Jumat, 30 November 2012

HUJAN KEMARIN -20-


BAB DUA PULUH
The forgotten sheets


Aku tersentak dalam kegelapan yang begitu dalam, mencekikku hingga sulit bernafas, seluruh tubuhku terasa begitu nyeri, remuk tak berbentuk. Samar-samar aku bisa merasakan sebuah kehangatan dari tangan yang menggenggam jemariku. Aku mendesah lega, mulai merasa nyaman dengan kegelapan itu, sebelum akhirnya kembali kehilangan kontrol atas tubuhku lagi.


Itu kedua kalinya aku tersentak dalam ketidak sadaranku. Tapi kini aku tersentak karena aroma yang begitu menyengat dari sekelilingku. Aku tidak yakin itu aroma apa, tapi baunya benar-benar menyengat. Menyesakan dadaku yang secara spontan menahan nafas. Kemudian aku mendengar suara bising dari roda-roda besi yang bergesekkan dengan lantai, suara dentingan dari benda-benda yang begitu familiar di telingaku. Aku memusatkan pikiranku, mencoba menerka keadaan di sekelilingku. Namun semakin keras aku mencoba, semakin perih kepalaku. Semuanya terasa berdenyut-denyut, aku ingin berteriak ketika merasakan kepalaku hampir pecah karena rasa sakit. Namun kemudian aku bisa merasakan kehangatan itu lagi. Kehangatan yang membebaskanku dari perih dan ketakutan itu, tepat sebelum aku kembali tertidur.


Cahaya itu begitu menyilaukan, aku menyipitkan mataku, berusaha beradaptasi dengan sekelilingku. Aku tidak terlalu yakin, tetapi aku pikir seorang gadis cantik tengah tersenyum di hadapanku. Rambutnya panjang sebahu, wajahnya sedikit pucat, tetapi ia jelas cantik. Tangannya terulur kepadaku, dan tanpa keraguan sedikitpun aku membalas uluran tangannya, menggenggam jemarinya yang membeku. Ia mengangguk dan menarik diriku kedalam cahaya itu.
“Tidak…” bisikku pelan. Tubuh di hadapanku terdiam. “Ada yang menungguku,” bisikku. Hatiku terpilin ketika melihat wajah itu mendadak sedih. Aku ingin merengkuhnya, menjaganya agar tetap tersenyum.
Ia melepaskan tanganku dengan perlahan. kemudian merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya yang dingin. Aku tersentak ketika ia mendekatkan wajahnya, kemudian dengan perlahan menempelkan dahinya di dahiku. Menyebarkan rasa dingin yang aneh dalam kepalaku. Dingin, dan membeku. Aku terhanyut dalam perasaan aneh yang tak bisa ku ungkapkan. “Siapa kau?” tanyaku padanya sebelum berteriak keras karena sakit yang teramat dalam menghujam kepalaku.


“Isabella…” suara itu menggelitik telingaku. “Isabella,” aku mengerutkan keningku ketika mendengar kekhawatiran dalam nada suara itu. “Isabella…” lagi-lagi nama itu yang terdengar. Kemudian aku merasakan sesuatu menekan lenganku. Aku tersentak, dengan perlahan membuka mataku. Mataku menyipit ketika menatap cahaya dari lampu yang menderang di langit-langit. “Isabella… akhirnya kau sadar…” aku menarik tubuhku ketika wanita di sampingku memelukku erat. Kemudian seorang pria tua berkacamata mendekatiku, memeriksa mataku, mempelajari pupilku dengan senternya, membuatku semakin linglung dengan cahaya.
“Kau bisa mendengarku Isabella?” aku mengerutkan keningku, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Tapi siapa Isabella, mengapa ia menatapku seperti itu?
“Siapa Isabella?” tanyaku susah payah. Tenggorokanku perih karena kering. Wajah wanita di sampingku memucat. Ia menatap pria tua itu dengan ketakutan yang teramat jelas. “Dimana aku?” tanyaku sedikit panik.
“Tenanglah nak…” pria berjas putih itu berbisik perlahan. “Kau berada di rumah sakit,” ujarnya lagi. Aku memandang kesekeliling ruangan. Jendela besar, sebuah sofa, kulkas kecil, tv, dan beberapa hal standar lain.
“Apa yang terjadi? Siapa aku?” tanyaku padanya. Wanita di sampingku menangis perlahan. Menuntut jawaban pada pria dihadapanku.
“Kau Isabella. Kau mengalami kecelakaan dua bulan yang lalu, dan ini adalah ibumu,” tuturnya. Aku mendelik, menilai wanita itu dengan seksama. Ia mungkin berumur antara 40-50 tahun. Tapi ia cantik, rambutnya dijepit ala kadarnya, wajahnya pucat dan lelah.
“Isabella, kau tidak mengingat mama?” tanyanya serak. Hatiku terpilin, nafasku mulai tersenggal-senggal.
“Kepalaku sakit…” desisku ketika nyeri itu menghantam setiap sudut kepalaku.
“Dok…” wanita itu menatapku dengan kecemasan yang tidak dibuat-buat. Aku menatap sendu kearahnya sebelum kembali lepas kendali atas kesadaranku.


Mimpi itu kembali hadir. Mimpi berada di tengah ruangan yang menderang. Tapi kini aku sendirian di tengah kebekuan. Aku menatap kedua telapak tanganku. Aku bisa melihatnya, tapi atu tidak bisa merasakannya. Tubuhku mati rasa, hingga otakku menyerah untuk mengontrolnya. Tapi kemudian aku merasakan air mataku mengalir, dan membeku seketika itu juga. Tubuhku menggigil karena hawa dingin yang tiba-tiba berhembus kencang, kemudian aroma itu lagi. Aroma menyengat yang menyesakan dadaku.


Aku  tersentak, seakan terbebebas dari mimpi buruk. Cahaya menyilaukan tadi telah digantikan dengan cahaya yang lebih lembut, meski tidak kalah terangnya. Aku menyipitkan mataku untuk menatap sosok-sosok di sekitarku. Mempelajari segala sesuatu yang bisa ku tangkap.
“Isabella?” suara tua dokter itu membuatku linglung, namun akhirnya penglihatanku mulai jelas. “Kau bisa melihat kami sekarang?” tanyanya. Aku mengangguk sangat pelan. Merasa lemas untuk menggerakan otot-ototku.
Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tertidur, namun rasanya semuanya tampak banyak berubah. Ruangan ini lebih luas, yang saat ini dipenuhi oleh orang-orang asing.
“Isabella, kau bisa mengenali kami?” Tanya dokter itu lembut. Aku menatap keempat wajah di hadapanku dengan bingung. Mencoba membuka-buka memoriku yang terdalam, tetapi hasilnya nihil. Kepalaku terasa sakit sampai akhirnya aku menyerah dan menggeleng pada dokter tua itu. “Tidak apa-apa Isabella, ini hanya masalah kecil, kau akan segera mendapatkan ingatanmu kembali,” ujarnya sambil tersenyum. “Itu ibumu,” ia menunjuk kearah wanita yang tengah menangis. “Ayahmu, dan adikmu, Savanna.” Aku menatap wajah yang ditunjukan oleh dokter itu dengan ragu. Kemudan mereka memelukku, kecuali gadis cantik yang tengah berdiri membeku di ujung ranjangku.
“Maaf…” bisikku tercekat. “Tapi aku tidak bisa mengingat apapun…”
“Tenanglah Isabella, kau akan baik-baik saja, papa janji.” Aku ingin mengaguk, memepercayai kata-kata pria paruh baya itu. Namun aku menemukan tubuhku membeku.
“Apa aku sudah menikah?” tanyaku ketika menyadari sebuah benda berkilauan di jari manisku. Wanita yang mereka katakan sebagai ibuku memucat. Ia melirik sosok-sosok lainnya dengan kikuk. Membuatku semakin penasaran. Kemudian pria di sampingku tersenyum.
“Kau sudah bertunangan sayang, dan akan segera menikah,” tambahnya. Aku merasakan dadaku kembali sesak. Aku sama sekali tidak mengingat mereka, aku tidak bisa mengingat apapun, bahkan pertunangan ini, ataupun cinta itu. Tapi aku tidak mau mengingkarinya, aku melihat cincin itu melingkar indah di jari manisku. Tentu saja aku memiliki alasan yang kuat untuk membiarkan cincin itu berada di sana.
“Mana dia?” tanyaku. Mulai merasa berdebar-debar menunggu jawaban mereka. Aku tidak yakin apakah aku akan mengenalinya atau tidak. Tapi aku yakin, ketenangan yang selama ini ku dapatkan adalah darinya, dari pria yang mereka katakan sebagai tunanganku.
Kemudian pintu ruangan itu perlahan terbuka, semua mata langsung menoleh padanya. Tetapi pemuda tampan itu hanya menatapku, mengunci pandanganku. Wajahnya menyimpan berjuta emosi, namun aku tidak bisa membacanya. Ia seperti sedang bahagia, sedih, kecewa, ragu, dan entahlah, aku tidak yakin akan semua itu. Tapi ia disana, berdiri diambang pintu dengan sebuket bunga mawar putih di tangan kirinya. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak lelah. Ia mengenakan t-shirt putih dengan jeasn, begitu santai dan apa adanya.
Hatiku bergetar, mataku memanas ingin menangis, kupegang erat cincin yang melingkar dijariku dengan tanganku yang bebas. Seakan menuntut sesuatu dari cincin yang membisu itu. Menuntut sebuah penjelasan, menuntut sebuah memori, menuntut keberadaan cinta itu.
Air mataku menetes kerika ia memelukku. “Kau sudah siuman?” ia terdengar begitu lega, namun masih diliputi sedikit ketakutan. Aku membeku dalam pelukannya. Merasa hambar dalam diriku. “Sayang… lihatlah aku, apa kau mengenaliku?” tanyanya, ia merengkuh wajahku dengan kedua tangannya.
Aku bisa melihatnya, tapi aku tidak mengenalinya.
“Sst…” ia menghapus air mataku yang menetes. “Tenanglah sayang, kau tidak harus mengingatku. Kita bisa memulainya dari awal lagi… aku janji,” bisiknya lembut. Aku ingin mengiyakan kata-katanya, namun tenggorokanku tercekat. Hatiku perih dengan alasan yang tak bisa ku ungkapkann.
                                                    ****


