat karena sering dibaca oleh Leo. Dua benda elektronik di kamar itu hanyalah sebuah tv plasma, dan kipas angin kecil yang ku nyalakan hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Udara di Bogor sudah lebih dari cukup untuk sekedar menyejukan tubuhku, lagi-lagi berbanding terbalik dengan kota Jakarta yang super panas.
Rumahku adalah satu-satunya rumah yang berada di kawasan villa-villa cantik milik orang kota. Dan untuk beberapa alasan aku bersyukur, karena hal itu jalanan menuju kawasan ini tidak pernah sekalipun berlubang. Mulus terawat. Ada empat kamar tidur di rumahku. Sebelumnya kamar belakang hanya di jadikan gudang, namun semenjak Leo beranjak dewasa ia tidak mau tidur sekamar lagi dengan Gadis, dan akhirnya meminta ibu untuk mengubah kamar belakang menjadi kamar Gadis. Meski pada akhirnya Leo selalu tidur di kamarku. Di halaman depan adalah tempat favoritku, ada sebuah kursi panjang yang yang mengarah langsung ke kebun teh. Di kala senja, ketika ibu tidak sedang melakukan apapun, kami akan duduk di sana berdua, aku akan tidur berbantalkan kakinya, dan ibu akan mengelus rambutku dengan perlahan. Udara sejuk, kemilau senja, aroma kebun teh, serta sentuhan lembut ibu adalah beberapa hal yang paling ku rindukan acap kali aku kembali ke Bogor. Tentu saja semua itu akan langsung menghilang ketika adikku datang dengan motor matic nya, dari kejauhan ia sudah akan berteriak memanggilku. Cengirannya begitu khas, dan meski ketika berangkat mengenakan kerudung, namun ketika pulang rambut pendeknya sudah tidak terbungkus apapun, kerudungnya ia ikatkan di leher. Sebuah kantung kresek hitam selalu tergantung di samping spion motornya, dan ketika aku ataupun Gadis sedang kebetulan pulang ke rumah, maka kantung kresek itu akan semakin banyak tergantung. Oleh-oleh beliannya dari sekolah SMP di pasar.
Aku tersentak kaget ketika mendengar pintu kamarku terbuka. Aku masih termenung menatap kebun teh dari jendela kamarku, memeluk lututku erat-erat dan meletakan kepalaku di atasnya.
“Kamu sakit Re?” tanya ibu seraya meletakan tangannya di keningku. Aku tersenyum lemah dan menggeleng.
“Cuma capek bu,” bisikku datar. Kemudian kembali menyandarkan kepalaku di atas lutut. “Ibu nggak ke puskesmas hari ini?” tanyaku tanpa memandangnya.
Ibu tersenyum tipis dan membelai kepalaku dengan lembut, kemudian duduk di sampingku, “Kan putri ibu baru saja pulang, masa ibu malah tinggal bekerja?” tanyanya.
Aku terkekeh pelan dan menatap ibuku penuh kasih. “Bu… kayak Rena nggak pulang dua tahun aja deh. Kemarin-kemarin Rena sedikit sibuk sama tugas kuliah yang menumpuk itu, belum lagi urusan-urusan administrasi lainnya.” Keluhku lelah.
“Iya ibu ngerti, kadang ibu Cuma kangen kalian. Untung adikmu itu cerewetnya bukan main, kalau nggak ibu pasti sudah mati bosan.” Aku bisa mendengar senyuman dari kata-kata lembut ibuku. “Gadis juga masih sibuk sama kuliahnya,” bisik ibu pelan. Aku menepuk tangan ibuku dengan lembut, mencoba menenangkan kerinduannya pada adikku yang sekarang tengah duduk di semester awal di universitas Singapura. Dengan cepat ibu menyeka air matanya, kemudian kembali menatapku dengan senyuman lembutnya. “Bagaimana kabar Aditya?” tanya ibuku tiba-tiba. Pengalihan topik yang begitu cepat itu membuatku tersentak kaget.
“Bu…” bisikku merajuk. Setiap pulang, setiap telepon dan setiap ada kesempatan, ibu selalu menanyakan kabar Aditya, mantan kekasihku-tunanganku atau apapun itu namanya. “Aku sudah putus dengannya,” ujarku mengingatkan.
Ibu mendesah lelah, “Tapikan putus bukan berarti kamu lepas hubungan sama sekali dengannya,”
Tapi nyatanya begitu.
Aku sangat menyayangi Adit, banyak hal yang menyatukan kami. Dari masalah-masalah spele seperti kopi apa yang kami sukai, sampai masalah besar seperti prospek kehidupan kami kedepan. Sudah begitu banyak kertas yang ku gunakan untuk menuliskan kisah-kisah impianku bersama Adit. Untuk beberapa saat, ku pikir dia adalah jodoh yang dituliskan Tuhan untukku. Ia mencintaiku, menyayangi Leo, Gadis dan ibu dengan sangat tulus. Ia dekat dengan sahabat-sahabat karibku, dan tentu saja semua sahabatku juga sudah menyukainya. Kami bertunangan sejak sebelas bulan yang lalu, namun tidak berniat menikah dalam waktu yang dekat, hanya saling mengikat. Hingga dua bulan yang lalu ia melamarku. Satu hal lain yang ku sukai darinya, ia adalah sosok yang paling romantis, di tengah kebun teh yang sudah di sulap sedemikian rupa, dengan lampu-lampu kecil berkelap-kelip, ia memintaku untuk menikah dengannya.
Umurku 21 tahun, dan diantara persahabatanku dengan kelima gadis itu, pernikahan sudah bukan hal yang mengejutkan lagi. lagi pula Sophia sudah menikah sejak dua tahun yang lalu. Sebenarnya, aku pun tidak jarang membayangkan sebuah kehidupan pernikahan dengan Adit. Ketika di pagi hari wajahnya lah yang ku lihat setiap kali membuka mata, kemudian sibuk memasakan sarapan untuknya, menyiapkan pakaian kantornya, dan menyiapkan diriku sendiri untuk berangkat kuliah. Untuk satu dua alasan tampaknya itu tidak terlalu buruk, bahkan terasa cukup menggiurkan. Sophia sudah sering kali menceritakan kehidupan pernikahannya yang terdengar sangat indah, mencoba memanas-manasi kami, dan sialnya ia berhasil seratus persen! (meski tidak ada yang mau mengakuinya).
Tapi saat itu aku menolak Adit. Penolakan itu terjadi begitu saja, tak terencana, dan ter-elakan. Aku sudah menyiapkan berbagai jawaban ‘iya’ untuknya dalam berjuta bahasa, namun ketika ia selesai mengatakan seluruh lamarannya, kepalaku justru menggeleng. Dengan perlahan aku melepaskan cincin cantik yang sudah melingkari jemariku hampir satu tahun lamanya.
“Aku tidak bisa,” bisikku parau. Wajah Adit langsung memucat, dan meski saat itu hanya diterangi lampu-lampu pijar kecil, tapi aku bisa melihat ketakutan di matanya.
“Tapi kita saling mencintai Re…” bisiknya lirih.
Aku menunduk, bingung harus berkata apa. “Kalau kamu mencintaiku, kamu nggak akan memintaku melakukan apa yang tidak ingin ku lakukan,” jawabku susah payah.
“Re, itu hanya masalah kesiapan. Cepat atau lambat kamu harus siap. Kamu seorang wanita, dan kodrat wanita adalah menjadi seorang ibu.” Ujarnya sungguh-sungguh. Aku bisa merasakan air mata nelangsa menetes dari mataku.
“Mungkin kamu benar, tapi saat ini, kesiapan itu masih sangat jauh Dit. Aku nggak mau mengecewakan siapapun, terlebih orang tua kamu karena berharap lebih dariku. Maafin aku, tapi aku nggak bisa…”
“Re, setidaknya kita bisa mencoba,”
“Aku nggak ingin mencoba melakukan hal yang nggak aku inginkan.” Dan berhenti di sana. Itu adalah kata-kata terakhirku untuk Raditya Hermawan, pengusaha muda yang menjadi mantan kekasih yang paling ku sayangi. Tapi sayangnya, sepertinya ia tidak mengenaliku sebaik yang ku harapkan. Ia masih tidak mengerti bagaimana bencinya aku kepada anak-anak kecil.


