Minggu, 02 Februari 2014

RAINY TEARS 2

Secangkir kopi, dan seberkas cahaya matahari.

Aku menghirup dalam-dalam udara kota Bandung yang selalu menyegarkan. Mengosongkan paru-paruku kemudian mengisinya kembali dengan oksigen yang baru, seakan tidak pernah puas pada kesegaran itu, satu-satunya hal yang membuatku tidak pernah rela meninggalkan kota ini terlalu lama, bahkan meski pangerang tampan itu yang memintaku pergi dari kota ini.  

Rasa dingin yang mengalir dari benda mungil di jemariku kembali menggelitik hatiku. Aku membuka mataku dengan perlahan, dan sebuah senyuman manis terukir begitu saja. Wajahku akan kembali memerah, seakan benda yang melingkar cantik di jari manisku memang membawa aliran listrik yang bisa menyengat tubuhku hingga memerah.

Semburat kemilau cahaya mentari pagi yang mulai naik, mengintip di balik dedaunan pohon cemara yang tertanam di depan rumahku. Aku tersenyum manis, kemudian menyesap kopiku dengan perlahan. Kabut-kabut yang menutupi perkebunan teh mulai menyingkir, tertiup oleh angin yang berhembus ke utata.

Calon pengantin ndak boleh melamun pagi-pagi seperti ini. tegur seorang wanita paruh baya dengan kantung belanjaan di tangannya. Aku tersenyum tipis, mungkin wajahku sedikit merona, karena ia langsung terkekeh pelan. Waktu bibi pertama kali menikah, bibi juga merasakan perasaan yang sama sepertimu, sering tersipu-sipu sendiri. selorohnya sambil berjalan melewatiku yang tengah duduk di beranda rumahku. Ia membawa kantung belanjaan yang berisikan sayur mayur itu ke dapur. Meletakannya di atas meja dapur, dan mengeluarkan semua isinya di meja. Meski terlihat tua, namun bik Asih masih selalu cekatan. Tangan kirinya meraih panci yang tergantung di dekat ventilasi udara, mengisinya dengan air kemudian meletakannya ke atas kompor yang sudah menyala.

Yang pertama? tanyaku dari beranda depan, aku sedikit menaikan suaraku agar ia mendengar perkataanku.

Ya, yang pertama. Jawab bik Asih sambil terus sibuk memotong-motong buncis dan wortel yang sudah selesai dikupas. Aku menjulurkan kepalaku ke ambang pintu, menontonnya memasak dari tempatku duduk.

Memangnya, mang Husain itu suami bibi yang keberapa? tanyaku dengan lugu. Bik Asih menghentikan gerakan memotongnya yang lincah untuk sesaat, menghela nafas panjang, kemudian melanjutkannya lagi.

Yang ketiga, jawabnya ketika memasukan potongan sayuran itu ke dalam panci, aku tidak yakin apakah air di dalam panci itu sudah mendidih atau belum, karena aku sama sekali tidak melihat uap di atas panci itu. Tanpa sadar bibirku membulat, membentuk kata Wow tanpa suara. Bibi belum cerita yah ke neng? tanyanya, ia mengelap tangannya pada dasternya, membuatku mengernyit kikuk. Suami bibi yang pertama pergi, cerai. Tidak ada tanda-tanda kesedihan yang tampak dari suaranya, dan ia memang terlihat sangat santai, seakan yang sedang ia ceritakan adalah kisah nina bobo untuk Indah, putri bungsunya yang duduk di kursi SMP.

Cerai? bisikku pelan, penasaran akan kelanjutan ceritanya. Mungkin di saat-saat menjelang pernikahan seperti ini, seluruh hal tentang pernikahan itu sendiri selalu menarik perhatianku lebih banyak. Termasuk dengan kata perceraian itu. Kenapa? tambahku.

Bi Asih termenung sejenak, meski tangannya masih terus mengaduk panci di hadapannya. Ya bukan jodoh aja neng, jawabnya, terdengar sedikit tak acuh. Aku menghela nafas panjang, kemudian kembali membetulkan posisi dudukku. Dengan perlahan aku memutar-mutar cincin yang melingkari jari manisku, termenung pada kata-kata pembantu rumah tanggaku. Jodoh sejauh mana aku dan pria itu berjodoh Tuhan???

Biip

Aku tersenyum ketika mendapati ponselku bergetar, pesan selamat pagi dari sosok yang paling ku cintai. Aku tidak tau sejauh mana aku berjodoh dengannya, bukankah masa depan tidak untuk kita yang menerka, cukup menjalaninya dengan sepenuh keyakinan, lalu hidup di dalamnya dengan senyuman.

Hembusan angin pagi membuat beberapa helai kertas di hadapanku hampir saja berterbangan. Dengan sigap aku menjaga kertas-kertas sketsa itu agar tetap berada di atas meja. Belakangan, aku jadi lebih sering membuat sketsa gaun pengantin, meskipun gaun pengantinku sendiri sudah selesai dibuat sejak beberapa minggu yang lalu. Namun hal ini membuat kakek semakin semangat untuk menyuruhku membuka butik gaun pengantin juga di samping butik-butik gaun malamku yang sudah memiliki cabang di beberapa tempat di bandung dan Jakarta.

Neng, sudah siap pergi? sapa mang Husain, suami dari bik Asih, dengan logat sundanya yang lembut. Aku tersenyum dan mengangguk. Mang Husain membantuku memasukan sketsa-sketsaku ke dalam tas, dan membawakannya ke mobil yang sudah terparkir di depan rumahku. Tadi kakek neng telepon, katanya besok beliau akan langsung berangkat dari Surabaya. Ujar mang Husain di perjalanan kami menuju butikku. Aku mengerucutkan bibirku, kesal pada ulah kakek. Ia pasti akan menelepon mang Husain dalam keadaan-keadaan seperti ini, karena ia tau, kalau meneleponku, itu berarti harus bersiap menerima rengekanku yang memintanya untuk segera pulang ke Bandung.

Jalanan Bandung pukul 7 pagi di hari kerja memang tidak pernah mengecewakan. Aku menatap deretan perkebunan yang membentang di sisi kanan dan kiriku. Menyapa beberapa orang yang ku kenal dengan lambaian tanganku. Aku bisa melihat mang Husain tersenyum  tipis karena tingkahku yang menurut pengakuannya tidak pernah berubah sejak aku berumur 8 tahun.