Aku masih merasa begitu baru dengan segala sesuatu di sekelilingku. Wanita bernama Diandra yang menjadi ibuku; Harris sang pengusaha sukses yang menjadi ayahku; Savanna, adikku yang berbeda 2 tahun dariku; dokter harun; dan tunanganku. Semuanya begitu asing. Tapi aku bersumpah, aku ingin mengingat mereka, mengingat kembali kehidupanku. Karena sesuatu dalam masa lalu itulah yang menjagaku tetap berada di dunia ini.
Aku bernama Isabella Haris, putri pertama dari keluarga Haris; seorang wanita berumur 23 tahun yang –sebelum kecelakaan itu- bekerja di perusahan papa; dan bertunangan dengan seorang pria tampan yang kini tidak pernah meninggalkan diriku walau sejenak.
Itu adalah sebuah cerita singkat tentang kehidupanku yang ku dengar dari mama. Aku tidak memiliki satu memoripun tentang masa laluku, dan dokter Harun dengan gamblang mengatakan bahwa kemungkinan besar aku akan kehilangan memoriku untuk waktu yang lama, atau mungkin selamanya. Tapi stidaknya aku bersyukur karena masih memiliki orang-orang yang ku sayangi.
Well, mungkin kata-kata tunanganku tentang memori itu memang benar adanya. Aku tidak harus mengingat masa laluku, aku bisa mengingatnya dari awal.


“Ma, apa hobiku?” tanyaku suatu pagi. Mama yang tengah mengupas apel di sampingku langsung terdiam.
“Kau menyukai banyak hal… banyak sekali…” ujarnya lembut. “Kau suka membaca, menulis, bernyanyi,” aku tersenyum tipis mendengar jawaban mama. Ia tampak lebih segar meskipun tetap terlihat sedih. Ya, kesedihan di matanya itu sedikit mengusikku. Aku memang belum terlalu mengenalnya –atau mengingatnya- tapi aku bisa melihat kesedihan di matanya. Kesedihan yang jelas tak bisa ia sembunyikan.
“Ma…” aku menyentuh tangannya yang bergetar. Aku sangat jarang mendapatkan waktu berduan dengannya. Terkadang hampir selalu ada tiga atau lebih pengunjung di kamarku. “Apa ada  yang mama sembunyikan?” tanyaku lembut. Mama tertegun sejenak, namun ia jelas terlihat terkejut atas pertanyaanku.
“Tidak ada sayang…” bisiknya setelah terdiam cukup lama. “Kau adalah dirimu, mama bersumpah akan hal itu. Kau juga sangat mencintai tunanganmu,”
“Tapi ma, aku merasa sepertinya mama tidak terbiasa dengan namaku,”
“Isabella, kau adalah putriku. Putri yang paling kusayangi… setelah ini, setelah keadaanmu cukup baik, kita akan segera pergi dari tempat ini nak, kita akan memulai kehidupan yang baru,”
“Tapi ma… Apa kita akan pergi dari sini? Maksudku, apa kita akan pergi jauh?” tanyaku ragu. Mama mengaguk.
“Mama dan papa sudah memutuskan untuk membawamu keluar Indonesia,”
“Tapi masa laluku di sini ma, kalau aku mau mengingat masa laluku, aku harus berada dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan itu,”
“Tidak ada yang perlu kau ingat nak,” bisik mama tanpa melihat kearahku. “Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik lagi. Kau bisa menemukan hal baru yang ingin kau kerjakan, kau bisa memulainya…”
“Ma…” aku menggeleng perlahan. “Aku ingin meneruskan kahidupanku, bukan memulai hal baru.”
“Tapi kau sudah kehilangan semua ingatanmu Isabella. Mengingatnya hanya akan membuatmu semakin sakit, mama tidak mau mengambil resiko itu. Mama tidak mau kehilanganmu lagi…”
“Mama tidak akan pernah kehilanganku,” bisikku perih. Mama memelukku erat, menumpahkan semua luka yang dirasakannya.


