Rabu, 30 Januari 2013

CAHAYA CINTA -10-




Ketika usianya 10 tahun, Anna pernah merasakan ketakutan yang teramat sangat. Ketika di suatu pagi umminya mendadak limbung, tak sadarkan diri ketika tengah memasak di dapur. Anna kecil begitu ketakutan. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan, saat itu ia sedang bersiap untuk pergi ke sekolah. Dengan panik Anna mencari bantuan, meneriaki siapa saja yang berada di sekelilingnya, mencari ayahnya yang sudah pergi dari subuh tadi ke pondok pesantren.
Anna begitu ketakutan. Ia duduk di depan ruang ICCU dengan memeluk kedua lututnya, mencoba menenangkan gemuruh jantungnya yang berpacu dengan suara detak jam. Ia tidak ingin menangis, namun jilbab ungu yang di kenakannya hari itu sudah basah. Dan ketika ia melihat ayahnya yang berjalan tertatih ke arahnya, tangis itu tak lagi bisa terbendung. Anna menangis keras di pelukan ayahnya, menumpahkan seluruh ketakutannya. Kemudian ia tertidur, dan ketika terbangun ia sudah berada di sisi ibunya, di kamarnya yang nyaman. Ia tidak ingat kapan ibunya keluar rumah sakit, namun senyuman itu, senyuman ibunya yang indah kembali menenangkannya, menyiratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, semudah itu.
Tapi itu hanya masa lalunya. Saat ini, ketika ia kembali harus berada di depan ruang ICCU, ia tidak bisa duduk dengan memeluk kedua lututnya. Ia harus berdiri setegar mungkin, ia harus kuat untuk suaminya.
“Kakek…” panggil Anna pelan. Lelaki tua yang tengah merangkul putrinya itu menoleh. Ia membuka tangan kirinya yang kosong, menawarkan pelukan lain yang mungkin bisa menenangkan mereka, dan meyakinkan hati mereka masing-masing jika di sini, saat ini, bukan hanya satu hati yang tengah ketakutan pada kehendak takdir.
“Alan sedang ditangani oleh dokter Harun. Kau tenanglah,” ujarnya, suara tuanya begitu lemah, menunjukan kerapuhan di balik ketenangan dari sikapnya. Anna menangis perih di bahu lelaki tua itu. Membenamkan wajahnya seperti yang tengah ibu mertuanya lakukan.
Tiba-tiba pintu ruang ICCU itu terbuka. Seorang perawat melangkah keluar. Seluruh pasang mata di tempat itu langsung menatapnya penuh harap, menunggu sebuah kabar baik. Namun perawat itu hanya terdiam dan berlalu, membuat orang-orang yang tenagh menunggu dengan cemas itu kembali terduduk lesu.
Lima menit kemudian dokter Harun keluar dari ruangannya, ia masih mengenakan seragam hijau ruang oprasinya, mata tuanya sedikit basah, wajahnya tidak kalah pucat dengan wajah-wajah yang tengah menunggu didepan kamar oprasi itu.
Anna langsung berdiri mengikuti kakek dan ibu mertuanya, ia berada dua langkah di belakang Luna ketika dokter itu menggeleng lelah.
“Alan kritis,” ujar dokter itu pelan, dengan perlahan di bukanya kaca mata tua miliknya, kemudian menyeka air mata yang sedikit menghiasi mata tuanya.
Anna merasakan pandangannya kosong seketika. Bayangan tentang mimpinya akan Alan seakan menari-nari di pikirannya. Begitu indah, begitu mengagumkan. Air mata itu mengalir perlahan, namun wajah cantik Anna menyunggingkan sebuah senyum aneh. Tiba-tiba mual langsung menghampiri dirinya. Ia merasakan perih di sekujur tubuhnya, ia menggigil ketakutan.
“Ya Allah peluk aku sedikit saja… aku tidak sanggup menghadapi ujian ini sendiri…” bisiknya penuh luka.