Di hari pernikahan neng, pasti banyak tamu yang datang, ujar mang Husain dengan senyuman di wajahnya.

Aku menyandarkan kembali punggungku di kursi penumpang, ikut tersenyum mendengar kata-katanya. Bagus dong mang, semuanya memang harus datang. Gumamku sungguh-sungguh.

All dressed in white, pastel and pink,
With something borrowed and something blue.

Aku kembali tersenyum setelah menuliskan kata-kata itu di samping sketsa gaun pengantin kesukaanku. Sempurna, akankah aku mendapatkan pernikahan yang sempurna itu?



Baru saja aku akan keluar dari mobilku ketika ponselku bergetar, telepon dari Alexa, salah satu teman kantor tunanganku.

Ya Lex, sapaku dengan riang, sedang otakku mulai mengingat-ngingat apakah dia sudah masuk ke dalam daftar tamu undanganku.

Nafas Alexa terdengar memburu di sebrang sana, membuatnya sedikit sulit mengatur suaranya, tapi bukan itu yang membuat otakku mendadak kosong, melainkan kata-katanya yang akhirnya bisa ku dengar, dan ku pahami dengan lebih jelas. “An..dreas kece…laka…an!

Deg.

Duniaku berhenti, Tuhan sudah merebut kehidupanku, mencabut jiwaku dengan gerakan yang tak bisa terelakan lagi. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba kembali memfokuskan pikiranku pada kata-kata Alexa, namun telingaku hanya berdengung kencang, membuatku sesak. Aku mencengkram ponsel di telingaku dengan sangat erat, membuat jemariku memerah. Air mataku menetes deras, membuat mang Husain panik bukan main. Ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan kasar, namun aku tidak bisa menjawab panggilannya, terjebak dalam genangan luka itu.

Terjebak dalam ketakutan itu.

***


Kakek? aku menatap kakek dengan pandangan nanar. Entah bagaimana ia sudah berada di rumah sakit lebih cepat dari pada aku, namun aku sama sekali tidak memikirkan waktu untuk menimbang kemungkinan bahwa selama satu minggu ini ia memang menipuku dengan mengatakan bahwa ia sedang berada di Surabaya. Tapi aku benar-benar bersyukur dengan keberadaannya saat itu, aku benar-benar butuh pelukan hangatnya untuk menenangkanku.  Andreas kek…” isakku lirih di pelukannya. Ia mengangguk pelan, membelai punggungku penuh kasih. Mata tuanya tampak basah, mungkin turut menangisi mimpi putri kecilnya yang hancur berkeping.

Tenang sayang…” bisiknya di telingaku. Semuanya akan baik-baik saja.

Aku mempererat pelukanku, mencoba meyakini kata-katanya. Semuanya akan baik-baik saja…” namun hatiku berhianat, ketakutan itu terlalu nyata. Dan aku tidak ingin kehilangannya! Aku tidak rela!!

Tante Monika, ibunda Andreas merangkul pundakku dengan penuh kasih, wajahnya yang selalu tampak muda itu terlihat begitu sedih. Bukankah mereka selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja? Lalu mengapa semua orang yang tengah berdiri di depan ruang oprasi itu berwajah muram?! Tidakkah mereka meyakini kata-kata mereka sendiri?!

Seorang gadis sebayaku berlari-lari kecil menuju ruang tunggu. Sepatu hak tinggi yang selalu ia kenanakan sama sekali tidak memperlambat langkahnya. Dari jarak pandang lima meter, ia sudah membuka tangannya, dan langsung memelukku dengan sangat erat ketika bisa mencapai tempat dudukku. Kamu baik-baik saja?! Astaga! Aku baru aja dapat beritanya, mereka bilang Andreas kecelakaan dengan tunangannya, aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandanganku. Ya Tuhan Andreas dia benar-benar melindungimu, syukurlah kamu baik-baik aja. Bagaimana keadaannya sekarang? Cindy, gadis cantik yang menjadi kepala butik-ku di Jakarta mendongkak untuk melihat tante Monika, menanyakan keadaan Andreas yang kami sendiri belum tau. Kamu tenang saja sayang, ini adalah salah satu cobaan dari Tuhan menjelang pernikahanmu, tapi semuanya akan baik-baik saja. Percayalah. Ia melepaskan pelukannya dan menatap kedua mataku yang kini menatapnya penuh tanya. Untuk beberapa saat kami hanya bertatapan, mencoba mencerna seluruh kisah itu dengan lebih seksama lagi, mencoba untuk mengerti dengan apa yang tengah Tuhan tuliskan di antara kami.

Aku bisa melihat mata gadis itu sedikit melebar, jelas terkejut pada sesuatu yang mungkin kini hadir di kepalanya, sebuah penjelasan lain yang tidak bisa ku baca. Air matanya mulai tergenang, ia menggeleng perlahan, matanya menunjukan ketidak percayaa pada sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.  Bukan kamu? gumaman itu begitu pelan, mungkin ditujukan untuk dirinya sendiri,  namun aku terlalu dekat dengannya hingga mustahil rasanya bila aku tidak bisa membaca gerakan bibirnya dengan sangat jelas.
Cindy langsung kembali berdiri, tampak syok dengan kenyataan yang dihadapinya sendiri. Aku bisa merasakan hatiku yang sudah hancur berkeping kini tersiram air garam, perih bukan main. Bahkan kini air mata itu terasa lebih panas dari pada yang pernah ku bayangkan sebelumnya.

Bukan aku?

***


Bapak Andreas tidak mengalami kecelakaan tunggal, dia bersama tunangannya ketika bus itu menabrak mobilnya. Dan bapak Andreas melindungi tunangannya dengan tubuhnya sendiri, hingga ia hanya mengalami beberapa luka ringan. Keterangan dari perawat yang ku temui secara diam-diam itu kembali terngiang jelas di telingaku. Hembusan angin petang yang menyelinap masuk dari jendela kamar rawat inap itu menyapu wajahku yang membeku. Mataku nanar menatap langit yang mulai menguning. Bagai pemutaran film, kepalaku dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang terangkat kembali. Membuatku merasakan dadaku semakin sesak, namun akhirnya aku menyerah, karena pada akhirnya aku tidak bisa melakukan apapun.
Sekarang tunangan bapak Andreas ada di ruangan perawatan,  aku ingin berlari ke ruangan perawatan saat itu juga, menampar siapapun yang sudah berani-beraninya merebut tunanganku. Memaki siapapun yang sudah dengan bengisnya membuat tunanganku seperti ini, seseorang yang sudah merusak mimpi indahku!!

