Sabtu, 29 September 2012

One Tears of Love



Aku seharusnya bahagia melihatnya tersenyum. Aku seharusnya bahagia mendengar kabar itu. aku seharusnya bahagia melihat semua ketercapaiannya. Aku seharusnya bahagia, karena aku adalah sahabatnya. Namun nyatanya tidak. Aku terluka. Meski masih bisa menunjukan sebuah senyum palsu yang menjijikan.
Aku terluka, meskipun rasanya sangat tidak wajar. Tapi aku jelas kecewa ketika membaca pesan terakhirnya. Berkali-kali aku membacanya, berharap semua itu salah. Namun berkali-kali pula aku mendapati kebenaran hal itu. aku menangisi kelemahanku. Aku mengecewai seluruh nasibku. Tapi bukankah aku harus bahagia untuknya?? Tidak!! aku tidak bahagia sama sekali! Aku terluka dan kecewa! Aku iri padanya!! Ya, aku iri padanya yang bisa mendapatkan semua yang tidak bisa ku dapatkan.

Luna berdiri mematung di halte, tidak untuk menunggu bis, tapi menungguku. Wajahnya tersenyum sumingrah. Menunjukan betapa bahagianya ia hari ini. aku bergeming, mengatur gemuruh hatiku dan tentu saja senyuman palsuku juga. Senyumannya bertambah lebar ketika melihatku berjalan kearahnya. Aku melirik lampu lalu lintas dan kembali meliriknya. Ia ikut melirik kearah lampu 3 warna itu.
Kami berdiri bersebrangan, menunggu lampu merah datang. Namun ketika lampu hijau untuk pejalan kaki itu muncul, aku sama sekali tidak bergerak. Kaku menatapnya yang tampak bingung. Ia meneriaki namaku beberapa kali, namun aku masih tidak sadar. Kepalaku penuh dengan rasa aneh yang tidak bisa ku kendalikan. Kemudian ponselku bergetar. Luna meneleponku.
“Hel, apa yang kamu lakukan disana? Ayo sudah lampu merah, kamu bisa menyebrang sekarang,” tuturnya. Aku mengerjap beberapa kali. Kerongkonganku sedikit sakit.
“Aku takut,” bisikku. Luna tersenyum di sebrang sana.
“Oke, aku akan jemput kamu,” ujarnya lembut. Dewi batinku memekik karena jijik pada diriku sendiri. Ia begitu baik dan aku begitu jahat. Inikah kebenaran dari cerita devil and angel??
Luna berjalan perlahan dengan ponsel masih di telinganya. Ia kembali menceritakan hal itu. hal yang membuatku muak setengah mati. Ia tersenyum lebar ketika menceritakannya. Ia begitu bahagia. Tidakkah ia lihat aku begitu kecewa karena kebahagaiaannya?? Sedetik kemudian aku menyadari suatu hal. Ya, senyum palsuku tampak begitu mengelabuinya rupanya. Aku mendesis kemudian menghilangkan seluruh kepura-puraan itu dari wajahku. Ia terlihat begitu tercekat. Terhenti beberapa meter di depan bahu jalan, di depan tempatku berdiri. Luna sudah tidak memerlukan handphone lagi untuk mendengar suara bisikkanku. Namun ia masih menempelkannya di sana, di telinganya- entah sadar atau tidak.
Aku bisa membaca wajah penuh pertanyaannya dengan mudah. Bingung dan sedikit takut atas ekspresi dinginku. “Ada apa?” bisiknya. aku terdiam menatapnya. Memikirkan seluruh hal dalam satu waktu. Hitam atau putih, putih atau hitam? Aku bergeming, akankah aku bahagia jika aku memilih hitam itu?? aku tidak tau, namun aku tidak punya waktu lagi untuk memikirkan kemungkinannya. Tapi aku ingin mencobanya.
Tampaknya ia begitu kalut melihat diriku hingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Bahkan ketika lampu merah itu berganti hijau diiringi klakson mobil yang bersahut-sahutan ia masih tetap berdiri disana. Membuat beberapa orang mengumpat kepadanya yang masih menatapku. Aku meletakan ponselku di telingaku. Dengan perlahan namun pasti aku membisikan sebuah kalimat.
“Ada mobil tepat di sampingmu,” bisikku dingin. Tubuh Luna membeku, kemudian menoleh. Semuanya terasa seperti tayangan slow motion. Teriakan itu terdengar nyaring memekakan telinga. Aku melihat tubuh Luna melayang di depanku, kemudian terlempar jauh di aspal. Darah mengalir deras dari beberapa bagian tubuhnya. aku bisa melihat jemari itu perlahan kaku melepaskan genggamannya pada ponsel yang masih menyala.
Untuk sepersekian detik aku masih mematung di tempat. Tidak peduli akan kerumunan orang di sekeliling tubuh Luna yang bersimbah darah. Mengapa selalu ia yang mendapat perhatian? Mengapa selalu Luna???
                                                          ***
Jum’at, 30 Januari
“Beasiswa??” Luna mengulangi kata-kataku. Aku mengaguk cerah. Kirana mengganti-ganti saluran tv dengan tidak sabaran. “Kita harus ikut,” ujarnya lagi. “Ini pasti keren kalau kita bisa sekolah SMA di luar negeri,” tambahnya. Aku mengaguk setuju. Meski sejujurnya aku tidak terlalu antusias untuk sekolah di luar negeri, toh aku baru saja pindah ke Indonesia ketika kelas 6 SD dari Australia. Tapi jika pergi bersama teman-temanku, itu akan berbeda lagi rasanya. Kirana mengendus kesal kemudian mematikan Tv.
“Buat apa sih bermimpi kalau tidak bisa dicapai?” tanyanya ketus. Aku dan Luna saling pandang.
“Ki, kita sedang berusaha,” ujar Luna. Aku mengaguk setuju.
“Memang kalian yakin akan berhasil?” Kirana mencibir.
“Aku yakin,” bisikku. Luna tersenyum penuh semangat. Akhirnya setelah membujuk dengan susah payah Kirana mau ikut mencoba. Setidaknya kami tidak akan tau apakah ini akan berhasil atau tidak jika kami tidak mencobanya.

Beasiswa ini di peruntukan kepada siswa SMP. Tentu saja aku sangat berminat. Beasiswa full untuk 100 orang siswa terbaik dari seluruh indonesia. aku sedikit ngeri membaca kata-kata seluruh indonesia itu. tentu saja akan ada beribu-ribu orang yang akan menjadi sainganku. Namun aku tidak ingin menyerah. Tidak saat semangat Kirana mulai muncul. Beberapa aplikasi persyaratan harus kami isi. Sebuah bundel yang begitu tebal dan HARUS BERBAHASA INGGRIS. Aku mendesah. Meskipun aku menyukainya tapi aku tidak bisa merangkai kata dalam bahasa inggris seperti Kirana dan Luna. Kami juga harus melampirkan foto kopi raport, tes kesehatan dari dokter, persetujuan tertulis bermaterai dari orang tua dan lain-lainnya.
Yang terberat untukku adalah saat menulis essay. Namun aku rasa aku bisa melewatinya dengan baik. Ya tentu saja, lagi pula aku memang bukan murid yang bodoh di sekolah. Bahkan kami bertiga terkenal sebagai triple angel yang cerdas. Menarik bukan!
Aku bisa melihat siswi lain menatap kagum sekaligus iri pada kami. Padahal, dalam hati meskipun bangga aku tidak suka akan pandangan mereka. Ini akan menjadi sangat sulit ketika kami kalah. Mom dan dad bahkan lebih bahagia dari pada yang ku duga. Sejenak aku menjadi benar-benar senang.
“Hel,” panggil seseorang ketika aku berjalan di koridor utama. Aku berbalik. Betapa terkejutnya aku mendapati sosok tampan Andika yang diam-diam ku taksir. Andika bertubuh tinggi sedikit kurus, matanya coklat indah dengan senyuman manis yang begitu ramah. Aku membalas sapaannya dengan senyuman termanisku. “Kamu sedang sibuk?” tanya Andhika lagi. Aku melirik buku sejarah yang ada di tanganku sekilas. Tidak cukup sibuk jika ia yang bertanya. Kemudian menggeleng. “Bagus, ada yang mau aku tanyakan kepadamu,” aku melongo ketika wajah itu memerah. Astaga... apa yang sebenarnya mau ia tanyakan??? “Gimana kalau kita masuk keperpustakaan?” tanyanya. Aku mengaguk dalam keterpesonaan.
“Ada apa?” tanyaku. Andhika mengangkat wajahnya perlahan. Memandangku dari balik bulu matanya yang indah. Mama.... dia benar-benar tampan!! Jerit dewi batinku.
“Hm, menurut kamu, sebagai seorang perempuan, kado apa yang paling indah yang ingin perempuan dapatkan?” hatiku mencelos. Wajahku ikut memerah. Apa dia sebenarnya ingin memberikanku kado, namun tentu saja ingin memberikan yang sesuai dengan keinginanku? Tapi ini terasa menggelikan. Tapi ah, ini romantis.
“Benda berkilau,” jawabku tanpa sadar. Andhika memandangku bingung. Apa dia pikir benda berkilau itu...
“Lampu?” tanyanya. Aku sampai tersedak keterkejutanku sendiri. Sejak kapan lampu menjadi benda berkilau? Dan lagi disukai wanita?
“Bukan, tapi seperti ini,” aku menyentuh cincin di jari tengahku. Ia mebulatkan matanya, mengerti. “Tapi mungkin untuk permulaan kamu bisa memberikan gelang atau anting,” ujarku penuh harap. Andhika mengaguk-ngaguk.
“Oke, terima kasih Rachel atas bantuan kamu,” ujarnya. Aku mengaguk bahagia ketika ia berlalu meninggalkanku. Akhirnya!!! Pekik dewi batinku senang.