“Anna…” bisikan itu membekukan tubuh Anna. Dengan kaku ia menolehkan wajahnya, dan mendapati sosok tampan yang menatapnya penuh perih. Nafas Anna mulai tercekat, ia menggeleng perlahan kepada pemuda itu.
“Dia tidak akan bangun,” bisik Anna perih, dan tangis itu pun pecah berkeping.
***
Raka berlari di sepanjang lorong rumah sakit, tidak peduli pada tatapan heran orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia terus berlari dan berlari, hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan ruang oprasi yang di penuhi oleh orang-orang berwajah pucat. Ia melihat dokter tua itu menggeleng, dan hatinya pun jatuh ke lantai begitu saja ketika melihat sosok cantik itu menggigil karena menahan isak tangisnya. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, mencoba menyembunyikan isak yang sudah terdengar sedari tadi.
“Anna…” bisiknya pelan, mencoba mengambil fokus Anna. Ia benar-benar terluka melihat gadis itu menangis. Hatinya turut terpilin perih, dan ketika Anna menoleh dengan kaku ia tau hatinya sudah hancur berkeping-keping. Gadis cantik itu menggeleng perlahan. Air matanya menetes deras, mata indahnya diliputi oleh ketakutan yang teramat sangat.
“Dia tidak akan bangun…” sebuah kata terlontar begitu saja dari bibirnya, sebelum akhirnya isakan itu pecah. Dengan cepat Raka meraih tubuh Anna, menahannya sebelum ambruk ke lantai. Menenangkan tubuhnya yang gemetar karena isak tangis. Itu adalah kala pertama Raka melihat sosok sahabatnya menangis sedemikian perihnya. Dan saat itu pula lah ia sadar jika hatinya sendiri takkan kembali utuh.
Luna menangis perih di samping Anna, dibelainya dengan lembut kepala menantunya itu. Namun tidak seperti ibu pada umumnya, yang akan bersikap optimis bagaimana pun keadaannya, wanita paruh baya itu malah ikut menggeleng pada menantunya.
“Ikhlaskan dia Anna…” bisiknya pelan. Anna menggeleng dalam pelukan Raka. Tangisannya bertambah keras.
“Tidak bu. Kak Alan adalah suamiku. Aku mencintainya, bagaimana mungkin aku mengikhlaskannya? Ibu… aku tidak mungkin…” Anna menatap perih sosok Luna.
“Anna,” Raka mencoba menenangkan sahabatnya itu.
“Tidak Ka! Jangan pernah memintaku untuk mengikhaskannya juga. Kau pikir siapa dirimu? Kau pikir sekuat apa aku?! Aku sudah mengalami berbagai macam kepedihan. Apa Tuhan tidak juga puas menyiksaku??!”
“Anna!” Raka menatap gadis itu dengan tajam. Kedua tangannya mencengkram kedua lengan Anna.
“Tapi aku lelah Ka… aku lelah…” isaknya perih. Anna menunduk dalam, jemarinya masih bergetar, namun tubuhnya tampak begitu lelah. “Aku lelah. Kau lihat, semua yang ku katakan padamu tentang keluarga yang bahagia itu hanyalah kebohongan semata. Tidak pernah ada kisah indah dalam kehidupanku Ka. Aku bahkan belum pernah mengatakan betapa aku sangat mencintainya. Ini terlalu menyakitkan, ini tidak adil…” Anna menangis sesenggukan di dada Raka, matanya sebam penuh air mata.
“Anna, dengar. Kau harus kuat. Tetaplah kuat.” Ujar Raka dengan penekanan di setiap kata-katanya. Tiba-tiba isakan gadis itu berhenti, ia mendonggkakan wajahnya, menatap sosok Raka yang begitu ia rindukan. Kemudian gadis itu tersenyum tipis, kerutan di dahinya mendadak hilang, kemudian tatapan itu kosong, dan ia pun terjatuh meninggalkan kesadarannya.
