Rabu, 27 Februari 2013

FEARLESS



“Mengapa kau tidak pernah mengatakan sebelumnya kepadaku?” tudingku sambil menyeruput jus alpukatku. Pemuda di sampingku menoleh dengan kerutan di keningnya.
“Mengatakan apa?” tanyanya dengan wajah polos. Aku mendengus, apa yang harus ku katakan?! Sial. Wajahku langsung memerah malu. “Mengatakan apa?” tanyanya lagi, dari mimik wajahnya aku bisa membaca dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ku katakan. Aku menghela nafas lelah dan menguatkan hatiku, toh aku sudah melalukan banyak hal yang memalukan selama ini, jadi mengapa aku harus ragu untuk menambahkan satu lagi kelakuan bodohku di hadapannya?
“Mengatakan bahwa kau mencintaiku.” Kataku tak acuh. Elvan tertegun, bibirnya membentuk senyum miring yang luar biasa indah. Kemudian dengan perlahan ia menoleh padaku, matanya menampakan kegelian dan kasih sayang. Membuat hatiku bergemuruh tak tentu arah. Hampir saja aku menjatuhkan gelas jusku ketika ia mendekatkan wajahnya padaku.
Lima senti lagi, dan wajah kami akan benar-benar menempel. Namun Elvan berhenti di sana, matanya mengunci mataku, tatapan gelinya masih memonopoli, senyuman jahilnya yang indah masih terukir, namun hembusan nafasnya yang lembut seakan menunjukan betapa ia sangat mencintaiku dengan cara yang tidak bisa ku ungkapkan.
Jangan menertawakanku! Tapi aku benar-benar merasakannya, entah bagaimana caranya, tapi aku tau jika ia benar-benar mencintaiku. Benar-benar menginginkanku, seperti aku yang takkan pernah bisa hidup tanpanya.
“Harus ku jelaskan atau ku buktikan?” tanyanya, dengan wajah yang masih lima senti dari wajahku. Ia tercium seperti tumpukan mint yang segar, dan cologne yang lembut namun memabukanku. Hati kecilku menjerit-jerit kegirangan. Namun otakku terus menampilkan poster-poster besar bertuliskan ‘Dia Musuk Kecilmu’.
“Aku bertanya ‘mengapa’ jadi kau tinggal jawab alasannya.” Ujarku susah payah. Susah payah dalam artian yang sebenar-benarnya. Dengan wajahnya sedekat itu, bagaimana mungkin aku bisa berbicara dengan tenang. Ia terkekeh. Ya Tuhan… bahkan tawa kecilnya –yang jelas-jelas menertawakanku- mampu membius tubuhku untuk kembali memajukan wajahku. Tanganku mulai gatal ingin merengkuh wajah tampannya, aku ingin membelai tulang pipinya yang kokoh, aku ingin menyatukan hidungku dengan hidungnya yang indah, aku ingin menempelkan keningku  dengan keningnya, mencoba merasakan asanya, berharap bisa membaca pikirannya.
Ia menarik wajahnya kembali, duduk tegak di hadapanku dengan wajah menghadap jendela besar di samping tempat duduk kami. Sejenak matanya tampak menerawang, keningnya berkerut, membuat wajahnya terlihat begitu berbeda dari yang selama ini selalu ku kenang dalam memori masa kecilku yang terbatas.
Sudah lima belas tahun, dan sosok pemuda di hadapanku tampak sudah banyak berubah. Tubuhnya terlihat memiliki perkembangan yang sangat baik, ia tampak sangat tinggi, mungkin 170 -180 aku tidak terlalu yakin. Wajahnya yang kekanakan kini sudah tergantikan dengan wajah penuh wibawa khas seorang eksekutif muda yang bekerja di pusat kedutaan besar. Namun, terlepas dari semua perubahan itu, ada banyak hal yang tetap sama dalam dirinya. Senyuman jahilnya, tatapan gelinya, candanya, bahkan tatapan penuh cintanya.
“Karena aku takut,” bisiknya pelan. Aku mengerutkan kening, mencoba memikirkan lagi apa yang tengah ia katakan. Suara music di kafe itu membuatku semakin kehilangan kata-katanya. Tawa teman-temanku yang tengah berbagi kisah selama mereka tidak bertemu sejak lima belas tahun yang lalu itu memperburuk keadaan. Aku tidak yakin dengan apa yang ku dengar.
“Takut?” tanyaku ragu. Ia menunduk dan menyapukan tangan kanannya kebelakang kepalanya, tersenyum kikuk sambil menatap lantai di bawah kaki kami. Aku mendengus tidak percaya. “Kau takut?! Sulit dipercaya!” desisku sinis. Ia mencibir dan menatapku dengan kesal.
“Kau itu adalah gadis kecil yang sangat menyebalkan, keras kepala, suka mengatur, dan jahil!”
“Hey tunggu! Itu seharusnya menjadi kalimatku!” ujarku balas berteriak. Elvan menaikan sebelah alisnya.
“Itu akan selalu menjadi kata-kataku. Karena selama ini kau memang gadis yang menakutkan, kau selalu membuatku ketakutan setengah mati! Kau selalu membuat tubuhku merinding!”
“Tapi aku bukan hantu!!”
“Aku tidak bilang kau hantu!” 
“Lalu mengapa kau takut padaku, hah?!”
“Karena setiap kali aku melihat foto kecilmu, aku takut tidak akan bisa bertemu denganmu lagi. Setiap kali aku memimpikanmu, aku takut akan terbangun dan kehilanganmu. Setiap aku meyakinkan diriku bahwa aku mencintaimu, aku takut semua itu hanya akan membuatku kehilanganmu!” teriaknya menggebu-gebu.
Mataku membulat menatapnya, mulutku ternganga, wajahku berubah-rubah warna bagai lampu disko yang sudah uzur, putih pucat – merah padam – merah merona – putih pucat.  Susah payah ku letakan lagi hatiku yang sempat jatuh menggelinding, kemudian kembali menatap matanya yang masih menyiratkan emosi dan setitik cinta yang aneh namun indah.
“Kalau kau takut kehilanganku, seharusnya kau tidak pernah membiarkanku pergi,” bisikku pelan. Dengan perlahan ia mengangkat wajahnya. Menatapku dengan pandangan tidak percaya. “Selama ini juga aku menyimpan sebuah ketakutan. Takut jika ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan.”
Lalu ia tertawa, Elvanku yang menawan namun menyebalkan lagi-lagi menertawakanku. Tapi aku selalu senang ketika ia menarikku kedalam pelukannya, membuatku merasakan gemuruh dadanya ketika ia tertawa. Aroma tubuhnya yang menyejukan membuatku ingin terus berada di sana, berada di dalam pelukannya.
“Bodoh! Ketakutanmu tidak beralasan!” katanya sambil mengecup puncak kepalaku dengan gemas dan penuh kasih. "Aku sangat mencintaimu Clara, bahkan sejak kita pertama kali bertemu, lima belas tahun yang lalu." ujarnya lembut dan sungguh-sungguh. Aku tersenyum tipis, untuk pertama kalinya aku tidak menyesali kedatanganku ke acara reuni bersama teman-teman SDku itu. 