“Kemarin Aditya menelepon ibu,” kata-kata ibu mengembalikanku dari lamunanku mengenai lamaran Adit kala itu. “Dia tau kamu akan pulang ke Bogor, dan menanyakan apakah kamu sudah sampai atau belum,” tambahnya. Aku bisa merasakan hatiku mulai terhimpit sesak lagi.
Aku pikir, setelah mengetahui betapa ia tidak bisa menghargai keputusanku untuk tidak atau menunda memiliki anak itu, aku akan benar-benar membencinya, namun pada kenyataannya, selalu ada perih acap kali aku mendengar namanya disebut.
“Dia titip salam untukmu dan Leo,” ujar ibu lagi, kemudian terdiam cukup lama, meskipun aku sempat mendengar ibu hendak mengatakan sesuatu, namun kembali menelan kata-katanya sendiri. Tampak sangat ragu.
Ketika mengetahui hancurnya hubunganku dengan Adit, Leo langsung memakiku dengan sangat keras. Ibu menangis sesenggukan, dan sahabat-sahabatku mencibir, mengutuki kebodohanku. Pada akhirnya aku sadar, tidak ada satupun dari mereka yang menganggap ketidak sukaanku pada anak kecil adalah masalah yang serius.
Setelah menghela nafas cukup panjang, ibu membuka mulutnya lagi, “Minggu lalu Gadis telepon, katanya Aditya menyempatkan diri untuk menjenguknya ketika ada pertemuan di Singapura.”
Nah kan!
Mengapa sosok baik itu tidak bisa mengerti tentang diriku sedikit saja?? Aku masih sangat mencintainya, dan kelakuan manisnya kepada keluargaku membuat cintaku kepada sosok tampan itu semakin besar. Tapi kenapa ya Tuhan… kenapa dia tidak bisa menuruti satu saja keinginanku untuk menunda kehamilan itu??? lagi pula aku kan baru berumur 21 tahun!
“Jangan salahkan Gadis, ia juga sangat terkejut dengan kedatangan Aditya. Dan jangan salahkan dia juga, dia hanya merindukan adik-adikmu.”
Aku bisa merasakan air mata kepedihan mulai menetes dari mataku. “Aku tidak akan menyalahkan siapapun bu,” bisikku sebelum beranjak dari ranjangku dan berjalan menuju kamar mandi untuk menangis sendiri.

***

Jumat, 13 September 2013

MR. RIGHT -04-



–PROFESOR PEDOFILIA-




Aku masih sesekali terkikik ketika mengingat kata-kata Vian dan ekspresi kedua sahabatku ketika mendengarnya. Wajah mual mereka, wajah sayu mereka. Semua harapan tentang sang professor tampan itu pun menghilang dalam sekejap.
Wusss…
Dan tergantikan oleh desahan frustasi mereka.
“AW!” pekikku ketika merasakan sengatan nyeri di lenganku ketika Ketlia mencubitnya. Aku menatapnya galak, namun ia balas menatapku lebih galak lagi. “Apaan sih?!” gerutuku kesal. Sore itu kami masih berada di kampus, mendengarkan kuliah bu. Dian yang superrr membosankan.
Ketlia menyipitkan matanya, dan mencondongkan tubuhnya kearahku agar bisa membisikan kata-katanya dengan jelas, “Sekali lagi lo ngetawain gue, gue cincang-cincang lo jadi makanan si Cemong.” desisnya kejam. Cemong adalah kuskus milik Liska, binatang malam yang diberi nama George oleh pemiliknya, namun dipanggil Cemong oleh sahabat pemiliknya, termasuk aku. :D
“Ge er! Siapa juga yang ngetawain lo?!” balasku berbisik, mencoba untuk tidak menarik perhatian bu Dian yang masih membicarakan tentang tokoh-tokoh penting di jaman dulu. Kalau bukan karena kehadiran berperan penting untuk kelulusan mata kuliah ini, aku akan dengan senang hati memberikan kursiku ke mahasiswa lain untuk mempelajarinya. Sejujurnya aku tidak menyukai pelajaran-pelajaran sejarah, entah itu sejarah Negara, sejarah orang-orang penting, atau apapun itu, toh semuanya kan masa lalu. Buat apa sih mengingat masa lalu, hanya akan membuat sakit hati.
Pletak!
Aku kembali meringis ketika merasakan sesuatu mengenai kepalaku. Namun aku tidak sempat mengaduh kesakitan seperti tadi. Karena teriakan bu Dian sudah menggema, besarr seperti badannya. Seluruh mata mahasiswa di kelas itu langsung menoleh kepadaku. Satu dua menertawakan, sebagian lain meringis prihatin, dan sisanya menggeleng-geleng tidak peduli.
“KETLIA! RENATA! KELUAR SEKARANG!!!” bentaknya marah. Tubuh besarnya berguncang-guncang ketika berteriak kepada kami. Aku melirik sosok Ketlia yang mendengus di sampingku, kemudian dengan santainya berjalan dengan wajah terangkat, sama sekali tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun. Dan aku mencoba mengikuti apa yang ia lakukan. Lagipula aku juga sudah mulai mual kok mendengarkan kuliahnya.
Ketlia mendengus kesal ketika aku menutup pintu kelas kami di belakang punggungku. Ia menyandarkan tubuhnya ke jendela besar sepanjang koridor. Matanya terpejam, tangannya terkepal erat. “Dia pikir siapa dia?! Seenaknya membentak-bentak orang!” degusnya marah.
“Dia dosen Ket, ini kesalahan kita.” Bisikku kikuk, mengakui kesalahan kami. Ketlia menendang angin di depan sepatu ketsnya, kemudian berbalik menatap lapangan sepak bola yang berdebu dari jendela lantai empat fakultas sastra.
“Ini semua kesalahan professor itu, kenapa dia harus pedofilia sih??!!!” ujarnya frustasi. Aku terkikik pelan dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Yah, mau gimana lagi.” ujarku seraya mengangkat bahu.
“Tapi dia ganteng banget Re, nggak cocok banget jadi pedofilia…” runtuk sahabatku yang satu itu. Ia mengacak rambutnya dengan gemas.
Aku kembali tertawa mendengar keluhannya, “Memang ada muka yang cocok dan nggak cocok buat jadi seorang pedofilia yah?” selorohku sambil menahan tawaku semakin lebar.
“Tapi setidaknya… muka dia nggak serem-serem banget. Dia nggak mungkin tega ngebunuh anak-anak kecil,” ujarnya dengan pandangan merana. Aku mengernyit bingung. Membunuh, katanya?
“Heh, apaan sih maksud lo? Siapa yang bunuh siapa?!”
“Lho itu, professor ganteng itu pedofilia berarti dia ngebunuh anak-anak kan?!” tanya Ketlia dengan wajah polos. Aku mendengus menatapnya, kemudian menggeleng-geleng kesal sendiri.
“Pedofilia itu kelainan seks, dimana sang penderita menyukai anak-anak prapuber.” Terangku secara singkat. Ketlia mengerucutkan bibirnya, berpikir sejenak.
“Tapi itu di berita ada kok, mereka ngebunuh anak-anak yang sudah selesai mereka pakai,” gumamnya. Aku terdiam sejenak, mengingat-ngingat berita yang selama ini ku dengar atau baca. Namun otakku kembali bertumpu pada buku yang ku baca. Novel Lolita, salah satu novel yang menceritakan kisah penderita pedofilia dan gadis pujaannya yang bernama Lolita. Untuk satu dua hal, orang-orang dengan kelainan seperti itu memang memiliki keberanian lebih untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Di novel itu juga diceritakan bagaimana teganya sang penderita mengkamuflase kematian istrinya untuk mendapatkan anak tirinya. Aku menggeleng-geleng pelan ketika mengaitkan kemungkinan itu dengan dosen baru di fakultasku ini.
“Ket denger yah, kalau dia memang pembunuh, kampus juga nggak akan sebodoh itu kali sampai mau nerima dia di sini.” Ujarku mencoba beralibi. Ketlia mendesah pelan, argumenku memang masuk akal.
“Iya, lagian dia juga ganteng banget.” Desah gadis berambut ikal itu pelan.
Nah balik ke ganteng lagi kan
***
Menjelang pukul 4 sore aku dan Ketlia baru terbebas dari ceramah panjang lebar bu Dian tentang kelakuan kami yang menurutnya sangat mengganggu (padahal kan kami Cuma mengobrol biasa), mengingat semester kami yang mulai menginjak kata ‘semester atas’.
Sejak kepulangannya dari rumah sakit, aku dan keempat sahabatku rutin mengunjungi Sophia dan putri kecilnya yang sedang mencari nama. Sudah barang tentu aku dan keempat sahabatku bersiteru sengit untuk memberikan masukan nama cantik untuk keponakan baru kami. Dari nama yang memiliki arti cantik, sampai nama yang tidak memiliki arti sama sekali, cukup yang cantik didengar saja.
Liska sang pecinta sejati mengusulkan nama CINTA. Aku sampai sakit leher karena menggeleng tidak setuju dengan pilihan namanya; Viandra sang kepop lovers mengusung nama Min Yong Wa, yang ditelingaku langsung terdengar Yong Ma, dan di otakku langsung terpikirkan penanak nasi. Untung Sophia sudah menyilangkan tangannya sendiri tanda tidak setuju, kalau tidak leherku bisa patah karena terus menggeleng, lagi pula nanti bagaimana panggilannya? Min?? Yong??? Atau Uwa??
Yang lebih ekstrim lagi adalah pilihan nama Ketlia, dengan tampang sok tahunya ia mengusulkan nama Aurelia, dan sontak saja langsung ditertawakan oleh sang mahasiswi MIPA, Marisa, karena Aurelia berarti ubur-ubur. Dan meskipun Sophia sangat menyayangi Ketlia, ia tidak ingin menamai anaknya dengan ubur-ubur, jadilah perang sengit selama beberapa jam diantara mereka semua. Oya, Marisa sendiri mengusulkan nama yang paling membuatku merinding, Chibi Putri. Entah dari mana ia memungut kata-kata itu. Alibinya sederhanya, chibi itu terdengar lucu untuk seorang bayi, dan putri menjelaskan kelaminnya. Well, tapi masalahnya bayi itu tidak akan selamanya jadi bayi, bukan? Bagaimana ketika ia dewasa nanti, ketika misalnya nanti ia menjadi seorang dosen, panggilan dosen chibi ku rasa bukan sesuatu yang enak didengar.
Sedangkan aku sendiri, sampai saat ini tidak memiliki nama untuk diberikan. Aku bingung harus mengusulkan kata apa. Nama di dalam benakku kebanyakan ku ambil dari novel-novel yang ku baca selama ini. dan kebanyakan novel itu bersetting luar negri, yang menurut Damar, sangat tidak nasionalis. Jadilah dengan nyinyir aku mengusulkan nama Siti merah putih saja kepada mereka, cukup nasionalis bukan?!
Aku terkikik geli ketika mengingat perdebatan Damar dan Sophia setelah itu, Damar yang sangat setuju dengan usulan asalku, dan Sophia yang sangat menentang. Aku tentu saja hanya bercanda dengan nama yang ku sebutkan, lagi pula siapa juga yang mau memberikan nama itu kepada anak mereka. Eh.. maksudku…
Tapi kemudian tiba-tiba saja salah satu di antara kami mengusulkan sebuah nama lain, ICHA. Yep, itu usulan Ketlia. Pada awalnya Sophia sudah mulai sedikit luluh dengan nama itu. Well, cukup cantik memang… sebelum kau mendengar nama panjangnya. ‘Ichabulin saja!!’
Aku tidak bisa berhenti tertawa ketika mendengar Ketlia menyebutkan nama pilihannya. Lalu Liska menambahkan, ‘Ichabullin aku dong!’; Vian ikut terkikik, dan mengusulkan ‘Ichabulinista’; sedangkan aku meneriaki ‘Ichabuli lagi sih’. Satu-satunya orang yang hanya terdiam, tanpa tertawa sama sekali (selain Sophia yang sudah marah besar) adalah Marisa, dengan wajah polos ia menatap kami yang masih tertawa.
“Kalian pada ngetawain apa sih? Ichabuli bagus kok… ntar kan bisa dipanggil Chibi juga kalau bosen di panggil Icha.” Tuturnya dengan wajah superrr lugu. Dan tawa kami langsung kembali meledak.