Hari ini adalah pengumuman kelulusan basiswa itu. aku begitu antusias. Kebetulan hari ini hari minggu, jadi  aku memutuskan untuk mengeceknya di rumah. Langsung ke situs SMA yang bersangkutan di AS. Mom membantuku, kakek terlihat begitu bahagia dan penuh harap. Baru kali ini aku melihatnya sebahagia itu setelah nenek meninggal. Dad bahkan rela meninggalkan olahraga favoritnya untuk merayakan keberhasilanku.
Aku mengetikan nama lengkapku. Rachel Valerina Kimberly. Namun hasilnya kosong. Mom yang berdiri di belakanku meremas pundakku perlahan.
“Coba lihat ke pengumuman kelulusan itu, mungkin namanya di tulis di situ,” usul dad. Aku mengaguk dan mengikuti apa katanya. Ada seratus nama di sana , namun aku tidak menemukan namaku.
Drrd.... tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan dari Luna
From : Luna
AKU MASUK!!!

Dan semuanya itu pecah berantakan. Seperti kristal yang dibanting begitu keras hingga jatuh berkeping. Aku merasakan wajahku memanas ketika mendapati namanya di antara nama-nama itu. Luna Fayrish. Begitu mengagumkan, dan menyakitkan. Sedikit kelegaan ketika aku menyadari nama Kirana Aghata Lubis juga tidak tertulis disana.
“Sudahlah, kita bisa pergi kesana tanpa memerlukan beasiswa,” ujar kakek riang. Namun aku bisa merasakan kekecewaan di matanya. Aku bergeming, kemudian berdiri dari kursiku. Sesuai janji setelah mengetahui pengumuman ini kami akan bertemu di taman kota. Dan sudah waktunya aku pergi.
“Kamu mau kemana?” tanya mom. Aku menjawabnya singkat. Dan mereka tidak bertanya lagi. Aku bisa melihat kekecewaan mereka.
Di perjalanan aku mendapatkan pesan dari Kirana. Dan aku hanya membalasnya untuk membahas semua itu di taman nanti. Namun Luna malah meneleponku. Aku ingin menghindarinya tapi aku tidak bisa. Ia begitu riang di sebrang sana.
“Hel, aku turut kecewa kamu dan Kirana tidak masuk,” ujarnya tulus. Namun sisi jiwaku mencibir jijik mendengarnya. “Tapi aku janji saat aku sampai di sana aku akan mencarikan informasi beasiswa yang lebih akurat lagi. Siapa tau kita bisa bersama lagi.” Ujarnya, begitu riang, begitu menjijikan. Namun diriku adalah aktris yang ulung. Aku sendiri merasa terkejut dengan nada suaraku yang terdengar begitu bahagia atas keberhasilannya. “Wah, mamaku juga sangat bahagia,” ujarnya. Dan aku kembali teringat atas wajah kecewa keluargaku. Setelah mengucapkan beberapa hal lagi ia memutus teleponnya. Dan saat itu aku sudah bisa menatap sosoknya di sebrang jalan.
Ia tersenyum, lebar dan bahagia. Aku menunjukan kepalsuanku dengan sangat baik. Jarak diantara kami tidaklah terlalu jauh, hingga rasanya aku bisa melihat sosoknya dengan jelas. Luna mengenakan dress selutut cantik berwarna kuning lembut. Rambutnya tergerai sebahu dengan jepit di sisi kiri telinganya. Dan sesuatu mengusik pandanganku. Baru saja aku akan mendelikan mataku telepon kembali bergetar. Luna meneleponku –lagi-. Memintaku menyebrang karena lampu merah. Aku membeku dan berbisik pelan “Aku takut,” aku tidak percaya bahwa ia percaya pada kata-kataku. Dan sejujurnya itu memang tidak mengada-ngada. Aku memang takut menyebrang. Tapi tentu saja tidak saat lampu merah menyala. Apa lagi yang perlu aku takutkan jika mobil dan motor itu berhenti takluk di depan lampu merah??
Namun ia tidak mengerti, atau terlalu baik. Ia berjalan mendekatiku, masih dengan ponsel di telinganya. Aku mendelikan mataku ketika mendengar ia terus berbicara sepanjang jalan. Beberapa kalimat lolos dari pendengaranku, namun tidak untuk yang lainnya. Aku tercekat menatap anting-anting indah itu kagum. Baru kali ini Luna mengenakan anting berkilauan seperti itu. “Hel, tadi Andhika kerumahku,” aku masih tidak mendengarkan kata-katanya. Terlalu sibuk dengan pandangan baruku. “Dia mengucapkan selamat, dan memberikan sepasang anting cantik. Kamu tidak akan percaya kalau dia mengatakan banyak hal padaku, Hel.” Aku bergeming. Saat itulah aku tersadar. Terpaku padanya kemudian memutuskan untuk menghilangkan semua kepalsuan wajahku.
Luna membeku, rasanya seperti itu. karena ia diam di tempatnya berdiri dengan wajah pucat. Memandangku, ketakutan. Apa dia baru mengetahui siapa aku sebenarnya?? Apa dia baru menyadari sifat obsesif ku?? Aku menatapnya tidak bergerak. Lalu aku mendengar suara itu. suara raungan mobil dari arah berlawanan. Aku ingin berteriak, menariknya ke bahu jalan. Namun aku hanya terdiam memandangnya. Dewi batinku meronta. Memintaku bergerak. Namun otakku lumpuh. Otakku lumpuh oleh kekejian yang tertanam dengan baik di hatiku. Semuanya seperti bom waktu. Meledak begitu cepat namun menyisakan luka begitu lama.
Aku baru tersadar ketika tubuh tak bergerak itu hilang dibawa ambulance.

Isak tangis itu terdengar memilukan. Aku berdiri di sudut ruangan dengan Kirana yang masih menangis di pundakku. Sedang aku hanya bisa menatap kosong kedepan. Tiba-tiba tante Indah mendekati kami. Ia adalah ibu Luna. “Rachel, Kirana... maafkan semua kesalahan Luna, dia sangat menyayangi kalian,” aku tercekik. Dadaku sakit menahan tangis. “Dia bahkan tidak ingin mengambil beasiswa itu dengan alasan kalian tidak masuk,” tidak! Tapi dia akhirnya mengambil itu semua. “Namun setelah ayahnya menjelaskan tentang kemungkinan besar ia akan mendapatkan informasi akan beasiswa selanjutnya, ia menjadi bersemangat. Ia benar-benar ingin mencari beasiswa untuk kalian, agar kalian bisa pergi bersama lagi,” Kirana menangis keras di sampingku. “Dan ini,” tante Indah menyodorkan sebuah kotak kecil padaku. “Ini dari Andhika untuk Luna, tapi dia tau kamu menyukai Andhika jadi dia meminta tante memberikannya padamu. dia sendiri membeli yang mirip dnegan ini untuk menghargai perasaan Andhika, dan setelah itu mengatakan padanya tentang semua ini,” jantungku seakan berhenti berdetak. Aku menatap gadis itu dengan pandangan kabur karena air mata.
Aku menangis sesenggukan di samping Luna. Membelai keningnya yang dibalut perban.
“Na, maafkan aku,” bisikku tercekat. Aku sudah tidak peduli lagi dengan beasiswa sialan itu. atau kisah cinta monyetku dengan Andhika. Aku sudah tidak peduli!!! Aku hanya ingin bisa memutar waktu, menariknya kembali dalam keselamatan yang aku hilangkan. Aku ingin orang yang ku sayangi ini kembali membuka matanya. Tersenyum bodoh seperti biasa. Kirana menangis memandangku. “Maafkan aku,” bisikku tercekat. “Aku ada di sana. Aku seharusnya menolongnya. Aku seharunya...”
“Hel.. stt... sudah tidak ada gunanya,” Kirana mendekapku erat. Ia benar, sudah tidak ada gunanya lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi... aku merasakan tubuhku melemas, bahkan aku tidak mampu lagi menangis, menakjubkan bukan?? Namun sedetik kemudian aku merasakan kepalaku melayang dan gelap.

“Kamu sudah sadar?” suara itu menggelitikku. Aku terhenyak dan menatap wajah-wajah cemas di hadapanku tidak percaya. Terlebih sosok itu, tampak begitu cantik dan pucat dengan balutan perban di keningnya.
“Kamu sudah sadar??” aku balik bertanya. Gadis di hadapanku mengaguk.
“Luna sudah sadar keesokan harinya. Yang kami khawatirkan itu justru kamu. Kamu pingsan selama 3 hari. Dokter sampai terpaksa memasang infus padamu,” terang Kirana. Aku menatap Luna tidak percaya, sepertinya ia sudah benar-benar sehat. “Aku berhutang padamu,” ujarku perih. Luna menggeleng.
“Tidak. Ketika aku tidak sadarkan diri, aku bisa mendengar suara tangisanmu, dan saat itu pulalah aku merasa begitu sehat ketika merasakan air matamu di wajahku. Kamu memberikaku semacam kekuatan,” aku benar-benar terharu. “Aku seharusnya berterima kasih padamu Hel, karena air mata kamu sudah menyadarkan aku,” ia memelukku erat. Aku menangis di pelukannya.
“Mungkin itulah yang dinamakan air mata cinta,” ujar Kirana. Aku dan Luna hanya tersenyum penuh arti.