Aku pernah belajar mengenai asal usul hujan. Mempelajari bagaimana hujan itu tercipta, dan bagaimana siklus penguapannya. Namun dari sekian banyak hal yang –mungkin- dulu pernah ku pelajari, kini semuanya menguap. Menghilang tanpa jejak. Aku seperti kehilangan jati diriku. Lupa akan segala sesuatu tentang kehidupanku, bahkan hal-hal istimewa dalam dalam kehidupanku yang seharusnya tak bisa ku lupakan.
Tapi mama benar,  semakin keras usaha ku untuk mengingat semua masa laluku, semakin perih kepalaku, dan semuanya akan semakin membaur. Seperti menggenggam pasir, semakin erat kau menggenggamnya, maka semakin sedikit yang kau dapatkan.
“Ini…” aku menoleh ketika Savanna menyodorkan segelas jus berwarna putih. Aku tersenyum tipis dan menerimanya, kemudian kembali menatap hujan yang terus mengguyur raya yang gersang.
Kamarku berada di lantai tiga, menghadap lurus taman rumah sakit yang tertata rapih. Ada sebuah air terjun buatan di bawah sana, dan meski dengan jelas terdapat anjuran untuk tidak bermain di sana, tetapi beberapa bocah kecil tampak asyik menonton ikan-ikan keemasan dari kolam itu. Aku mendesah, mulai kembali merasa perih dalam hatiku karena lupa akan masa kecilku.
“Bagaimana masa kecil kita?” tanyaku pada Savanna yang masih berdiri menemaniku menatap hujan. Ia terdiam lama, matanya menerawang jauh. Suasana kamarku saat itu cukup sepi. Aku tidak akan bisa menanyakan masa laluku jika ada banyak orang di sekelilingku. Konyol memang, namun aku merasa mereka memang sengaja menjauhkanku dari masa laluku. Oke, mungkin aku bisa mengerti jika pada akhirnya mereka berasalan, ini semua demi kebaikanku, kesembuhan cara kerja otakku, tapi satu hal yang tidak ku mengerti adalah pandangan aneh mereka. Pandangan yang seakan menunjukan peperangan batin yang sedang mereka rasakan dalam diri mereka sendiri.
Mataku melebar saat melihat seorang bocal kecil jatuh terjungkal karena tersandung kakinya sendiri. Bocah itu jelas kesakitan, namun ketika seorang gadis kecil menghampirinya, ia langsung mengangkat wajahnya, menunjukan bahwa ia tidak apa-apa. Aku tersenyum melihat drama kecil itu, begitu lucunya tingkah si bocah, dan betapa bodohnya gadis kecil itu. Tidak bisakah ia melihat bocah itu meringis kesakitan sesaat yang lalu??
Kemudian seorang perawat meneriaki mereka –sepertinya- karena aku tidak bisa mendengar mereka dari kamarku di lantai tiga ini. Namun dari bahasa tubuh yang ku angkat sepertinya suster itu memarahi kedua bocah berpayung mungil itu.
“Kita tidak memiliki masa kecil,” bisik Savanna, mengingatkanku tentang keberadaannya di sampingku. Aku memundurkan tubuhku, kembali menyandarkan punggungku di kursi rodaku. Sebenarnya aku sudah bisa berjalan sejak dua hari yang lalu –atau mungkin aku memang tidak memiliki masalah dengan system motorikku-  tapi mereka semua memaksaku untuk beristirahat total, memanjakan tubuhku yang kaku.
Ku letakan gelas jus itu di meja kecil di sampingku, kemudian berdiri. Secara spontan Savanna langsung mengulurkan tangannya untuk membantuku. Aku menatapnya dan menggeleng, mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Aku berjalan dengan mudah menuju ranjangku. Sudah tidak ada alat-alat berat si sana, tidak seperti pertama kali aku membuka mata. Bahkan dokter sudah melepas selang infusanku sejak tadi pagi. Aku menatap kesekeliling ruangan rawat inapku. Hanya ada satu ranjang di sini, satu lemari kecil yang berisi berbagai barang, sebuah tv yang sangat jarang ku lihat, namun jarang juga di matikan, seakan sengaja dinyalakan untuk mengisi kekosongan di ruangan ini. Sebuah sofa panjang berada tidak jauh dari ranjangku. Aku berjalan perlahan dan duduk disana, mencoba merasakan kehangatan orang-orang yang sebelumnya pernah duduk disana –menungguku-. Aku membelai lembut permukaan sofa berwarna biru itu, mencoba mengorek sedikit keterangan darinya. Namun seperti benda-benda mati lainnya, ia masih tetap membisu.
Mama dan papa sudah bulat dengan keputusan mereka untuk membawaku keluar negri. Dengan alasan yang sangat tidak masuk akal; ingin mengintensifkan penyembuhanku –yang sejujurnya saat ini aku merasa sangat baik-baik saja-. Selain kepalaku yang masih berdenyut-denyut ketika terlalu keras berpikir, secara keseluruhan tubuhku baik-baik saja. semuanya normal. Namun mama dan papa bersikeras untuk membawaku pergi. Sejujurnya, semua lelucon ini membuatku mual.
Tiba-tiba pintu terbuka. “Isabella,” mama terdengar sedikit terkejut melihatku duduk di sofa  bukannya berbaring di ranjang. Aku menatapnya dengan sebuah senyuman yang sama sekali tidak menyentuh mataku.
“Aku sudah sembuh ma…” bisikku merajuk. Mama mendesah dan duduk di sampingku, memberlai lembut kepalaku seakan aku hanyalah gadis kecil yang merengek meminta permen. “Ma, aku tidak ingin pergi kemanapun, aku ingin tinggal di rumah,” pintaku. Mama kembali membelai kepalaku, kamudian turun kepunggungku. Sentuhannya terasa lembut namun jelas menyimpan kelelahan. “Ma…” bisikku, mencoba mengembalikannya ke dunia nyata. Mama mendesah dan menoleh padaku. Tersenyum lembut penuh kasih.
“Isabella…” desahnya pelan. Tidak sekalipun matanya menatap mataku. “Kita…”
“Kita akan pulang kerumah jika itu yang kau inginkan,” aku dan mama langsung terdiam ketika tiba-tiba suara itu memotong perkataan mama. Kami menoleh ke pintu kamarku yang sudah terbuka. Aku bisa melihat wajah mama berubah, sedikit ketakutan sepertinya. Tapi aku tidak tau mengapa. Semuanya begitu membutakan bagiku. Tapi aku tetap tersenyum atas pernyataan tunanganku.
“Terima kasih Ethan…” bisikku tulus.