“Heh, ngelamun yah lo?” bentak Ketlia sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku, aku meringis mendengar suaranya. Apapun maksudnya, suara gadis itu selalu berupa bentakan. Ia memang gadis pantai, di mana kau harus berbicara sekeras mungkin agar bisa terdengar di antara deburan kencang sang ombak.
Aku memasukan kunci mobilku tanpa menoleh kearahnya, “Kita langsung ke rumah Sophia?” tanyaku sambil memarkirkan mobil.
Ketlia berdehem pelan, kemudian menggeleng, “Kita makan dulu yah, gue laper banget.”
***
Menjelang malam sabtu terakhir di bulan September, aku berencana pulang ke rumahku di kawasan Bogor. Sudah dua bulan lebih aku tidak pulang, dan ibuku sudah banyak menghabiskan pulsanya untuk membujukku agar segera pulang. Seakan ia sudah tidak melihatmu selama dua tahun lamanya, bukan dua bulan. Marisa yang juga tinggal satu kota denganku memutuskan untuk ikut pulang. Sedangkan Liska dan Ketlia tetap tinggal di Jakarta.
Aku mendesah pelan ketika mendapati jalanan macet di depanku tidak juga terurai sejak sejam yang lalu. Marisa mengerucutkan bibirnya, mulai gemas pada pengendara motor yang dengan mudahnya bisa berlalu lalang di samping kami.
“Udah deh, gue naik ojek aja yah Re,” ujarnya sambil menatap keluar jendela, tangannya sibuk memasukan barang-barangnya ke dalam tas.
“Eh sialan! Enak aja lo! Nggak, pokoknya temenin gue!” bentakku sewot. Baru saja gadis berambut pendek sebahu itu akan kembali protes, namun mulutnya langsung bungkam ketika mobil di depan kami tiba-tiba maju semeter, tidak lebih. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi penumpang, mendesah lelah. Padahal kan yang harusnya merasa lelah itu aku!!
Kakiku sudah mulai keram ketika menjelang magrib, sedangkan Marisa dengan nyamannya tidur di kursi penumpang. Benar-benar sahabat yang baik. Tiba-tiba matanya sedikit terbuka ketika aku membunyikan klakson dengan sangat kencang, kesal pada pengendara motor yang seenaknya saja menyelinap dari sebelah kanan.
“Masih macet yah Re?” tanya Marisa sambil mengucek matanya. Aku berdehem sebagai jawaban. “Kebiasaan deh, kalau weekend pasti jalanan pulang macet begini. Lagian ngepain sih itu orang-orang kota pada ke bogor? Kaya ada apa aja di bogor!” runtuknya seraya menyalakan radio. Aku malas menanggapi kata-katanya, duduk kurang lebih empat jam di tengah kemacetan seperti ini benar-benar menyiksaku. “Eh, Re tumben lo nggak bawa oleh-oleh buat si Leo…”
“Aduh mampus!” pekikku baru sadar. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok adik pengeretanku yang satu itu. Setiap kepulanganku ke Bogor, Leo pasti sudah menungguku di depan pintu seperti bocah kecil (padahal ia sudah duduk di kursi SMP), bukan untuk menyambutku, tentu saja… tapi untuk menunggu oleh-oleh yang wajib siapapun bawakan jika datang ke rumah. Dan jika aku tidak membawakan apapun, dia akan merengek bagai harimau kelaparan, berisik dan menyebalkan, sampai akhirnya ibu akan memintaku untuk mengajaknya belanja, dan itu sama saja dengan menguras habis isi atm ku. Selalu ada yang ingin dibeli olehnya, apapun itu… dan selalu benda yang mahal. Tapi entah bagaimana aku tidak pernah sampai hati untuk menegurnya, aku terlalu menyayanginya.
Dan benar saja, setelah terbebas dari kemacetan, dan mengantarkan Marisa sampai ke rumahnya, langkahku langsung dihadang di depan pintu oleh sosok yang hampir setinggi diriku. Kedua tangannya terlipat di dada, rambut pendeknya tampak semakin pendek sejak terakhir kali aku melihatnya, matanya berkilat penuh antusias dan senyumnya tersungging lebar. Untuk beberapa saat, aku merasa ragu keluar dari mobil, rasanya lebih baik kembali ke Jakarta malam ini juga, tidak peduli pada kemacetan yang pasti akan kembali menghadangku di jalan.
“Siapa yang datang Le?” tanya ibu dari dalam rumah. Aku meringis, sedikit lega ketika mendengar suaranya. “Mbak mu yah?” tanyanya lagi, kini aku bisa melihat bayangan ibu berjalan mendekati pintu di belakang Leo yang terbuka lebar. “Kok nggak disuruh masuk Le?” baru saja ibu mau berjalan melewatinya, namun tangan panjang Leona langsung terulur, menghentikan langkahnya, senyumannya mendadak hilang, matanya menyipit tajam kepadaku.
“Mbak nggak bawa oleh-oleh buat Leo yah?!” teriaknya.
Demi Tuhan, saat itu aku masih berada di mobil, dan rasanya aku ingin langsung memutar balikkan mobilku, dan berpura-pura amnesia.
“Bu! Tuh mbak Renata nggak bawain oleh-oleh lagi buat Leo!!” rajuknya super manja.
“Le, mbak mu kan baru pulang. Belum tau juga dia bawa apa atau nggak, wong kamu nggak ngajak dia masuk dulu,” ujar ibu mencoba membelaku dan menenangkannya. Tapi siapapun tau, kalau sudah masalah begini, pasti hanya ada satu cara untuk menghentikan rengekannya. Membawanya pergi belanja!
Dengan perlahan aku keluar dari mobilku, berjalan mendekati mereka dan mencium punggung tangan ibu. Mata Leona masih menyipit menatapku, “Iya, mbak lupa bawain kamu oleh-oleh. Sebagai gantinya…”
“KITA BELANJA!!! HOREE!!” potong gadis itu dengan keriangan yang luar biasa. Aku menatap ibu yang menepuk-nepuk punggungku dengan pelan, merasa kasihan dan sedikit geli, mungkin. Tanpa berkata apapun lagi, Leo langsung berlari masuk ke rumah, langsung bersiap-siap untuk berangkat belanja. Ya Tuhan, bahkan keram kakiku belum menghilang sejak terbebas dari kemacetan tadi, dan sekarang adik setanku sudah mengajak pergi lagi?!
“Makanya punya pacar lagi dong! Jadikan ada yang nyupirin…” selalu itu jawaban Leo setiap kali aku mengeluh lelah setelah perjalan panjang. “Orang mbak Gadis aja sudah punya kok, masa Mba Rena belom… nggak laku yah??!!” dan akhirnya pernyataan itu mulai berujung pada ejekannya kepadaku, yang sialnya tidak bisa ku elak lagi.
***
Sudah dua jam lebih gadis tomboy ini menarik lenganku mengitari pusat perbelanjaan di kawasan Bogor. Rasanya kakiku sudah benar-benar kaku tak bisa bergerak lagi, dan mataku sudah benar-benar lelah.
“Le, habis ini kita pulang yah… mbak ngantuk banget,” ujarku memohon ketika Leo menarik lenganku ke lantai dua, lantai tempat baju-baju anak-anak dan dewasa. Saat itu sudah hampir pukul 9 malam, beberapa karyawan yang berjaga hari itu sudah membereskan tugas mereka, bersiap untuk menutup toko. Aku berdiri termanggu sementara Leo sibuk memilih-milih tshirt dan celana pendek.
“Mbak, lucu yang abu-abu ini, atau yang biru?” tanyanya sambil mengangkat dua kaos di depanku. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Otakku sudah dipenuhi benih-benih kelelahan yang sudah mengakar.
“Le, kamu kan cewek… kenapa nggak yang pink aja sih?!” runtukku asal. Leo menyipitkan matanya, kemudian berbalik begitu saja. Tidak peduli lagi pada pendapatku. Sepuluh menit kemudian Leo masih belum bisa memutuskan untuk membeli yang mana, malah sekarang kandidat pilihannya bertambah satu, sebuah kaos lain berwarna hitam dengan gambar aneh berwarna putih.
Aku sudah hampir terjatuh karena kantukku ketika mataku tanpa sengaja menangkap bayangan sosok jangkung tidak jauh dari tempatku berdiri. Sekali pandang saja, dan aku sudah langsung terpikat. Sosok itu berbadan tegap, mungkin umurnya sekitar tiga puluh tahunan atau lebih, namun wajahnya yang ditumbuhi janggut tipis benar-benar membuat penampilannya fresh sekaligus matang, dan superrrrr tamppan! Ia mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka, lengannya tergulung sampai siku, membuat siapapun bisa melihat otot-otot tangannya yang kekar. Aku menelan ludahku susah payah ketika melihatnya sedikit tersenyum sambil menatap sepatu anak-anak. Mataku terus mengikutinya, melihat bagaimana tegapnya ia ketika berjalan, bagaimana dada bidangnya bergerak turun naik ketika ia bernafas, bagaimana keningnya berkerut ketika ia sedang berfikir. Hilang sudah rasa kantukku, tergantikan oleh detakan jantungku yang kian tidak menentu. Tanganku mulai terasa dingin dan wajahku terasa begitu panas.
Langkah pria itu begitu mantap, berjalan melewati bak-bak tshirt, berbelok ke sisi kanan yang lebih sepi pengunjung, melewati etalase-etalase yang memajang dompet, dan ikat pinggang. Berjalan lebih jauh lagi, kemudian berhenti di sudut kanan, tangan karinya membawa kantung belanja, sedang tangan kanannya sibuk memilih benda di hadapannya. Tanpa sadar aku ikut tersenyum ketika melihat matanya tersenyum. Kemudian sedikit tersentak ketika melihat manekin yang hanya mengenakan bra dan celana dalam di belakangnya. Seakan baru tersadar, aku langsung menampar pipiku dengan pelan, mencoba meraih kesadaranku lebih banyak lagi. Di belakang pria itu, tidak salah lagi, gantungan-gantungan yang memajang berbagai macam underwear wanita dengan berbagai warna dan corak, untuk apa ia di bagian itu?! Hatiku mencelos ketika sebuah pemikiran menyelinap di benakku, secepat kilat ku lirik jari-jari tangannya, tidak, tidak ada cincin apapun di sana, itu berarti dia tidak atau belum menikah.
Kemudian mataku sedikit menyipit ketika melihat benda pink di sela-sela jarinya. Aku tidak tau itu apa karena ia meremasnya sedemikian rupa hingga menyembunyikan bentuk aslinya. Tapi yang jelas itu berwarna pink tua, dan memiliki renda-renda manis berwarna pink pucat, dan diambil dari bak-bak tempat pakaian dalam anak-anak. Tubuhku seperti tersengat listrik ketika tiba-tiba melihatnya menempelkan benda pink itu ke pipinya, diam sebentar, kemudian menggosok-gosokkannya ke janggut tipisnya, seakan tengah menikmati sesuatu. Matanya terpejam, dan wajahnya begitu tenang, kemudian ia mendekatkan benda itu ke hidungnya. Menciumnya!
Aku sudah hampir pingsan ketika melihat ia meletakan benda pink itu kembali ke tempatnya. Membuatku menyadari apa yang baru saja ia cium dan gosokkan ke wajahnya, sebuah celana dalam anak-anak berwarna pink tua dengan renda berwarna pink pucat. Ya Tuhan…
Aku merasakan mual mulai menghampiri perutku, “Am-bil se-mu-a-nya, lalu PULANG!” ujarku terbata-bata. Leo langsung mendelikkan matanya tidak percaya, kemudian bersorak girang, memelukku sekilas, dan memeluk tshirtnya lebih lama lagi. Tapi aku sudah tidak peduli lagi, aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Aku bahkan tidak peduli ketika tangan Leo menarik beberapa kaos lagi dari gantungan. Aku juga tidak peduli dengan pandangan heran sang kasir melihat banyaknya kaos yang dibawa adikku kehadapannya. Ah aku hanya ingin pulang! Peduli setan dengan apa yang ia beli!!!!!