My beautiful Nightmare


My beautiful Nightmare.

Aku tersentak dari tidurku, menggigil ketakutan. Namun entah mengapa ada hal lain dalam ketakutan itu yang terasa begitu aneh, tapi sepertinya begitu menarik perhatianku. Aku menatap kamarku yang gelap. Takut-takut ada sesuatu yang aneh di sini. Namun semuanya tampak sama, tampak normal. Aku mendesis ketika melihat jam dinding. Pukul 2 malam. Apa-apaan aku ini, terbangun oleh mimpi aneh pada tengah malam seperti ini?? apa diriku sendiri sudah lupa jika aku takut gelap??!!!
Keesokan harinya mataku merah karena tidak bisa tidur setelahnya. Astaga padahalkan hari ini hari ospek pertamaku!! Bagaimana ini?? bagaimana jika aku tertidur ketika ospek nanti? Bisa mati digilas kakak senior!!!
Luna menatapku tidak percaya. Kemudian melirik Kirana yang berdiri di sampingku. Ia mendesis ngeri. “Apa kalian serius??” tanyanya syok. “Kalian berdua begadang semalaman?” tanyanya. Aku mendesah. Tentu saja tidak. Namun sepertinya Kirana iya. Matanya tidak jauh berbeda dari mataku, malah terlihat lebih parah. Membuatku ingin terkikik. Sepertinya sahabatku yang satu ini benar-benar ketakutan akan ospek kami. Padahal kami sudah tau kalau sekolah kami –dengan alasan keselamatan- tidak memperbolehkan ospek yang membully seperti biasa. Alhasil kami malah disuruh mendengarkan kuliah umum selama 3 hari penuh di dalam aula yang penuh sesak, dengan menggunakan Topi konyol yang terbuat dari bola plastik yang dibelah dua, diikatkan dengan tali plastik, tampak seperti helm. Ditambah lagi tas menakjubkan yang terbuat dari kresek hitam. Astaga, kami tampak seperti anak jalanan yang idiot.
Diantara kami hanya Luna yang terlihat santai. Tentu saja, meski menggunakan perlengkapan aneh ini ia tetap terlihat cantik dan anggun. Tubuh Luna semampai –meskipun tubuhku dan Kirana tidak jauh berbeda- namun ia begitu cantik. Ia sudah bisa berdandan sejak kelas 2 SMP. Jadi tidak heran kan jika dia bisa mengkamuflase wajahnya, hingga terlihat begitu innocent.


Aku menatap kedua sahabatku ngeri. Jadi inilah ospek SMA kami?? Astaga ada lebih dari 300 murid baru di sini, dan kami harus masuk dalam satu aula sempit itu?? mendengarkan penceramah hingga sore nanti?? YANG BENAR SAJA??!!
Kirana mendesah di sampingku. Aku ikut mendesah juga. Tiba-tiba aku melihat seorang senior melihat kearah kami. Ups... tentu saja bukan kearah kami, tapi hanya ke arah LUNA. Lihat kan, begitu mudahnya ia menarik perhatian seseorang. Dan aku tidak bisa menyalahkannya atas bakat alaminya itu.
Seorang senior meneriaki kami. Memerintahkan kami untuk segera masuk ke Aula yang sudah penuh sesak. Aku menggerutu. Gadis ini benar-benar bertampang menyebalkan, namun gayanya unik, dan cantik. Kirana menggerutu di sampingku. Luna hanya mengangkat bahu tak acuh kemudian melenggang pergi. Aku berjalan di belakangnya. Tiba-tiba langkahku terhenti, tidak ada apapun yang menghalangiku secara harfiah. Namun aku merasa langkahku terhenti oleh sesuatu yang lain. Seperti tarikan magnet yang kasat mata. Aku mendesis, menggigil, mengingat mimpiku semalam.
“Hel,” Kirana menatapku dengan bingung, seketika itu juga aku seakan terlepas dari semua ketakutan itu. aku menatapnya lega, penuh terima kasih. Meski tidak mengerti Kirana akhirnya mengaguk juga. Aku merasa sesuatu menarik perhatianku. Aku menoleh. Dan pandanganku terpaku pada seseorang yang tengah menatap kami juga. Aku terkesiap, entah mengapa wajahku terasa memanas. Namun buru-buru ku tepiskan semua perasaan itu. hm... dia tentunya sedang memandang Luna yang berjalan di hadapanku, bukan Kamu Rachel!!


Aku menarik-narik kelopak mataku hingga terbuka secara paksa. Kalau aku sampai ketahuan mengantuk bisa-bisa aku dijemur di lapangan. Astaga, apa mereka pikir kami ini kerupuk??!! Luna menulis sesuatu di agendanya. Selalu begitu, selalu satu langkah di depanku dan Kirana. Oya Kirana, gadis berambut indah sebahu itu kini tengah berjuang juga menahan kantuknya. Aku jadi ingin tertawa menatapnya. Aku benar-benar bosan. Kami tidak boleh mengobrol, tidak boleh bercanda, tidak boleh makan, dan sialnya lagi tidak boleh tidur. Mereka pikir seberapa menyenangkannya kuliah-kuliah ini, hingga kami bisa mendengarkannya hingga akhir??! Well, kecuali Luna tentu saja. Hm, selalu ada pengecualian dalam hidupku. Dan selalu itu adalah Luna.
‘Apa?’ tanya Kirana sinis dengan tatapannya ketika aku terkikik melihatnya terantuk sampai kebukunya. Aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku hingga membuat simpol peace, kemudian ngengir. Puk. Luna melemparkan kertas yang sudah diremaknya pada kami. Aku meringis kemudian membuka kertas itu. ‘Jangan berisik!’ tulisnya. Kirana nyengir padaku. Kemudian ide konyol itu mulai datang tanpa direncanakan. Kami melakukan surat menyurat ‘jarak pendek’ agar tidak ketahuan mengobrol. Kami berbicara panjang lebar, yang tentu saja jelas konyol dan membuatku terkikik terus menerus. Hingga akhirnya aku merasakan sebuah tangan besar di bahuku. Aku menoleh. Shit man!!!! Desisku. kirana dan Luna membeku di sampingku.
“Keluar,” begitu katanya. Aku sampai tidak bisa bernafas dibuatnya. Aku mengaguk kaku dan berjalan keluar, malu. “Kalian berdua juga! Keluar!” aku menahan tawaku ketika mendengar kata-kata senior itu lagi. Kirana dan Luna jalan menunduk tepat di belakangku.
Ternyata benar dugaanku. Kami dititah berdiri dilapangan, memberikan hormat pada tiang bendera yang kosong. Loh??! Aku merasakan lututku melemas. Aku hampir pingsan ketika mendengar suara jatuh yang begitu kencang. Hatiku mencelos ketakutan. Kami berbalik mencari asal kegaduhan. Namun jelas bukan dari aula, karena semuanya masih terlihat sama di dalam sana.
“Gisela jatuh!” teriak seorang senior panik. Refleks kami berlari ke arah kerumunan itu. aku tercekat melihat cowok yang tadi tengah menatap tajam kearah kami berlumuran darah. Seketika itu juga aku merasakan jantungku berhenti berdetak. Namun sedetik kemudian aku mulai tersadar kalau itu bukan darahnya, melainkan darah gadis yang tengah terbaring di hadapannya. Aku mendelik, astaga tangannya terluka. Sepertinya terkena benda tumpul, karena lukanya robek berantakan. Mungkin sekitar 5 sampai 7 senti, namun tidak terlalu dalam. Tapi cukup besar untuk mengeluarkan darah sebanyak ini. refleks aku langsung meraih lengan gadis bernama Gisela itu.
“Tali!” teriakku setenang mungkin. Kerumunan orang itu saling menatap. Aku mendesah tidak sabar kemudian menarik pita rambutku dan menalikannya beberapa senti di atas luka. “Perban,” pintaku setelah memeriksa lukanya, cukup bersih. “Apa disini tidak ada kotak P3K??!!” aku benar-benr gusar. Kemudian seseorang memberikan kotak itu padaku. Aku langsung bergerak cepat. Membersihkan, menutup luka, hingga memeriksakan keadaannya. Sepertinya darahnya tidak terlalu banyak yang terbuang, mungkin gadis ini hanya syok atau kaget. “Dia tetap harus dijahit,” terangku. Seorang gadis bertubuh gempal langsung mengaguk sigap dan memapah Gisela.
“Kamu sebaiknya disini saja,” ujar Gisela lemah pada cowok jangkung di hadapanku. Oh god, aku sampai lupa padanya. Mengingat dia dan tatapannya itu membuatku kembali merinding. Tanpa sadar aku mundur ke balik tubuh Luna.