Rabu, 28 November 2012

HUJAN KEMARIN -19-


BAB SELMBILAN BELAS
Lovely life of love


“Kau benar-benar cantik,” puji kak Lolita tulus. Aku menatapnya pantulannya di cermin, mengutarakan kata terima kasih yang tak terucap.
“Tapi dia benar-benar tidak romantis kak,” keluhku seraya meletakan kembali gaun panjang itu di rak. Kak Lolita mengerutkan keningnya kemudian duduk di sampingku. Aku memandang kesekeliling butik dengan nanar.
“Kau salah Izz,” kak Lolita tersenyum lembut padaku. “Sam sudah menyiapkan sebuah rencana untuk melamarmu,” aku menatapnya tidak percaya. “Di hari ulang tahunmu tepatnya,”
“Tapi itu tinggal tiga bulan lagi,” desisku.
“Ya, tiga bulan, dan dia memang benar-benar ingin menyiapkannya dengan sangat istimewa. Ditambah lagi, belakangan ini ia sedang sibuk dengan film terbarunya,” aku meringis. “Tapi aku tidak menyalahkanmu dengan meminta bukti atas rasa cintanya kepadamu. Kau tau, kalau bukan karena aku tau ia mencintaimu, akupun pasti akan berpikiran kalau dia dan Stefan…” kak Lolita tersenyum kikuk padaku.
“Ah… iya…” bisikku ngeri. “Tapi kau benar, belakangan dia semakin sibuk dengan film-film terbarunya. Terkadang aku sedikit khawatir..” tatapanku menerawang jauh, mengingat-ngingat sosok angkuh terkasihku. Kak Lolita merangkul pundakku dengan lembut.
“Kita semua mengkhawatirkannya,” bisik kak Lolita. “Tapi tidakkah kau lihat betapa ia bisa menjaga dirinya selama ini?” aku terdiam. “Itu semua karena dirimu Izzi, dia sangat mencintaimu. Aku bisa melihat itu di matanya. Caranya menatapmu, caranya berbicara padamu, dia sangat mengagumimu.” Wajahku memerah mendengar kata-katanya.
“Tapi sikapnya selama ini…”
“Izzi…” kak Lolita memotong perkataanku dengan lembut. “Sam adalah pria yang baik. Ia tidak ingin menyakitimu. Dan, well… aku sendiri memang tidak begitu mengerti tentang dirinya, hanya saja dia selalu ingin berada di sampingmu, tetapi ia tidak ingin membuatmu berharap lebih padanya. Galang juga sangat membenci sikapnya. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sam adalah pria yang luar biasa keras kepala.” Aku terkikik pelan melihat kerutan di kening kak Lolita. Ia mendesah dan mengangkat bahunya. “Tapi akhirnya aku benar-benar bahagia melihat kau bersamanya, sungguh…” kak Lolita menggenggam jemariku dengan erat. Menunjukan kebahagian yang tulus.
“Terima kasih kak…” aku memeluk kak Lolita. “Terima kasih karena kalian sudah menjaganya selama ini,” ujarku tulus.
“Ah, sudahlah Izzi, sebaiknya kau segera menyelesaikan fiting gaun pengantinmu, atau kita akan mendapat masalah dari pak sutradara karena terlambat menghadiri premiere film terbarunya,”
Aku tersenyum dan mengangguk penuh semangat. “Jadi yang peach atau yang ungu muda ini?” tanyaku lagi. Kak Lolita tersenyum ramah.
“Kau sudah menanyakan itu selama dua jam Izzi…” ujarnya seraya bengkit dari kursinya. Ia berjalan perlahan mendekatiku. Meraba gaun-gaun cantik di sampingku. Kemudian dengan tiba-tiba wajahnya memucat, tubuhnya seakan tersentak. Dengan sebuah gerakan lambat ia terjatuh di hadapanku. Mataku melebar melihatnya.
“Astaga kak Lolita, air ketubanmu sudah pecah,” desisku panik sebelum berteriak meminta pertolongan.
                                                            ****
“Kau masih mencintai Ethan?” pertanyaan itu membekukanku untuk sesaat. Kemudian aku tersenyum geli dan berjalan mendekati sosok jangkung yang sedang duduk di ruang tamu rumahku.
“Apa menurutmu begitu?” tanyaku seraya duduk di sampingnya setelah meletakan secangkir teh hangat di hadapannya. Ia mengangkat bahunya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tv.
“Entahlah, aku hanya berpikir,” gumamnya. Aku kembali tersenyum dan menyandarkan kepalaku di dadanya, merapatkan tubuhku ketubuhnya. Sosok kak Sam masih terdiam di sampingku. Wajahnya begitu angkuh seperti biasa.
“Tuan sutradara kau sudah terlalu banyak berpikir, tidak bisakah kau sedikit bersantai saja saat ini, ceritakan tentang akting artis pendatang baru itu padaku,” aku memainkan kancing kemejanya, berharap wajah angkuh itu mencair. Namun tampaknya usahaku gagal. Ia tetap menatap dingin ke layar tv. “Kak…” desisku mulai kesal. “Aku sudah-tidak-mencintainya, oke?! Lagi pula dia sudah memilih orang lain,” ujarku sinis. ku tegakan tubuhku disampingnya. Ikut menatap layar tv yang menayangkan komedi konyol.
“Dia sudah berubah,” suara kak Sam begitu pelan, namun aku bisa mendengar kegetiran di dalamnya. “Ia sudah berpisah dengan Stefan karena dirimu,”
“Oh ya??!” suaraku meninggi, aku menyilangkan tanganku di dada. “Aku senang mendengar kalau dia sudah berubah. Tapi bukan berarti aku harus kembali padanya kak. Astaga, demi Tuhan, aku benar-benar sudah melupakan semua cinta sialan itu!!” tuturku kesal. Kak Sam terdiam sejenak, kemudian menoleh padaku.
“Tapi kau menuliskan nama Ethan di kartu yang ku berikan bersama keranjang coklat itu,” aku mengerutkan keningku, mencoba mencerna kata-katanya. Kemudian aku tidak bisa menahan senyuman geliku di wajahku. Ia menatapku penuh tanda tanya, menunjukan wajah angkuhnya yang terlihat lucu. Aku terkekeh dan beranjak naik keatas pangkuannya, memeluk tubuhnya erat-erat.
“Kau cemburu?” bisikku sambil menekan tawaku di dadanya. Kak Sam tidak menjawab, namun aku bisa mendengar detak jantungnya berdetak cepat. “Aku menulisnya karena saat itu aku tidak tau siapa pengirimnya. Lagi pula demi Tuhan kak Sam, itu sudah sangat lama. Aku bahkan sudah lupa akan keranjang coklat itu, dan… tunggu dulu,” aku melepaskan pelukanku, merengkuh wajahnya agar menatapku. “Apa kau menggeledah kamarku?!” tudingku. Ia mengangkat sebelah alisnya.
“Apakah aku tidak boleh mempelajari kamar calon pengantinku?” tanyanya lugu. Aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Aku tertawa keras dan memeluk kak Sam dengan penuh kasih. Pria angkuh ini, pria menyebalkan ini, pria yang tidak pernah menunjukan ekspresi lain kecuali ekpresi dinginnya, adalah pria yang paling ku sayangi.
Aku membenamkan kepalaku di lehernya, menghirup aroma keangkuhannya. Perlahan namun pasti aku bisa merasakan tangannya memeluk pinggangku, membelai lembut pungguku. Kemudian ia tersenyum.
“Oya, kau belum menceritakan film terbarumu,” bisikku di lehernya. Ia terkikik kegelian. “Sepertinya sangat rahasia, aku bahkan tidak boleh datang ke lokasi syutingmu. Ceritakan padaku film apa itu!” ia tertawa.
“Kau akan mengetahuinya jika sudah waktunya,”
“Oh rahasia lagi!” desisku sinis padanya. Ia tertawa. Aku memutar bola mataku kesal. “Tidakkah bisa kau berikanku satu petunjuk saja…” pintaku kesal. Ia melepas pelukannya. Menatap geli wajahku. Aku kembali bersidekap di pangkuannya, melirik sinis wajah tampannya.
“Aku sangat mencintaimu,” bisiknya. Aku mendesah pelan. Ah yang benar saja!!
“Salah fokus!” gerutuku. “Kita sedang tidak membicarakan itu, dan lagi pula aku sudah bosan mendengarnya,” wajah kak Sam membeku. Aku bisa melihat tatapannya menegang dari balik kaca matanya.
“Benarkah?” tanyanya datar.
“Ya Tuhan kak Sam!! Tidak bisakah kau membedakan antara gurauan dan hal yang serius??!!” pekikku tak sabar. “Kau memang pintar, tapi kau juga sangat teramat bodoh!!!” tambahku kesal.
“Kalau begitu jelaskan padaku,” bisiknya dingin. Aku mendengus dan merengkuh wajahnya.
“Dengar!” kataku tegas, tatapanku mengunci matanya. “Aku…” kata-kataku menghilang ketika tatapan indah kak Sam terasa menghangatkan hatiku. “Ah, sudahlah, semua hal yang ku katakan adalah gurauan belaka, kecuali rasa cintaku kepadamu,” ujarku seraya kembali memeluknya. Membenamkan kepalaku di lehernya. Memeluk erat tubuhnya, seakan itu memang yang selama ini ku butuhkan, memeluknya, merasakan sosoknya dalam dekapanku, menyadarkan bahwa ini bukanlah sekedar mimpi belaka.

                    ***
“Izzi…” erangan kak Lolita membangunkanku dari lamunan sesaatku akan pria angkuh itu. Aku kembali menatap  sosok kak Lolita yang tengah mengerang kesakitan di atas ranjang rumah sakit. Perkiraan kami melenceng seminggu.
“Tenanglah kak, aku sudah menghubungi Galang, sebentar lagi dia sampai,” aku menggenggam erat jemari kak Lolita. Wajah cantiknya penuh keringat, nafasnya tersenggal-senggal.
“Suster, persiapkan peralatannya, aku harus pergi sebentar,” ujarku pada suster Nina. Ia mengangguk sigap. “Tenanglah kak, dokter Siska akan membantumu, aku akan segera kembali,” ujarku sebelum melepaskan cengkraman tangannya.
Aku berlari menelusuri koridor rumah sakit, sesekali meminta maaf karena tidak sengaja menabrak orang-orang yang berlalu lalang. Namun aku terus berlari, dengan alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Namun ingatanku akan sosok cantik yang selalu menjadi sahabatku kembali hadir. Tiba-tiba ponselku bergetar, telepon dari kak Sam.

“Isabella, kau dimana? Aku dan Galang sudah di ruang oprasi,” kata-katanya menghentikan langkahku yang kini sudah sampai di parkiran rumah sakit. Aku mendesah lega. Firasat burukku ternyata hanya sekedar halusinasi. Aku merasakan tetesan hujan perlahan menyentuh kepalaku. Aku mendongkak untuk menatap langit yang mendung. Sesaat kemudian tersenyum penuh kelegaan, ternyata aku memang hanya berhalusinasi, ia baik-baik saja… ia baik-baik saja… batinku seraya memejamkan mata, menikmati tetesan hujan itu.
“Dokter awas!!!” sebuah teriakan menyentak lamunanku akan hujan. Aku menoleh pada asal suara itu, menatapnya heran, namun kemudian semuanya terasa bagai adegan lambat dalam sebuah film, ketika akhirnya sebuah ambulance yang tak terkendali menghantam tubuhku, melemparku dengan mudahnya.
Seketika itu juga aku tidak bisa merasakan tubuhku, meski aku masih bisa mendengar suara jatuh yang keras. Aku bahkan tidak merasakan sakit sama sekali ketika darah itu mengalir dari kepalaku, tapi aku bisa mencium amisnya. Pandanganku kosong, tubuhku kebas, tapi aku bisa mendengar teriakan mereka, mendengar suara roda ranjang rumah sakit yang di dorong dengan cepat.
“Isabella bertahanlah… tetaplah bersamaku…” hatiku mati rasa. Namun air mataku mengalir perlahan ketika mendengar suara penuh khawatir itu. Otakku kosong tak bisa berpikir, tapi tenggorokanku sakit menahan isak karena tidak bisa melihat sosok yang menggenggam jemariku dengan erat. 