NOTE
*untuk para reader yang baik hati... maaf, untuk selanjutnya cerita ini aku posting di wattpad dulu yah, karena sedikit ribet kalo di posting di dua tempat. :)))
ini linknya Wattpad Cherry
thanks for comin, xoxo Cherry Ashlyn. 

Rabu, 11 September 2013

MR. RIGHT -03-


–NIGHTMARE-


Kemilau cahaya mentari menyusup perlahan dari sela-sela gorden kamarku, cahayanya yang indah seakan menjadi lampu-lampu sorot yang gemilang. Aku menguap sekali, kemudian melirik ponsel di samping kepalaku, memeriksa pesan dan emailku dengan mata yang setengah tertutup. Baru pukul 6 pagi, namun mentari sudah bergerak semakin tinggi, tidak ingin terkalahkan oleh kokokan ayam di alarm ponselku. Untuk beberapa saat, setelah mematikan alarm ponselku dengan paksa, aku masih tetap berbaring di sana, bergerak perlahan-lahan, namun jelas tidak bermaksud membuka mata dalam waktu yang dekat. Suasana kamar di rumah kontrakanku sangat sunyi, dengan lampu yang sengaja ku padamkan, dan AC yang terus menyejukan kamar itu, mustahil rasanya jika aku bisa bangun tepat waktu.
Kamarku tidak terlalu besar, karena kontrakan yang ku ambil adalah salah satu rumah tipe 21 di kompleks tidak jauh dari kampusku. Hanya ada satu kamar tidur, sebuah ruang tamu, satu kamar mandi, dan sepetak kecil dapur. Kontrakan Liska dan Ketlia jauh lebih besar dari tempatku. Tapi sejak awal aku sudah mengubahnya, aku meminta izin kepada pemilik kontrakan ini untuk melakukan beberapa eksperimen dengan rumahnya, dan selama itu tidak merugikannya, ia setuju. Jadilah aku mengecat ulang seluruhnya, lebih berwarna-warni dari kamar kedua milik Ketlia. Dinding bagian muka rumah berwarna hijau lumut, hijau tua, dan hijau muda, gradasi cantik yang cocok dengan tanaman merambat berbunga ungu yang sengaja ku tanam untuk menghiasi bagian depan rumah. Rumah ini tidak memiliki halaman yang besar, mungkin hanya satu atau dua meter, dan sepenuhnya sudah ku tanami dengan rumpun-rumpun bunga mawar, bunga melati, dan beberapa kaktus. Di ruang tamu terdapat sebuah tv plasma di atas rak warna-warni tempatku meletakan koleksi kaset-kasetku yang sudah tampak seperti toko dvd. Karena kecilnya ruangan itu, aku tidak meletakan sofa di sana, hanya sebuah karpet berbulu lembut berwarna biru langit dengan aksen gradasi biru tua, dengan tumpukan bantal-bantal berwarna abu-abu muda dan tua, yang selalu ku lipat  ketika pergi dari rumah.  Jendelanya, dengan bantuan kekasih Liska, aku pasangkan teralis penjaga, meskipun tau tidak ada barang berharga di dalam rumah kontrakanku, tapi apa salahnya berjaga-jaga. Gorden lamanya yang berwarna coklat kumal sudah lama ku bakar (tanpa sepengetahuan pemiliknya :D ), dan menggantinya dengan gorden berwarna ungu lembut, berhiaskan kupu-kupu imitasi yang cantik. Begitu sesuai dengan warna dinding di ruang tamu, pink keunguan. Di sisi kanannya terpasang wall sticker bunga bakung yang menjulang tinggi. Sedangkan di belakang tv dan rak dvd tertempel wall sticker pohon besar dengan dedaunan hijau yang luar biasa cantik dan membuat ruangan itu lebih nyaman, seakan memberikan kesejukan tersendiri.
Aku tidak bisa memasak sama sekali, tapi aku meletakan kompor gas kecil di dapur, tepat beberapa senti dari tempat aku meletakan penanak nasi. Sebuah rak piring ku pasang diatas westafel, sempitnya dapur itu membuatku harus pintar-pintar mengatur barang, dan alhasil begitu lah bentuknya, saling bertumpuk. Namun aku merasa begini lebih baik, setidaknya aku tidak perlu menggeser kakiku untuk meraih segala sesuatu yang kubutuhkan di dapur itu. Tapi karena terlalu sempitnya, aku sampai harus meletakan kulkas kecil hadiah dari adikku ketika pindah ke rumah ini di dalam kamarku!
Dinding kamarku berwarna biru langit, dengan wall sticker pohon yang sama dengan di ruang tamu, di bagian depan ranjangku. Dan wall sticker rumpun mawar di sisi lainnya. Sebuah single bed menjadi pusat kamarku, berseprai coklat lembut, dengan selimut di ujung kakinya. Sebuah rak buku terselip diantara ranjang dan dinding di sampingku, menyimpan berbagai buku-buku novel yang paling sering ku baca. Ada beberapa pajangan hadiah dari adik-adikku, sebuah miniature menara Eiffel yang diberikan Gadis ketika pulang dari study tournya dua bulan yang lalu, sebuah pot kecil berisi bunga lavender yang diawetkan dari sahabat penaku, sebuah frame foto berwarna hitam yang memuat foto sosok cantik Leona ketika memenangkan lomba menyanyi, serta sebuah celengan berbentuk kodok pemberian Leona (yang selalu kututup dengan sulaman Liska).
Dua langkah dari ranjangku, terdapat sebuah meja tempatku bekerja. Lengkap dengan lagi-lagi tumpukan buku, tapi sebagian besar adalah buku kuliah. Sebuah laptop keluaran lama, dan printer canggih berada di sana. Berbagai macam kertas, catatan, atau sekedar foto-foto tertempel berantakan namun artistic –menurutku- di bagian belakang laptopku. Menjadi penawar yang ampuh dikala aku jenuh menulis atau menterjemahkan sesuatu.  Dan yang terakhir adalah sebuah lemari kecil, tempatku meletakan seluruh pakaianku, berdampingan dengan dispenser yang diberikan Hanung, mantan kekasihku dua tahun yang lalu.