Lagi lagi aku tersentak dari tidurku. Kini jelas-jelas sangat ketakutan. Nafasku masih terengah-engah. Mimpi buruk itu lagi. Namun entah mengapa aku merasa begitu familiar dengan sosok-sosok di dalam mimpi itu. aku bisa melihat sosok jangkung itu mencengkram pergelangan tanganku. Matanya hitam dan begitu menarik sekaligus. Membuatku ketakutan tapi jelas-jelas tertarik ingin menyentuhnya. Memastikan bahwa itu seindah kelihatannya. Kemudian sekelebat bayangan mulai muncul. Ternyata kami tidak sendirian. Dibelakangnya, beberapa orang lain menatap tajam ke arahku. Aku merasa familiar namun tidak bisa mengenali mereka.
“Ini pasti karena kamu terobsesi sama Edward Cullen!” ujar Kirana ketika aku menceritakan soal mimpiku semalam pada kedua sahabatku pada jam makan siang. Luna hanya terdiam. “Makanya kamu jangan keseringan nonton dan  baca novel fantasi, jadi aneh kan mimpinya,” ujar Kirana. Aku hanya mendesah.
“Tapi itu bukan Edward,” ujarku. “Dia sangat familiar. Dia seperti...” aku menghentikan kata-kataku. Meskipun Luna dan Kirana sudah menatapku dengan pertanyaan siapa? Aku menelan ludahku susah payah. Melongo menatap apa yang ada jauh di hadapanku. Kini aku sadar, cowok itu lah yang ada di mimpiku. Cowok dengan wajah rupawan yang begitu dingin dan angkuh. Cowok bermata hitam yang indah. Aku merasakan darah mulai naik kewajahku, membuatku memerah. Kirana mengibaskan tanganya di depanku. Aku terjaga. “Ah, bukan siapa-siapa,” ujarku, kemudian mulai menyibukan diri dengan makan siangku yang terasa mencekat di tenggorokanku.
Aku harusnya tau siapa dia. Dan sebenarnya siapa yang tidak tau tentangnya. Dia adalah seniorku, murid terpintar dan paling menawan di sini. Aku sudah dengar banyak gosip tentangnya. Tentang bagaimana kakak kelas tiga berlomba-lomba mendekatinya, tidak peduli dengan lebel juniornya; tentang perebutan sengit diantara teman-temannya satu angkatan untuk menarik perhatiannya; tentang juniornya, yang berarti teman-teman seangkatanku yang mati-matian tertarik padanya; dan tentang keangkuhan dan ketidak tertarikannya pada wanita. OMG! Apa dia gay?? Aku bergidik. Namun mengingat tatapan tajamnya hari itu pada Luna, sepertinya aku salah. Atau Luna adalah sebuah pengecualian –lagi-???

Aku menutup telingaku kuat-kuat ketika mendengar beberapa gadis cekikikan di belakangku. Bukan tawa aneh mereka yang membuatku menutup telinga. Tapi orang yang mereka perbincangkanlah yang membuat perutku melilit. Sebisa mungkin aku memang menghindari segala sesuatu tentang Leo, cowok menyeramkan yang sialnya tampan itu. aku selalu menghindar ketika sadar ia tengah memandang Luna. Aku tau, aura Luna sudah mulai tersebar di sekolah ini. ah... kalau saja dia bukan sahabatku. Aku muak pada diriku sendiri ketika menyadari aku sempat menyimpan rasa cemburu pada Luna, sahabatku sendiri. Dan tentu saja kalau mau cemburu, aku tidak hanya bisa puas cemburu pada Luna, tetapi juga gadis bernama Gisela itu. aku bisa melihat kekhawatiran di matanya ketika gadis itu terluka. Ah aku kesal!
Aku besyukur ini adalah hari terakhir ospek, dan setelah itu saat-saat yang dinantikan tiba. Penutupan ospek di sekolah ini selalu menyisakan kisah yang menarik. Dipenutupan nanti kami akan dikumpulkan di lapangan pada malam hati. Melakukan sebuah renungan malam, sambil membuat api unggun besar. Berpesta ala kadarnya. Cukup menarik bukan, tapi sejujurnya menurutku ini hanya akan menjadi ajang PDKT untuk para senior yang sudah melihat incarannya ketika ospek. Apa lagi penutupan ini bertemakan ‘Step of Waltz’. Geli juga jika mengingat kelas tiga marah karena temanya mirip dengan tema prom mereka.
Tapi tentu saja masalah baru muncul. Bagaimana jika nanti aku satu-satunya orang yang tidak memiliki teman dansa. Walaupun aku memang tidak bisa berdansa dan tidak ingin. Tapi bisa jatuh derajatku nanti.
Aku mendesah dalam.
Nasib... nasib....

Mimpi burukku terasa semakin nyata. Kini jelas-jelas sangat menyakitkan. Namun ketika bangun, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Hanya menyadari jika semua ini sangat teramat menyedihkan untukku. Aku merasa ingin menangis. Tapi aku masih tidak tau mengapa.
Benar-benar seperti menyambut pesta prom yang terlalu dini rasanya. Aku dan Kirana memang tidka perlu repot-repot ke salon untuk make up karena kami sudah mempunyai perias profesional di sini. Luna selalu tau apa yang sebaiknya kami kenakan.
Malam itu semuanya mengenakan baju biasa. Begitu kontras dengan tiga hari ospek itu. wajah para seniorpun tampak lebih ‘manusia’. Aku mengenakan dres cantik selutut berwarna peach berbahan chiffon. Ringan dan santai. Luna, tentu saja tampak anggun dengan dotty dressnya yang berwarna biru muda, cocok dengan bandana yang ia kenakan. Kirana mengenakan vest denim kesukaannya dan jeans abu-abu yang entah bagaimana caranya bisa menunjukan sisi ceria dan feminimnya secara bersamaan. Baru sampai saat ini saja aku sudah merasa minder. Di dalam sana pasti mereka bermake up lebih heboh lagi. Tapi aku memang tidak ingin bermake up terllau berlebihan untuk ini. alhasil aku hanya membiarkan rambut ikalku tergerai begitu saja dengan beberapa jepit bunga kecil-kecil indah yang tersebar di rambutku. Ini membuatku merasa begitu natural dan feminim.