LOVE REUNION



“Sialan! Kalau berani kesini kamu!” teriakku keras, mataku melotot pada sosok yang tengah menjulurkan lidahnya sambil menggoyang-goyangkan pantatnya bagai bebek buruk rupa yang benar-benar menjijikan.  Wajahku memerah karena marah, aku menghentak-hentakan kakiku yang telanjang, kemudian ketika ia telah pergi aku mendongkak, menatap sepatu olah ragaku yang tergantung di atas ranting pohon yang tinggi, lalu aku menangis.


Aku terkikik dan menggeleng-geleng ketika ingatan akan kejadian lima belas tahun yang lalu itu kembali menghampiriku. Wajahku akan memerah Karena malu pada diriku sendiri, betapa bodohnya aku sampai menangis ketika itu, mengapa aku tidak naik saja ke pohon itu, dan mengambil sepatuku. Mengapa aku malah menangis?
Well, mungkin saat itu aku sedikit lelah. Dia, pemuda kecil, brandalan sialan itu sudah sering menjahiliku. Dan mungkin aku sedikit lelah.
Aku mengangkat bahuku tak acuh pada memori itu, kemudian kembali mengaduk jus alpukatku yang mulai terasa hambar.
Sudah lima belas tahun lamanya, dan kini aku masih tidak bisa berhenti tersenyum ketika mengingat potongan-potongan kejadian menyebalkan yang tentu saja memalukan yang pernah kami lakukan bersama.
“Hey, kok melamun?” Tanya Mel sahabat masa kecilku. Aku tersentak dan langsung terbangun dari lamunan semuku akan masa lalu itu. Kemudian mulai kembali menapaki dunia nyata, ikut tersenyum menatap sahabat-sahabat semasa SDku yang tengah berkumpul setelah 15 tahun lamanya kami berpencar.
Jantungku berdetak kencang setiap kali pintu kafe tempat kami mengadakan reuni itu terbuka, dan sialnya aku mengharapkan sosok ia lah yang muncul. Memalukan bukan?

“Menungguku?” aku tersentak ketika mendengar suara itu, aku mengerjap dua kali ketika sosok asing yang luar biasa tampan itu duduk di hadapanku. “Wah… sudah lima belas tahun yah. Kamu sudah besar, tapi masih tetap sama,” katanya sambil menatapku lekat-lekat. Membuat wajahku memerah.  “Bahkan kamu masih memiliki rona lucu itu. Dan tatapan yang sama,”
Aku mendelikan mataku, apa-apaan dia, tatapan seperti apa? Aku bahkan tidak yakin siapa dia.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus.
“Well… jangan pura-pura mengelak. Kamu memiliki tatapan yang tidak pernah ku lihat dari gadis lain manapun selama ini. Dan setelah lima belas tahun ini, aku mulai mengetahui arti tatapanmu itu. Aku senang sorot matamu tidak pernah berubah,” ujarnya, kini lebih lembut. Aku mengerutkan keningku semakin dalam.
“Tatapan apa?” tanyaku singkat. Ia tersenyum tipis dan menatap lekat-lekat mataku.
“Tatapan yang menunjukan betapa bahagianya kamu melihatku, betapa inginnya kamu selalu bersamaku, sebenci apapun kamu padaku. Tatapan bahwa kamu-mencintai-ku.”
Aku tersentak kaget. Wajahku panas, dadaku bergemuruh penuh emosi.
“Maafkan aku, aku tidak menyadarinya, hingga hari ini. Ketika aku melihat tatapan matamu sekali lagi, aku ingin memastikannya, memastikan bahwa tatapanmu sama seperti tatapan mataku selama ini padamu, bahkan pada foto SD mu yang jelek,”
“Elvan!!!” teriakku keras.
“Hahahaha… maaf, aku mencintaimu,” ujarnya seraya menarikku kepelukannya begitu saja, membuat semua teman kecilku melongo menatap kami. Tom and jerry itu akhirnya bersatu, saling berpelukan dengan tatapan bahagia di wajah mereka.
Aku meringis perih, kemudian membalas pelukannya ketika menyadari betapa aku sangat mencintainya, dan mulai lelah menyembunyikannya.
 Untuk sejenak melupakan tatapan heran teman-teman SDku, yang perlahan namun pasti mulai tersenyum dengan tatapan mereka, seakan mereka sudah tau bahwa suatu saat nanti kami memang akan berpelukan seperti ini. :)


MR. RIGHT



Aku tidak pernah percaya pada kekuatan cinta. Toh kata-kata itu akan kehilangan kekuatannya cepat atau lambat. Lihat betapa banyaknya perceraian dari pernikahan-pernikahan berasaskan cinta. Lucu bukan? Bukankah dulu mereka saling mencintai? Lalu mengapa mereka berpisah saat ini?
Ups, jangan lupa, lihat kata ‘dulu’ di sana. J
Ya, aku masih tidak mempercayai kekuatan cinta itu hingga akhirnya aku bertemu dengannya. Dengan sosok tampan berkemeja biru yang memiliki senyum paling menawan di muka bumi ini, senyum yang ramah dan menenangkan. Aku bahkan langsung jatuh cinta ketika pertama kali tatapan mata kami bertemu. Dia bukanlah seorang pangeran, nope. Dia tidak memiliki kastil dengan prajurit berkudanya. Ia tidak menunggangi kuda putih yang berbulu indah, ia hanya pria biasa yang bekerja di kedutaan besar Indonesia. Ia memiliki punggung yang tegap dengan gaya berwibawa yang sangat membuatku tidak bisa lepas darinya.
Dan kisah cinta itu tidak berhenti di sana. Kami berkencan, setelah perkenalan yang sedikit memalukan. Tapi setidaknya kami bersama, berbagi canda dan cinta yang terasa begitu manis, berbagi luka dan perih yang menguras persediaan air mataku.
Aku mencintainya, dan mulai yakin atas kekuatan cinta itu. Aku menyayanginya bagai pantai menyayangi lautan. Aku membutuhkannya untuk membuatku tetap utuh dan hidup dalam suka duka di dunia ini. Aku sudah menetapkan sebuah keputusan besar dalam hatiku, bahwa dengannya lah aku akan menghabiskan sisa hidupku. Mencintainya sampa aku tidak bisa bernafas lagi.
Itu kisah tentang pangeran dalam versiku, pangeran tampan dalam mimpiku. Cinta pertama dan terakhirku. Namun ini bukan kisah dongeng, aku bukan seorang putri. Kisah hidupku pun memiliki berbagai liku yang menyayat hati. Seperti ketika akhirnya aku kehilangannya di hari itu… di hari berhujan yang begitu gelap…