Over all, rumah kontrakanku tidaklah semewah rumah-rumah cantik di kompleks sebelah, tapi sebisa mungkin aku menjaganya agar tetap nyaman. Jika dibanding dengan rumah kontrakan Liska dan Ketlia, rumah kontrakanku memang berada tiga kali lipat jauhnya dari kampus, membuatku lebih memilih singgah di tempat mereka ketika memiliki jam kosong. Tapi di malam-malam tertentu, ketika kami memiliki waktu kosong bersamaan, kami akan menginap di tempatku, tidur bertumpuk bagai ikan sarden di ruang tamu, di atas karpet berbulu-ku yang begitu nyaman.
Hal lain yang menyebabkanku menyukai tempat itu adalah taman kecil yang berada beberapa meter dari rumahku, taman itu sangat asri, sangat sulit menemukan tempat hijau secantik itu di tengah-tengah kota megapolitan saat ini. Sebuah kolam kecil berisikan ikan-ikan cantik menjadi pusatnya, dikelilingi pohon-pohon palem besar, berhamparkan rumput-rumput hijau bagai permadani indah, berhiaskan rumpun-rumpun berbagai bunga. Begitu indah dan menenangkan.
KRIING!!!
Aku tersentak bangun ketika mendengar deringan ponselku. Entah sudah kali berapanya ponsel itu berdering. Aku mengernyit dan melirik nama yang tertera di sana. Ketlia…
Aku menekan tombol yes dan menjauhkan ponselku dari telinga, yakin bahwa dari jarak sejauh itupun aku bisa mendengar gelegar teriakannya. “SETREEESSS DI MANA LO?!!” teriaknya. Nah kan, apa ku bilang?!
“Hm…” jawabku mengantuk.
“Astaga Re!!! Lo masih tidur? Hari ini kita ada kuliah pagi!!!!” teriaknya lagi. terkadang aku dan Sophia selalu mempertanyakan baterai apa yang digunakan Ketlia hingga tidak pernah hilang kekuatan sedikit pun.
Tapi, apa katanya tadi? Kuliah? Yang benar saja!!
Aku melirik tanggal di layar ponselku, dan tersentak kaget. Astaga! Ku tepuk pelan keningku, kemudian berlari begitu saja ke kamar mandi. Sepenuhnya lupa pada Ketlia dan teleponnya.
***
“Lo nyesel!!! Lo nyesel!!!” ujar Ketlia sambil menyeringai lebar. Sudah sejak setengah jam sejak kedatanganku ke kampus, ia selalu mengatakan hal yang sama. Aku memutar bola mataku, dan berjalan melewatinya menuju meja paling ujung kantin. Liska dan Vian sudah menunggu di sana dengan makanan mereka masing-masing. Vian dengan mpek-mpek kesukaannya, sedangkan Liska dengan mie ayam bakso yang sangat menggiurkan.
Aku langsung mengambil kursi di samping Vian, mencuil potongan kecil mpek-mpeknya. Di susul oleh Ketlia yang masih tersenyum menggodaku.
“Kenapa lo Re?” tanya Liska ketika melihatku mendengus kepada Ketlia.
“Nyesel tuh dia gara-gara nggak bisa ngeliat professor ganteng itu!” Ketlia menjawab dengan cengirannya yang semakin lama semakin menyebalkan.
“Oh, dosen yang baru itu yah?” tanya Vian setelah menyeruput jus buah naganya. Aku menaikan sebelah alisku kepadanya. Mata Ketlia langsung melebar.
“Lo tau Vi?” tanyanya antusias, Vian mengangguk kemudian kembali mengunyah mpek-mpeknya.
“Dia yang kemarin jadi dosen SP di fakultas gue. Gue Cuma denger sekilas, gue kan nggak ikut SP, tapi kabarnya sih dia langsung terkenal gitu,” ujar Vian tak acuh.
“Iya, sekarang dia jadi dosen di fakultas gue juga, tadi pagi masuk. Sumpah ganteng banget! Kasian tuh si Rena, gara-gara tidur mulu jadi nggak sempet liat dia… hahaha…”
Sejujurnya itu sama sekali tidak lucu, tapi bagi Ketlia, hal yang menyengsarakan temanya adalah hal yang bisa membuatnya tertawa lebar. Teman yang baik sekali, bukan?!
“Ganteng banget dong?” tanya Liska penasaran.
Ketlia mengangkat kedua ibu jarinya, “BANGET!!!” teriaknya. Aku mendengus, seganteng apa sih dia?!
“Tapi ada kabar nggak enak juga,” tambah Vian. Sebagai salah satu anggota dari klub modeling di kampus kami (yang dipenuhi oleh sosok-sosok cantik penebar berita aka penggosip) Vian menjadi pengganti Koran gossip untuk kami. Maklum, aku dan sahabat-sahabatku yang lain terlalu sibuk pada perkuliahan kami.
Ketlia dan Liska langsung menatapnya penuh penantian, penasaran pada kabar miring yang dikatakannya. “Katanya dia baru aja pulang dari UK,”
“Itu kabar baik kali!” potongku.
“Nah, di Indonesia dia nggak punya siapapun. Semua keluarganya di UK,” ujarnya tanpa memperdulikan komentarku sebelumnya. “emang sih dia keliatannya masih muda, dan emang masih muda, tapi kabarnya dia single.”
“ITU KABAR SUPER BAGUS!” itu suara Ketlia, lengkap dengan binar penuh semangat di matanya.
“Tapi masalahnya…” Vian sengaja menggantung kata-katanya di antara kami, membuat kami semua semakin penasaran. Vian mencondongkan tubuhnya ke depan, seakan bersiap untuk membagi sebuah rahasia besar, “dia dikabarkan memiliki kelainan seksual, pedofilia.” Bisiknya dengan mata menyipit.
Dan klik.
Sinar-sinar di mata Ketlia maupun Liska langsung padam. Dan aku tidak kuasa menahan tawaku. Hahahahaha Ya Tuhan!!!!! Wajah mereka benar-benar lucu, terlebih wajah Ketlia, pucat pasi, sedetik kemudian ia sudah berlari ke kamar mandi, memuntahkan seluruh makanan yang baru saja ia telan.
“Ini mimpi buruk!” pekiknya frustasi ketika keluar dari kamar mandi masih dengan wajah pucat.
Aku tertawa, “Iya, cowok ganteng yang memiliki kelainan seksual itu memang selalu menjadi mimpi buruk!” ujarku menimpali, sejenak lupa dengan keberadaan kami, dan tingginya suaraku. Alhasil beberapa pasang mata langsung melirik kearahku, mungkin merasa sedikit terusik pada kata-kata ‘seksual’ yang ku gunakan.
Aku menyeringai kikuk ketika Vian dan Liska langsung menunduk malu.