Aku tercekat ketika melihat Gisela yang tengah tertawa di samping meja senior. Ia begitu cantik dengan t-shirt dan rok denim super mininya. Tampak seperti super model. Aku mendesah, ia memang cocok jika disandingkan dengan cowok itu. eh, tunggu dulu, dimana dia?
Aku memutar pandanganku. Mencari-carinya. Namun kecewa karena tidak bisa menemukannya. Bahkan hingga acara sudah dimulai iapun belum juga muncul. Aku mendesah, menyerah. Dan setitik kelegaan muncul secara tiba-tiba.
Aku merasakan suasana yang sengat berbeda malam itu. tidak ada lagi penekanan antara kata junior dan senior. Semuanya sama, mereka meminta maaf dan kami berterima kasih. Aku senang karena akhirnya seperti ini. acara puncak akan segera dimulai. Menyalakan api unggun dengan tumpukan kayu setinggi tiga meter. Astaga, memangnya kita mau membakar sekolah???
Semuanya bersorak ketika api mulai menyala. Begitu indah dan bahagia di tengah-tengah warna kemilau api ini. musik mengalun lembut dan beberapa pasangan tanpa malu-malu mulai berdansa. Aku mengerutkan dahiku. Sebenarnya ini pesta penutupan ospek atau pesta tahun baru sih??
Aku menyeringai ketika seorang senior mendatangi Kirana. Ia jelas-jelas tertarik pada sahabatku yang satu ini. aku sudah mendapatinya mencuri-curi pandang pada Kirana selama beberapa waktu. Aku mengaguk dan ia pun berlalu dengan senior yang belakangan ku kenal bernama Andre.
Deg. Hatiku rasanya jatuh menggelinding begitu saja ketika melihat siapa yang menghapiriku dan Luna. Entah dari mana datangnya, namun jelas cowok tampan nan rupawan itu berjalan kearah kami. Ia mengenakan t-shirt dengan kemeja kasual. Begitu santai dan ‘normal’. Aku mendesis, darahku naik sampai keubun-ubun, menusuk setiap senti kepalaku. Mendadak aku menjadi pening. Luna tampak santai di sampingku. Aku seperti tersihir. Merasa malu karena tidak bisa berlalu pergi dari tempat itu untuk berhenti mengganggu mereka. Aku bisa merasakan air mataku tergenang ketika ia berdiri tepat di hadapan Luna. Aroma tubuhnya yang begitu hangat membuat nafasku tercekat.
Aku ingin menyentuh wajah itu. wajah yang selalu menghiasi mimpi burukku. Ya, kini aku baru sadar apa yang sebenarnya membuatku takut di mimpi itu. jelas-jelas aku tertarik seperti magnet dengan mimpi itu, karena aku benar-benar menyukai sosok tampan di depanku. Namun seketika itu juga aku sedih karena sadar semua ini hanya akan sekedar mimpi untukku. Karena, tentu saja lagi-lagi Luna lah yang menjadi pengecualian dalam kamus kehidupanku. Aku mendesah. Akhirnya aku harus siap mundur, menelan pil pahit dalam hidupku lagi. Aku bisa melihat Luna tersenyum dan mengaguk. Dan entah mengapa aku menangis karenanya. Aku ingin berlari, namun tubuhku terlalu lemah. Pandanganku membaur karena air mata. Aku muak pada diriku sendiri. Aku mulai terisak, melupakan seklilingku. Tidak lagi menyadari akan musik indah itu, tidak lagi menyadari akna keberadaanku, tidak lagi menyadari akan kepergiaan Luna, tidak lagi menyadari akan sosok tampan yang kini tengah menatapku.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aku ingin berlari dan menjawab iya. Tapi aku terlalu lemah. Aku tersentak ketika jemari dingin itu menyentuh pipiku, mengusap air mataku. Aku melongo menatapnya. “Kamu yakin?” tanyanya. Aku hanya terdiam, terpaku. Oh Tuhan... dia benar-benar tampan. Sedetik kemudian aku sadar. Kemudian mundur beberapa langkah, namun ia meraih lenganku agar tetap berdiri di tempat. Aku melirik ke belakang punggungnya, ngeri memikirkan pendapat Luna padaku jika melihat ini. “Luna sudah pergi?” katanya seakan menjawab pandanganku. Otomatis aku menatapnya heran.
“Lalu mengapa kamu masih di sini?” tanyaku kaku. Ia mengerutkan keningnya bingung, astaga bahkan dalam keadaan begini pun ia tetap yang paling menawan. “Luna sudah pergi, mengapa kamu masih di sini?” ulangku setenang mungkin.
“Aku memang memintanya pergi,” jawab cowok itu. aku mencibir. Jadi dia meminta Luna pergi terlebih dahulu, kemudian bertemu di suatu tempat agar tidak menarik perhatian orang. Cerdas!! “Aku memintanya memberikan kita sedikit privasi,” aku melongo.
“Kita??” tanyaku tidak mengerti. Leo mengaguk, kini terlihat ragu dan was-was.
“Aku ingin berbicara berdua denganmu,” ujarnya terlihat begitu ragu dan rapuh dan... ketakutan. Aku tercekat melihatnya seperti itu. “Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,” ujarnya seraya melepas pegangannya. Aku jadi kikuk sendiri mendapatinya resah seperti itu.
“Maaf, tapi kamukan ingin mengajak dansa Luna, kenapa kamu malah berada di sini?” tanyaku. Bingung mengatur kata. Jadi hanya mengatakan apa yang terlintas di benakku. Ia menatapku sesaat kemudian tersenyum geli.
“Bodoh,” ia mengacak rambutku dengan perlahan dan sayang. Aku mendelik memandangnya. Berpura-pura marah karena rambutku berantakan dan benar-benar tersanjung karenanya. “Kalau aku mau mengajak dansa Luna, mengapa aku malah ada di sini?” tanyanya masih dengans senyum geli.
“Nah, itu juga yang aku tanyakan tadi,” ujarku kesal. Ia terkekeh.
“Kamu benar-benar lucu,” bisiknya. aku merengut. “Apa kamu benar-benar tidak mengerti?” kini ia terlihat syok. Spontan aku merasa tersinggung. “Astaga,” ia mengacak rambutnya sendiri. Tapi sialnya ia masih tetap tampan nan rupawan. Aku menatapnya sarkastis. “Rachel, kalau aku mau berdansa dengan Luna, aku tidak akan ada di sini saat ini. tapi lihat saat ini, detik ini aku ada di sini, di depanmu. Tidakkah itu membuatmu mengerti kalau aku ingin berdansa denganmu?” aku melongo mendengar kata-katanya. “Sepertinya aku memang harus mulai bersabar,” Leo terdengar benar-benar frustasi. Wajahku mulai memerah. Aku masih belum percaya, tapi dewi batinku sudah melompat kegirangan.
“Tapi kamu suka Lena,”
“Bodoh lagi,” desisnya. Aku cemberut. “Aku suka kamu,” katanya kesal. Aku tidak begitu menyadari kata-katanya.
“Tapi Gisela,” ia menatapku geram.
“Dia sahabatku, dan terima kasih telah menolongnya waktu itu. kamu cocok menjadi seorang dokter,” ujarnya sungguh-sungguh. Aku mengeringai ketakutan. “Sudahlah, ayo kita berdansa, aku bisa mati kesal kalau begini terus,” ujarnya, menarikku ke sisi cahaya api.
Tiba-tiba wajahku memanas ketika mengingat kata-katanya yang baru ku sadari. “Kamu suka aku?” tanyaku tidak percaya. Ia menatapku, jelas sekali kesal. Tapi begitu keren.
“Astaga kamu baru menyadarinya?” tanya Leo. Aku menggigit bibir bawahku takut. “Iya, gadis bodoh yang benar-benar menjengkelkan. Kau tau, kau gadis terbodoh yang pernah aku temui,” aku menatapnya marah. “Tapi sialannya kamu benar-benar membuatku terpesona sejak pandangan pertama,” aku kembali menegang di tempatku. Ia mendesah. “Iya bodoh, aku sangat menyukaimu,” aku terkesima dengan kata-katanya. Dan aku merasakan tubuhku melayang, bahagia. Inilah arti dari mimpi burukku yang indah itu?? hm... begitu manis... J

Jumat, 28 September 2012

My Sweet Seventeen



Gelap mulai menggantikan senja, namun aku masih belum tergerak untuk menyalakan lampu kamarku. Alih-alih menekan stop kontak, aku malah berjalan mendekati lemari besar di kamarku. Menatap pantulan close up tubuhku di cermin. Menerka-nerka adakah perubahan pada diriku secara signifikan pada umurku yang beranjak 17 tahun ini.
Sepertinya tidak ada yang berubah. Tubuhku masih setinggi mom, 157 cm dengan bobot tubuh yang mendekati ideal. Mataku masih berwarna coklat terang, padahal aku berharap suatu saat nanti akan berubah warna menjadi keemasan seperti milik edward cullen. Aku mendesah, wajahku tidak mirip mom atau dad. Wajahku lebih menyerupai wajah nenek. Cukup cantik.... nilainya 80-lah. Alisku?? Apa aku harus mencabutinya agar menjadi terbentuk indah? Ah tapi aku pernah tidak sengaja mencabutnya dan itu sangat sakit! Aku sama sekali tidak berminat mengulanginya. Rambutku? Apa yang bisa kulakukan dengan ini? rambutku panjang sepunggung, mungkin aku bisa memotongnya model bob seperti jessi J?? Atau mengeritingnya seperti Taylor Swift?? Tapi mengingat wajah anehku ini, kurasa semuanya akan tampak sia-sia. Hm, mungkin sedikit blow akan meningkatkan kesegaran wajahku. Oke, lalu apa lagi??
Senyuman, ya di umurku yang ke-17 tahun ini aku harus bisa bersikap dewasa. Tentu saja dengan senyuman yang dewasa juga. Ku tarik sudut-sudut bibirku menjadi garis lengkung yang tipis. Tidak! Aku tidak ingin memperlihatkan deretan gigiku. Aku ingin yang lebih manis, dan feminim.
Prang!
Aku tercekat. Wajah dalam cermin itupun seakan membeku. Kami saling menatap. Aku bisa merasakan perihnya ketika suara pecah belah itu kembali terdengar. Tetapi aku tidak ingin bergerak. Aku tidak ingin melerai. Untuk kali ini aku ingin menjadi dinding bisu yang selalu menjadi pendengar setia teriakan-teriakan itu.
                                                                        ***
Aku sudah tidak sabar menunggu pukul 12 malam. Besok, aku sudah akan menjadi gadis 17 tahun. wow!! Inikah sweet seventeen itu?? perutku melilit karena bahagia. Aku tidak peduli dengan apa yang akan di berikan teman-temanku nanti, aku hanya ingin tersenyum menjadi gadis tujuh belas tahun.
Drrdd...
Aku tersenyum, pesan-pesan selamat ulang tahun langsung datang dari sahabat-sahabatku. Aku menyeringai puas, mereka memang tidak boleh melupakannya! Aku senang. Dan beranjak tidur dengan memeluk handphoneku. Tiba-tiba mataku kembali terjaga. Astaga hampir saja lupa, aku seharusnya menulis birthday wishes untuk ulang tahunku. Yep, sebuah kebiasaan yang mulai kulakukan sejak kelas 5 SD. Meski tidak semua yang ku tulis menjadi nyata, namun itu bisa menjadi target kehidupanku di tahun-tahun berikutnya.
Tahun ini, aku berniat menulisnya dalam bentuk naratif, tidak lagi menulis list panjang yang membuatku bosan membacanya. Aku ingin mengurai perasaanku, hingga aku bisa mengenang sweet seventeen ini dengan sangat baik.
                                                                        ***
                                                                                                            September, 28-2009
Astaga! Akhirnya aku resmi menjadi gadis berumur 17 tahun!! aku menatap pantulan tubuhku sekali lagi di cermin sebelum keluar kamar. Perfect! Desisku. diam-diam aku mengagumi gaya berpakaianku yang begitu santai, meski banyak orang yang menganggapku sedikit childish, so what?! I feel ok. J
Aku tercekat menatap meja oval di hadapanku. Tentu saja itu hanya salah satu kamuflase bodoh! Desisku sinis. Namun kemudian aku menggeleng. Tidak ingin semua ini merusak mood indahku di ulang tahunku yang ke-17 ini. aku harus bahagia, setidaknya untuk hari ini.
Aku melihat hidangan lezat itu dengan santai. Seakan sudah biasa melihat mereka disana, tak tersentuh. Dan itu memang benar. Aku hanya meminum setengah gelas susuku dan mengambil sepotong roti lalu pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa Bu Erna selalu memasak makanan setiap hari, sedangkan ia tentu tau tidak ada jiwa di keluargaku yang bisa makan dengan tenang di meja oval itu. alih-alih makan bersama, mereka pasti akan segera merusak semua pecah belah lagi. Aku tersenyum getir. Tidak! Hari ini aku harus bahagia.