Aku tersenyum manis dan mengecup sayang nisan tua di hadapanku.
“Moma, ayo pulang. Sebentar lagi hujan,” aku menoleh dan tersenyum pada putri cantikku. Tubuh tuaku bergetar ketika aku bergerak. “Lihat, moma terlalu lama berjongkok,” katanya lembut sambil membantuku berdiri. Aku kembali tersenyum.
“Tapi mom masih ingin berbicara dengan mantan kekasih mom,“ kataku pelan.
“Moma, kita masih bisa menemui ayah besok, sekarang ayo pulang.” Clara membimbing tubuhku melewati barisan makam-makam yang tampak sunyi. Aku tak kuasa menolak, hingga akhirnya aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal ‘sementara’ kepada pangeran hatiku, mantan kekasih terindahku, suamiku, ayah dari putri-putriku, kekuatan cintaku.
Kini aku benar-benar mempercayainya. Ya… kekuatan cinta itu, toh hingga saat ini, ketika tubuhku mulai ringkih karena usia, aku tidak pernah kehilangan cinta itu, bahkan hingga akhirnya ia meninggalakanku sepuluh tahun yang lalu.
Aku masih mencintainya, masih sangat mencintainya, dan akan terus mencintainya, selamanya. Pria terbaikku. 

Sabtu, 23 Februari 2013

Broken Soul




Kau tau apa arti kata terlambat? Aku tidak tau, padahal aku sudah membuka berbagai kamus untuk mencari pengertiannya, hingga hari ini, Sabtu 23 februari 2013, aku mulai mengerti apa arti kata itu. Tidak sepenuhnya, tidak juga terkesan benar dan formal, namun jelas memiliki arti yang sama.

Bagiku, terlambat itu adalah terluka, menghilangkan kesempatan, menghilangkan harapan, hingga akhirnya kau terpuruk dalam jurang aneh yang tak bisa tersentuh orang lain, hingga kau akan tetap berada di sana –tanpa bantuan.


Aku gadis dengan kerusakan emosional tingkat tinggi, seseorang mengatakan padaku jika semua kelakuanku diakibatkan karena egoku yang terluka, egoku yang merasa terbuang dan tersingkirkan, hingga membuatku menjadi gadis berkepribadian aneh yang sangat menyebalkan. Itu bukan kisah lama, semua orang menyadari kelainan dalam diriku, namun tidak semua orang mengetahui penyebabnya.

Aku akan mengacaukan seluruh hal yang ku sentuh, memecahkan berbagai Kristal harapan yang ku lihat, bahkan membunuh setiap titik kehidupan yang ku hirup.
Aku rusak. Aku hancur luar dalam, tapi kau tau, aku memiliki keahlian aneh dalam berakting. Aku bisa tampak begitu bahagia ketika hal yang sebenarnya aku ingin lakukan adalah melompat dari gedung tinggi saat itu juga.


Ketika kau membaca hal ini, kau pasti akan berpikiran aku adalah gadis dari keluarga yang berantakan. Tapi nyatanya kau salah, aku baik-baik saja.
 Atau mungkin kau benar?

Aku berantakan, seluruh tentang diriku adalah hal yang berantakan.
Tapi aku memiliki senyuman yang manis, yang dengan mudahnya memanipulasi mereka. Yang dengan mudahnya membuat mereka tenang, dan akhirnya tidak memperdulikanku. Semudah itu, dan aku terlupakan.


Begitu banyak pelangi indah di sekelilingku, namun yang kulihat hanyalah pelangi hitam putih yang semu dan memuakan. Yang akan memaksaku untuk merusak semua pelangi indah itu, dan tentu saja membuatku menyesalinya ketika akhirnya aku mulai kehilangan warna itu satu persatu. Seperti akhirnya aku kehilangan mereka… sahabatku.


Aku gadis memuakan dengan sikap manis yang menjijikan. Kau tidak akan pernah tau betapa inginnya aku membunuh sosok menjijikan dalam diriku itu, bagai benalu tak berotak, melingkar pada induk yang tak berhati.

Aku terluka, dan sebanyak apapun rasa manis yang ku kecap, pahit itu tidak akan pernah hilang.
Aku ingin mengibarkan bendera putih pada Tuhan. Menyatakan ketidak-sanggupanku untuk terus berdiri di atas panggung sandiwara ini. Tapi hanya orang bodoh yang akan melakukannya. Tuhan bisa melihat segala sesuatunya dengan sangat jelas, kau tidak perlu mengatakan apa yang ada dalam benakmu kepada-Nya, Ia sudah lebih mengetahui hal itu dari pada dirimu sendiri.
Menarik bukan.

Dan lalu aku mulai takut, ketika otakku mulai menutup-nutupi keinginan terbesarku, keinginan yang tanpa sengaja terukir dengan sangat jelas di sudut terluas di hatiku. Aku takut Tuhan akan mengetahuinya, aku takut… aku takut… jika akhirnya Tuhan mengabulkannya.

Aku takut jika akhirnya aku kehilangan keluargaku.

Aku takut jika akhirnya aku terlambat menyadari betapa berartinya mereka untukku…


Rabu, 20 Februari 2013

ADINDA


Matahari pagi menyinari wajahku, membawa ke hangatan yang merasuk ke dalam jiwaku. Pagi ini ku lewati seperti biasa. Berangkat ke kampus dan bertemu dengan banyak orang, mengerjakan berbagai tugas dan bertemu dengan beberapa dosen. Dari sekian banyak orang itu, ada satu orang yang sangat ingin ku temui.


Adinda

Paras cantiknya khas gadis yang berasal dari suku jawa. Kulitnya yang sewarna sawo matang selalu berkilau indah dan lembut beraroma kesegaran lotion yang ia kenakan. Matanya bulat indah dan bibirnya penuh seakan menggoda untuk di kecup. Hidungnya, Ya Tuhan, hidung itu... terbentuk sempurna seperti Kau memahatnya dengan khusus, tercipta hanya untuknya. Rambutnya lembut berwarna hitam, lurus dan panjang. Sesuai dengan apa yang ku suka. Tubuhnya mungil dan berkelok layaknya gitar spanyol.

Kau menciptakannya dengan begitu indah sehingga aku begitu menginginkannya.

Adinda selalu bermanja-manja denganku, menceritakan berbagai hal yang terjadi di kelas-kelasnya yang lain, memegang tanganku dan memainkan rambutku dengan jemarinya yang lentik. Tipe gadis yang ceria dan manis idaman semua pria. Gadis yang selalu menemani hari-hariku.

Ku lihat Adinda berlari kecil dari kejauhan, melambaikan tangannya padaku. Dia mengenakan kemeja berwarna cream dengan celana jeans hitam yang melekuk indah mengikuti bentuk kakinya. Rambutnya yang tergerai bergoyang seirama dengan langkah kaki kecilnya. Tak lama ia sampai di hadapanku yang sedang duduk di bawah pohon rindang untuk menunggunya di taman seperti biasa.  Ia duduk di sampingku dan menaruh tas dan buku yang di bawanya ke atas tanah berumput. Nafasnya terengah.

