Rabu, 02 Oktober 2013

MR. RIGHT -05-


–THE PROPOSAL-

Keesokan harinya, sabtu pagi di akhir bulan September, aku masih tidak bisa berpikir jernih, aku kelelahan dan kurang tidur. Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Aku menatap lembayung fajar yang mulai menyingsing di balik pepohonan rindang di halaman rumahku yang cukup luas. Untuk beberapa alasan, memiliki rumah cantik di kawasan puncak Bogor memang cukup menyenangkan, meski kami memang bukan orang Bogor asli.
Kamarku berada di bagian depan rumah ini, dengan jendela besar yang menghadap ke halaman depan. Perkebunan teh menjadi pemandangan utamaku, dihiasi beberapa puncak-puncak perbukitan dengan kelok-kelok jalanan yang tampak mengecil dari tempatku melihatnya. Kamarku tidak juga mewah, bahkan terkesan sangat sederhana, maklum rumah ini memang rumah keluaran lama dan masih menjaga eksistensi barang-barang lamanya. Ranjangnya masih berupa ranjang kayu yang memiliki tiang-tiang tinggi seperti kanopi, yang dipasangkan kelambu cantik di setiap sudutnya. Padahal aku hampir tidak pernah merasakan gigitan nyamuk sedikitpun di sini, jauh berbeda ketika aku berada di Jakarta, ternyata bukan hanya manusia saja yang padat di sana, bahkan kaum nyamuk pun mulai merasakan kepadatan penduduk.
Lagi-lagi sebuah meja kayu jati berada tidak jauh dari ranjangku, sebuah benda wajib tempatku melakukan pekerjaanku sebagai penerjemah. Rak-rak berukiran bunga mawar cantik berada di samping jendela, penuh oleh novel-novel dan majalah-majalah yang ujung-ujung halamannya mulai berlipat karena sering dibaca oleh Leo. Dua benda elektronik di kamar itu hanyalah sebuah tv plasma, dan kipas angin kecil yang ku nyalakan hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Udara di Bogor sudah lebih dari cukup untuk sekedar menyejukan tubuhku, lagi-lagi berbanding terbalik dengan kota Jakarta yang super panas.
Rumahku adalah satu-satunya rumah yang berada di kawasan villa-villa cantik milik orang kota. Dan untuk beberapa alasan aku bersyukur, karena hal itu jalanan menuju kawasan ini tidak pernah sekalipun berlubang. Mulus terawat. Ada empat kamar tidur di rumahku. Sebelumnya kamar belakang hanya di jadikan gudang, namun semenjak Leo beranjak dewasa ia tidak mau tidur sekamar lagi dengan Gadis, dan akhirnya meminta ibu untuk mengubah kamar belakang menjadi kamar Gadis. Meski pada akhirnya Leo selalu tidur di kamarku. Di halaman depan adalah tempat favoritku, ada sebuah kursi panjang yang yang mengarah langsung ke kebun teh. Di kala senja, ketika ibu tidak sedang melakukan apapun, kami akan duduk di sana berdua, aku akan tidur berbantalkan kakinya, dan ibu akan mengelus rambutku dengan perlahan. Udara sejuk, kemilau senja, aroma kebun teh, serta sentuhan lembut ibu adalah beberapa hal yang paling ku rindukan acap kali aku kembali ke Bogor. Tentu saja semua itu akan langsung menghilang ketika adikku datang dengan motor matic nya, dari kejauhan ia sudah akan berteriak memanggilku. Cengirannya begitu khas, dan meski ketika berangkat mengenakan kerudung, namun ketika pulang rambut pendeknya sudah tidak terbungkus apapun, kerudungnya ia ikatkan di leher. Sebuah kantung kresek hitam selalu tergantung di samping spion motornya, dan ketika aku ataupun Gadis sedang kebetulan pulang ke rumah, maka kantung kresek itu akan semakin banyak tergantung. Oleh-oleh beliannya dari sekolah SMP di pasar.
Aku tersentak kaget ketika mendengar pintu kamarku terbuka. Aku masih termenung menatap kebun teh dari jendela kamarku, memeluk lututku erat-erat dan meletakan kepalaku di atasnya.
“Kamu sakit Re?” tanya ibu seraya meletakan tangannya di keningku. Aku tersenyum lemah dan menggeleng.
“Cuma capek bu,” bisikku datar. Kemudian kembali menyandarkan kepalaku di atas lutut. “Ibu nggak ke puskesmas hari ini?” tanyaku tanpa memandangnya.
Ibu tersenyum tipis dan membelai kepalaku dengan lembut, kemudian duduk di sampingku, “Kan putri ibu baru saja pulang, masa ibu malah tinggal bekerja?” tanyanya.
Aku terkekeh pelan dan menatap ibuku penuh kasih. “Bu… kayak Rena nggak pulang dua tahun aja deh. Kemarin-kemarin Rena sedikit sibuk sama tugas kuliah yang menumpuk itu, belum lagi urusan-urusan administrasi lainnya.” Keluhku lelah.