***

Zahra tersenyum manis menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak tau bagaimana cara menghentikan senyumannya, namun rasanya hati itu selalu memaksanya untuk terus tersenyum. Seperti senyumannya, rona di kedua pipinya pun tak pernah menghilang, bahkan rona indah itu akan semakin tampak setiap kali Zahra menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Kau sudah menatap cermin itu lebih dari dua jam,” tegur Amy dengan senyumannya ketika ia memasuki kamar Zahra. Zahra menolehh malu-malu. “Bahkan sepertinya kau sampai tidak mendengar salam dan ketukanku,” tambah Amy. Ia berjalan perlahan menghampiri Zahra yang berada di depan meja riasnya.
“Maaf,” bisik Zahra ketika Amy duduk di sampingnya. “Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya…” tambahnya malu-malu. Amy terkekeh di sampingnya, ia menatap pantulan wajah Zahra yang menunduk dari cermin.
“Aku juga pernah memiliki rona indah itu,” bisik Amy pelan. Zahra mengerutkan keningnya dan menoleh pada gadis cantik di sampingnya. Wajah Amy begitu tenang, meski Zahra bisa melihat goresan lelah di beberapa sudut wajahnya. Mata indah Amy menerawang jauh menangkap asa yang takkan teraih olehnya. “Aku masih begitu muda,” tambahnya lagi, suaranya bagai aliran sungai yang mengalir lembut. “Aku sangat mengagungkan cinta. Bagai remaja yang baru pertama kali menemukan bungkusan kecil berisi cinta. Semuanya begitu indah, begitu memabukan. Dan sialnya takdir tidak berpihak padaku,”
“Apa yang terjadi?” Tanya Zahra cepat. Matanya menuntut penuh rasa ingin tahu. Amy terkesiap, seakan baru tersadar dari lamunanya, kemudian ia tersenyum.
“Itu masa lalu,” bisiknya lembut. Mereka hanya berbeda 3 tahun, namun rasanya sosok Amy begitu dewasa dengan senyuman indahnya. Zahra terdiam, ia masih ingin mendengar cerita Amy, ia tau gadis itu sangatlah tertutup akan masa lalunya. Amy pribadi yang sangat baik hati dan lemah lembut. Ia begitu dewasa, namun sangat mudah terpengaruh suasana. “Ah, aku kesini untuk memanggilmu makan malam, ayo yang lainnya sudah menunggu.” Ujar Amy sambil menepuk jemari Zahra diatas pangkuannya. Zahra masih tidak bergeming, bahkan hingga akhirnya sosok cantik Amy menghilang di balik pintu kamarnya.
***
“Semua orang memiliki masa lalu nak,” ujar Aisah ketika keponakannya datang menemuinya untuk menanyakan kisah Amy. Zahra mengerutkan keningnya. Matanya menyipit meminta penjelasan. Sifatnya yang terbentuk di kota metropolitan membuatnya menjadi pribadi yang keras kepala dan mudah tersinggung. Aisah terkekeh pelan melihat wajah keponakannya yang benar-benar manja. “Kalau dia tidak mengatakannya padamu, itu berarti dia memang tidak ingin melakukannya.” Ujar Aisah. Zahra mendengus tidak percaya.
“Bibi… tapi aku ingin mengetahuinya.” Tuntut Zahra keras kepala. Aisah mengehela nafas panjang. Diletakannya buku besar yang sedari tadi sedang dibacanya.
“Kau benar-benar keras kepala.” Ujar bibinya. Zahra langsung cemberut. “Dengar, bibi tidak punya hak untuk menceritakan masa lalunya padamu, atau pada siapapun. Kalau kau ingin tau mengapa tidak kau tanyakan langsung padanya,” ujar Aisah seraya menunjuk sosok cantik yang sedari tadi berada di ambang pintu kamarnya. Zahra langsung menegakan tubuhnya, merasa kikuk pada sosok Amy.