Dan sekarang di sanalah aku, duduk dengan wajah membeku, menunggu Tuhan mencabut jiwaku untuk menghilangkan seluruh rasa perih ini. Gadis di hadapanku masih memejamkan matanya ketika aku datang. Dua jam berlalu, kini aku bisa melihat jemarinya perlahan bergerak. Dengan perlahan kelopak matanya mulai membuka, ia memicingkan matanya karena cahaya matahari petang yang menyilaukan. Setelah mulai terbiasa dengan cahaya itu, matanya mulai terbuka lebar, dan pandangannya langsung tertuju kepadaku. Untuk sesaat aku hanya terus memandang langit dari jendela kamarnya, menunggu saat-saat kemarahanku mengambil alih jiwaku. Namun tampaknya, tangis selama berjam-jam itu sudah menghabiskan kekuatanku.

Pandangan kami bertemu, saling mengunci satu sama lain, sedang otak kami sibuk merangkai kata yang tak akan pernah bisa terucap. Bertepatan dengan itu, seorang perawat mengetuk pintu dengan perlahan. Ia mengangguk santun dan berjalan mendekati kami. Bu, ini milik tunangan ibu. Katanya sambil mengulurkan sebuah cincin berwarna putih yang begitu familiar dimataku, kepada gadis yang tengah berbaring di hadapanku. Aku merasakan sengatan benda yang melingkari jari manisku sendiri semakin menyakitkan, seakan ia memang berniat untuk meremukan jari-jariku.

Sakit itu kembali menghujam dadaku, menusuk-nusuknya hingga memecahkan seluruh rusukku. Tangan perawat itu masih terulur dengan cincin di atas telapaknya, kami beruda hanya terdiam. Lelah pada kenyataan itu. Maaf, tapi tunangan ibu tidak bisa diselamatkan.” Ia meletakan cincin itu di atas meja kecil di samping ranjang pasien, kemudian keluar dari kamar itu tanpa sepatah katapun, mungkin memberikan waktu untuk sang tunangan meratapi kematian tunangannya sendiri.

Air mata itu kembali menetes, perih acap kali mengingat kenyataan pahit itu. Aku lelah menangis, namun rasanya air mata itu tidak pernah bisa berhenti menetes. Kehilangan orang yang kau cintai, bukankah itu sangat menyedihkan. Mimpiku mendadak sirna, menghilang tak berbekas. Hanya menjadi kenangan menyedihkan semata. Dan rasa rindu akan sosoknya membuatku seakan terbelenggu dalam sakit. Menyesali seluruh kenangan yang tidak akan bisa kembali ku miliki, hari-hari indahku bersamanya.

Gadis di hadapanku menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya, air matanya mulai menetes. Membuatku semakin tak berdaya pada kenyataan itu.

Ia menangis terisak, dadanya bergerak tak beraturan karena kerasnya tangis itu. Seperih itukah? Seperih itukah ia atas kematian tunanganku?!

Seekor burung pipit hinggap begitu saja di jendela kamarnya, lalu kembali terbang ketika angin sore berhembus lebih kencang, menerbangkan gorden-gorden putih yang membingkai manis jendela rumah sakit ternama di kota Jakarta itu. “Maaf gue nggak seharusnya menghianati lo, bisiknya dengan perlahan, masih terisak sesenggukan di atas ranjangnya.

Tidak… tidak bisakah dia berpura-pura kalau ini tidak pernah terjadi? Tidak bisakah ia mengelak, agar semuanya menjadi lebih mudah untukku?

Aku tersenyum miris. Namun bibirku masih membeku, tidak bisa mengatakan apapun.  Li…” panggilnya lebih lirih.

Aku menghela nafas panjang, kemudian mencoba tersenyum lebih tulus lagi, namun setiap gerakan yang ku lakukan hanya membuat dadaku semakin sakit. “Gue seneng lo baik-baik aja,” bisikku, entah tulus atau tidak.  “Di kursi belakang mobilnya ada bunga ini. aku memberikan sebuket bunga mawar yang sudah lusuh itu kepadanya. Bunga itu terbungkus kantung plastik, yang sengaja ku ambil dari tangan para polisi yang entah ingin membawanya untuk apa. Ini pasti buat lo, ia menggeleng, bibirnya perlahan itu bergerak, mungkin hendak mengelak. Win, bisikku sebelum ia berbicara. “Please… kalau Andreas membawakan ini buat gue, itu tandanya dia sama sekali nggak mencintai gue,” bisikku dengan isakkan yang tertahan. “Gue masih Lily yang sama Win. Lily yang memiliki alergi pada serbuk bunga.” tanpa sadar aku mencengkram erat bunga itu, membuat plastic yang menutupinya berbunyi gemerisik. “Dan gue masih berharap kalau dia mencintai gue… setidaknya, sedikit…”

Li… dia sayang lo,” ia menyentuh tanganku dengan perlahan, namun aku langsung menarik diriku menjauh. Bibirku bergetar, menahan emosi yang memenuhi relung hatiku.

“Kalau dia cinta gue, itu tandanya lo yang menghianati gue.” Gadis itu terdiam mendengar kata-kataku, membuatku menyerah pada kenyataan yang menyakitkan itu. “Besok pemakamannya, datanglah.” Bisikku, bersiap pergi, kemudian memutar kursi rodaku. “Tapi Win, seharusnya lo nggak setega itu… merebut pacar sahabat lo yang lumpuh ini. aku terdiam sejenak di depan pintu kamarnya. “Karena sekarang gue nggak yakin, bagian mana yang lebih menyakitkan, kematian Andreas atau penghianatan lo…” Kata-kataku melayang begitu saja di ruangan itu, tepat sebelum aku keluar dari kamarnya.

Dan tangis yang sudah ku tahan sejak tadi itupun pecah begitu pintu di belakangku tertutup. Aku terisak keras, mungkin Winda bisa mendengar suara isakkan tangisku dari dalam sana, namun aku tidak peduli lagi. Aku lelah! Aku hanya ingin semuanya kembali!!! Kenapa harus aku yang mengalami semua kisah menyakitkan itu?! tidakkah Tuhan puas dengan membuatku lumpuh seperti ini?! Mengapa harus tunanganku… sahabatku… dan kematian itu?!