MR. RIGHT -02-





 –THE ROYAL BABY-


MENUNGGU ADALAH HAL YANG PALING MENYEBALKAN! Aku sepenuhnya setuju pada kata-kata itu. Aku sampai mual membaca tulisan ‘Ruang Tunggu’ di beberapa sudut di rumah sakit besar di bilangan Jakarta pusat itu. Kalau menunggu selama dua atau tiga jam, mungkin aku bisa mentolerir, tapi ini… sudah lewat dari satu kali 24 jam!!!!! Aku bahkan sampai kenal dengan beberapa perawat di ruang rawat inap Sophia karena selalu berada di sana, aku juga kenal pada satpam di pos depan, karena entah bagaimana kami selalu makan di waktu yang sama, dan warung makan yang sama pula! Jangan katakan bahwa itu sebuah kebetulan, karena aku sama sekali tidak mempercayainya! Aku tau dia menguntitku, dia memata-mataiku!
Setelah bukaan 5 pada malam 31 agustus itu, semuanya berhenti begitu saja, seakan si bayi sedang mempertimbangkan untuk jadi keluar hari itu atau tidak. Kemudian memutuskan untuk tidur di dalam rahim ibunya lebih lama lagi, dan tentu saja menyiksa kami lebih lama lagi. Setelah itu Sophia dipindahkan ke ruangan biasa dengan status siaga, (dan itu membuatku selalu merinding ketakutan).
Marisa menangis kencang ketika akhirnya ia bisa melihat mata Sophia terbuka. Bukan main suara isakkannya! Membuat kami terpaksa menyeretnya keluar karena beberapa bayi di paviliun itu mulai menangis mendengar suaranya. Ketlia memarahi Sophia, tentu saja! Vian menyemangati dengan lembut, sedang Liska hanya bisa menepuk-nepuk pundak Ketlia untuk menenangkannya, atau ia akan menjadi orang yang kedua kami seret keluar karena mengusik ketenangan bayi-bayi dan pasien yang di rawat di sana.
Aku tersenyum lembut ketika mataku bertemu mata Sophia, aku tau ia menangis semalaman, ada lembayung hitam di bawah kedua matanya. Membuat wajahnya yang putih menjadi seperti panda. Tapi bukan berarti setelah keluar dari ruang oprasi itu semuanya menjadi lebih baik. Justru semuanya seakan semakin menegangkan. Ketakutan menjadi sahabat kami semua untuk beberapa jam terakhir, kami berlima bahkan membolos bersama dari kampus, benar-benar diliputi rasa cemas.
Tidak ada satu orang pun yang mengatakan alasan atas ketakutan kami, namun di setiap mata yang ku lihat, ketakutan itu memiliki alasan yang sama. Ketakutan bahwa waktu dan takdir akan secara tiba-tiba merebut salah satu sahabat kami. Dan dengan ketidak pastian ini, bertambahlah sudah kecemasan kami semua. Mendadak ruang rawat inap Sophia dipenuhi oleh zombie zombie bermata panda. Kami tidak bisa tidur ketika malam, tidak bisa makan dengan benar ketika siang, bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih. Sophia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja, berusaha membuat kami tenang. Tapi itu sama sekali tidak membantu, sedikit saja wajah cantiknya meringis, maka kami akan langsung memanggil suster dengan ketakutan seperti baru saja bertemu hantu. Benar-benar kondisi yang menegangkan bukan main.
Menginjak ke hari kedua, kami semua sudah benar-benar kesal pada sang bayi! Sebenarnya dia mau keluar atau tidak sih?! Terlebih karena keadaan Sophia sama sekali tidak membaik, justru semakin buruk. Ia jadi lebih sering melamuni segala kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, dan itu membuat tekanan pada darahnya terus naik. Aku sudah berbicara pada Damar dan dokter, meminta mereka mempertimbangkan untuk oprasi Caesar, dan mengabaikan keberatan Sophia. Pada akhirnya dokter pun memilih jalan itu karena mulai khawatir pada kondisi Sophia yang tidak menunjukan kemajuan apapun.
Mungkin jika bisa diperhatikan lebih baik lagi, Tuhan memang sengaja memberikan waktu tambahan kepada kami. Semua orang tau itu, semua orang menyadarinya, aku dan keempat sahabatku, Nela dan ibunya, dan bahkan Damar. Namun tidak ada satupun dari kami yang berani memikirkannya. Karena itu sama saja kami menyerah pada keadaan.
Sophia menangis tergugu ketika mendengar keputusan yang sudah dibuat dokter dan Damar, kami sudah terlalu lama menunggu, bahkan the royal baby, pangeran George pun tidak membuat kate dan will menunggu selama ini.
Tidak seperti dua hari yang lalu, hari ini kami semua seakan-akan sudah siap. Kami sudah berkumpul di rumah sakit tanpa harus ditelepon dan mengalami lima menit slow motion yang bisa membunuhmu karena frustasi. Ketlia sudah lebih bisa mengendalikan dirinya, meskipun sesekali ia masih mendengus kesal pada bayi yang dikandung Sophia; Vian dan Liska sibuk memberikan kata-kata penyemangat dengan suara yang lebih lembut; Marisa? Ah jangan tanyakan tentang dia, ia sibuk menangis di samping kepala Sophia, membuat kami sepenuhnya muak pada ketakutannya; sedang aku sendiri sibuk mengabadikan setiap momen.
Aku tau, kami sudah memiliki sebuah harapan lain, meski tipis. Tapi kami yakin Sophia akan selamat, begitu pula dengan bayinya, yang mungkin tidak selamat adalah Damar -dilihat dari penampilannya yang sudah kacau, frustasi tingkat berat.
Kami bergantian mengecup wajah Sophia sebelum ia memasuki ruang oprasi ditemani Damar yang benar-benar sudah seperti orang gila. Sophia melambaikan tangannya dengan perlahan, senyumannya terlihat begitu tenang dan indah. Membuat kami semua mulai merasa pasrah. Ya, yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah menyerahkan diri pada sang Khalik, berdoa dengan sepenuh hati, berharap seluruh hal baik untuk keluarga kecil Sophia.
Tiba-tiba Ketlia memeluk bahuku, menyatakan kekalahannya. Aku menggenggam jemarinya dengan erat. “Setidaknya sekarang dia udah tenang, dia tau kita semua di sini.” Hiburku. Kepala di pundakku mengangguk. “Dan dia tau kalau kita pasti akan menjaga anaknya,” tambahku pelan.
Tidak ada jawaban apapun dari Ketlia, namun sesaat kemudian aku bisa merasakan air matanya di balik kausku.
***
Jika ada yang menanyakan mengapa aku tidak menyukai anak kecil, maka aku memiliki berjuta alasan. Aku tidak pernah menyukai anak-anak, itu adalah sebuah rahasia umum, semua orang tau hal itu. Bocah-bocah kecil itu dengan ajaibnya juga sangat ketakutan melihatku. Seakan tatapanku menyiratkan sebuah ancaman yang sangat jelas terlihat. Well, sebenarnya, terlepas dari alasan-alasan konyolku tentang kebencianku kepada anak-anak, aku sendiri juga tidak mengerti mengapa aku sangat membenci mereka. Aku tidak suka tingkah-tingkah sok lugu mereka, aku tidak suka rengekan manja mereka, aku tidak suka segala sesuatu tentang mereka.
Sesekali aku memang pernah menyukai beberapa bayi atau bocah yang bertampang terlampau lucu untuk diabaikan. Tapi hanya sebatas itu, untuk berdekatan dengannya aku akan merasa sedikit… ah aku tidak bisa menjelaskannya. Seperti terserang alergi, aku tidak bisa berdekatan dengan mereka, atau aku akan berambisi untuk menyakiti mereka. Membuat mereka menangis sampai kehabisan nafas. Ups… sedikit menyeramkan memang.
Aku masih mengingat lelucon konyolku ketika Sophia sudah melewati trisemester pertamanya. “Nanti kalau dia tendang-tendang perutmu, bilang aku yah. Biar aku tendang balik,” ujarku santai, sontak Sophia langsung menutup perutnya dengan kedua tangannya, wajahnya meringis ngeri. Aku menyeringai lebar, “kan aku sayang kamu…” selorohku geli. Gadis itu mendengus dan berpura-pura bersembunyi dariku.
Sejujurnya, hal itu 99 % hanya sekedar candaan, lagipula bagaimana mungkin aku akan melakukan hal itu?! tapi siapa yang tau kalau bayi di dalam perut sahabatku itu menganggapnya serius. Ketika sudah dipindahkan ke ruang bayi, kami semua bergantian untuk melihatnya, bayi itu adalah bayi perempuan tercantik, menurut mereka. Namun tentu saja tidak menurutku, karena di mataku semua bayi sama saja. Bangir atau tidaknya hidung mereka belum terlihat, kulitnya pun masih merah, tidak tau nantinya akan hitam seperti Damar atau putih seperti Sophia, matanya juga masih terbuka terlalu sedikit, bahkan bulu matanya masih belum terlihat, jadi dimana letak cantiknya?!
Satu hal yang pasti, ternyata bayi itu memiliki insting yang sangat kuat. Ketika aku baru saja membuka pintu ruangan bayi, tangisnya langsung menggelegar bagai petir di tengah siang bolong! Astaga… kemudian seluruh bayi ikut menangis. Aku meringis kikuk, sepenuhnya kesal pada kelakuan mereka. Penyambutan macam apa ini?! aku bahkan belum sempat mencubit pipi-pipi merah mereka.
“Muka lo serem banget kali Re,” goda Liska, tidak membantu sama sekali.
“Makanya kalau ke anak kecil jangan galak-galak!” tambah Ketlia, hilang sudah raut ketakutan di kedua matanya, “Ibunya pasti bangga banget.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku menggenggam tangannya dengan perlahan, menguatkan satu sama lain. “Mudah-mudahan dia putih yah ikut ke Sophia, gue nggak bisa ngebayangin kalau dia ikutin bokapnya,” bisik Ketlia di telingaku. Mau tidak mau aku terkekeh pelan, meski dalam hati mengucapkan doa yang sama dengannya.
“Dia akan jadi gadis yang kuat dan cantik seperti tante Ketlia, baik dan keibuan seperti tante Liska, fasionable dan fotoghenic seperti tante Vian, cermat dan pintar seperti tante Marisa, hebat dan cerdas seperti tante Renata.”
Aku tersenyum tipis, “Dan tetap hidup untuk menikmati hari-harinya seperti ibunya.” Ujarku seraya merangkul pundak Sophia penuh kasih.

