Minggu, 14 September 2014

DOMINOS

“KAMU BISA DIAM?!!”
Bentakan itu luar biasa keras, membuat seorang gadis remaja yang sedari tadi tengah berbicara mengenai banyak hal langsung terdiam. Wajahnya langsung membeku, kedua tangannya saling bertautan dengan erat, ketakutan dengan apa yang ia lihat.
Seorang pemuda berumur beberapa tahun lebih tua darinya tampak berdiri menjulang di hadapannya. Matanya melotot, bulat, nyalang penuh kemarahan. Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya, menahan gejolak amarahnya kepada gadis itu.
“Dari tadi kamu tanya ini dan itu! sebenarnya apa yang sedang kamu kerjakan?! Kalau kamu butuh informasi yang terpercaya kenapa kamu nggak tanyakan saja pada penjual alat-alat itu?! atau pergi ke perpustakaan! Baca bukunya!” bentaknya kesal.
Suasana kelas hari itu memang tidak terlalu ramai. Murid-murid yang lain sudah banyak yang pulang. Hanya ada dua orang siswi dan satu orang siswa yang masih mengerjakan tugas mereka, serta ia dan gadis itu. semua mata sontak tertuju ke arah mereka, membuat sang gadis salah tingkah.
“Kamu tau! Kamu adalah orang yang paling merepotkan yang pernah aku temui di muka bumi ini! orang yang paling menyebalkan! Berhenti menanyaiku tentang hal-hal aneh itu!” ujarnya sebelum menutup buku yang tengah ia baca kemudian menarik ranselnya dengan asal, membuat sekotak kartu domino terjatuh begitu saja dari dalam tasnya yang tertutup sebagian.
Lima menit berlalu, gadis itu masih duduk di kursi yang sama, masih dengan ketakutan yang sama, masih dengan air mata yang sama.
***
“Kamu datang?” pertanyaan itu tak terjawab, dan memang tidak membutuhkan jawaban apapun. Gadis itu kembali menatap langit-langit kamar rawat inapnya. Matanya terbuka lebar, dengan usaha menahan air matanya yang sia-sia. “Maaf…” katanya dengan lirih, terdengar samar di balik alat pernafasannya. “Maaf, karena selalu merepotkanmu… tapi kamu pasti senang. Setelah ini, kalau aku mati…” ia terdiam sejenak, perih menahan isak di dadanya. “… kamu nggak akan pernah diganggu lagi,” tetesan yang lain, ia hampir terisak. “…kamu akan tenang kalau aku mati…”katanya dengan rapuh.
“Kalau kamu mati, aku juga akan mati…” itu pernyataan yang tidak pernah terduga sebelumnya, baik oleh gadis itu, maupun oleh dirinya sendiri. Mereka tertegun dalam kebingungan masing-masing. “Aku akan mati karena bosan.” Tambah sosok itu. Ia menatap sepatu sekolahnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus sembuh. Aku berjanji nggak akan membentakmu lagi.”
“Tapi aku menyebalkan…”
“Aku tau.”
“Tapi mereka bilang, mereka akan mengambil ginjalku, aku akan bergantung dengan obat. Aku nggak akan bisa berlari lagi, aku nggak akan bisa bernang lagi, aku nggak akan sama lagi.”
“Aku tau. Aku akan menjagamu, seumur hidupku. Akan ku jawab semua pertanyaan konyolmu, siang dan malam. Akan aku lakukan apapun untuk menjagamu tetap hidup. Aku akan menjagamu. Percayalah. Sembuhlah. Ku mohon…”
Senyuman gadis itu perlahan tersungging tipis. Ia begitu menyukai pemuda itu. Pemuda pintar yang terkadang menggunakan kaca mata di dalam kelas. Pemuda yang selalu menjadi favoritnya ketika menonton pertandingan basket. Pemuda yang mempesona. Pemuda yang sudah ia sukai sejak pertama kali ia berada di sekolah itu.
Gadis itu mengangguk perlahan ketika seorang suster masuk ke dalam kamar rawat inapnya. “Sudah saatnya sayang…” kata suster itu dengan ramah.
Lagi-lagi gadis itu mengangguk. Pemuda itu turut berdiri dari kursinya, membiarkan sang suster mempersiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan untuk oprasi gadis itu.
“Tunggu…” kata gadis itu dengan perlahan. “Ini…” ia mengulurkan tangannya dengan sekotak kartu domino yang mulai lusuh. “Aku senang, kita tidak seperti domino. Aku menyayangimu, dan kamu menyayangi orang lain.” Terangnya dengan lugu.
“Tidak Raihana, aku hanya menyayangimu. Cepat sembuh.”
***