Aku mencintainya Tuhan! Aku berjanji akan menutup mataku pada penghianatannya, aku bahkan rela membagi cintanya dengan sahabatku sendiri, asalkan Kau mengembalikannya kepadaku.

Aku masih menangis keras ketika kakek datang bersama seorang perawat, mereka berlari-lari di sepanjang lorong. Tapi meski akhirnya pelukan itu sampai padaku, aku masih tidak bisa berhenti menangis, walaupun sejujurnya aku sendiri tidak terlalu yakin untuk apa aku menangis saat itu. Apakah karena kematian tunanganku, atau karena penghianatan sahabatku sendiri?

Tapi pada akhirnya, kedua hal itu sama-sama menghancurkan mimpiku. Menghancurkan hidupku.

***

Baby why'd you leave me
Why'd you have to go?
I was counting on forever,
now I'll never knowI can't even breathe

It's like I'm looking from a distance
Standing in the background
Everybody's saying,
he's not coming home now
This can't be happening to me
This is just a dream

-Carrie Underwood - Just A Dream

Sabtu, 01 Februari 2014

RAINY TEARS

  
I  can do it, sure. Thanks sir.

Klik.  Aku mendesah ketika akhirnya bisa menutup telepon yang sejak tiga jam yang lalu tidak juga berhenti berdering. Jam dinding di ruangan kerjaku sudah menunjukan pukul 5 lewat tiga menit. Jam kerjaku sudah selesai dari tiga menit yang lalu. Kulirik jam yang melingkar di tanganku, sekedar memastikannya sama dengan waktu di jam dinding itu.

Belum pulan Win? aku hampir saja melompat karena terkejut akan suara itu. Hahaha lebay deh lu, makanya jangan bengong aja! Yuk pulang bareng gue, tawar Marcel, salah satu staff accounting di perusahaan tempatku bekerja. Aku menjulurkan lidahku kepadanya. Malas menjawab pertanyaan basa-basinya. Oy Win... besok itu imlek, kantor libur, ngepain juga lu lembur.

Justru karena besok libur makanya gue mau lembur sekarang! teriakku dari balik komputerku. Tapi tentu saja itu tidak benar, aku sudah sangat lelah seharian berhubungan dengan bertumpuk-tumpuk berkas di mejaku. Belum lagi atasanku yang entah bagaimana beberapa hari belakangan ini semakin rewel menyuruh ini dan itu.

Hahaha bohong! Seumur-umur Winda kerja di sini, dia nggak pernah lembur! aku melotot pada Resti, salah satu teman kantorku yang sudah berkeluarga. Ia menyeringai lebar sambil mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V, ketika berjalan melewati mejaku.

Suasana kantor yang sedikit bising membuatku mulai pening, kelelahan. Orang-orang tampak sibuk membereskan barang-barang mereka, bersiap menikmati liburan weekend yang cukup panjang karena ditambah imlek. Aku kembali menyandarkan punggungku ke kursi, mencoba beristirahat sejenak sambil menunggu orang-orang pulang terlebih dahulu. Aku paling tidak suka jika harus berdesakan di lift. Khawatir jika kelebihan muatan maka lift itu akan ambruk seperti yang kulihat di film-film thriller. Konyol bukan?!

Seorang gadis cantik dengan rok pensil selutut berjalan mendekati mejaku. Ia sudah membawa tas di pundaknya. Lo pulang sama Andreas? tanyanya. Aku mendongkak untuk melihat wajahnya.

Abis mau pulang ma lo, lo pasti pulang sama Galang. Jawabku sekenanya. Ia tersenyum tipis, mungkin sedikit tidak nyaman dengan jawabanku. Kami satu kontrakan, satu kantor, jadi sudah pasti satu arah. Tapi kami tidak pernah bisa pulang atau pergi bersama. Sejak bekerja di gedung 16 lantai itu, Mia sudah berpacaran dengan Galang, supervisor di perusahaan elektronik di lantai dua. Mereka sudah seperti suami istri, hanya saja tidak tinggal di satu rumah yang sama. Udah sana pulang duluan, gue gampang. Supir bajai masih numpuk. Tambahku. Risih karena pandangannya.

Serius lo dijemput Andreas nggak? tanyanya. 

Aku mendesah, apa pedulinya? 

Kalau lo nggak dijemput Andreas, gue pulang bareng lo aja. Biar aja Galang pulang duluan.

Dan dia akan membunuhku. Aku menggeleng tegas, Udah sana pulang!!! Iya gue dijemput Andreas! aku mendorong bahunya dengan buku-buku di tanganku.

Oke, awas yah kalau lo bohong. Kalau Andreas nggak jemput lo kabarin gue.

Terus lo mau ngirimin helicopter ke sini? tantangku. Ia tertawa.

Ya nggak, palingan gue kirimin abang ojek di gang kontrakan. Jawabnya sambil terus tertawa. Aku melambaikan tanganku, ikut tertawa bersamanya. Namun tentu saja itu sama sekali tidak menyentuh mataku. Aku sedikit lelah. Bukankah sudah ku katakan?

5.40. Keadaan kantorku sudah mulai sepi, hanya ada aku dan seorang pria berumur 40 tahunan yang tengah membersihkan sampah. Ia tersenyum dan mengangguk santun ketika matanya bertemu dengan mataku. Untuk beberapa saat aku hanya berdiri di depan jendela, memandang hujan yang belum juga mereda sejak siang tadi. Mungkin ketika sampai di kontrakan aku akan melihat serentetan berita banjir lagi. Lalu besok aku akan menemui macet yang lebih parah lagi.

Lelah dan lelah. Bahkan membayangkannya saja aku sudah lelah.

Bipp bipp.

Aku tersentak ketika merasakan ponsel di saku celanaku bergetar. Sebuah harapan akan sinar matahari kembali hadir. Dengan cepat aku membuka pesan itu, berharap nama Andreas tertera di sana. Tapi ternyata si ratu bawel, Mia.