Aku tersenyum lebar saat melihat Luna dan Kirana, sahabat karibku sejak kelas satu SMP. Sekali lagi mereka memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku. Kami akan mengadakan pesta kecil sepulang sekolah nanti. Aku benar-benar bahagia, harus!
Langkahku terhenti ketika kami sampai di dekat lapangan sepak bola. Aku bisa mendengar suara ramai meneriaki kedua tim yang sedang bermain. Biasanya aku berada diantara mereka. Berdiri di baris terdepan, menatap kagum sosok rupawan yang selalu membuatku tegang. Namun hari ini, aku ingin sedikit bahagia. Melupakan seluruh ketakutanku akan kehilangannya. Well, bagaimana tidak, hampir seluruh siswi di SMA kami tergila-gila padanya. Dan ajaibnya ia hanya menyukai gadis biasa sepertiku.
Aku tersenyum tipis mengingat semua hal manis itu. “Hel,” Luna menghentikan langkahku. Aku tersadar dari lamunanku. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya. Aku meliriknya dan mengaguk, masih dengan wajah kosong. Kirana berdehem pelan di sampingku. “Leo sedang menatap kita,” ujarnya. Aku merasa wajahku memanas.
“Bisakah kita hanya memikirkan pesta kecil kita hari ini?” pintaku sungguh-sungguh. Luna dan Kirana terdiam sebentar kemudian mengaguk, berjalan mengapitku seakan melindungiku dari hal buruk –yang tentu saja untuk saat ini tanpa mereka sadari diriku lah ancaman terburuknya-.

Kami duduk di meja kantin dalam diam. Aku memainkan jus alpukatku dengan tatapan kosong. Menantikan sebuah keajaiban yang mungkin hadis di awal umurku yang baru. Aku tersentak ketika ponselku berdering. Telepon dari mom.
“Kimi, kamu ada di mana?” tanya mom, aku tidak bisa mengartikan nada suaranya. Namun jelas bukan kekhawatiran yang ada di sana. Ia tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain. Termasuk diriku, putri tunggalnya. “Mom sudah memintamu untuk tinggal di rumah bukan hari ini?” tudingnya, kini terdengar marah. Aku hanya berdehem sebagai balasan. “Cepat pulang, kamu harus hadir di pengadilan hari ini,” tambahnya. Aku membeku dalam diamku, namun aku merasakan sesuatu di mataku mencair. Apa sudah waktunya??  “Kamu ingin pak Rudi menjemputmu?”
“Tidak,” potong ku cepat. “Aku bisa pulang sendiri,” jawabku dengan ketenangan yang dibuat-buat. Mom mendesah kemudian mematikan teleponnya. Luna dan Kirana menatap pilu kepadaku. Aku tersenyum tipis pada mereka. Kemudian mengangkat bahu santai, mengutarakan kalau ini sudah biasa. Namun rasanya aku tidak bisa mengusir rasa simpatik mereka. Hingga akhirnya aku menyerah.
“Kamu ingin kami temani?” tanya Luna. Aku mendelik dengan ekspresi, Yang benar saja!
“Aku bisa pulang sendiri, tenang saja” aku menepuk pundak Kirana pelan. Kemudian berlalu pergi.
                                                                        ***
Happy birthday to me,
Bukankah itu kata yang indah. Namun tentu saja begitu miris, karena terasa tidak ada yang mengucapkan selamat di hari bahagiamu, hingga akhirnya kau sendiri yang harus memberi selamat pada dirimu.
Aku tidak terlalu perduli sebenarnya. Toh tidak akan ada hal yang istimewa yang akan muncul di hari ini. tapi tunggu dulu, sepertinya aku salah. Ya aku salah besar. Setelah semua peperangan itu, akhirnya mereka memutuskan berdamai. Orang tuaku...
Mungkin mereka mempunya pikiran yang berbeda denganku dalam mendefinisikan perdamaian. Tapi toh setidaknya dengan ini aku tidak lagi mendengar piring-piring pecah itu lagi.
Pagi-pagi sekali mom membangunkanku. Aku girang bukan main, ternyata ia masih mengingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Namun ternyata lagi-lagi aku salah. Mom memintaku untuk tidak pergi ke sekolah hari ini karena aku harus menghadiri perceraian mereka di pengadilan. Sungguh ironis.
Mom sama sekali tidak meminta pendapatku. Dan lagi pula memang siapa yang mau memberikan pendapat. Aku juga sudah lelah dengan semua ini. lelah dengan perselingkuhan dad, isak tangis mom, dan pertengkaran mereka. Aku lelah!
Tapi mengapa harus hari ini? kenapa harus tepat dihari ulang tahunku yang ke 17?
Pagi ini aku berjalan melewati dia lagi tanpa berhenti. Namun setelah langkah kelima aku merasa hatiku begitu sakit hingga akhirnya tubuhku membeku tidak mampu berjalan lagi. Dewi batinku memberontak. Namun hatiku memaksaku untuk menoleh, setidaknya memandang punggungnya. Aku berkutat dengan batinku sendiri, akhirnya menyerah dan menoleh. Betapa terkejutnya aku ketika melihat dia disana, berdiri menatapku. Angin menerpa kami, memperlambat jalannya waktu. Tuhan, aku ingin menyentuh wajah itu, memberikan sedikit penjelasan padanya, mengatakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya, mencintainya. Namun kenyataan kembali menamparku. Membuatku terhuyung beberapa langkah kebelakang. Tangannya terulur ingin menggapaiku. Namun aku menarik tubuhku lebih jauh. Menatapnya sedih dan berlari, tanpa menoleh.
Kabar perselingkuhan dad sebenarnya tidak terlalu mengagetkanku. Bahkan entah mengapa dewi batinku sudah menyadarinya sejak dulu. Namun sisi diriku tidak ingin mempercayainya, aku masih ingin mempercayai bahwa keluargaku adalah keluarga yang begitu harmonis. Itu masa lalu, begitu kata dad. Dan aku tau itu benar adanya. Dad berselingkuh dengan seorang wanita bernama Yolanda -tante Yola, begitu aku biasa memanggilnya- sebelum aku lahir. Aneh memang ia berselingkuh di tahun awal pernikahan mereka. Namun yang aku dengar Dad memang sudah mencintai tante Yola sebelum menikah dengan mom dan mereka akhirnya pindah ke Australia.
Tapi sejujurnya aku tau mereka saling menyayangi. Kakek selalu mengatakan hal itu padaku. Terkadang, aku menyesali keputusan kami untuk kembali ke Indonesia beberapa tahun yang lalu. Terlebih setelah om Wisnu –suami tante Yola- meninggal. Semua kabar perselingkuhan itu mulai terbongkar. Entah bagaimana awalnya. Tapi aku sadar ini pun karena diriku. Karena dad mengetahui hubunganku dengan pemuda paling fenomenal di sekolahku. Leopard Mahadewa.
Dan sejujurnya pula aku tidak pernah marah akan keputusan mereka untuk bercerai, mungkin inilah yang terbaik. Aku juga tidak pernah menyalahkan dad atas perselingkuhannya dengan tante Yola. Aku tidak pernah menyalahkan apapun. Aku menyadari semuanya adalah takdir. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri yang tidak bisa bangun dari luka itu. bangun dan menghadapi semua kenyataan ini. kenyataan pahit bahwa pada tahun awal mereka menikah ayahku berselingkuh dengan orang lain. Kenyataan bahwa ia telah membuat wanita itu hamil. Kenyataan bahwa aku mencintai putra ayahku sendiri. Ya, Leopard Mahadewa.
                                                                        ***
Aku berdiri menatap lampu lalulintas. Sudah tiga kali ia berganti warna dari hijau ke merah dan begitu sebaliknya. Namun langkahku kaku, tubuhku menggigil, membeku di tempat. Mendadak nafasku tercekat. Aku mulai manggapai-gapai kehilangan keseimbangan. Namun tidak ada yang peduli. Semuanya hanya berjalan di sekelilingku tanpa menoleh. Aku mencoba berteriak, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Semuanya terkunci. Aku takut! Aku terpencil. Dan BUG!!! Suara keras itu menghantam tubuhku. Aku merasa tubuhku melayang bagai kertas. Semuanya tampak begitu ringan saat ini. ringan dan gelap...