"Capek," eluhnya sembari mengambil kaleng coke milikku dan menyeruputnya begitu saja tanpa tedeng aling-aling.

"Siapa suruh lari?"

Ku lihat dirinya mengambil tissue dari dalam tasnya dan mengelap keringat di dahinya. Bibirnya berkerut. Sepertinya ia tak mau menjawab pertanyaanku.

"Mau kemana?" Ku coba untuk mengalihkan perhatiannya.

Namun dia menggeleng
Adinda memutar tubuhnya menghadap diriku, menatapku lama. Kemudian bibirnya yang manis mulai terbuka. Jelas, dia akan segera berkicau.

"Ky, aku ini lugu banget ya?"


Aku tersentak.

"Idih, narsis banget kamu!”

"Ihhhh, Lucky... Aku serius!!!"

Ku palingkan wajahku ke arahnya. Matanya bulatnya terbakar api, membara. Ku rasa ia benar-benar serius. Ku akui, Adinda memang lugu, tak pernah sedikitpun aku mendengarnya berprasangka buruk terhadap siapapun.

"Kenapa kamu nanya begitu?"

Bibir manisnya berkerut lagi, kali ini dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Nggak apa-apa sih. Cuma nanya aja," ucapnya sambil mengangkat kedua bahunya. Ekspresinya muram, wajah cantiknya tertunduk lesu. Jemari lentiknya memainkan gantungan telepon genggamnya.

Ku genggam tangan kirinya dan meremasnya perlahan. Ku tatap ke dua matanya dalam ketika ia memalingkan wajahnya ke arahku sekali lagi. Entah mengapa di saat itu, aku merasa kalau aku bisa mengerti apa yang ia rasakan di dalam hatinya. Ingin rasanya ku buat ia tersenyum kembali.

"Kenapa?" tanyaku sekali lagi sembari menatap ke dalam matanya.

Ia terlihat ragu namun sepertinya memutuskan untuk membuka mulutnya.

"Aku kan belum pernah ciuman."

Tawaku meledak saat itu juga. Aku bahkan tak bisa menghentikannya hingga tak terasa mataku mulai berair. Ketika sudah mulai lelah, ku lirik Adinda yang duduk dengan ekspresi wajah lucu karena marah. Gadis itu diam dan hanya menatap ke depan. Tak memperdulikanku yang menatapnya. Ku putuskan untuk memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana.

"Maaf, maaf. Aku kebawa suasana," kataku sambil meringis.

Adinda masih terdiam. Rupanya ia benar-benar marah.
Ku genggam tangannya, "Adinda."

Hening.


Ku perbaiki posisi dudukku dan bergeser mendekat padanya. "Adinda," panggilku lagi.
Ia memalingkan kepalanya, "Apa?" ketusnya yang malah membuatku geli.

"Jangan marah dong, Sayang," rayuku sambil meremas tangan kanannya. Adinda memasang wajah tak acuh. Masih terdiam memandang ke depan.

Angin semilir berhembus meniupkan rambutnya yang hitam terurai, melambai di depan wajahku. Aroma Strawberry dari rambutnya memenuhi paru-paruku. Membutakan mataku. Aku menelan ludah.

"Adinda." Ku dekati wajahnya. Nafasku berhembus menyentuh pipinya yang merona merah akibat marah dan malu.

Ia menoleh ke arahku. Wajah kami hanya berjarah beberapa senti saja. Namun, ia tak mau mundur. "Apa?" Masih ketus.

"Kenapa tiba-tiba kamu bilang begitu?"

Dia terdiam. "Aku... aku malu, Ky," di palingkan wajahnya.

"Malu? Malu kenapa?"

"Aku kan udah 20 tahun!" teriaknya. "Temen-temen aku juga selalu ngomongin tentang bibir pacar mereka. Tentang kemesraan mereka. Bahkan seks biasa mereka lakukan tuh!"

"Ini demi kebaikan kamu," jelasku.

"Kebaikan apa??? Aku kan cuma mau di cium! Ciuman! Kaya yang lainnya!"
Wajah Adinda masih saja cantik meskipun ia marah-marah. Rambutnya berkibaran mengikuti gerakan tubuhnya yang mencak-mencak. Pipinya masih memerah. Ku akui terlalu mengekangnya jika di umurnya kini ia belum merasakan ciuman. Ku lihat Adinda sudah menyandarkan tubuhnya, lengannya di silangkan di dada, pertanda marahnya yang belum reda.

"Jadi kamu mau di cium?" tanyaku dengan nada bercanda padanya.

"Indeed!"

"Kalau begitu, hadap sini," kutarik dagunya yang mungil dengan tangan kananku. Menghadapkan wajahnya sejajar dengan wajahku. Jantungku berpacu.

Semoga pohon rindang ini bisa menutupi tubuh kami dengan sempurna.
Perlahan ku dekati wajahnya, menghirup nafas yang ke luar dari bibirnya yang merekah. Ku tempelkan bibir kami, perlahan dan lembut. Bersentuhan. Kulihat mata Adinda terbelalak, terkejut akan langkah yang ku lakukan. Namun tak lama kemudian, ia memejamkan matanya, terlihat seperti menikmati tiap detiknya. Ku beranikan diriku untuk memagut bibir bawahnya, mengecap manisnya dan membasahinya. Lembut. Tak kan bosan aku mengecap bibirnya yang ranum.

Tak kusangka ia melakukan hal yang sama.

Adinda mengecap bibir atasku, memagutnya seperti anak kecil mengemut permen. Tangan kanannya ku sampirkan ke leherku. Adinda memainkan rambutku dan menarikku lebih mendekat. Nekat, ku paksakan lidahku masuk ke dalam rekahan bibirnya. Mempertemukan ke dua lidah kami. Hangat dan basah. Kecupan lembut sekonyong-konyong berubah menjadi French Kiss yang liar. Erangan kecil sempat sampai di telingaku. Erangan yang keluar dari bibir manis Adinda membuatku semakin bersemangat memagutnya.

Kami memisahkan diri karena kehabisan nafas. Jantungku berdetak sangat cepat seakan-akan ingin melompat keluar dari dadaku. Ciuman terbaik yang pernah ku rasakan sampai sejauh ini. Mungkin karena perasaan cinta.

Ku lihat Adinda yang rona di pipinya belum juga menghilang. Kini semakin cantik dengan kilatan basah di bibir mungilnya yang berwarna kemerahan. Dadanya naik turun menunjukkan bahwa ia sama bersemangatnya seperti diriku. Ku perhatikan matanya masih tertutup pasca ciuman dahsyat kami. Ciuman pertamanya, jelas.

Adinda membuka matanya dan mengalihkan wajahnya ke arahku, menatap mataku dalam. Seakan meminta lebih.

Tak ku lepaskan pandanganku darinya. Ku usap pipinya lembut dengan tangan kananku. Menyapukan ibu jariku di atas bibirnya yang masih basah. Tak sadar ku tenggelam dalam mata bulatnya yang indah. Tersesat di sana. Tak tentu arah.