From : Mia Bawel
-udah pulang belum lo?-

Sebenarnya aku malas membalasnya, tapi jika lebih dari lima menit tidak membalas, dia pasti akan meneleponku. Dan urusannya akan semakin memusingkan kalau dia sampai cemas.

To : Mia Bawel
-Sebentar lagi-
Sent

Jawabku singkat, dan secepat tetesan hujan menyentuh raya, sms balasan dari Mia pun tidak harus menunggu lama.

From : Mia Bawel
-Andreas belum datang?-

Aku menghela nafas panjang, kemudian kembali menatap hujan dari balik jendela besar gedung itu. Jalanan utama di depan gedung perkantoranku tampak lenggang, padahal mungkin beberapa ratus meter di sebelah kanannya, mobil sudah tidak bisa bergerak, macet mengitari bundaran HI.

Belum pulang bu? aku menoleh, pak Darwo nama office boy itu. Sudah pukul 6 kurang dua menit, memang sedikit aneh jika aku tetap berada di tempat yang sepi itu. Oh, nungguin jemputannya yah? tanyanya sambil tersenyum bijak.

Aku tersenyum simpul, Nungguin hujan reda, ujarku, bapak tua itu melirik hujan dari balik bahuku, kemudian mengangguk.

Saya ada payung, kalau ibu mau pakai, bisa saya ambilkan. Tawarnya.

Aku bisa melihat itu adalah sebuah penawaran yang sangat tulus. Orang-orang seperti mereka terkadang memang lebih tulus dalam melakukan suatu kebaikan. Tidak seperti orang-orang yang biasanya memenuhi ruangan tempatku berdiri saat ini. Setiap waktu yang dipikirkan hanya bagaimana caranya untuk mencari perhatian sang bos, lalu naik jabatan, dan naik gaji tentunya. Ah Indonesia!

Bapak tua itu masih menunggu jawabanku dengan sapu di tangannya ketika akhirnya aku menggeleng, toh sebenarnya aku juga membawa payung di dalam tasku. Di tengah cuaca seperti ini, payung seakan menjadi benda premier di Jakarta. Bahkan tidak jarang aku menemukan penjual payung dadakan di jembatan-jembatan penyebrangan. Memanfaatkan keadaan, tentu saja.

Nggak usah pak, jawabku sambil tersenyum. Kemudian berjalan ke mejaku, mengambil tasku yang memang sudah bertengger rapih sejak tadi. Saya pulang duluan pak, pak Darwo tersenyum ramah dan membalas salamku dengan riang. Ah entah kapan aku bisa kembali tersenyum seriang itu.

Aku berjalan ke lift dengan langkah pelan, menatap lantai di bawah kakiku dengan malas. Ketika pintu lift akhirnya terbuka, aku mendesah lelah melihat kekosongan di dalam sana. Bagaimana kalau aku kena serangan jantung di dalam lift dan tidak ada satu orang pun yang tau?

Aku menoleh kebelakang, mencari pak Darwo, mungkin dia tidak akan keberatan jika memintanya menemaniku sampai ke lantai bawah.

Kamu tidak akan masuk?

Aku kembali tersentak kaget ketika mendengar suara di belakangku. Entah mengapa orang-orang di sekitarku senang sekali mengagetkanku akhir-akhir ini. dengan cepat aku membalikan tubuhku, bersiap memuntahkan kekesalanku kepada siapapun yang seenaknya mengagetkanku. Namun nyaliku langsung menciut ketika melihat siapa yang berdiri di belakangku.

Pak, sapaku sambil menundukan wajahku dalam-dalam. Gugup sekaligus malu karena hampir saja aku melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada atasan dari atasan - atasannya- atasanku itu.  

Sosok tegap itu tidak menjawab sapaanku sama sekali, dan aku memang tidak mengharapkan apapun. Tapi besok pasti Mia dan Resti akan iri setengah mati karena aku bertemu dengan satu-satunya the Most Wanted Man di gedung itu. Sebenarnya menurutku ia tidak terlalu menarik, well... terlepas dari wajah blasterannya yang memang mengagumkan, dan kekayaannya yang pasti tidak akan habis tujuh turunan, tapi sikapnya yang sangat teramat dingin dan terkesan misterius membuatku muak sendiri. Dia kan masih manusia, apa pantas 
dia bersikap seangkuh itu pada manusia yang lain?!

Tapi sialnya, karena sikapnya yang misterius dan sulit ditemui sosoknya kerap menjadi subjek perbincangan hampir semua perempuan di tempatku bekerja. Bahkan mungkin dia sudah menjadi sosok dalam imajinasi liar setiap wanita di kantorku. Tapi untukku, ia hanya pria biasa, tampan memang, namun tetap tidak bisa menandingi pangeran hatiku.

Aku berjalan memasuki lift tepat beberapa langkah di belakangnya, kemudian bersandar di bagian belakang lift, tidak memiliki nyali untuk berdiri di sampingnya.

Bipp... bipp.

Sebuah pesan baru kembali masuk. Hatiku langsung kembali berdesir, berharap bahwa pada akhirnya nama pemuda itulah yang akan tertera di sana. Tapi nihil, itu sms yang kesekian kalinya dari Mia. Aku memasukan kembali ponselku ke dalam tasku tanpa membuka pesannya. Aku bisa memberikan alasan kalau sedang di mobil, dan deringan ponselku sama sekali tidak terdengar ketika kami bertemu nanti di kontrakan.

Ketika pintu lift akhirnya terbuka aku sudah lupa dengan siapa aku berada saat itu, tanpa kata-kata basa basi lagi, aku langsung berjalan ekluar lift mendahuluinya. Ketika mendapati tetesan hujan di luar sana semakin bertambah deras, hatiku kembali mencelos.

Aku melirik gedung tinggi di sebrang jalanan besar di depan kantorku. Gedung itu tidak seperti gedung perkantoran di kawasan ini, mungkin pemiliknya seorang kristiani karena terdapat dua patung aneh di gerbangnya. Arsitekturnya bisa terbilang sangat unik untuk seukuran kantor, tidak membosankan seperti gedung-gedung kebanyakan yang dilapisi kaca-kaca gelap yang mendominasi wilayah itu.