Selasa, 27 November 2012

My favorite List -01-


DEJA VU.


          Hari itu, kali pertama aku melihatnya. Dengan batik berwarna merah marun yang lengannya ia gulung hingga siku. Wajahnya tampak begitu cerah, begitu kotras dengan kelabunya warna tenda yang segelap arang. Disampingnya, beberapa anak sebayanya tampak turut tersenyum santun. Berdiri berjejer menunggu mempelai pria memasuki pelaminan. Aku berdiri jauh di belakang. Sibuk membantu menyiapkan makanan ringan untuk diletakan di meja tamu.
        “Re, coba ambil kamera yang lain,” teriak ayah dari balik kerumunan orang-orang. Aku mendongkak mencari asal suaranya. “Ayah mau kamu shoot mereka dari sudut sana, berdiri di atas kursi,” teriak ayah lagi. aku mengaguk sekali kemudian berlari ke arah yang ditunjuknya.
Aku memaki pelan saat kerumunan orang benar-benar memenuhi tenda itu. Bahkan aku tidak bisa melihat pelaminannya. Terlebih saat aku menyadari bahwa kursi yang di maksudkan ayah, tidak dapat dipindahkan. Aku tau, dalam dunia ayah, pengabadian momen adalah yang terpenting. Dan aku tidak ingin dianggap bodoh karena mengabaikannya.
Aku berpikir sejenak dan akhirnya menemukan setumpuk kardus air mineral di balik meja. Ini memang tidak akan begitu banyak membantu, namun setidaknya ini lebih baik dari pada aku harus berkelut dengan omelan ayah. Tapi tentu saja, aku masih kurang tinggi untuk dapat men-shootnya.
“Kamu akan jatuh,” ujar seseorang seraya merebut kamera dari tanganku. Aku sedikit terkejut. “Turun, biar aku yang merekam semuanya,” ujar pria jangkung itu. Dan benar saja, ia tanpa bantuan apapun lebih baik dari pada aku dengan segala usahaku.
Aku menatap pria jangkung itu dengan tatapan terima kasih. Meski aku sadar, ia takkan menyadari tatapanku karena begitu sibuk dengan kamera ayah yang masih menyala. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada seseorang.
Saat itu, aku baru duduk di kelas 2 SMP, bahkan umurku belum genap 14 tahun. Dan pria jangkung di sampingku tampaknya sudah begitu dewasa. Mungkun ia 10 tahun lebih tua dariku. Satu hal, yang saat itu tidak ku sadari. Batik marun yang ia gunakan juga tergulung di sekitar lengannya hingga siku.


“Re, jangan lupa PR matematika kamu!!!” itu ibuku. Rosa Meylinda. Guru SD, yang menurutku begitu tegas dan penuh disiplin. Aku hanya bergumam pelan untuk menjawab perintahnya. Tentu saja aku takkan pernah lupa, ibu mengingatkanku 5 menit sekali tentang apa saja yang harus aku bawa ke sekolah. Ibu adalah salah satu dari orang-orang yang menjunjung tinggi semboyan, anak harus lebih dari orang tuanya. Alhasil ia mendidikku seperti robot untuk bisa melebihinya dan ayah tentunya.
Oya, dan itu adalah ayahku. Fandi Rahadian. Seorang photografer yang merambah menjadi dokumenter pernikahan. Aku lebih menyukai apa yang dilakukan ayah. Semboyan lain dalam hidup, Mengabadikan setiap moment. Adalah semboyan yang sengaja ku kutip dari benak ayah.
“Aku berangkat!!” teriakku seraya berlalu mengejar angin. Di ujung jalan sana seorang gadis sebayaku melambaikan tangan. Nina Amelia. Teman sejawatku sejak aku mulai mengenal hurup A di taman kanak-kanak.
“Aku pikir kita nggak akan bisa ke perpustakaan lagi hari ini,” ujarnya saat aku menjajari langkahnya. Aku menatapnya dengan tatapan ‘mengapa’. “Katanya film korea terbarunya Lee min ho itu mau mulai hari ini,” aku mendesah. Astaga, aku lupa. Ia adalah salah satu penggemar fanatik film-film korea. Padahal beberapa saat yang lalu, ia sempat mengolok-olokku karena menonton film itu. Pada akhirnya ia sendirilah yang tergila-gila saat melihat film Boys before flowers.
“Tapikan, kamu sudah janji,” keluhku. Nina menunjukan cengiran kudanya mengutarakan kata maaf yang selalu enggan ia katakan. Aku menyerah dan mengangkat bahu kesal.


Sekolah kami terbilang cukup jauh dari rumah. 30 menit perjalanan jika tidak terjebak macet. Namun aku menikmatinya. Aku suka batik kotak-kotak berwarna pink yang berbeda dari sekolah pada umumnya. Aku suka cara pengajarannya yang tidak terlalu berpusat pada guru. Dan terlebih lagi, aku suka perpustakaan dan ruang seninya yang luas.
“Nin, siang ini mulai loh!!” ujar Gita. Gadis berambut panjang sebahu yang kuanggap sebagai duplikat Nina dalam hal ‘Korea’. Tak lama kemudian mereka sibuk dalam bahasan korea mereka. Aku duduk di kursi ke tiga bersama Vella. Gadis tercantik di kelas kami. Nina duduk di depanku bersama duplikatnya, Gita. Sedangkan di belakangku, cowok gendut dengan kacamata dan permen karet joroknya, Ozan. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa Vella tetap bersikeras memaksaku duduk bersamanya tepat di depan si Gendut.
“Eh, kata ibu Ria, ada anak baru di kelas kita!” teriak Mel, salah satu anak kelasku yang dicap miss gosip. Kami menoleh tertarik kali ini dengan gosipnya. Terlebih sumber yang ia sebutkan diawal tadi. “Pindahan dari Bandung katanya,” tambah gadis berbehel pink menyala itu lagi. aku melirik Vella yang tersenyum tipis.
“Kamu kenal?” tanyaku tanpa sadar. Vella hanya tersenyum misterius sepert biasa. Meski sempat terputus, pembicaraan Nina dan duplikatnya kembali berlanjut lagi.
Kelas mendadak hening saat langkah kaki wali kelas kami terdengar di depan kelas. Dan saat itulah aku merasa deja vu yang pertama.