Aku masih tidak menyukai anak kecil, terlebih bayi yang sudah membuat kami terkunci di dalam rumah sakit selama kurang lebih 3 hari itu. Tapi aku menyayanginya, aku menyangi the royal baby pertama di antara persahabatan kami. 

Sabtu, 07 September 2013

MR. RIGHT -01-

BAB SATU –SLOW MOTION-


“APA?! SEKARANG?? BAIK!!!”
Brak!!
Jika kau pernah melihat adegan slow motion di film-film aksi, yang membuat seluruh gerakan tokohnya mendadak menjadi begitu lambat, bahkan benda-benda yang terjatuh atau terlempar itupun bergerak sangat lambat, seakan gravitasi bumi sudah tidak lagi berfungsi – maka saat ini, hal itulah yang terjadi pada lima menit terakhir di dalam hidupku.
Semenit yang lalu teleponku berdering, seperti biasa tidak ada yang terusik, keempat sahabatku yang lain masih terlalu asyik dengan kesibukan mereka masing-masing di rumah kontrakan yang di sewa dua orang dari mereka. Kontrakan itu hanya terdiri dari 5 ruangan. Ruangan depan yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang tv, dan ruangan serba guna lainnya Sebuah tv plasma 19 inchi menjadi satu-satunya benda berharga di sana (disamping laptop-laptop yang terbuka lebar). Kipas angin ukuran tanggung berada di sampingnya, berputar dalam diam, sedikit banyak tertutup debu, namun tetap berfungsi. Di depannya, sebuah pintu coklat dengan bagian bawah yang sudah mulai keropos dimakan waktu dan gerombolan rayap, mengarah keruangan yang mereka sebut dengan kamar pertama. Sebuah kasur lantai, lemari kecil, meja kecil, dan segala sesuatu berukuran kecil itu mejadi barang-barang yang mengisi kamar itu, dindingnya berwarna biru muda, meski tidak mewah namun jelas nyaman dan bersih. Harum lavender akan langsung menyeruak setiap kali pintu tua itu terbuka. Di sebelahnya, pintu lain yang mengarah ke kamar kedua, kamar yang lebih berwarna, dindingnya bercat gading dan orange, kasur lantai yang sama, lemari kecil yang sama, meja kecil yang sama, di tambah sebuah rak buku kecil yang berisi buku-buku besar milik sahabat pemilik kamar itu. kamar itu berhadapan tepat dengan ruangan lain yang mereka sebut dapur – atau apalah itu, dan bersebelahan dengan kamar mandi yang cukup besar. Tidak ada kesan mewah di sana, namun jelas terdapat kenyamanan di tempat itu, hingga membuat sahabat-sahabat penyewa kontrakan itu (termasuk aku) senang menghabiskan waktu di sana.
 Vian masih berbaring tengkurap dengan laptop di depan bantalnya, memeriksa online shop yang ia kelola sejak tiga bulan terakhir ini; Ketlia bersandar pada dinding beberapa inci dari pintu kontrakan, dipangkuannya, juga sebuah leptop yang terbuka, dengan page facebook menjadi sahabat matanya beberapa jam terakhir ini; Marisa satu-satunya orang yang tengah bersiteru dengan kertas-kertas kosong dan pengggaris serta alat tulis yang lainnya. Ia duduk dengan punggung sedikit membungkuk di dekat kipas angin, matanya akan sedikit menyipit ketika melihat buku besar di depannya, kemudian ia akan kembali beralih ke kertasnya, menggambar sebuah garis-garis panjang dan pendek, menyisipkan beberapa angka, kemudian menghitungnya kembali tanpa bantuan kalkulator sama sekali, benar-benar mahasiswi matematika yang handal, aku selalu berpikir mungkin otaknya sudah beralih fungsi sebagai kalkulator juga. Tidak lama kemudian Liska berjalan dari balik dapur dengan nampan berisi dua mangkuk besar mie instan yang masih mengepul.
Aku langsung meletakan buku yang tengah ku baca dengan terbalik agar tidak kehilangan tanda sampai mana aku sudah membacanya. Kemudian mengambil sendok terdekat yang bisa ku raih. Vian meninggalkan laptopnya, begitu pula dengan Ketlia, Marisa menjadi yang terakhir bergabung dengan kami. Tangan kirinya masih menggenggam penggaris, sedangkan tangan kanannya sibuk menyendoki mie yang masih mengeluarkan asap panas itu. Tepat saat itulah, ketika aku baru akan memasukan sendokan kedua mie buatan Liska ke mulutku, ponselku berdering. Aku mengernyit, sejenak tidak peduli. Seharian berada di kampus membuat perutku benar-benar lapar, dan aku tidak ingin mengambil resiko untuk meninggalkan mie instan itu dengan orang-orang yang sama laparnya denganku hanya untuk mengangkat telepon dari siapapun itu. Toh, kalau memang penting ia akan kembali menelepon.
Ketika teleponku kembali berdering untuk yang kedua kalinya, aku mulai meliriknya, mempertimbangakan untuk mengangkatnya atau membiarkannya tetap begitu. Ketlia mengikuti pandanganku, kemudian memintaku mengangkatnya dengan gerakan kepalanya. Aku mendesah dan akhirnya meraih ponsel itu. Sophia? Keningku kembali berkerut ketika membaca nama yang tertera di sana. Bukan, bukan nama Sophia yang muncul di layar ponselku, tapi Damar, suaminya.
“Halo.”
“Rey, Sophia melahirkan!”
“APA?! SEKARANG?? BAIK!!!” teriakku kalut. Wajahku pasti sudah sangat pucat ketika berbalik, membuat keempat sahabatku langsung membulatkan mata mereka, menunda sendok-sendok itu memasuki mulut mereka. Dan saat itulah adegan slow motion di dalam hidupku di mulai.
Brak!
Tanpa sengaja aku menyenggol laptop Ketlia yang diletakan di atas bantal hingga terjatuh, mata Ketlia langsung membulat marah, namun aku tidak memiliki waktu untuk mengatakan maaf. “So-phi-a-me-la-hir-kan!” teriakku dengan suara yang begitu lamban. Gerakan selanjutnya pun tampak lebih lamban lagi, padahal yang ingin segera kami lakukan adalah berada di rumah sakit secepat mungkin. Menemani salah satu sahabat kami yang tengah berjuang di antara hidup dan matinya untuk memberikan pembuktian bahwa ia adalah wanita sejati!
Ketlia membanting sendoknya, hilang sudah amarahnya kepadaku, wajahnya langsung memucat. Dengan linglung ia berlari masuk ke kamarnya, kamar kedua di depan dapur. Ia meraih tas selempang berwarna pink pucat, dan handphonenya, sepenuhnya tidak peduli pada penampilannya, lima detik kemudian ia sudah siap pergi. Vian meletakan sendoknya lebih pelan lagi, kemudian meraup seluruh barangnya yang berserakan, memasukannya dengan asal ke dalam tas. Tanpa mematikannya lagi, ia langsung menutup laptopnya, memasukannya dengan tergesa kedalam tas laptop berwarna biru tua, dan ia pun siap. Liska yang juga syok langsung berdiri untuk mengambil celana jeans di kamarnya, ia memakainya dengan terburu-buru (tapi tetap saja saat itu semuanya terlihat sangat lambat), tanpa sengaja kaki kirinya menendang mangkuk yang masih berisi setengah mie instan, tapi tidak ada satupun dari kami yang peduli. Satu-satunya yang diam tak bergerak adalah Marisa. Ia duduk menatapku, namun pandangannya kosong, tangan kirinya masih menggenggam penggaris, dan sendok masih berada di tangan kanannya. Air mata sudah mengalir di pipinya. Ia terisak, syok berat. Kalau bukan sedang berada dalam keadaan segenting itu, aku pasti akan memarahinya habis-habisan, sepenuhnya kesal karena sikap cengengnya, kemudian tentu saja menertawakannya!
Tapi saat ini semuanya sangat rentan. Kemarahan langsung memenuhi dadaku, tidak bisakan gadis itu lebih fleksibel sesekali. Menempatkan segala sesuatunya dengan baik?! Untuk sejenak, hilang sudah kesan mahasiswi matimatika jenius yang selalu kami banggakan, tinggalah sosok aslinya yang akan membuat kami pusing tujuh keliling. Tanpa berbicara lagi, Vian menarik lengan Marisa, memaksanya berdiri.
Ketlia yang berwatak keras langsung mengumpat, “Ris bukan waktunya buat nangis! Kita harus ke rumah sakit sekarang, lo mau kita terlambat datang kesana, dan akhirnya nggak bisa bisa ketemu Sophia lagi?!!” bentaknya keras. Kemudian keadaan mendadak hening. Kini bukan hanya slow motion, tapi sepertinya seseorang sudah menekan tombol pause, hingga semua gerakan berhenti dalam sekejap, bahkan jarum jam-pun berhenti berdetak. Setengah detik kemudian, kami baru terlepas dari kebekuan itu. Seakan baru tersadar dengan apa yang telah ia katakan, Ketlia langsung menunduk lemas. Tangisan Marisa semakin keras, Vian merangkulnya untuk menguatkan. Liska menegurnya dengan pandangan marah, sedang aku hanya bisa diam di ambang pintu, mencoba memasukan kakiku ke dalam sepatu. Namun air di mataku membuat semuanya buram, hingga memasukan salah satu kakiku ke dalam sepatu-pun memerlukan waktu lebih lama 10 kali lipat dari biasanya.