Minggu, 07 September 2014

CHERISH

Itu bukan pertama kali aku melihatnya, cukup sering, mungkin beribu kali. Sesosok pria muda sebayaku, tampan dengan caranya sendiri. Tapi aku tidak yakin sejak kapan tepatnya rasa itu tiba-tiba saja muncul. Sebuah rasa yang membuatku selalu ingin pergi ke sekolah lebih pagi hanya agar bisa melihatnya lebih puas ketika berlatih basket dengan seragam yang ia gulung lengannya. Entah sejak kapan pula aku memiliki hobi-hobi aneh lainnya. Dari suka melamun sendirian, hingga berkali-kali pergi ke kantin hanya agar bisa melewati pinggiran lapangan basket, tempat biasanya ia dengan teman-temannya berkumpul untuk membincangkan segala sesuatu tentang basket yang tidak aku mengerti.
Ia menawan.
Entah sejak kapan aku berpikiran seperti itu. Namun rasanya, hanya sedetik yang lalu, pertama kalinya aku beradu pandang dengannya, dan tiba-tiba saja aku tau, aku menyukainya. Aku merindukan senyumannya, aku menyukai caranya tertawa, aku menyukai caranya berbicara, caranya mengangguk, bahkan caranya mengedipkan kedua kelopak matanya.
Ia istimewa.
Pria yang membuatku tidak bisa berkutik; yang membuatku ingin terus menatap kedua matanya, menguncinya agar hanya terpaku menatapku. Agar ia tetap hanya tersenyum kepadaku. untukku.
Berdekatan dengannya, membuatku merasakan suatu rasa nyaman yang luar biasa. Seperti zat adiktif, seperti magnet berlawanan arah, saling menarik.
Bersamanya, meski hanya dalam diam, aku takkan pernah merasa bosan, bahkan jika sampai seribu tahun berlalu pun, rasa nyaman itu selalu ada. Ia membuatku merasa aman dengan caranya sendiri. membuatku merasa tidak perlu berlari untuk mencari pundak lain ketika aku lelah.
Satu detik yang sangat berharga, yang mengubah seluruh hidupku dalam sekali kedipan.
Andai saja ia tau hal itu.
***
“Aku minta maaf…”
Aku tidak mengerti. “Untuk apa?” tanyaku dengan polos. Kami hanya duduk berselang satu meja di kantin. Aku menatap kedua matanya, seperti biasa, namun ia menghindari tatapanku. Tangannya bergerak dengan gelisah, seakan menyembunyikan sesuatu.
“Aku nggak mau terjadi kesalah pahaman di sini. Antara kita berdua.”
Aku mulai gelisah. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Aku tidak mengerti. Tapi aku hafal seluruh raut wajahnya. Terutama saat ia mulai lelah. Ketika semua yang ada di benaknya mulai membuatnya ingin menghilang di telan bumi. Ketika mungkin tidur seribu tahun tidak akan mengubah seluruh masalahnya.
Tapi aku tidak ingin mendengar. Aku tidak ingin mendengar sama sekali!!
“Sepertinya kamu sedikit salah paham. Selama ini, aku menganggapmu hanya sekedar teman biasa. Seperti aku dengan yang lain, atau kamu dengan yang lain. Ku mohon jangan berpikiran lain. Aku hanya mencoba untuk berbuat baik kepada semua orang.”
“Jangan mengharapkan lebih.” Katanya sungguh-sungguh, membuatku sejenak tertegun. Apa aku sekarang sedang terlihat tertawa di matanya? hingga ia bisa dengan santai mengatakan seluruh kata itu dengan sangat lugas dan mudah. “Aku hanya ingin bersahabat dengan semua orang.” tambahnya. “Lagi pula, kamu pasti sudah mendengar kabar mengenai aku dan Raihana. Ya, itu benar. Aku menyukai Raihana.”
***
Hujan petang itu, menghapus jejak mimpi yang sempat tersulam. Terisolasi dengan segenggam nyata yang tak terelak.
Aku menatap hujan dari balik jendela, mencoba menghapus bayang-bayang punggung bidangnya ketika akhirnya berjalan menjauh setelah mengatakan apa yang mungkin ia pikir perlu ia katakan untuk kebaikannya, untuk menyakitiku.
Mungkin pada akhirnya dia benar. Aku terlalu berharap lebih. Cinta itu selalu membuat seseorang menjadi lebih bodoh. Menjadi lebih dramatis. Selalu melebih-lebihkan seluruh rasa yang ada. Mungkin selama ini, rasa itu yang membuatku sedikit buta, bahwa yang ia lihat bukan hanya kedua bola mataku. Bukan kepada pandanganku, kedua matanya terkunci. pada gadis lain, mungkin.
Mungkin aku yang salah mengartikan senyumannya. Mungkin seluruh hormon di dalam jiwa remajaku yang sudah membuat otakku tumpul untuk lebih bijaksana dalam berpikir. Atau mungkin aku memang benar-benar bodoh karena mempercayai bahwa dia juga cukup menyukaiku?
Mungkin aku terlalu bodoh, atau cinta itu yang membuatku bodoh.  
Hujan petang itu, akan menjadi hujan terindah. Ketika kamu hanyaberbicara kepadaku, ketika pandangan itu memang ditujukan hanya kepadaku, meski akhirnya hanya untuk menuai luka yang lebih dalam. Tapi siapa peduli? Toh, gadis itu juga sudah tidak memiliki hati. lalu bagian mana yang tersakiti?
Mungkin ia akan menangis sejenak, menangisi kebodohannya, karena mempercayai, bahwa cinta itu ada. Tapi lalu ia akan segera lupa, seperti biasanya.