"Adinda!"
Aku tersentak. Ku jatuhkan tanganku dari pipinya.

Seorang pria  muncul dari balik pohon kami. "There you are!"
Adinda tersentak, namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum manis dan merapikan semua barang-barangnya. Lekas ia berdiri dan membersihkan celananya dari kotoran yang menempel. Kemudian, dihampirinya pria itu.

"Aku berangkat ya, Ky!

"Iya. Hati-hati di jalan." Balasku cepat.

"Oke," Adinda tersenyum manis. "Kamu jangan lama-lama nongkrongnya!"

"Iya."

Adinda melambaikan tangannya padaku. Begitupun dengan Vino, kekasihnya. Mereka pergi menjauh dari pohon kami, bergandengan tangan.



CAHAYA CINTA -12-




Langkah Anna terhenti, bukan karena memang ia harus berhenti di sana, namun tubuhnya mendadak kaku, hatinya sedikit bergetar, dan entah sadar atau tidak ia tampak kehilangan jiwanya untuk sesaat, melanyang begitu saja, kemudian kembali hadir dalam sosok yang berbeda.
“Assalamu’alaikum,” bisik Anna pelan, membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menoleh kepadanya. Bagai slow motion dalam film-film aksi, detik-detik setelah itu tampak begitu lambat, seakan Tuhan sengaja meminta mereka kembali memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
“Walaikum salam,” Aisah yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya, namun tidak seperti biasanya, kini wajah tenangnya sedikit menghilang.
“Anna…” Amy yang sedari tadi mengamit lengan Zahra melepaskannya begitu saja, matanya terpaku menatap sahabat baiknya yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia berjalan tertatih melewati sofa-sofa di ruang tamu, matanya mulai berair karena kerinduannya pada sang rembulan selama ini. “Ya Allah Anna…” bisiknya tidak percaya. Ditatapnya lekat-lekat sosok cantik berjilbab biru muda itu penuh kasih.
Anna masih mematung di sana, berdiri-diam tak bergerak, meski hatinya tentu saja memberontak, meneriakan berbagai kata asing untuknya. Ia mulai merasa lelah, namun ia ingin berlari, meninggalkan seluruh kisah ini, meninggalkan kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya, berpura-pura tidak pernah mendengar kata-kata itu, namun tubuhnya membeku.
Ia mendengar suara sahabatnya, ia tau Amy sudah berada tepat di hadapannya, namun mata indahnya sama sekali tidak bisa terlepas dari sosok itu, sosok jangkung yang berdiri tepat di tengah ruang tamu, wajah tampannya begitu sulit terbaca, namun dengan jelas menampakan perasaan lega yang luar biasa. Di sampingnya Arya masih ternganga tidak percaya jika akhirnya ia bisa kembali melihat sosok indah itu menginjakan kakinya lagi di panti ini.
Anna merasakan dadanya mulai sesak, tatapan hangat pemuda itu entah bagaimana mampu membius dirinya untuk semakin tenggelam dalam jurang yang tidak pernah ia ingin sentuh lagi. Namun ia juga tidak ingin meninggalkan jurang itu, terlalu banyak harta karun yang tersimpan di sana, dan ia tidak ingin meninggalkannya, ia tidak ingin membaginya. Tatapan mata Raka mulai melembut, kemudian menyiratkan sebuah kepedihan yang tak terucap, begitu rapuh dan tak berdaya. Hati kecil Anna memberontak, ia ingin menenangkannya, ia ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia terhenyak ketika merasakan hatinya jatuh begitu saja dari tubuhnya, berlari mendahului raganya untuk memeluk Raka. Namun selangkah lagi hati itu sampai di tempatnya berdiri, sebuah batu runcing menghancurkannya, meremukannya dalam sekali gerakan. Seorang gadis cantik entah sejak kapan, berdiri di belakang Raka. Dengan perlahan ia menggenggam tangan kanan Raka yang membeku di sisi tubuhnya. Membuat Raka tersentak, dan langsung menoleh pada gadis itu.
Zahra tersenyum tipis, namun jelas matanya menyiratkan lebih dari hanya sekedar senyuman simpul yang sopan. Genggamannya semakin erat di jemari Raka, seakan menyentaknya untuk kembali ke dunia nyata, menghadapi kenyataan dan melupakan semua mimpi semunya.
“Anna…” bisik Amy pelan seraya menyentuh lengan atas gadis itu. Bagaikan robot, Anna menoleh dengan kikuk padanya. Amy menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis ketika melihat luka yang telukis jelas di kedua mata Anna.
“Maaf.” Bisik Anna pelan, kemudian dengan wajah dinginnya ia menatap ke arah Raka, lalu berpaling lagi ke arah Aisah. “Ummi maaf, ada yang ingin aku bicarakan,” ujarnya pada wanita tua itu.
“Ya Anna, kita bisa bicara di ruangan ummi,” ujar Aisah lembut, Anna tersenyum sopan dan mengangguk.
“Maaf mengganggu kalian,” bisik Anna, entah mengapa hatinya merasa sakit. Seakan merasa terhianati. Raka masih mematung dengan tangan Zahra di genggamannya. Matanya menatap sosok Anna yang berjalan pelan melewati ruang tamu, melewati mereka tanpa menoleh.
“Anna…” panggil Raka sesaat sebelum Anna masuk ke dalam ruangan Aisah di sayap kiri gedung tua itu. Anna terdiam sejenak. Hatinya benar-benar terasa sakit, ia ingin menoleh untuk melihat sosok pemilik suara itu, namun ia tidak yakin apakah ia bisa menahan sakit melihat sosok gadis lain di sisi Raka. Mampukah ia?
***
“Anna…” Hati kecil Raka langsung bersorak ketika panggilannya menghentikan gerakan Anna membuka pintu ruangan Aisah. Ia sudah tidak bisa menahan dirinya untuk tetap berdiri di sana, berdiri beberapa meter dari sosok yang sangat dikhawatirkannya. Ia hanya ingin memastikan Anna sudah benar-benar merasa lebih baik. Tubuh kokohnya mulai bergerak maju, namun remasan pelan dari jemari yang untuk sesaat ia lupakan ada di genggamannya, seakan menjatuhkan tubuhnya, menariknya bagai jangkar kecil yang memiliki kekuatan super, mengembalikannya pada kenyataan yang ada di depan matanya.
“Raka,” bisik Zahra di sampingnya, wajahnya sedikit pucat dengan tatapan mata yang memperlihatkan ketakutan dan jelas terluka, membuat Raka meringis pilu dan memaki dirinya sendiri. Sosok itu begitu ringkih, begitu rapuh di balik pribadinya yang pemberontak dan keras kepala, begitu butuh perlindungan. Dan jiwa Raka ingin melindunginya, ia ingin membimbing gadis itu menemukan cahayanya kembali, mengembalikan kepercayaan gadis itu sepenuhnya.
Remasan tangan Zahra kembali menyadarkannya dari segala pemikiran semu yang memenuhi otakknya, kemudian dengan perlahan ia kembali menatap sosok Anna yang kini sudah berbalik menghadap mereka, membelakangi pintu ruangan Aisah yang terbuka sedikit.
“Aku senang kau sudah lebih baik,” ujar Raka dengan senyuman tipis di wajahnya yang sendu. Anna membalas senyuman Raka dan mengangguk sopan, kemudian berbalik masuk ke ruangan Aisah. Hatinya benar-benar terpilin perih ketika melihat sorotan mata ketakutan dari gadis itu, gadis yang pernah ditemuinya beberapa waktu yang lalu, gadis yang memintanya meninggalkan Raka-nya.