Langit sudah benar-benar gelap karena mendung yang tak kunjung hilang. Aku mengangkat bahuku, mencoba mengabaikan perasaanku sendiri. kemudian dengan langkah gontai aku berjalan keluar kawasan kantor, menuju halte terdekat, menunggu sesuatu yang bisa membawaku sampai ke kontrakanku. Sekali lagi aku meraba ponsel di kantung depan tasku, khawatir bergetar dan aku tidak menyadarinya. Namun tampaknya ponselku masih tetap terdiam, bersembunyi di balik dinginnya hujan.

Sebuah mobil mewah berwarna silver melaju cukup cepat tepat di sampingku, membuat air yang tergenang di sana menciprati celana hitamku. Aku mengumpat pelan, namun kemudian hanya bisa mendesah lelah. Ah percuma juga aku mengutuki nasibku, toh semuanya tidak akan selesai dengan umpatan itu. Kursi di halte itu masih basah karena hujan, dan membuatku terpaksa menanti bis yang lewat sambil berdiri.

Tubuhku sedikit menggigil ketika hembusan angin yang membawa tetesan hujan menyerbuku. Well, hari ini bisa menjadi salah satu hari terdingin di sepanjang eksistensi hidupku. Aku melirik gedung kantorku di balik halte, apa aku harus berbalik dan meneduh di sana? Tampaknya halte ini tidak cukup memadai untuk sekedar berlindung dari serbuan hujan yang bersekutu dengan angin kencang.

Tanganku sudah mulai membiru ketika jam di tanganku sudah menunjukan angka 7 malam. Sepertinya karena banjir dimana-mana jalanan menjadi macet, alhasil aku tidak bisa menemukan bis yang bisa ku naiki hingga ke tempat kontrakanku berada. Hujan masih terus turun, namun tidak sederas tadi. Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku sendiri, mencoba menghalau hembusan angin malam yang semakin menusuk tulang-tulangku.

Ponselku kembali bergetar, aku mendesah, telepon dari Mia. Baru saja aku akan memasukan ponselku kembali ke dalam tasku, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku. Aku melongo bingung, kemudian melirik ke kanan kiri, mencoba mencari seseorang yang bisa mendengar suaraku jika aku berteriak dari tempat itu. Ketika jendela di depanku di turunkan, aku tidak tau haruskah aku merasa lega atau sebaliknya.

Sosok di dalam mobil itu menatapku dengan pandangan tajam, seakan menghakimiku. Dan tentu saja itu membuatku semakin menciut di matanya. Mungkin sekarang aku hanya sebesar kutu kucing di dekatnya. Dan sebentarlagi akan kembali bertransformasi menjadi amoeba, tak akan terlihat tanpa alat bantu canggih.

Ia hanya menatapku untuk beberapa saat, namun aku bisa membaca banyak hal dari matanya, well mungkin ini hanya halusinasiku saja, tapi aku merasakan sebuah kemarahan pada tatapannya. Masuk. Katanya dengan nada memerintah. Aku melirik jam tanganku, saat ini sudah di luar jam kerja, aku tidak berkewajiban mengikuti kata-katanya. Melihatku yang hanya termenung bodoh di samping mobilnya, membuat kilatan marah di matanya semakin terlihat jelas.

Aku masih tertegun tak bisa bergerak, bingung dengan apa yang harus ku lakukan sekarang, hingga teguran sosok misterius itu kembali memecahkan Kristal lamunan di dalam benakku. Cepat masuk! gertaknya marah, namun sepertinya tubuhku memang membeku. Sekali saja aku bergerak, maka tubuhku akan pecah berantakan.

Tiba-tiba sosok itu keluar dari dalam mobilnya, kemudian berjalan memutari bagian depan mobilnya dengan sangat cepat. Fuck! ia mengumpat ketika menyentuh bagian lengan bajuku yang basah padahal aku masih membuka lebar-lebar payungku. Sepertinya angin benar-benar sukses menerbangkan tetesan hujan itu.

Ia membuka pintu penumpang untukku, merebut payung itu dari tanganku, melipatnya kemudian mendorong tubuhku dengan kasar untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku ingin menolak, tapi lidahku kelu. Aku kedinginan, dan aku baru menyadarinya ketika mendengar gemeretuk gigiku sendiri.

Tetesan air membatasi sebagian rambut dan bahu kemejanya, namun sosok itu sama sekali tidak kelihatan terganggu. Ia menjulurkan tangannya ke bagian belakang mobil, menarik jasnya yang tergantung kemudian menyerahkannya kepadaku. Kamu menggigil. Katanya sambil memberikan jas itu kepadaku.  Aroma lembut dari jasnya membuat kepalaku sedikit terbuai, mencair dengan perlahan. Ponselmu, tegurnya lagi. aku melirik layar ponselku yang berkedip, kemudian dengan perlahan menempelkannya ke telingaku. Aku tidak memiliki alasan apapun untuk tidak mengangkat telepon dari sahabatku itu.

Win!!!!!! Gue dilamar!

Bukankah seharusnya aku bahagia mendengar kebahagiaan sahabatku? Tapi yang kini ku rasakan adalah sebersit rasa iri yang tak terelakan. Mengapa semua orang di sekelilingku tampak sangat mudah menemukan pendamping hidup mereka, sedang aku, sejak awal aku masih sendiri. Terus berpura-pura bahwa aku  bahagia dalam kesendirianku, hingga datang pemuda itu.

Pemuda yang sejak 3 jam lalu ku tunggu di bawah guyuran hujan.  

Astaga! Gue nggak percaya akhirnya dia ngelamar gue Win! teriak Lily, sahabatku sejak SMA.

Dia cinta lo, jadi itu pasti terjadi. Jawabku dengan perlahan. Gigiku masih mengeluarkan suara gemeretuk setiap kali tubuhku menggigil.

Tapi rasanya masih nggak nyangka. Besok tanggal merah, gue ke tempat lo yah?! Ada banyak hal yang mau gue certain. Aku tersenyum simpul, nah... satu lagi gunanya teman, wadah menumpahkan seluruh keluh kesah, senang atau sedih.

Sip, gue tunggu. Jawabku pelan. Lily masih mengatakan beberapa kata lain sebelum ia menutup teleponnya, namun aku sudah sama sekali tidak bisa mendengarnya. Terlalu sibuk dengan segudang mimpi dan pertanyaan-pertanyaan bias tentang kapan aku akan berteriak kepadanya, mengatakan seperti yang ia katakan beberapa saat yang lalu. Aku dilamar!