Jumat, 23 November 2012

HUJAN KEMARIN -18-


BAB DELAPAN BELAS
Cinta untuk Cinta


Hembusan angin menerpa wajahku. Mata sebamku terasa perih karena belum tidur sejak semalam. Berkali-kali ku hirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan gemuruh hatiku. Kemudian menatap penuh kasih makam di hadapanku. Aku berjongkok di samping nisannya, membelai lembut penuh kerinduan.
“Le, apa kabarmu?” bisikku. “Kau benar, kak Sam tidak pernah sama seperti kak Stefan. Dia tidak pernah menganggapku sebagai adiknya. Tapi dia mencintaiku Le,” aku meraba goresan namanya yang mulai kabur termakan waktu. “Dan kau benar, aku memang mencintainya,”
Kemudian aku menangis.
                              ****
Petang itu mendung masih terus menemani gerimis rintik-rintik yang membuat suasana rumah sakit semakin menegangkan. Aku berdiri disamping kak Lolita yang terus merangkulku, menguatkanku. Dokter Harun tersenyum kepada kami.
“Ini adalah sebuah keajaiban,” bisiknya. Kemudian kelopak mata pria yang tengah berbaring itu terbuka perlahan, menunjukan mata coklat muda yang indah di baliknya. Aku mendesah penuh kebahagiaan.
“Dimana aku?” tanyanya.
“Jangan bodoh, kau di rumah sakit!” ujar Galang ketus. Namun aku bisa melihat ia berkali-kali menyeka air matanya. “Bodoh! Sekali lagi kau melakukan ini, aku akan benar-benar membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri,” ujarnya. kak Lolita menarikku mendekat. Mata coklat kak Sam melebar.
“Isabella,” desisnya.
“Ya, Isabella. Terkejut, hah?!” tuding Galang.
“Lita…” tangan kak Sam terulur untuk menyentuh tangan kak Lolita.
“Ah, Tidak lagi Sammuel, aku tidak lagi menyewakan istriku untuk menjadi pasangan palsumu lagi,” kata Galang seraya menarik sosok kak Lolita. Mata kak Sam langsung membulat marah.
“Sam, kami senang kau sudah siuman, kami pergi dulu,” ujar kak Lolita lembut sebelum berlalu pergi meninggalkan kami. Dokter Harun tersenyum tipis dan berlalu tepat dibelakang mereka.
Kak Sam melirik tangan kirinya yang dibalut perban, kemudian menatap keluar jendela. “Untuk apa kau disini?” tanyanya sinis. Aku meraba kerutan di antara kedua matanya, membuatnya sedikit terperanjat. “Isabella…” gumamnya pelan.
“Sstt…” aku meletakan telunjukku di bibirnya. “Kau tidak boleh terlalu banyak berbicara, kau harus beristirahat.” Kubelai lembut rambutnya. “Mengapa kau tidak pernah mengatakan kalau kau menyayangiku?” kak Sam terdiam sejenak.
“Aku tidak ingin membuatmu terluka ketika aku mati,” bisiknya. Aku tersenyum perih padanya. “Dan lagi pula, bukankah selama ini kau selalu mengharapkan memiliki seorang kakak seperti Lena?” tanyanya. Aku tertegun. Ia memang benar, selama ini aku memang selalu iri pada Lena yang memiliki kak Stefan untuk menjaganya.
“Maafkan aku,” bisikku.
“Aku sakit Isabella, aku mengidap hemophilia yang diturunkan oleh ayahku. Aku sakit, tapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Aku ingin melindungimu, tapi untuk menjaga diriku sendiri saja aku terlalu lemah. Aku senang melihatmu bahagia. Aku senang melihatmu tersenyum, tetapi ketika akhirnya kau kehilangan Lena, aku ingin berada di sampingmu, menjagamu, menenangkanmu. Tapi kemudian aku sadar, hal itu mungkin hanya akan membuatmu semakin sedih ketika akhirnya aku mati kelak. Aku…”
“Sttt….” Aku memotong perkataannya. Ia sudah terlalu banyak berbicara. Kuletakan keningku diatas keningnya. Membiarkan air mataku menetes diatas wajahnya.
“Aku tidak selemah itu, kau tau?” bisikku. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, tapi aku tidak akan bisa hidup tanpamu,”
“Isabella, tapi aku akan mati…”
“Berhenti mengucapkan kata itu. kita semua akan mati kak, kita semua. Hanya tidak tau kapan dan dimana. Mungkin saja setelah ini aku mati tertabrak mobil, atau…”
“Tidak…” potongnya. Aku tersenyum tipis.
“Aku menyayangimu,” kupeluk erat tubuhnya yang terbaring lemah. “Aku menyayangimu,” ulangku. Dan itu memang benar adanya. Aku pernah menyesal sekali karena kehilangan seorang sahabat, namun kali ini aku tidak akan kembali mengambil resiko untuk penyesalan yang kesekian kalinya. Tidak akan pernah!

                              *****
Aku tersenyum manis ketika melihat pelangi perlahan muncul di balik temaram warna senja petang itu. Di sampingku, kak Sam memejamkan matanya sesaat, kemudian menatapku penuh kasih. Ia mengencangkangkan rangkulannya dibahuku, membuatku semakin merapat kedadanya.
Aku senang mendengar suara detakan jantungnya yang berirama, aku senang menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, menikmati setiap desahan nafasnya yang teratur.
Sudah dua minggu kak Sam keluar dari rumah sakit, dan dengan rekomendasi dokter Harun, ia diperbolehkan meneruskan perawatan di rumah dengan aku sebagai dokter pribadinya. Tentu saja kami berdua menyetujuinya dengan senang hati.
“Izzi…” bisiknya, aku berdeham pelan. “Tidakkah kau ingin belajar melukis?” tanyanya. Aku melirik kanvas-kanvas yang bertebaran di sekitar sofa putih yang sedang kami duduki.
“Kurasa kanvasnya sudah penuh dengan wajahku,” gerutuku. Kak Sam terkekeh pelan, membuat gelombang lain di dadanya. Aku tersenyum tipis. “Lagi pula untuk apa aku belajar melukis jika kau sudah sangat pandai melakukan hal itu, kau bahkan bisa melukis wajah konyolku dengan sangat baik,” desisku sinis.
“Karena wajah itulah yang selalu kau tunjukan ketika bersamaku,” ujarnya tanpa basa-basi. Aku langsung mendongkak menatap wajah tampannya.
“Astaga! Kau melukai egoku!!” aku berpura-pura menatap marah kepadanya. Namun ia sama sekali tidak menanggapi amarahku. Ia menghela nafas panjang dan menatap sendu kepadaku.
“Isabella aku serius, kau tau… lukisan itu akan sedikit membantumu meredam rindumu kepadaku saat aku pergi nanti,”
Aku terdiam. “Jangan bodoh!” bisikku kembali menunduk, membenamkan wajahku kedadanya. “Jangan tersinggung, tapi aku tidak akan merindukanmu. Karena sampai kapanpun kau akan selalu ada di sampingku. Kau tau itu,” ujarku bersikeras. Kak Sam tersenyum dan mencium puncak kepalaku dengan sayang.
“Aku tau,” bisiknya.
“Oya kak, sejak kapan kau tau kalau Ethan dan kak Stefan itu…” aku tidak bisa meneruskan kata-kataku lagi. Mengingat hal itu membuatku benar-benar mual.
“Sejak Stefan berhenti menghubungiku,” jawab kak Sam santai.
Aku melotot menatapnya. “Kau??!” desisku tidak percaya.
Ia terkekeh. “Wajah konyol lagi,” gumamnya. Aku tidak peduli dengan wajahku saat ini, otakku terlalu sibuk mencerna kata-katanya.
“Jelaskan padaku, apa kau dan kak Stefan…” lagi-lagi kalimatku menggantung.
“Isabella dengar.” Ia menarik tubuhku kembali merapat pada tubuhnya. Aku ingin memberontak namun tangannya terlalu kuat. “Stefan memang menyukaiku, dia pikir aku tidak seperti pemuda lain yang suka berkelahi, atau berolahraga. Kau mengerti maksudku?” tanyanya. Aku mengaguk perlahan meskipun sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan. “Padahal aku hanya sedang melindungi diriku sendiri.” Bisik kak Sam. “Tapi dia selalu ingin melindungiku, menganggapku selemah itu,” ia mendesis jijik.
“Tapi kau masih berhubungan dengannya.” Tudingku. “Kau pasti mempunyai perasaan kepadanya,” bibirku bergetar ketika mengatakan semua itu. Namun aku tidak berani menatap wajahnya. Hatiku perih memikirkan semua kemungkinan menjijikan itu.
“Mungkin jika aku tidak mencintai gadis bodoh disampingku, aku sudah berpaling padanya,” guraunya. Aku mencibir.
“Bohong!” pekikku.
“Oh Izz… ayolah…”
“Buktikan!” teriakku keras. “Buktikan kalau kau lebih mencintaiku dari pada dia,” aku mendesis muak. “Kau tau, ini benar-benar memuakan! Tidak bisakah kau mencintai wanita lain??!! Mungkin itu lebih baik daripada aku harus bersaing dengan seorang pria untuk mendapatkan cintamu,” air mataku mulai tergenang. Kak Sam membulatkan matanya padaku.
“Isabella, aku akan membuktikannya sesegera mungkin, tapi bukan seka…”
“Buktikan saat ini juga. Atau aku akan pergi!” potongku. Kak Sam mengacak rambutnya kesal.
“Baiklah Isabella Kimberly, tapi kau akan menyesalinya suatu saat nanti,” bisiknya. Kemudian berlutut di hadapanku. “Nona Cheryl Isabella Kimberly, will you marry me?”
Aku terhenyak menatapnya tidak percaya. Ia mengeluarkan sebuah benda berkilau dari kantongnya. “Kak Sam… aku tidak bermaksud…”
“Jangan katakana kau akan menolakku sekarang. Atau mungkin kau sebenarnya menyukai wanita lain,” aku melotot kepadanya, kemudian ia terkekeh pelan. “Kalau tidak, maka buktikanlah!” aku menatapnya kesal.
“Perlu bukti, huh?!” tanyaku kesal. Kak Sam mengangkat bahunya tak acuh, seakan menyepelekan. Aku mendesis kemudian merengkuh wajah angkuh itu, menciumnya tepat di bibirnya. Aku tersenyum puas ketika melihat mata kak Sam terbelalak karena serangan mendadakku.
“Wow,” ia menaikan salah satu alisnya. “Well, cukup jelas, namun tetap saja aku tidak yakin sebelum kau mengatakan ya pada permintaanku,” ia mengangkat wajahnya penuh keangkuhan. Aku memutar bola mataku padanya.
“Tidakkah kau mengerti bahwa itu adalah sebuah kata Ya!” pekikku frustasi. Kini giliran kak Sam yang melongo. “Wow, wajah konyol itu…” bisikku. kemudian kak Sam kembali memperbaiki mimik wajahnya, menunjukan sisi dinginnya yang begitu tampan. Aku terkikik ketika ia merengkuh wajahku, meredam suaraku dengan bibirnya.
“Terima kasih,” bisiknya penuh cinta. 