“Maaf sudah membuatmu penasaran,” bisik Amy lembut. Ia meletakan segelas teh hangat di meja kecil samping ranjang Aisah. Kemudian duduk di kursi kecil di hadapan Zahra.
“Maaf, aku tidak bermaksud—“
“Tidak apa-apa,” Amy menggeleng perlahan. “Ini bukan hal yang ingin aku tutup-tutupi. Hanya saja, terkadang mengenangnya membuatku sedih.” Mata wanita itu kembali menerawang jauh ke dalam kelamnya malam. Zahra menunggunya dengan sabar. Namun hingga menit-menit itu berlalu Amy masih terus terdiam. Matanya sedikit berair, dan ketenangan yang selama ini menghiasi wajahnya perlahan menghilang. Zahra melirik Aisah dengan cemas.
“Amy…” bisik Zahra pelan.
“Ah maaf. Zahra sepertinya aku tidak bisa menceritakannya padamu. Mungkin ummi bisa membantuku?” Amy menatap Aisah penuh harap. Wanita paruh baya itu melirik kedua gadis di hadapannya tanpa berkata-kata. “Maaf, aku pergi dulu,” bisik Amy sebelum mengucapkan salam dan berlalu dari kamar ketua pantinya.
“Dia juga pernah hampir menikah,” bisik Aisah. Zahra yang sedari tadi hanya menatap pintu kamar bibinya langsung menoleh dengan kerutan di wajah cantiknya.
“Hampir?” tanyanya tak mengerti. Aisah terdiam sejenak, kemudian mengangguk.
“Ya, ketika umurnya 20 tahun. Ia sempat mengandung,”
Zahra ternganga menatap bibinya. Kenyataan yang begitu menggelitik hatinya. Hampir menikah, dan mengandung, apa dia??
“Dulu ia adalah gadis yang sedikit bebas,” ujar Aisah menjawab berbagai pertanyaan di benak keponakannya. Zahra meringis. “Dia hamil di usianya yang ke dua puluh, kemudian pesta pernikahan itu pun disusun dalam waktu yang sangat singkat. Tapi seminggu sebelum pesta itu diadakan, calon suaminya kecelakaan.”
Air mata Zahra menetes perlahan. ia menatap nanar sosok bibinya yang masih menerawang jauh ke memori lamanya.
“Karena frustasi, Amy menggugurkan kandungannya.”
“Tidak! itu tidak mungkin. Amy tidak akan melakukan itu,” Zahra menggeleng dengan deraian air mata membasahi kedua pipinya.
“Tapi itulah yang ia lakukan. Hingga akhirnya Anna menemukannya, dan membawanya kesini. Kemudian Amy menyesali seluruh masa lalunya, dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia sangat mencintai anak-anak itu,”
“Itu benar-benar tragis,” bisik Zahra. Matanya menunduk menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Entah mengapa hatinya mulai terasa terpilin perih. namun ia tau, ini bukan karena kisah memilukan Amy, tapi ini tentang dirinya. Tentang pernikahannya, tentang cintanya, tentang pangerannya, tentang kehidupannya.
“Bibi… bagaimana jika Raka tidak mencintaiku?” Tanya Zahra tiba-tiba. Aishah mengerutkan keningnya. “Selama ini dia tidak pernah mengatakan hal itu secara langsung,” Zahra mengernyit pada kenyataan itu, seakan baru tersadar dari kebenarannya.
“Mengatakan apa?”
“Bahwa ia ingin menikahiku bi.” Zahra menatap lekat-lekat kedua mata bibinya. “Ia bahkan tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Bagaimana jika akhirnya dia malah meninggalkanku?”