***
“Rey pelan-pelan…” bisik Vian dari kursi belakang ketika aku terus menginjak gas tanpa memperdulikan apapun lagi. Seakan baru tersadar dengan kecepatan itu, aku langsung memlambatkan laju mobilku, mencoba berpikir sejernih mungkin. Semua wajah di sekitarku sudah tampak sangat tegang, jelas ketakutan dengan apa yang akan terjadi beberapa menit, jam, atau beberapa hari kemudian. Tidak ada yang berbicara lagi setelah kata-kata peringatan Vian kepadaku. Semuanya terlalu sibuk dengan ketakutan dan pemikiran kami masing-masing.
Aku menekan klakson dua kali ketika sebuah bus menghalangi jalanku. Aku sudah berusaha untuk tetap tenang, namun ketakutanku seakan memaksaku untuk terus bergerak lebih cepat dan cepat lagi. 150… tekanan darahnya 150… tapi darahnya rendah, anemia… kata-kata itu kembali terngiang di otakku, mengisi seluruh relung di kepalaku. Mengingatkanku pada suara serak yang menelepon kami beberapa hari kemarin, mengabari dengan suara penuh rasa takut tentang keadaannya.
Kalau aku nggak selamat waktu melahirkan nanti… aku titip anakku yah…
Air mataku mulai kembali menetes, jalanan sepenuhnya kabur di depanku. Aku ingin menangis terisak, mengeluarkan seluruhnya dari dalam diriku, lelah tersiksa karena menahan gemuruh isakan di dalam dadaku. Tapi aku hanya menangis dalam diam, berusaha menjaga emosiku sebisa mungkin. Ketika melihat air mataku, Marisa yang masih berada di pelukan Vian di kursi belakang bersama Liska, langsung terisak semakin keras. Kemudian isakan Liska mulai terdengar, ia menangis sesenggukan sambil menempelkan pelipisnya di kaca mobil. Vian membelai lembut Liska dan Marisa secara bergantian, mencoba menenangkan mereka, meski air matanya sendiri juga sudah mengalir.
“Bego! Gue bilang kan juga di Caesar aja!! Kenapa sih tuh orang stubborn banget, kenapa dia bisa sebego itu!!!” teriak Ketlia tidak tahan. Aku bisa melihat emosi di wajah cantiknya, diantara kami berlima ia memang yang lebih lama bersahabat dengan Sophia, hingga tidak heran melihat ketakutan yang teramat sangat di kedua mata dibalik kaca itu. “Awas aja kalau dia sampai kenapa-kenapa, gue tendang tuh anaknya!” runtuknya frustasi. Kalau dalam keadaan biasa mungkin aku akan mengikuti leluconnya, mengatakan untuk ikut menyakiti putri pertama dari sahabat kami itu, tapi saat ini, semuanya benar-benar tidak biasa, bukan berada pada waktu dan tempatnya, bahkan tanggal kelahiran itu pun…
Dokter sudah memprediksikan bahwa Sophia akan melahirkan pada tanggal belasan di bulan September ini, tapi saat ini baru tanggal 31 agustus, tidakkah ini sedikit keterlaluan, kelahirannya jauh dari tanggal prediksi, terlalu jauh… hingga membuat kami merasa semakin sengsara karena merasa belum mempersiapkan diri dengan matang.
Setelah trisemester yang melelahkan, kehamilan Sophia sama sekali tidak mengalami masalah yang berarti, membuat kami diam-diam memuji bayi yang berada di dalam kandungannya. Sophia adalah salah satu dari sekian orang yang sangat rentan bersentuhan dengan rumah sakit. Ia bisa dengan mudah jatuh pingsan karena kelelahan, atau masuk angin ketika berbelanja bersama kami lewat pukul 7 malam! Dua minggu yang lalu tiba-tiba ia menelepon Ketlia ketika kami sedang berada di kantin kampus, mengabari tentang kemunduran tanggal kelahiran yang diprediksikan dokter, sekaligus dengan keadaan tekanan darahnya yang TIDAK BAIK!
“Minggu kemarin mba Rini yang hamil seminggu setelah kehamilanku sudah melahirkan, tapi kenapa aku masih belum?!” isaknya penuh ketakutan.
Aku mendengus, “Kan dokter sudah menetapkan tanggal prediksinya! Kalau lewat tanggal itu dan masih belum lahir, baru kamu cemas! Sekarang bukan saatnya cemas!” gerutuku kesal.
“Tapi tekanan darahku naik, aku darah tinggi. Sedangkan waktu diperiksa aku justru anemia.” Tambahnya dengan suara terbata. Aku bisa merasakan ketakutan mulai menyelinap ke dalam hatiku, namun aku harus tetap berusaha sekuat mungkin, aku tidak boleh menunjukan rasa takutku kepadanya, seakan mengiyakan seluruh kemungkinan terburuk yang memenuhi otaknya.
“BEGO! Itu karena lo stress!!! Udah deh, lo tenang aja, kalau udah waktunya lahir juga tuh bayi pasti keluar. Jangan lebay deh!” teriak Ketlia di sampingku.
“Tapi Li…”
“Udah… udah… lebih baik sekarang lo persiapin aja semuanya, nggak usah mikir yang macem-macem!” bentak gadis itu lagi. Aku bisa merasakan isakan Sophia semakin pelan, namun semakin menyayat hati. Dan meski sejak tadi Ketlia terus berteriak kencang, siapapun bisa melihat ketakutan di matanya, bahkan air mata yang sedari tadi tergenang mulai mengalir perlahan.
“Kalau aku nggak selamat waktu melahirkan nanti… aku titip anakku yah…”
“SOPHIA!!!!!!!!!” teriak Ketlia keras, tidak peduli pada wajah-wajah yang menoleh ke meja kami. Aku sendiri sudah tidak kuasa menahan perihku. “Jangan lebay! Lebih baik lu makan sana, gue lagi makan! Jangan ganggu!!!!” teriaknya sebelum menutup ponselnya, kemudian menjatuhkan kepalanya di meja kantin, menangis. Meninggalkan rasa laparnya bersama kesunyian isakan tangisnya.
***
“Belok kanan Rey!” tegur Vian, aku terkesiap dari lamunanku dan buru-buru memutar stirku ke kanan. Kenangan tentang telepon Sophia sore itu memang tidak pernah bisa menghilang dari benakku selama beberapa hari belakangan ini. Semuanya terasa menghimpit, menyesakan dadaku setiap saat.
Ketika sampai di rumah sakit kami langsung berlari ke ruang oprasi, beberapa orang memandang kami berlima dengan kening berkerut, namun kami sudah tidak peduli. Sejak memasuki pintu ganda rumah sakit, aroma kematian itu semakin pekat tercium, membuat lututku sejenak mulai lemas. Ada enam atau tujuh orang yang sudah menunggu di depan ruang oprasi, dengan wajah sepucat mayat semua. Damar terduduk di samping pintu dengan tangan menutupi wajahnya, entah berdoa atau menangis. Nela, adik Sophia langsung menghampiri kami, air mata sudah menghilang dari wajahnya, menyisakan kerak-kerak kering di kedua sudut matanya yang bengap, wajahnya yang putih memerah karena terlalu banyak menangis.
“Bagaimana?!” tanyaku dan Ketlia secara bersamaan. Vian berdiri di sampingku, meninggalkan Marisa dipelukan Liska. Gadis bertubuh tambun itu menggeleng. Tiba-tiba saja tubuh Ketlia jatuh lemas, dengan sigap Vian dan Nela langsung menahan tubuhnya, mendudukannya di sebuah kursi panjang di depan ruang oprasi. Ketlia menangis terisak dengan mata yang hampir terpejam, ia kelelahan, dan ketakutan. Tidak usah ditanyakan lagi, Marisa yang melihat Ketlia terisak sesedih itu, langsung meronta-ronta, menangis bagai orang kesetanan, membuat ruangan itu sejenak dipenuhi oleh orang-orang yang merasa ingin tahu dengan apa yang tengah terjadi.
Andai saja aku masih memiliki sisa-sisa kekuatan, mungkin aku sudah menarik tangannya ke kamar mandi, menguyurnya untuk menyadarkannya, atau yang lebih kejam mungkin aku akan memasukannya ke dalam tong sampah terdekat, meredam suara tangisnya yang memekakan telinga di balik tutup tong sampah itu.
Tapi saat ini, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar iri kepadanya. Aku juga ingin bisa menumpahkan seluruh ketakutanku melalui tangis sekencang itu! dari pada menahan-nahan isak tangis yang semakin lama semakin membuatku sesak!!!
*********************************************************