Aisah sudah duduk di belakang meja tuanya ketika Anna mengambil kursinya, duduk dengan wajah tertunduk menatapi tautan jemarinya di atas pangkuannya, bagai bocah kelas lima yang ketahuan menyontek di ruang ujian. Hening untuk beberapa saat. Hingga akhirnya di menit ke-7, Anna mengangkat wajahnya ketika Aisah berdeham pelan.
“Ummi pikir kau ingin mengatakan sesuatu,” ujarnya lembut. Anna mengedarkan pandangannya ke sisi lain meja tua Aisah, dan mendapati sebuah undangan berwarna biru berada di tumpukan teratas kertas-kertas lainnya. Secepat kilat Anna menutup matanya, dan berusaha keras menjaga emosinya, melenyapkan seluruh pemikirannya tentang semua hal itu.
“Iya ummi, aku kesini untuk meminta Aisah. Aku bermaksud untuk mengadopsinya ummi.” Tutur Anna ketika bisa mengendalikan gemuruh jantungnya. Ummi tersenyum lembut penuh kasih. “Aku ingin menjaganya,” tambahnya pelan, dan ia tau itu adalah sebuah kebohongan. Bukan ia yang akan menjaga gadis kecil itu, tapi Aisah kecil lah yang akan menjaganya tetap berdiri di atas semua luka ini.
“Anna… Allah menciptakan makhluknya dengan sangat sempurna, begitu adil dan bijaksana dalam penempatan bagian-bagiannya. Begitu pula mata indahmu, mereka terlalu indah nak, terlalu jernih, hingga rasanya ummi bisa melihat segores luka yang kau sembunyikan dari setiap kata-katamu,” Anna terhenyak di kursinya. Kedua tangannya meremas bahan yang membungkus tubuh indahnya. “Ummi tau kita sudah lama tidak bertemu, tapi kau tetaplah putri ummi, gadis kesayangan ummi. Kau sudah banyak membantu panti ini, membantu bintang-bintang kecil itu. Ummi sangat mengenalmu Zainna. Ummi tidak memaksamu untuk bercerita pada ummi, mungkin itu adalah sebuah ketidak sopanan, tapi ummi sudah menganggapmu sebagai putri ummi sendiri, ummi menyayangimu, dan ummi juga terluka saat kau terluka—“
Tanpa berkata-kata lagi Anna langsung berlari memeluk sosok ummi, menumpahkan seluruh luka yang selama ini dipendamnya. Ia membenamkan wajahnya di atas pangkuan Aisah. Aisah tersenyum perih sambil terus membelai kepala gadis cantik itu, mata tuanya menerawang jauh menatap kelamnya malam yang tak berhias cahaya rembulan sama sekali. Pikirannya melayang, membuka kembali memori lamanya ketika ia menangis perih di balik pintu kamarnya, begitu terluka ketika melihat orang-orang itu membawa jasad suaminya yang sudah tak bernyawa.
“Ummi akan memanggilkan Aisah,” bisiknya pelan seraya terus membelai kepala gadis itu, membuat tangannya terlalu sibuk, bahkan hingga tidak bisa menghapus tetesan air mata yang mengalir dari mata tuanya.
***
Aisah kecil berjalan perlahan ke kantor Panti, sesekali ia memainkan ujung-ujung kerudungnya, bersenandung pelan sambil menghentak-hentakkan langkahnya, mengingat-ngingat nada yang tadi ia nyanyikan bersama Anisa di dalam kelas mereka. Ia tampak terlalu sibuk dengan lagu itu, hingga ia tidak menyadari wajah sendu ibu guru baiknya, ibu Amy yang terkenal tidak pernah bisa berhenti tersenyum ramah, yang kini tengah berjalan sambil menangis di sampingnya.
Ketika sandalnya menapaki lantai ruang tamu gedung kantor panti itu barulah ia tersadar, suasana tegang di dalam sana sampai membuat sosok gadis 8 tahun itu merinding tanpa alasan yang dapat ia mengerti. Aisah mendongkak menatap Amy yang masih mematung di sampingnya, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat mata cantik itu tampak basah. Baru saja Aisah ingin menyentuh tangan Amy, namun panggilan lain langsung mengalihkan fokusnya.
“Aisah,” Aisah menoleh pada asal suara itu, matanya menyipit untuk memastikan siapa yang memanggilnya, kemudian senyumannya langsung mengembang ketika mengenali sosok cantik berbusana biru itu, dengan cepat ia berlari memeluk Anna yang duduk di samping ummi Aisah di ruang tamu bersama Arya, Zahra dan Raka.
“Kak Anna, aku kangen!!!!” teriaknya penuh kerinduan, sedih sekaligus senang. Anna memeluk sosok mungil itu dengan sangat erat, ia baru tersadar betapa ia sangat merindukan anak-anak itu, bintang-bintang kecil terindahnya. Namun ia sudah menumpahkan seluruh air matanya di ruangan Aisah beberapa saat yang lalu, hingga kini ia hanya bisa memeluk erat sang gadis kecil.
“Kakak juga sangat merindukanmu sayang,” bisiknya lembut. Aisah melepaskan pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah cantik Anna. Ia membelai lembut pipi Anna, mata jernihnya menyiratkan cinta dan kerinduan yang luar biasa, membuat Anna merasa sangat menyesal karena telah meninggalkannya selama ini.
“Kakak kembali?” tanyanya lembut. Anna menggeleng perlahan.
“Kakak kesini untuk menjemputmu. Kakak ingin kau ikut pulang bersama kakak.” Belaian tangan Aisah langsung berhenti di kedua sisi wajah Anna, matanya membulat menatap Anna, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Apa kau mau sayang?” Tanya Anna lembut. Aisah memundurkan langkahnya beberapa senti, dengan kikuk melirik sosok ummi yang menatapnya penuh harap.
“Kau tidak bisa membawanya,” ujar Zahra tiba-tiba. Semua mata langsung tertuju padanya, menatap heran dan penuh Tanya. “Dia memiliki sahabat disini, Anisa.” Ujarnya lagi. Aisah kecil menundukan wajahnya, menatap lantai putih tak bernoda di bawah kaki kecilnya. Menghitung suara detakan jarum jam sebelum air matanya menetes.
Aisah menatap keponankannya dengan pandangan tidak percaya, bagaimana mungkin Zahra bisa berkata seperti itu. Tapi ia sendiri tidak bisa menyalahkan diri Zahra secara keseluruhan, gadis itu mengalami semacam kerusakan emosi yang tidak disadarinya. “Zahra kau tidak bisa berkata seperti itu,” tegur Aisah.
“Tapi itu benar adanya bi. Aisah dan Anisa bersahabat, ia tidak bisa datang begitu saja merebut salah satu dari mereka dan menghancurkan persahabatan mereka!” tutur Zahra tegas. “Sampai kapanpun mereka akan terus bersahabat.”