“Iya ibu ngerti, kadang ibu Cuma kangen kalian. Untung adikmu itu cerewetnya bukan main, kalau nggak ibu pasti sudah mati bosan.” Aku bisa mendengar senyuman dari kata-kata lembut ibuku. “Gadis juga masih sibuk sama kuliahnya,” bisik ibu pelan. Aku menepuk tangan ibuku dengan lembut, mencoba menenangkan kerinduannya pada adikku yang sekarang tengah duduk di semester awal di universitas Singapura. Dengan cepat ibu menyeka air matanya, kemudian kembali menatapku dengan senyuman lembutnya. “Bagaimana kabar Aditya?” tanya ibuku tiba-tiba. Pengalihan topik yang begitu cepat itu membuatku tersentak kaget.
“Bu…” bisikku merajuk. Setiap pulang, setiap telepon dan setiap ada kesempatan, ibu selalu menanyakan kabar Aditya, mantan kekasihku-tunanganku atau apapun itu namanya. “Aku sudah putus dengannya,” ujarku mengingatkan.
Ibu mendesah lelah, “Tapikan putus bukan berarti kamu lepas hubungan sama sekali dengannya,”
Tapi nyatanya begitu.
Aku sangat menyayangi Adit, banyak hal yang menyatukan kami. Dari masalah-masalah spele seperti kopi apa yang kami sukai, sampai masalah besar seperti prospek kehidupan kami kedepan. Sudah begitu banyak kertas yang ku gunakan untuk menuliskan kisah-kisah impianku bersama Adit. Untuk beberapa saat, ku pikir dia adalah jodoh yang dituliskan Tuhan untukku. Ia mencintaiku, menyayangi Leo, Gadis dan ibu dengan sangat tulus. Ia dekat dengan sahabat-sahabat karibku, dan tentu saja semua sahabatku juga sudah menyukainya. Kami bertunangan sejak sebelas bulan yang lalu, namun tidak berniat menikah dalam waktu yang dekat, hanya saling mengikat. Hingga dua bulan yang lalu ia melamarku. Satu hal lain yang ku sukai darinya, ia adalah sosok yang paling romantis, di tengah kebun teh yang sudah di sulap sedemikian rupa, dengan lampu-lampu kecil berkelap-kelip, ia memintaku untuk menikah dengannya.
Umurku 21 tahun, dan diantara persahabatanku dengan kelima gadis itu, pernikahan sudah bukan hal yang mengejutkan lagi. lagi pula Sophia sudah menikah sejak dua tahun yang lalu. Sebenarnya, aku pun tidak jarang membayangkan sebuah kehidupan pernikahan dengan Adit. Ketika di pagi hari wajahnya lah yang ku lihat setiap kali membuka mata, kemudian sibuk memasakan sarapan untuknya, menyiapkan pakaian kantornya, dan menyiapkan diriku sendiri untuk berangkat kuliah. Untuk satu dua alasan tampaknya itu tidak terlalu buruk, bahkan terasa cukup menggiurkan. Sophia sudah sering kali menceritakan kehidupan pernikahannya yang terdengar sangat indah, mencoba memanas-manasi kami, dan sialnya ia berhasil seratus persen! (meski tidak ada yang mau mengakuinya).
Tapi saat itu aku menolak Adit. Penolakan itu terjadi begitu saja, tak terencana, dan ter-elakan. Aku sudah menyiapkan berbagai jawaban ‘iya’ untuknya dalam berjuta bahasa, namun ketika ia selesai mengatakan seluruh lamarannya, kepalaku justru menggeleng. Dengan perlahan aku melepaskan cincin cantik yang sudah melingkari jemariku hampir satu tahun lamanya.
“Aku tidak bisa,” bisikku parau. Wajah Adit langsung memucat, dan meski saat itu hanya diterangi lampu-lampu pijar kecil, tapi aku bisa melihat ketakutan di matanya.
“Tapi kita saling mencintai Re…” bisiknya lirih.
Aku menunduk, bingung harus berkata apa. “Kalau kamu mencintaiku, kamu nggak akan memintaku melakukan apa yang tidak ingin ku lakukan,” jawabku susah payah.
“Re, itu hanya masalah kesiapan. Cepat atau lambat kamu harus siap. Kamu seorang wanita, dan kodrat wanita adalah menjadi seorang ibu.” Ujarnya sungguh-sungguh. Aku bisa merasakan air mata nelangsa menetes dari mataku.
“Mungkin kamu benar, tapi saat ini, kesiapan itu masih sangat jauh Dit. Aku nggak mau mengecewakan siapapun, terlebih orang tua kamu karena berharap lebih dariku. Maafin aku, tapi aku nggak bisa…”
“Re, setidaknya kita bisa mencoba,”
“Aku nggak ingin mencoba melakukan hal yang nggak aku inginkan.” Dan berhenti di sana. Itu adalah kata-kata terakhirku untuk Raditya Hermawan, pengusaha muda yang menjadi mantan kekasih yang paling ku sayangi. Tapi sayangnya, sepertinya ia tidak mengenaliku sebaik yang ku harapkan. Ia masih tidak mengerti bagaimana bencinya aku kepada anak-anak kecil.