the end

Kamis, 22 November 2012

HUJAN KEMARIN -17-


BAB TUJUH BELAS
Pelangi Hitam Putih


“Izzi…” aku terhenyak dan langsung menoleh. “Kau sudah kembali?”
“Hai kak,” sapaku. Kak Stefan tersenyum dan meletakan sebuket bunga mawar di atas pusaran adiknya. “Banyak hal yang sudah ku lewatkan,” bisikku. “Dan sekarang aku berusaha menebusnya,”
Kak Stefan tersenyum tipis, ia berjongkok di samping nisan Lena. membelainya lembut penuh kasih. “Kau tidak marah padaku?” tanyanya. Aku menatap jauh ketaman pemakaman itu dengan sedih.
“Aku tidak berhak untuk marah.” Bisikku. kak Stefan mendongkak, dan tatapan kami bertemu. “Lena sangat menyayangi kakak, bagaimana mungkin aku membenci orang yang disayanginya?” aku tersenyum tipis. “Aku harus pergi kak, selamat tinggal.”
“Izzi…” panggilnya. “Maafkan aku,” aku tersenyum dan mengaguk. Sudah dua tahun lamanya, dan aku mulai bisa berdiri dengan lebih baik. Aku bisa menjadi kuat sebagaimana yang dipintanya.
                              ****