Tiba-tiba hujan turun cukup deras di luar sana, hingga membagikan sedikit aroma tanah yang begitu menyejukan.  Seorang bocah berlari tertatih melewati pekarangan yang menghubungkan kantor panti dan asrama putri. Nafasnya tersenggal-senggal ketika ia sampai di ambang pintu, kerudungnya sedikit basah karena menerobos hujan.
“Aisah, aku dapat ini…” ujarnya riang, matanya terfokus pada sosok Aisah yang masih mematung di depan Anna. Tangan kecilnya mengangkat sebuah buku kecil berwarna ungu muda. “Kak Anna?” tanyanya tidak percaya ketika melihat sosok cantik itu. Anna tersenyum ramah dan membuka lebar kedua tangannya untuk menyambut pelukan gadis berkerudung jingga itu. Ia tidak seantusias Aisah, namun tetap menyiratkan kerinduan yang sama dalamnya. “Kakak kembali?” tanyanya riang.
“Kak Anna kesini untuk menjemput Aisah,” ujar ummi pelan. Anisa langsung melepaskan pelukannya. Ia mengerutkan keningnya, menatap Aisah dan Anna dengan bingung. Kemudian wajahnya memerah menahan tangis, menunduk menatap ujung-ujung jari kakinya yang kotor terkena lumpur. Ia tidak berani menatap sahabat kecilnya yang berdiri hanya sejengkal di sampingnya.
“Oh, ya sudah kalau begitu aku pergi ke kamar dulu.” Ujar Anisa pelan, kemudian tubuh kecilnya berbalik menuju pintu.
“Anisa…” panggil Raka pelan. Anisa tidak mengentikan langkahnya hingga akhirnya Raka terpaksa menahan pergelangan tangannya. Ia menggeleng pada gadis kecil itu.
“Anisa sayang, tenanglah… kakak rasa, keputusan kakak kali ini tidak benar, kakak tidak bisa memisahkan kalian. Dan kakak memang tidak pernah berniat untuk memisahkan kalian, kakak menyayangi kalian berdua,” Anna tersenyum tipis, kemudian menghela nafas panjang. “Ummi,” katanya kepada Aisah. “Aku rasa sebaiknya aku pergi, Assalamu’alaikum, terima kasih untuk nasihat ummi.” Ujarnya seraya beranjak dari kursinya, dan berpamitan pada Arya, Zahra, Raka dan Amy yang masih membeku dan berkutat dengan segala pemikiran mereka masing-masing.
Anna mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas, matanya menatap hujan dari ambang pintu. Sosok-sosok di dalam ruangan itu masih terdiam. Hingga akhirnya seseorang merebut kunci mobil dari tangannya dengan perlahan. Anna tersentak kaget dan langsung menatap sosok tampan Raka yang berdiri di sampingnya.
“Aku akan mengantarmu, sudah terlalu larut. Kau tidak baik berkendara sendiri.” Tuturnya seraya terus menatap hujan, rahangnya yang keras tampak semakin kaku, menatap lurus pada tetesan air yang kian membesar itu.
“Kau tidak perlu mengantarku,” ujar Anna kikuk seraya melirik sedikit kebelakang, melihat Zahra yang berdiri dari sofanya. “Sudahlah, aku bukan gadis sembrono seperti dulu Raka,” ujar Anna seraya hendak merebut kembali kunci mobilnya.
“Tidak. Biarkan aku yang mengantarmu, aku bisa pulang menggunakan bis,” ujarnya begitu dingin dan angkuh. Anna langsung terdiam ketika mendengar nada suara Raka yang begitu dingin kepadanya.
“Biarkan dia mengantarmu Anna.” Tambah Aisah.
“Bibi…” desis Zahra, tampak tidak terima.
“Sudahlah, aku bisa pulang sendiri.” Ujar Anna mulai tidak tahan dengan seluruh scenario itu.
“Diam, dan masuk mobil. Aku akan mengantarmu pulang.” Raka mencengkram pergelangan tangan kiri Anna, menatapnya lekat-lekat, menegaskan seluruh makna kata-katanya. Membuat Anna kembali merasakan mual dari dalam perutnya.
“Tunggu kakak,” panggil Aisah. “Apa kakak bisa menunggu sebentar? Aku harus mengambil beberapa barangku di asrama.” Ujarnya dengan senyuman tipis di wajahnya yang cantik. Anna menatap sosok itu tidak percaya.
“Tapi… kau dan Anisa…”
“Kakak, kami akan tetap bersahabat. Ya walaupun kami tidak lagi tinggal sekamar,” ujar Anisa pelan, ia menyeringai pada sahabatnya.
“Ayo kakak bantu membereskan barang-barangmu,” ujar Anna setelah diam sejenak. Aisah tersneyum dan mengangguk senang.
***
Sudah sampai pertengahan jalan, dan suasana di dalam mobil itu masih tetap sama, tetap bersikukuh dengan kesunyiannya yang menyisakan kecanggungan. Aisah sudah tertidur di pangkuan Anna di samping kursi kemudi. Bocah 8 tahun itu meringkuk, menyandarkan kepalanya di leher Anna, menikmati kelembutan dan aroma sang rembulan. Anna sendiri tidak pernah mengalihkan pandangannya dari jalanan yang gelap dan basah. Tangannya memeluk erat sosok mungil di pangkuannya.
Raka menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, ia benar-benar tidak bisa menahan gemuruh hatinya. Menatap sosok mungil Aisah yang tengah tertidur di pangkuan Anna membuatnya mulai merasa frustasi. Selama ini, sejak kecil, ia selalu mengagumi sahabat kecilnya itu. Sosok Anna yang lembut yang baik hati jelas memikat hatinya. Namun selama ini ia tidak pernah ingin merusak persahabatan mereka. Ia hanya ingin melindungi Anna, memastikan ia akan tetap tersenyum, dan bahagia bagaimanapun caranya.
Kemudian, ketika akhirnya mereka sudah sampai ke saat-saat menuju kedewasaan mereka, Raka mulai tersadar jika ia memang tidak akan bisa hidup tanpa Anna. Namun saat itu, ia begitu munafik hingga menolak cinta Anna. Tapi sejujurnya, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Ia hanyalah pria buta yang tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya pria biasa, begitu berbeda dengan calon suami yang sudah dipersiapkan untuk Anna oleh bibinya.
Impian Raka tidak pernah berubah; membahagiakan ibundanya dan menjadi orang yang berguna. Dan ketika ia tau jika ibunya sangat menyayangi Anna, ia sudah bersumpah untuk menjaga Anna. Ia bahkan pernah bermimpi memiliki keluarga kecil yang manis bersama Anna, duduk memegang kemudi, melewati jalanan gelap yang basah diserbu hujan, dengan Anna duduk di sampingnya, memeluk erat putra atau putri mereka, hanya seperti yang sedang mereka lakukan saat ini.