Aku terbangun oleh suara isakan Kirana. Aku mendelik, ingin menanyakan apa yang terjadi hingga aku mendengarnya terisak seperti itu. namun aku merasa kelopak mataku begitu berat, hingga aku tidak bisa menggerakannya sama sekali. Aku bisa mendengar isakan Luna yang lebih halus. Sebenarnya ada apa ini??
“Bangunlah sayang,” itu suara kakek. Aku bisa merasakan lukanya. Astaga, apa yang terjadi?? Bangun, katanya??
“Rachel, kamu harus bertahan,” aku berdenyit. Bertahan?? Untuk apa?? Persidangan orang tuaku?? Aku bahkan sudah sangat siap.
“Kimi!!” itu suara mom. Astaga ia bahkan menangis keras di samping tubuhku. “Kimi, kamu harus bertahan sayang... jangan tinggalkan mom. Mom minta maaf,” aku merasakan tubuhku diguncang. Dan saat itulah sadarku mulai pulih. Rasa remuk mulai memenuhi setiap senti tubuhku. Aku ingin berteriak! Apakah benturan mobil itu membuatku seremuk ini? Ah ya, aku baru ingat tentang tabrakan itu.
“Hel, please jangan pergi,” Luna menggenggam tanganku. Aku mendelik. Tidak! Lagi pula siapa yang mau pergi? Apa mereka bercanda?? Apa mereka pikir aku selemah itu?!
Semua tangis itu membuatku semakin perih. Aku ingin membuka mataku, mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Namun tubuhku terkunci. Aku bahkan tidak bisa merasakan paru-paruku. Desahan nafasku...
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Aku tersentak ketika sebuah tangan meremas jemariku perlahan. “Sepertinya ia sudah tidak bisa bertahan,” bisik suara di sebelah kananku. “Namun sepertinya masih ada suatu hal yang mengganjalnya pergi, dan kami khawatir itu adalah kamu,” aku tersentak. Apa-apaan ini??!! dad tidak bisa menyerah seperti itu!!! dad tidak bisa!!!!
“Rachel,” suara lembut itu menghentikan pemberontakanku. “Aku disini,” aku bisa merasakan setetes air di keningku. Air mata Leo, untukku. “Aku mencintaimu, selalu dan selamanya. Tapi jika kau harus pergi, aku tidak akan menahanmu,” Tidak!!!! “Aku selalu mencintaimu, hanya itu yang perlu kau tau,” aku juga mencintainya! Dan aku tidak ingin pergi meninggalkannya. tidak pernah!!! “Jika ini begitu menyakitkan, kau bisa pergi. Percayalah padaku, kami disini ingin kau bertahan, namun jika semuanya begitu berat...” Leo menghentikan ucapannya. Aku menggeleng panik ketika ia melepaskan jemariku. “Aku sudah selesai,” bisiknya dan aku bisa mendengar suara langkahnya menjauh. Aku menjerit! Tidak jangan pergi ku mohon!.
Aku ingin menggapainya. Menyentuhnya. Namun aku bisa mendengar langkah itu menjauh dan hilang sama sekali. Sesaat kemudian suasananya mulai terdengar gaduh. Penuh jeritan dan isak tangis. Aku mendelik ketika rasa sakit itu perlahan menguap dari tubuhku. Inikah keajaiban yang hadir di ulang tahunku yang ke 17?? Aku merasakan tubuhku begitu ringan, dan saat semua rasa sakit itu benar-benar menghilang, aku bisa melihat sosok mereka semua. Menangis di samping ranjangku. Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja, namun cahaya putih itu terlalu menyilaukan. Hingga aku hanya menutup mataku untuk selamanya...


Kamis, 27 September 2012

GARA-GARA HANA



Jakarta 2005
Drddrr...
Aku melirik layar BlackBerryku yang menyala. BBM dari Tasya.
From: Tasya (work)
Leo ganti foto sampul! Lihat sekarang!!!

Aku mengerutkan keningku ketika membaca pesannya. Memang apa salahnya jika pacarku ganti sampul facebooknya? Aku sendiri lebih parah dari ia, aku selalu mengganti-ganti nama akunku. Dan yang terakhir ini adalah Bunga Ramona Lavigne. Dengan foto frofil diriku dan foto sampul Avril Lavigne. Aku memang menjadi fasn beratnya sejak kelas satu SMP.
Meski sedikit heran dengan sikap Tasya, namun akhirnya aku menyingkirkan LKS matematika ku dan menyalakan komputer dikamarku, log in kedalam akunku.
Leopard Mahadewa. Itu adalah nama akunnya. Pacarku sejak kelas 2 SMP, sampai sekarang. Ia menggunakan fotonya ketika tamasya di puncak sebagai foto frofilnya. Aku mengklik foto sampulnya.
Deg...
Aku tercekat menatap foto itu. foto Close up pacarku di suatu tempat. Sepertinya di luar negeri, aku tidak begitu yakin. Masalah terbesar dalam foto itu adalah sebuah kata yang tertulis di belakangnya.
I LOVE HANA!!
Begitu tertulis, dan ia tersenyum menunjukan itu semua. Seakan seorang artis yang tengah menyerukan sebuah slogan iklan. Aku mendesis. Kepalaku seperti ditusuk-tusuk. Wajahku memerah, kesal dan kecewa. Jadi dia benar-benar sudah mencintai orang lain??!!!
Aku menangis meraung diatas kasur. Memeluk bantal kesayanganku yang diberikan ayah 2 tahun yang lalu. Sedetik kemudian aku sudah merobek beberapa foto tampan pacarku. Tidak! Mulai saat ini ia adalah mantan pacarku!!

                                                            ***

Mama menatapku heran keesokan paginya. Ia menanyakan apa aku baik-baik saja. Aku hanya mengaguk dan berangkat kesekolah tanpa sarapan. Di sekolah, Tasya sudah berdiri menungguku di depan gerbang. Ia menatapku kaget. “Kamu menangis semalaman?” tanyanya tidak percaya. Aku tidak menjawab. Kami berjalan beriringan ke kelas. Dan entah mengapa aku mulai kembali menangis. Beberapa teman kelasku menatapku bingung. Namun Tasya meminta mereka menjauh dengan isyarat tangannya. aku menangis telungkup diatas meja.
“Bunga,” bisik seseorang yang begitu familiar di mataku. Tasya berdiri dan berjalan menghampirinya.
“Pergi,” ujarnya sinis.
“Tapi, ada apa dengannya?” tanya Leo. Tangisku semakin keras mendengar suaranya. Aku menggeleng tidak ingin bicara. Aku bisa mendengar Leo menghela nafas berat kemudian langkahnya menjauh. Barulah saat itu aku mengangkat wajahku.
“Kamu benar-benar kacau, apa kamu oke?” Tasya terlihat begitu panik. Aku hanya mengaguk pelan. Memang benar kata mama, cinta masa remaja itu hanya menyisakan tangis....

                                                            ***

Keesokan harinya aku mulai mendengar gosip-gosip tidak menyenangkan di sekolah. Sepertinya berita menangisnya aku kemarin di kelas sudah menyebar ke seantreo sekolah. Dan sekarang menyisakan gosip-gosip aneh. Gosip yang paling menyakitkan adalah ‘Leo dan Bunga putus’. Hampir saja aku akan menangis lagi ketika mendengarnya.
Aku bisa mendengar beberapa siswi berbisik-bisik ketika aku lewat. Tentu saja mereka tersenyum bahagia mendengar gosip tentang putusnya aku dan Leo. Leo adalah salah satu cover boy di sekolah kami. Apalagi Leo memang terkenal baik dan pintar. ia juga kaya, jadi tidak heran aku memiliki banyak benda dari luar negeri oleh-oleh darinya. Selama ini Leo terkenal sebagai cowok yang setia, tapi mengapa sekarang dia melakukan ini padaku??? Apa dia sudah bosan???
Aku kembali ingin menangis memikirkan hal itu.
“Bunga,” panggil Leo ketika aku berjalan melewati lapangan basket. Astaga bagaimana mungkin aku bisa lupa kalau hari ini Leo ada latihan?? Aku tidak siap bertemu dengannya. Aku tidak siap mendengarnya memutuskanku untuk gadis lain bernama Hana itu. aku bisa merasakan beberapa anak menatap kami. Mereka tentu sangat tertarik pada kelanjutan kisah kami. “Aku kerumahmu kemarin,” katanya. Aku mengigit bibir bawahku menahan diri agar tidak menangis. Ya aku tau ia datang. Namun aku tidak mau menemuinya. Aku tidak ingin ia memutuskan hubungan kami seperti ini. “Ada yang ingin aku katakan...” oh tidak!!! Haruskah saat ini juga ia melakukannya??? Disini??? Di koridor sekolah??? Di depan murid-murid Kepo??? Tanpa sadar aku berlari kencang. Tidak peduli akan panggilannya.

                                                            ***

Aku bersyukur karena tidak satu kelas dengannya. Aku di kelas 3-2 dan ia di kelas 3-1. Tentu saja!! Dia adalah murid terpintar juga di SMP ku. Ah... betapa sempurnanya dirimu, tapi mengapa kamu menyakitiku...
“Bunga, sepertinya kamu mulai berlebihan,” ujar Tasya, hari itu, ketika kami tengah belajar di Lab. Kimia. Aku menatapnya dengan pandangan nelangsa yang akut. “Kamu sudah menghindarinya selama empat hari. Kamu sudah dengar bukan gosip-gosip yang beredar di sekolah belakangan ini? kamu dan Leo menjadi trending topic,” aku tidak menjawabnya. “Kamu nggak bisa terus galau kayak gini. Kamu nggak boleh berlarut-larut sedih gara-gara Leo,”
“Aku nggak Galau!!!” teriakku tanpa sadar. Sontak kelas langsung menjadi hening. Tasya menepuk keningnya perlahan dan menatap sekeliling kelas ngeri. Pak. Hadi menatapku geram. OMG!!
“Jadi kamu sedang galau Bunga??” desis guru kimiaku seram. Beberapa anak cekikikan. “Oke, kalau kamu sedang galau, kamu bisa meneruskan kegalauanmu di depan kelas!” aku melongo. Yang benar saja?!! Double shit!!
Tasya menangkupkan kedua telapak tangannya, mengisyaratkan permintaan maafnya. Aku hanya mendesah dan berlalu pergi.
Berdiri di depan lab Kimia di saat seperti ini tidak begitu buruk. Asalkan saat istirahat aku sudah harus masuk lagi. Karena koridor ini adalah akses utama kelas 3-1 menuju ke lapangan basket. Dan Leo ada jadwal latihan hari ini. entah apa yang akan dia katakan jika melihat aku berdiri di sini??!