Hujan hari ini cukup deras. Aku mengencangkan jaketku sebelum melangkah keluar pusat pertokoan itu. Merasa sudah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk sekedar berteduh, dan sialnya hujan itu tak kunjung berhenti.
“Isabella,” langkahku langsung terhenti ketika mendengar panggilan itu. Aku menoleh perlahan, dan melihat seorang wanita tersenyum dengan ramah kearahku.
“Kak Lolita?” tanyaku tak percaya. Kak Lolita mengangguk, ia berjalan kearahku.
“Masih hujan, apa kau harus segera pergi?” tanyanya. Aku menggeleng perlahan. “Mungkin kita bisa minum kopi dulu,” usul kak Lolita. Aku tidak tau apa yang kurasakan, namun entah mengapa sesaat kemudian aku mengaguk.
Kami berjalan beriringan menuju sebuah kedai kopi yang cukup ramai. Aku memandang kesekeliling, meja-meja kayu dengan kursi kayu yang sederhana namun begitu artistik, rak-rak cangkir hias dan menjadi dinding dalam kedai itu. kak Lolita menarikku kesebuah meja kosong di sudut ruangan.
“Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi,” ujarnya memecah keheningan. Aku hanya terdiam menatap cangkir kopi yang baru saja diantarkan pelayan ke meja kami. “Sudah empat tahun…” gumamnya. Matanya menerawang jauh kesekeliling kedai.
“Selamat,” bisikku tercekat. Kak Lolita memiringkan kepalanya ketika mendengar suaraku. “Selamat untuk kehamilanmu,”
“Ah…” ia tersenyum. “Terima kasih,” ujarnya seraya mengelus perutnya yang membesar. “Sudah hampir menginjak bulan kesembilan, tapi kau tau… ayahnya masih saja tidak ingin mengetahui hasil USGnya,” aku mengerutkan keningku tidak mengerti. “Ia selalu berharap mendapatkan seorang putri agar terlahir cantik sepertimu,” aku membeku.
“A…aku…”
“Sudahlah, hujannya sudah reda, kalau kau punya waktu senggang, sesekali mampirlah kerumahku. Suamiku pasti akan senang melihatmu,” ujar kak Lolita lagi. “Oya Izzi, apa kau sudah menikah?” tanyanya. Aku tersentak menatapnya, kemudian mengaguk perlahan. “Hm… ayo, hujan sudah reda,” ia kembali menatap keluar jendela. Aku mengangguk dan berdiri bersamanya, kami berjalan perlahan ke pintu kedai.
“Hai Sam,” sapa kak Lolita. Hampir saja aku terpeleset karena terkejut mendengar sapaan kak Lolita, namun kemudian sebuah lengan kekar meraih tanganku dan menahan bobot tubuhku. Aku terhenyak untuk beberapa saat. Menatap lurus mata coklat muda itu dengan rindu.
“Maaf,” bisiknya seraya membantuku berdiri. Kami terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya ia menatap kak Lolita kemudian turun ke perutnya. “Ayo sayang, sudah waktunya kau check up,”
“Sam…” kak Lolita merajuk. Aku memalingkan wajahku, merasa jengah menatap drama suami istri di depanku.
“Lita!” tegur kak Sam sedikit keras. Kak Lolita menatapnya marah kemudian berlalu masuk kemobilnya tanpa berkata apapun lagi padaku. Aku merasa air mataku mulai tergenang ketika kak Sam berdeham. “Kami harus pergi, senang bertemu denganmu… lagi…” bisiknya. Kucoba untuk tersenyum senormal mungkin, setidaknya inilah yang bisa ku lakukan sebelum akhirnya mereka berdua pergi.
                              ****
Aku menghela nafas panjang ketika keluar dari ruang oprasi, lagi-lagi oprasi otak yang memakan waktu kurang lebih 9 jam.
“Dok, ada yang mencari anda,” ujar seorang perawat. Aku mengerutkan keningku dan mengangguk. Setelah mengganti baju oprasi dengan baju biasa aku keluar dari ruang oprasi. Tatapanku tertuju pada sosok bertubuh besar yang duduk di depan ruang tunggu kamar oprasi. Ia mengenakan kaos putih dengan jins.
“Anda mencari saya?” tanyaku. Pria itu mengangkat wajahnya. “Galang…” desisku ketika melihat wajah tirus yang kini tampak lebih dewasa. Galang berdiri dan berjalan menghampiriku. Tanpa mengatakan apapun ia langsung menarik lenganku. Aku yang saat itu masih syok dengan keberadaannya sama sekali tidak bisa melakukan apapun. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku ketika ia mendorongku masuk ke mobilnya.
“Diam,” desis Galang, suaranya seperti seorang pembunuh yang tengah menagncam korbannya. Sontak saja aku langsung berpikir tentang sejuta cara untuk kabur dari dalam mobilnya. Namun Galang memacu mobilnya terlalu cepat, hingga tidak mungkkin jika aku melompat keluar dengan kondisi yang baik-baik saja.
“Kita mau kemana?” tanyaku setenang mungkin. Wajah pria disampingku mengeras. Matanya penuh kemarahan, dan sejujurnya itu membuat perutku bergejolak karena ketakutan. Aku ingin menangis, dan mulai mengutuki diri sendiri, aku bahkan aku tidak sempat membawa ponsel pribadiku, yang kubawa justru ponsel untuk urusan rumah sakit. “Galang, bisakah kau pelankan mobilnya?” tanyaku mulai merasa ngeri dengan kecepatan itu. Galang menggeram di sampingku, membuat tubuhku spontan menciut. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang sedang terjadi??
Setelah perjalanan panjang yang cukup singkat, akhirnya Galang menepikan mobilnya di depan sebuah bangunan besar yang ku anggap sebagai rumah. Halamannya tertata rapih dan minimalis dengan rumput yang dipotong secara teratur. Rumah itu memiliki dua lantai, dengan pintu ganda yang cukup besar dan berat. Tiang-tiang penopang didepan rumah itu di ukir sedemikian rupa hingga menyerupai ukiran-ukiran indah yang tak ternilai. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini sebuah museum atau rumah seni??
Lagi-lagi Galang menarik tanganku, kini ia tampak lebih tidak sabar. Ia membuka pintu ganda itu dengan mudah dan mendorongku masuk. Pada awalnya kupikir ia akan membawaku ke rumah atau gedung kosong, mengikatku di sebuah kursi dan mengancam akan membunuhku jika aku berteriak. Namun kemudian mataku terbelalak ketika melihat isi dari bangunan indah itu. Ruangan besar yang lebih pantas di sebut dengan studio. Tak ada furniture untuk rumah pada umumnya. Hanya sebuah sofa putih panjang dengan meja kopi kecil yang penuh oleh tumpukan kertas. Ruangan itu  sama sekali tidak memiliki pintu yang menunjukan adanya kamar. Semuanya terbuka begitu saja seperti sebuah aula besar. sebuah rak buku besar berdiri kokoh di sisi kanannya, di sampingnya sebuah grand piano berwarna putih tampak sedikit berdebu. Namun semua barang-barang itu sama sekali tidak mengejutkan jika di bandingkan sengan puluhan kanvas bergambarkan wajahku.
“Apa ini?” tanyaku tercekat. Galang berjalan perlahan kemeja kopi. Ia mengambil sebuah buku dan memberikannya padaku.
“Ingat ini?” tanyanya. Aku mendelikan mataku ketika melihat buku bersampul coklat itu. Isi buku itu sepenuhnya adalah puisi yang sangat indah. Aku mengerutkan keningku ketika mengingat potongan puisi yang dulu ku temukan di buku pelajaranku.
“Kau??” tanyaku tidak percaya.
“Ini semua milik Sam,” bisik Galang. Aku menatapnya tidak percaya. Kemudian Galang menunjukan namanya di belakang buku yang sedang ku pegang. Sammuel Mahardika, tertulis dengan tinta biru yang mulai memudar.
“Tapi ini semua tentangku,” bisikku seraya mengedarkan pandanganku kesekeliling ruangan itu. Seluruh ekpresi wajahku terlukis dengan sempurna. Tawaku, tangisku, kemarahanku, bahkan kekonyolanku.
“Ya, ini semua memang tentangmu,” gumam Galang di sampingku. “Menakjubkan bukan?” bisiknya. Air mataku menetes perlahan. “Tidakkah kau lihat betapa ia sangat mencintaimu?” tanyanya. Aku menggeleng perlahan.
“Tapi kak Sam sudah menikah dengan kak Lolita,” bisikku perih. Galang mendesah frustasi di sampingku, kemudian ia meraih bahuku, menatapku dengan sangat serius.
“Dengar Izzi, seharusnya aku mengatakan ini sejak dulu, sejak kita masih duduk di kursi SMA sialan itu, saat kau memergokiku membaca madding sekolah, sebelum akhirnya perkelahian konyol itu terjadi,” Galang berhenti sejenak. “Sammuel, sahabatku yang paling idiot itu, jatuh cinta padamu!” aku terhenyak, hatiku terasa sakit. “Dia mencintaimu sejak dulu Izzi, tapi dia terlalu angkuh untuk mengakuinya, dia terlalu takut akan kehilanganmu, dia takut kau akan menolaknya,”
Air mataku menetes perlahan. Memoriku kembali berputar tentang sosok angkuh yang selalu menatap sinis padaku. “Dia selalu ingin melindungimu,” Galang memalingkan wajahnya untuk sesaat. “Dan soal Lita, aku adalah suaminya, bukan Sam,” aku terhenyak, pusing dengan semua pengakuan Galang.
“Tidak, ini tidak mungkin. Untuk apa kak Sam melakukan ini semua?” aku memegang mundur beberapa langkah sambil terus menggeleng. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengerutkan keningku ketika melihat nomor ruang oprasi yang tertera di layarnya.
“Dokter oprasinya akan segera dilaksanakan, anda dimana?” suara suster Mel terdengar sedikit panik. Aku melirik jam tanganku.
“Ada apa?” Tanya Galang sedikit cemas.
“Galang, aku akan memikirkan hal ini nanti, tapi sekarang bisakah kau membawaku kembali kerumah sakit? Aku harus menggantikan salah satu dokter untuk melakukan oprasi sepuluh menit lagi,” tuturku. Galang mengangguk dan langsung meraih kunci mobilnya.
Di sepanjang perjalanan aku terus berdoa agar Galang tidak salah mengambil jalur, karena dengan kecepatan seperti ini, mustahil kami akan selamat jika tersenggol satu kendaraanpun. Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di rumah sakit. Meskipun sedikit mual namun aku tetap langsung berlari keruang oprasi yang terletak tepat dibelakang ruang UGD.
“Dokter Harun,” desisku ketika melihat sosok dokter tua itu sedang membaca sebuah berkas. Ia sudah siap dengan pakaian oprasinya. “Aku pikir dokter tidak akan masuk, jadi siapa yang akan menangani pasien apendik itu?” tanyaku, mulai merasa kesal dengan panggilannya. Aku bahkan mempertaruhkan nyawaku untuk sampai kesisni dengan cara menyetir Galang yang diluar batas normal.
“Pasien itu sudah ditangani oleh dokter Siska,” ujar dokter Harun sambil terus menatap berkas-berkas di tangannya. Aku melongo. Kalau memang ada banyak dokter jaga hari ini mengapa aku dipanggil seperti tadi?!
“Dokter Isabella, sekarang lebih baik kau bersiap-siap, kita akan melakukan oprasi pada korban kecelakaan,” ujarnya. Aku terhenyak. “Dia menaglami robek pada tendon lengan kirinya,” tutur dokter tua itu. Aku mengernyit, hanya sobek tendon lengan dan wajahnya sampai sekhawatir itu. “Suster, ambilkan lagi kantung darahnya, mungkin lima atau enam,” aku menatapnya tidak percaya.
“Dokter!” potongku cepat.
“Isabella, pasien ini menderita hemophilia,” terang dokter tua itu. Tubuhku membeku seketika. “Kau tau betapa beresikonya semua ini,” aku mengaguk perlahan. Dan sesaat kemudian sebuah ranjang didorong masuk keruang oprasi.
Deg…
Aku tersentak. Tubuhku membeku ketika melihat wajah pucat itu terbaring lemah dihadapanku. Air mataku menetes perlahan. Darah terus menetes dari lengan kirinya yang sudah di perban. Tubuhku melemas ketika sosok itu dibawa kedalam ruang steril. Aku ingin menggapainya, menahannya agai selalu ada bersamaku.
“Isabella,” dokter Harun menyentuh pundakku. Wajahnya terlihat cemas.
“Dokter, ini tidak mungkin,” isakku.
“Dengar nak, kau seorang dokter. Semuda apapun dirimu, kau tetap seorang dokter, kau tentu tau resikonya. Kau tentu mengerti tingkat keberhasilan oprasi ini. Tapi kita semua akan mencoba sebaik mungkin. Aku bersumpah. Tapi saat ini aku membutuhkanmu nak, aku butuh bantuanmu,” bahuku terguncang karena tangis yang tertahan. “Isabella, aku tidak tau apa hubunganmu dengannya, tapi ku mohon, tetaplah bersamaku,”
“Dokter Harun, biar saya yang menggantikan Isabella untuk oprasi ini, pasien apendik sudah mulai stabil, suster Maria akan menyelesaikan penutupannya.” Ujar dokter Siska yang sudah berganti pakaian steril yang baru.
“Aku akan ikut,” bisikku pelan.