Aisah tertegun menatap wajah keponakannya yang diliputi rasa ketakutan. Matanya yang indah begitu penuh dengan rasa khawatir. Untuk pertama kalinya Aisah hanya terdiam, tak menjawab pertanyaan gadis itu. Hatinya sendiri mulai diliputi rasa khawatir, bagaimana jika akhirnya gadis kecilnya akan terluka, dan kehilangan binar itu?
***
Pukul 01.37.
Zahra masih terjaga di kamar tidurnya. Matanya masih gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tangannya masih menggenggam ponselnya, sesekali meliriknya kemudian kembali menggeleng seakan berseteru dengan dirinya sendiri. Ia belum pernah menghubungi Raka untuk urusan pribadi sebelumnya. Namun entah mengapa kali ini hatinya benar-benar tergelitik untuk menekan nomor Raka, dan sekedar menanyakan keadaannya.
Zahra melirik jam dinding di kamarnya, kemudian kembali mendesah. Tengah malam? Batinnya ragu. Apa yang akan Raka pikirkan jika ia meneleponnya tengah malam begini. Zahra kembali menggeleng-geleng. Kemudian duduk di sisi kiri ranjangnya, meraih bantal kecil berwarna pink kesukaannya, dan mendekapnya erat-erat sambil terus memandangi ponselnya yang masih mati.
Setengah jam kemudian Zahra mendengus kesal pada dirinya sendiri, ia sudah mencoba untuk tidur. Ia sudah berbaring di ranjangnya, mengenakan selimut tebalnya, namun matanya tetap tidak bisa terlelap. Lagi-lagi ia melirik ponselnya yang masih dalam keadaan mati seperti beberapa saat yang lalu. Sedetik kemudian Zahra bangun dari ranjangnya, ia berjalan ke meja riasnya dengan membawa ponsel itu, dengan menahan gemuruh hatinya ia mulai menekan nomor yang sudah di hapalnya di luar kepala.
***
Bulan malam itu tampak tidak seindah malam-malam sebelumnya. Ia memang masih bersinar terang, namun siapapun bisa melihat kabut aneh yang menutupi beberapa sisinya. Membiaskan sinarnya yang lembut hingga menjadi goresan-goresan cahaya semu. Raka masih berdiri di balik jendela kamar rawat inap Anna, matanya menatap rembulan yang bersinar dengan lembut. Kekelaman malam membuatnya semakin terjaga, sudah dua kali Anna berteriak-teriak tidak jelas dalam tidurnya. Sejak pingsan sore tadi Anna tidak sadarkan diri, hingga akhirnya ia tertidur sampai saat ini. Raka tau banyak orang yang akan menjaga gadis itu, namun entah mengapa dirinya akan diliputi ketakutan yang teramat sangat jika tidak berada di samping Anna. Setidaknya ia hanya ingin menenangkan gadis itu ketika ia terbangun nanti.
Raka mendesah lelah kemudian duduk di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang Anna. Suasana kamar itu begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jarum jam yang seakan menggelitik hatinya. Ia sudah mengabari ibunya bahwa malam ini ia akan bermalam di luar, namun ia tidak mengabari prihal Anna, karena ia tau ibunya akan lebih panik dari pada yang diharapkannya. Raka memijat pangkal hidungnya, memejamkan matanya, dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, mencoba untuk menghilangkan keruh dalam pikiranya, hingga akhirnya getaran dari ponsel di kantongnya menarik perhatiannya.
Telepon dari Zahra.
Raka mengernyit kemudian langsung melirik jam tangannya. Sudah dini hari, apa yang Zahra lakukan? Pikirnya. Untuk sejenak ia membiarkan ponsel itu terus berkedip, ia enggan mengangkatnya, namun ia khawatir jika gadis itu meneleponnya karena suatu masalah yang gawat.
“Halo Assalamua’laikum?” salam Raka pada deringan ke lima. Ia bisa mendengar desahan lega dari seberang sana.
“Walaikum salam Ka, maaf mengganggumu…” ujar Zahra pelan. Raka kembali mengernyit.
“Ada apa Zahra?” Tanya Raka penasaran.