Raka menggeleng perlahan, menertawakan pemikiran konyolnya. Ia memarkirkan mobil Anna di depan rumahnya. Hujan sudah lama berhenti, hingga hanya menyisakan tanah yang basah. Raka bergegas keluar dari pintunya, kemudian membukakan pintu Anna. Gadis cantik itu menggeleng perlahan ketika Raka berniat menggendong Aisah yang masih tertidur. Akhirnya ia hanya membawakan tas-tas berisikan pakaian Aisah.
Anna langsung membawa Aisah ke kamar yang sudah di persiapkannya. Merebahkan tubuhnya dengan perlahan, dan mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Kemudian kembali ke ruang tamu untu mengambil tas Aisah yang ada bersama Raka. Namun langkahnya terhenti di ujung anak tangga teratas ketika ia mendengar keributan dari lantai bawah, dengan perlahan ia menjulurkan lehernya untuk melihat apa yang terjadi di sana. 
PRANG.
Anna terhenyak ketika mendengar suara barang pecah, yang ia yakini adalah guci besar di ruang tamu. Kemudian di susul suara-suara aneh lainnya, suara pukulan, terjatuh, tendangan, suara perkelahian. Matanya mendelik ketika melihat Raihan melemparkan tendangan telak kepada Raka.
“Raihan hentikan!” teriak Darmawan. “Kau tidak bisa melakukan ini kepadanya!” tambah kakek tua itu.
“Hah?! Bukan kepadanya? Lalu kepada siapa? Kepada tubuh tuamu itu, hah?!” tuding Raihan. Kemarahannya tampak begitu jelas dari nada suaranya. “Dengar kakek tua! Kau tidak akan pernah bisa melakukannya! Kau tidak akan pernah bisa menggantikan kak Alan dengan siapapun! Kau tau itu?!! Kau bukan Tuhan. Kau tidak bisa menentukan kapan kak Alan akan mati!!” teriaknya lagi. “Dan sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal buruk padanya!”
“Kau tidak mengerti.”
“Apa yang aku tidak mengerti hah?!!!” Tanya Raihan penuh emosi. “Oh, benar juga. Aku memang tidak pernah mengerti cara pikir orang busuk sepertimu. Kau bahkan tega mempersiapkan pengganti cucumu yang belum meninggal. Demi Tuhan, kau benar-benar brengsek.”
“RAIHAN!”
“Jangan kau anggap aku tidak mengetahui apapun tentang rencana busukmu, kakek tua. Kau sengaja memilih pemuda itu sebagai mengganti Alan di perusahaan dan sekaligus mewakili sekolah itu. Sebuah jabatan yang hanya bisa diberikan pada keluargamua, bukan orang asing sepertinya. Dan lucunya lagi, kau juga mempersiapkannya untuk menjadi pengganti suami Anna. Cih!”
Anna merasakan hatinya remuk. Kepalanya mulai berdenyut-denyut penuh duri dari kenyataan itu.
“Bahkan kak Alan belum mati… belum mati… belum…” Raihan menggeleng-geleng sambil jalan mundur perlahan.
Anna menggenggam erat pembatas tangga yang terbuat dari kuningan untuk menyeimbangkan tubuhnya yang mendadak lemah tak berdaya. Ia menatap tiga pria yang masih tersulut emosi itu dengan pandangan nanar penuh luka, merasa sepenuhnya terhianati.
“Pergi.” Desis Darmawan. Raihan tertawa keras dan mengangkat kedua tangannya.
“Kau lihat itu Anna?! Lelaki tua ini sudah merencanakan semuanya, ia bahkan menyiapkan pengganti kak Alan sebagai suamimu.” Teriak Raihan lagi.
BUG.
Raka melayangkan sebuah tinju tepat di pelipis Raihan, membuat pemuda itu tersungkur jatuh. Raihan menatapnya jijik seraya kembali berdiri.
“Cukup! Ku mohon, hentikan semua ini. Ku mohon…” pinta Anna, mulai terisak. Ia sudah muak melihat tetesan darah yang muncul dari setiap luka. Tatapan mata Raihan melembut menuh rasa bersalah ketika matanya bertemu mata Anna. “Pergilah…” bisik Anna penuh keperihan.  Dan tanpa mengatakan apapun Raihan berlalu pergi.
Anna menyeka air matanya, dan dengan cepat berlalu untuk mengambil kotak obat. Luka di pipi dan bibir Raka harus segera di bersihkan atau itu akan menyebabkan infeksi. Anna menarik tubuh Raka agar mau duduk di hadapannya, dengan telaten ia membersihkan luka Raka dan mengobatinya. Ia tau Darmawan duduk di sofa tidak jauh dari sofa mereka.
“Apakah yang dikatakan Raihan itu benar kek?” Tanya Anna seraya mengoleskan obat pada luka terakhir Raka. Darmawan terdiam, tampak bingung dengan jawabannya sendiri. “Kakek…” bisik Anna tanpa melihat sosok kakeknya di belakang. “Apa benar kek?” Tanya Anna.
“Anna kakek hanya ingin kau bahagia. Maafkan kakek sebelumnya karena tidak memeberi tahukan hal ini kepadamu,” suara tenang Darmawan mendadak hilang, ia terdengar begitu gugup dan takut. Anna menutup kotak obatnya dan membereskan seluruh peralatannya, berjalan perlahan ke rak berpintu kaca di dinding sebelah kiri ruang tamu, meletakan kotak obatnya di sana. Kemudian terdiam sejenak.
“Kakek tidak suka meliatmu selalu bersedih, dan kakek tau kau juga mencintai Raka, kakek ingin kalian bersama.”
Setetes air mata menghiasi sudut-sudut mata indah Anna.
“Kakek,” bisiknya pelan. “Raihan benar, kakek bukan Tuhan. Kakek tidak bisa membuat scenario dalam kehidupan ini, dalam kehidupanku dan kak Alan.” Ujarnya lembut, kemudian berpaling menatap Raka yang masih membisu. “Terima kasih sudah mengantarku.” Ujarnya sambil mengangguk santun, kemudian berjalan menaiki tangga.
“Tapi kalian saling mencintai.” Ujar Darmawan ketika Anna menapaki anak tangga ke tiga.
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada pria yang akan menikah dengan gadis lain kek,” Bisik Anna. “Assalamu’alaikum.”
 ***