Sedetik setelah aku menutup teleponku dengan Lily, Mia langsung kembali meneleponku. Aku melirik sosok angkuh yang kini tampak seperti patung-patung manekin di etalase-etalase toko yang sering ku datangi bersama Andreas di minggu sore, bedanya, ia bernafas, diafragmanya bergerak konstan setiap kali ia memasukan udara ke dalam paru-parunya.

Ya Mi...

Anjrit! Gila yah lo!?! Lo kemana aja?!! Kenapa nggak bales sms gue, telepon gue juga nggak diangkat. Lo lagi sama Andreas?!? Coba mana gue mau ngomong sama dia! aku mengerutkan keningku karena nada suaranya yang super tinggi. Sekali lagi aku melirik sosok di sampingku, khawatir ia terganggu dengan pembicaraanku.

Gue... tadi nunggu bis... jawabku, bingung harus membuat kebohongan apa.

WHAT?! Bego! Jadi dari tadi lo nunggu bis?! Sekarang lo dimana?? tudingnya lagi.

Sekarang udah on the way pulang. Jawabku pelan.

Astaga! Jadi setelah 3 jam, si brengsek Andreas baru datang?!

Gue nggak bareng Andreas... jawabku lebih pelan lagi.

Terus lo sama siapa?! Win... jangan main-main deh!!!! runtuk Mia frustasi. Aku mengernyit bingung, jika aku bilang aku tengah bersama dengan sosok itu sekarang, dia pasti akan lebih heboh lagi. Jangan bilang lo naik bis! Ya ampun Win, pacar macam apa dia?! Lo pasti udah gila kalau mau tetap sama dia! Makan deh tuh cinta! Denger yah Win, kalau dia cinta sama elo dia pasti jemput lo, kantornya kan nggak terlalu jauh dari kantor kita!
Aku menahan air mataku dengan sangat payah, bahkan aku sampai harus menggigit bibirku untuk menahan isakan yang sudah memenuhi perutku. Tenggorokanku sakit menahan tangis.

Mia benar. Dan selalu aku yang salah.

Gue cerita di rumah, bisikku sebelum mematikan sambungan teleponku dengannya begitu saja.

Macet akhirnya menghadadang kami, tetesan air hujan masih menyerbu, membuat langit sepenuhnya hitam tak berbintang. Cahaya-cahaya lampu jalanan menjadi temaram tertutup kabut dingin sang hujan. Sosok di sampingku perlahan bergerak, mengingatkan aku bahwa dia bukan sebuah patung pria yang super tampan. Tangannya terulur untuk menyalan radio di mobilnya. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela di sampingku, mencoba menikmati suara merdu sang penyiar yang tengah mengabari tentang kemacetan di kota Jakarta yang mulai memburuk di setiap detiknya. Mungkin kami hanya tinggal menunggu waktu hingga Tuhan akhirnya memutuskan untuk melenyapkan kota metropolitan itu ke dalam lautan. Amblas tak bersisa, berakhir menjadi sejarah memilukan negaraku tercinta.  

Sebuah lagu dari glee mengalun lembut setelah sang penyiar lelah bercuap-cuap. Aku menatap jalanan dengan tatapan nanar, hari ini benar-benar melelahkan. Tapi aku tidak ingin menutup mataku, bahkan mengedip-pun aku enggan, khawatir genangan di mataku akan menetes jika aku menggerakan kelopak mataku lebih sering lagi.


Turn around
Every now and then I get a
little bit
 lonely and you're never coming 'round

Turn around
Every now and then I get a little bit tired of
listening to the sound of my tears

Turn around
Every now and then I get a little bit nervous that the best of all the years have gone by
Every now and then I get a little bit terrified and then I see the look in your eyes

Turn around
 bright eyes
Every now and then I fall apart
Turn around bright eyes
Every now and then I fall apart

And I need you now tonight
And I need you more than ever
And if you'll only hold me tight
We'll be holding on forever

And we'll only be making it right
Cause we'll never be wrong
Together we can take it to the end of the line
Your love is like a shadow on me all of the time

I don't know what to do, I'm always in the dark
We're living in a powder keg and giving off sparks

I really need you tonight
Forever's gonna start tonight
(Forever's gonna start tonight)

Once upon a time I was
 falling in love,
Now I`m only falling apart
There's nothing I can do
Total eclipse of the heart

Once upon a time there was light in my life,
Now there's only love in the dark
Nothing I can say
Total eclipse of the heart
                                                                                                -Glee Cast- The total Eclipse of my Heart-


Once upon a time I was falling in love, now Im only falling apart... setetes air mata akhirnya mengalir perlahan. Mewakili rasa perih yang mengungkung hatiku. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku adalah wanita kuat yang bahagia. Perasaan tidak aman itu tidak akan membunuhku seperti ini.

Kulirik ponselku yang kembali mati. Seharian aku menunggu pesannya, namun tidak ada satu pesan pun yang masuk, dan aku terlalu pengecut untuk sekedar mengiriminya pesan terlebih dahulu. Khawatir ia justru akan membenciku karena mengiriminya pesan di saat-saat yang tidak tepat.

Entah sudah berapa lama aku merenung sendiri, menyibukan diri dengan lagu-lagu yang mengalun indah dari radio, mendengarkan celoteh riang sang penyiar, hingga ketika akhirnya sosok itu menghentikan laju mobilnya, aku terkesiap bingung.

Astaga. Aku sampai lupa dengan siapa aku sekarang. Dia pasti akan langsung memecatku karena sikap tidak sopanku hari ini.

Kami sudah berada di dekat gedung kontrakanku. Hujan membuat bangunan dua lantai itu tampak sangat sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, hanya terdengar suara tawa renyah dari kamar satu, sedang tiga kamar di lantai bawah, dan empat kamar di lantai atas sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan apapun, kecuali lampu depan yang menyala terang.

Aku mengernyit bingung, bagaimana mungkin dia tau dimana tempatku tinggal? Apa dia mempelajari seluruh data karyawannya dengan sangat teliti, khawatir salah satu diantaranya adalah seorang teroris, mungkin?

Kamu baik-baik saja? tanyanya, lagi-lagi membuatku tersentak karena terkejut.