“Kemarin Aditya menelepon ibu,” kata-kata ibu mengembalikanku dari lamunanku mengenai lamaran Adit kala itu. “Dia tau kamu akan pulang ke Bogor, dan menanyakan apakah kamu sudah sampai atau belum,” tambahnya. Aku bisa merasakan hatiku mulai terhimpit sesak lagi.
Aku pikir, setelah mengetahui betapa ia tidak bisa menghargai keputusanku untuk tidak atau menunda memiliki anak itu, aku akan benar-benar membencinya, namun pada kenyataannya, selalu ada perih acap kali aku mendengar namanya disebut.
“Dia titip salam untukmu dan Leo,” ujar ibu lagi, kemudian terdiam cukup lama, meskipun aku sempat mendengar ibu hendak mengatakan sesuatu, namun kembali menelan kata-katanya sendiri. Tampak sangat ragu.
Ketika mengetahui hancurnya hubunganku dengan Adit, Leo langsung memakiku dengan sangat keras. Ibu menangis sesenggukan, dan sahabat-sahabatku mencibir, mengutuki kebodohanku. Pada akhirnya aku sadar, tidak ada satupun dari mereka yang menganggap ketidak sukaanku pada anak kecil adalah masalah yang serius.
Setelah menghela nafas cukup panjang, ibu membuka mulutnya lagi, “Minggu lalu Gadis telepon, katanya Aditya menyempatkan diri untuk menjenguknya ketika ada pertemuan di Singapura.”
Nah kan!
Mengapa sosok baik itu tidak bisa mengerti tentang diriku sedikit saja?? Aku masih sangat mencintainya, dan kelakuan manisnya kepada keluargaku membuat cintaku kepada sosok tampan itu semakin besar. Tapi kenapa ya Tuhan… kenapa dia tidak bisa menuruti satu saja keinginanku untuk menunda kehamilan itu??? lagi pula aku kan baru berumur 21 tahun!
“Jangan salahkan Gadis, ia juga sangat terkejut dengan kedatangan Aditya. Dan jangan salahkan dia juga, dia hanya merindukan adik-adikmu.”
Aku bisa merasakan air mata kepedihan mulai menetes dari mataku. “Aku tidak akan menyalahkan siapapun bu,” bisikku sebelum beranjak dari ranjangku dan berjalan menuju kamar mandi untuk menangis sendiri.

***