Hal yang ku takutkan akhirnya terjadi juga. Menit-menit setelah bel istirahat terasa begitu lama. Dan sialnya pak Hadi belum juga membubarkan kelas. Aku baru ingat kalau hari ini ada kuis harian. Oh God, it’s triple Shit!!! Runtukku.
Aku mencoba menunduk ketika siswa kelas 3-1 keluar kelas. Bagaimana jika Leo ada di antara mereka??
“Bunga,” tuh kan??!! Apa kataku. Aku tidak berani mengangkat wajahku. “Kamu menungguku?” tanyanya bingung. Aku ingin mengaguk mengiyakan. Setidaknya itu lebih terhormat dari pada berdiri dikeluarkan dari kelas karena berteriak aku sedang galau. Namun tiba-tiba pintu lab terbuka, pak Hadi berdiri di sana.
“Kamu boleh masuk sekarang. Dan jangan lupa kerjakan tugas harianmu. Bapak sarankan jangan bawa-bawa galaumu kesekolah!” ujarnya. Tepat menusuk wajahku. Aku memerah, Leo menatapku tidak mengerti. Oh Tuhan... aku malu!!
Aku mengikuti langkah pak Hadi memasuki kelas tanpa mengatakan apapun pada Leo. Aku benar-benar tidak punya muka di hadapannya.

                                                            ***

Gosip semakin berhembus kencang setelah itu. terlebih saat aku memasang status Rumit di akun facebookku. Dan akhirnya menggantinya lagi menjadi lajang. Aku tau ini sangat menyakitkan. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. hormon remajaku memaksaku mendramatisir keadaan. Kini aku tidak bisa bertindak sesuka hati lagi di sekolah. Aku sudah tidak memiliki gelar pacar si pangeran lapangan lagi. Aku kembali menjadi gadis biasa seperti dulu. Menjadi Bunga yang biasa.
Aku bisa merasakan tatapan Leo setiap aku melewati lapangan basket menuju perpustakaan. Tempat favoritku seputusnya aku dengan sosok Leo yang fenomenal. Namun, setelah sekian lama mencoba mendekatiku, sepertinya ia mulai menyerah. Ia tidak lagi berdiri di depan kelasku menungguku. Ia tidak lagi mengirimiku sms atau meneleponku. Dan sialannya ia pun tidak pernah membuka akun facebooknya. Semuanya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dan foto I LOVE HANA itu pun masih terpampang jelas. Aku masih begitu penasaran pada gadis bernama Hana itu. mungkin ia gadis luar negeri yang ditemui Leo ketika liburan ke Eropa atau Australia, karena seputusnya denganku ia tidak pernah mempunya pacar yang lain. Tidak di sekolah kami.

                                                            ***

Jakarta, saat ini

“Bunga!!” teriak seorang gadis berambut panjang. Aku melambaikan tanganku padanya. “Akhirnya kita bertemu lagi,” ia memeluk tubuhku. “Aku sangat merindukan kamu. Astaga... kamu banyak berubah nona sekretaris,” ia mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku terkekeh. Ia pun tampak banyak berubah. Lebih cantik dan ceria sebagai seorang Guru TK. “Ayo acaranya akan segera dimulai,” ia menggenggam jemariku. Berjalan riang menuju halte bus yang akan membawa kami menuju gedung serbaguna di bilangan Tangerang kota.
Hari ini aku memang sengaja meluangkan waktuku untuk mengadakan reuni mini dengan sahabat karibku semasa SMP. Dan kebetulan sekali hari ini adalah pembukaan pameran foto milik kekasihnya. Jadilah kami di sini sekarang, memandangi foto-foto menakjubkan yang tertata rapih di ruangan itu.
“Galaxy Group,” bacaku. Tasya mengaguk.
“Ya, ini adalah sebuah kelompok kecil fotografer, salah satunya adalah pacarku, Sam.” Tutur Tasya. Aku bisa melihat kebahagiaannya dari sorot matanya. “Ayo masuk, di dalam sana ada foto-foto yang lebih indah lagi,” tasya menarik tanganku memasuki gedung serbaguna itu.
Deg.
Aku tercekat menatap foto hitam putih besar di hadapanku. Aku meneliti wajah gadis difoto itu. senyumnya begitu polos dan natural. Tampak begitu bahagia. Aku merindukan gadis dalam foto itu... ya... aku merindukanku yang tengah tersenyum itu.
“Aku juga merindukannya,” bisik seseorang. Aku langsung menoleh. Dan mendapati sosok yang begitu kurindukan berdiri tepat di sampingku. Ia menoleh, memamerkan senyuman indahnya. Tubuhku menegang. Ia sudah banyak berubah, namun tampak bertambah tampan. Ia mengenakan t-shirt abu-abu dan kemeja kotak-kotak biru. Begitu santai dan tampan. “Hai, senang bertemu denganmu juga,” aku merasakan wajahku memerah.
Klik.
Ia memotretku dengan satu gerakan cepat. Aku memelototinya marah. “Maaf, aku hanya ingin mengabadikan semuanya,” ujarnya santai. “Well, siap-siap jika akhirnya kau pergi meninggalkan aku lagi.” Aku mendelik. Aku meninggalkannya??! Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
“Kamu yang menghianatiku,” ujarku sinis. Ia mangangkat wajahnya dari kameranya, kemudian menatapku dengan tatapan lucu yang begitu menggemaskan. Aku memalingkan wajahku mencoba menahan tawa dan kesal yang datang secara bersamaan. “Kamu menghianatiku dengan gadis bernama Hana itu,” ujarku mencoba memberikan alibi. Leo mengerutkan keningnya sedemikian rupa. Jelas sekali ia tidak mengerti. Aku menatapnya kesal. “Kamu memasang foto itu di akun facebook mu dulu,” ujarku kesal. “Astaga, apa kamu benar-benar lupa??!” tanyaku geram. Kemudian menatap kesekeliling ruangan. “Itu!” tunjukku pada sebuah foto yang tampak familiar di belakang Leo. Dalam hati aku meringis perih melihatnya. Leo menatapku masih tidak mengerti.
“Ada yang salah dengan foto ini?” tanya Leo. Aku menatapnya benar-benar geram.
“Siapa gadis bernama Hana itu??!!” tudingku menunjuk kata Hana yang terpampang jelas. Leo melongo sejenak, kemudian tertawa lebar, dan tanpa kusadari sedetik kemudian aku sudah berada di dalam pelukannya.
“Bodoh!” ujarnya disela tawanya. Beberapa orang tampak memandang kami. Aku mengaguk kikuk pada mereka. “Itu kamu, bodoh!!” tambahnya. Kini giliran aku yang menatapnya tidak mengerti. “Dengar,” ia memegang kedua bahuku. “Hana berartikan Bunga dalam bahasa Jepang,” ujarnya serius. Tubuhku menegang. Astaga!!! Tuhan aku ingin pingsan!!!!

                                                            ***

Aku masih bisa mendengar suara tawa Leo yang tertahan ketika kami duduk makan siang di kafe tidak jauh dari gedung pameran. Tasya duduk tidak jauh dari kami bersama pacarnya. Aku benar-benar malu.
“Ya, ini bukan salahku dong! Aku toh memang nggak mengerti bahasa Jepang,” ujarku tidak mau kalah. Leo meletakan kameranya, masih dengan tawanya. Aku mulai kesal.
“Ya ini salah aku karena nggak menjelaskannya padamu. Tapi kamu sendiri yang selalu menghindariku,” ia berubah serius. Aku tidak suka disalahkan.
“Ya, itukan masa SMP. Aku masih labil, masih emosional,” ujarku membela diri. “Lagi pula itu masa lalu, cinta monyet!” ia melirikku kembali dengan senyumanya. “Cintanya hilang, tinggal monyetnya yang membuatku galau!” ia terkekeh. Aduh... kenapa aku harus mengungkit masalah itu lagi sih??!
“Kalau saat ini apa masih bisa dibilang cinta monyet?” tanyanya. Aku mendelikan mataku.
“Ya, masih,”
“Tapi aku janji, kali ini monyetnya sudah hilang, tinggalah cintanya,” wajahku memerah mendengar kata-katanya. “Bunga, aku minta maaf atas masa lalu. Aku berjanji untuk lebih terbuka, dan aku mau kita kembali lagi. Aku masih sangat menyayangimu seperti dulu,” aku menunduk dalam. Bingung harus berkata apa.
“Tasya, apa kamu sudah selesai?” tanyaku tiba-tiba. Tasya mengangkat wajahnya. Menatap kami bingung. Leo mendesah kemudian wajah jenaka itu menghilang. Ia meraih kameranya dan memotretku. “Itu sangat tidak sopan,” desisku.
“Maaf, aku hanya menyediakan persiapan, jikalau suatu saat nanti aku merindukanmu,” ujarnya. Aku menatapnya perih.
“Tidak perlu.” Potongku. “Aku lebih senang kamu menyimpan yang aslinya,” Leo menatapku bingung. “Kamu tidak perlu memotretku, karena aku nggak akan pernah pergi jauh-jauh lagi darimu,” terangku tanpa menatapnya. Tasya tersenyum dari kejauhan. Sesaat kemudian Leo sudah kembali memeluku erat.
“Terima kasih,” ujarnya tulus seraya mencium puncak kepalaku.
“Semua ini masih bukan karena kesalahanku,” desisku dalam pelukannya.
“Iya ini semua gara-gara Hana,” bisiknya. aku terkekeh dan balas memeluknya erat.