Aku menunduk, mengembalikan jasnya yang tanpa sadar sudah menjadi penghangatku di sepanjang perjalanan itu. Ya, terima kasih pak. Jawabku sedikit kikuk. Entah dimana aku meletakan akal sehatku saat ini, hingga aku benar-benar lupa bagaimana caranya bersopan santun kepada presiden direktur di kantorku sendiri.

Kita bisa pergi ke tempat lain,

Hah? aku melongo bingung pada kata-katanya. Sosok itu sama sekali tidak menatapku. Pandangannya lurus ke depan, tajam seperti siap untuk membunuh. Kedua tangannya mencengkram erat kemudi. Apa dia tidak memiliki ekspresi lain dari pada ekspresi marah itu?!

Kita bisa pergi ke tempat lain, jika...

Kata-kata selanjutnya tak lagi bisa ku dengar dengan baik, fokusku langsung teralihkan pada sosok lain yang berdiri di depan gerbang kontrakanku dengan payung di tangannya. Ia masih mengenakan kemeja kerjanya, meski kini dasinya sudah dilepaskan dan disandarkan di kursi penumpang di mobilnya, bersama dengan jasnya. Ia tampak kedinginan, membuatku ingin merengkuh wajahnya, menghangatkannya dengan segenap cinta dari dalam lubuk hatiku.

Hatiku berdesir lembut, kupu-kupu di dalam perutku mulai kembali beranak pinak, berwarna lebih cerah lagi sekarang. Lupa sudah bagaimana menyedihkannya aku menunggu sosok itu selama 3 jam di bawah guyuran hujan petang ini. Ternyata dia di sini, menungguku.

Terima kasih karena sudah mengantarkan saya, terima kasih banyak. Ujarku sungguh-sungguh sebelum keluar dari mobilnya. Sosok itu tidak mengucapkan apapun. Dan aku juga tidak mengharapkan apapun lagi, keberadaan pria tampan itu di depan gerbang kontrakanku, sudah lebih dari apa yang kubutuhkan saat ini.

Ketika menyadari kedatanganku, senyumannya langsung mengembang indah. membuatku tidak tahan untuk memeluknya. Seperti biasa, ia akan menutup payungnya, kemudian masuk kedalam naungan payungku, bukankah itu sesuatu yang sangat romantis?

Aku memeluk tubuhnya dengan sangat erat, mencoba menghirup dalam-dalam aroma pria yang sangat ku rindukan itu.

Aku sangat merindukanmu, katanya sambil mengecup puncak kepalaku. Aku membenamkan wajahku lebih dalam lagi ke dadanya. Mencoba mencari kebenaran kata-katanya dari detak jantungnya. Maaf karena tidak sempat menjemputmu...

Ya, jalanan bandung - jakarta memang macet, potongku cepat. Informasi itu ku dapatkan langsung dari penyiar radio di perjalanan pulang tadi. Tubuh Andreas mendadak membeku di dalam pelukanku, membuat sebuah senyuman simpul yang menyedihkan terukir begitu saja dari wajahku.

Aku melepaskan pelukannya, Senang melihatmu di sini. Kataku sungguh-sungguh. Tapi kurasa, kisah kita cukup sampai di sini. Tambahku dengan suara bergetar.

Suasana hujan di sekeliling kami menyamarkan suara getaranku, namun tidak dengan mimik wajahku yang kini terlihat seperti pesakitan. Win... please, aku benar-benar minta maaf soal hari ini. Aku berjanji nggak akan melakukannya lagi. Membuatmu menunggu tanpa kepastian seperti hari ini. Aku benar-benar minta maaf.

Ssttt... aku meletakan telunjukku di bibirnya, kamu nggak boleh mengucapkan janji yang nggak bisa kamu tepati. Sepertinya kata-kataku cukup menohok egonya, wajahnya terlihat memerah, marah.

Win, aku sayang kamu. Aku cinta kamu... aku nggak mau kita berpisah...

Aku juga mencintaimu, tapi mencintaimu sama seperti menghitung bintang, sekeras apapun usahaku untuk menghitung bintang di langit itu, aku tidak akan pernah mendapatkan hasil apapun.

Win... kita bisa menjalani ini, bukankah kita sudah menjalaninya selama dua tahun?! Dan kita selalu bisa mengatasinya. Aku mencintaimu, aku mencintaimu yang selalu bisa mengerti kesibukanku. Aku mencintaimu yang selalu ada di saat aku lelah, aku mencintaimu. Kamu selalu bisa menjadi yang terbaik buat aku.

Entah mengapa kata cinta itu terdengar seperti lelucon di telingaku saat ini, membuatku muak pada diriku sendiri.

Aku lelah, pulanglah.

Andreas tertegun menatapku, meminta kata-kata lain yang bisa menenangkan hatinya. Namun aku benar-benar lelah.

Baik. Istirahatlah, ujarnya dengan lembut, kemudian mendekatkan wajahnya untuk mengecup keningku. Namun secepat mungkin aku memalingkan wajahku. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku lelah?

Andreas berjalan perlahan ke mobilnya dengan payung yang masih tertutup di tangannya, membiarkan tetesan hujan menyentuh bagian atas kepala dan kemejanya dengan dramatis. Mm... Andreas... panggilku, tepat sebelum ia membuka pintu mobilnya.

Sosok itu menoleh, menunggu kata-kataku.

Aku belum tau, bagaimana jawaban Lily atas lamaranmu? tanyaku sungguh-sunggu. Sosok itu langsung membeku. Wajahnya memucat, dan payung di tangannya jatuh begitu saja. Benar-benar seperti yang terjadi di opera sabun membosankan yang selalu Mia tonton sepulang kerja. Apapun jawabannya, ku harap itu yang terbaik untuk kalian. Oya, besok dia akan ke tempatku. Kamu akan menjempunya ke Bandung bukan? tanyaku sebelum masuk ke dalam gerbang kontrakanku, tanpa menunggu jawaban darinya.
***


I can hold my breath
I can bite my tongue
I can stay awake for days
If that's what you want
Be your number one

I can fake a smile
I can force a laugh
I can dance and play the part
 
If that's what you ask
Give you all I am

I can do it
I can do it
I can do it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
 
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I can turn it on
Be a good machine
I can hold the weight of worlds
 
If that's what you need
Be your everything

I can do it
I can do it
I'll get through it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I'm only human
I'm only human
Just a little human

I can take so much
'Till I've had enough

Cause I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and i break down
your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

*Christina Perri - Human*