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit khawatir, apa kau baik-baik saja?”
Raka terdiam sejenak. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat. “Apa kau meneleponku hanya untuk menanyakan hal ini?” Tanya Raka ragu.
Hening cukup lama.
“Apa seorang gadis tidak boleh menelepon calon suaminya?” pertanyaan itu seakan-akan menohok dada Raka. Mata pemuda itu langsung melebar, tatapannya langsung tertuju pada sosok cantik yang masih tertidur di ranjang rumah sakit.
“Maafkan aku,” bisik Raka.
“Maaf untuk apa?” terselip sedikit ketakutan di suara gadis itu.
“Aku seharusnya mengabarimu,” jawab Raka.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti kau masih memiliki pekerjaan penting. Aku baik-baik saja, hanya sedikit khawatir.” ujar Zahra, Raka bisa merasakan senyuman Zahra ketika mengatakan semua hal itu. namun entah mengapa hatinya malah semakin terpilin perih. “Tidurlah, sudah dini hari,” ujar Zahra lagi.
“Ya,”
“Kau akan ke panti besok?” Tanya Zahra. Lagi-lagi Raka menatap sosok Anna. “Tidak apa-apa kalau kau masih sibuk. Aku akan mengurusnya bersama bibi dan ibu di sini,” ujar Zahra lembut.
“Terima kasih, tidurlah. Assalamu’alaikum.”
“Walaikum Salam,” balas Zahra sesaat sebelum Raka menutup teleponnya. untuk sesaat ia memandangi layar ponselnya yang baru saja mati. Kemudian ia menunduk dalam, perasaan bersalah itu mulai menghampiri dirinya. Menusuk setiap sudut hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa melukai sosok indah itu??

Minggu, 27 Januari 2013

CAHAYA CINTA -09-



Anna mendesah pelan, matanya dedikit nanar menatap potongan wortel di hadapannya. sesaat kemudian Ia kembali menatap deburan ombak dari balik jendela dapur, membiarkan air dalam panci untuk supnya mendidih lebih lama lagi. Ternyata ia salah perkiraan, ketika berbelanja kemarin Raihan juga membeli beberapa sayuran, jadilah ia berniat untuk membuat sup untuk sarapan mereka pagi ini.
“Butuh bantuan?”
Anna tersentak kaget, hampir saja ia menjatuhkan pisau yang tengah digenggamnya.
“Rileks Ann…” ujar Raihan sedikit cemas.
“Kau mengagetkanku,” bisik Anna. Raihan berjalan mendekati gadis itu, matanya melebar melihat potongan sayuran di hadapan Anna.
“Aku pikir kau butuh bantuan, karena kelihatannya kau sangat sibuk dengan lamunanmu,” ujarnya seraya mengambil pisau dari genggaman Anna. “Katakan bagaimana memotongnya, aku yang akan mengerjakan sisanya.” Ujar Raihan, matanya fokus menatap wortel yang masih panjang itu, sesekali ia melirik hasil potongan Anna yang begitu rapih di sampingnya. Tetesan air dari rambutnya menetesi permukaan wortel itu, tampaknya handuk yang tergantung di bahunya sama sekali tidak menyelesaikan tugasnya.
Anna terkekeh pelan dan kembali merebut pisau dan wortelnya. “Raihan, sebaiknya kau keringkan saja rambutmu. Ini urusan wanita, kau tidak akan bisa—“
“Ah, nona Zainna… apa anda meragukan kemampuanku?” Tanya Raihan secara kembali merebut pisau dari wanita di sampingnya. “Aku adalah pemegang saham terbesar di perusahaan baja terbesar di Indonesia, bagaimana mungkin anda meragukanku untuk memotong wortel ini.” Ujarnya angkuh, Anna mengernyit dengan senyuman geli di wajah cantiknya. “Sudahlah, sekarang ajari dulu bagaimana caranya. Bagaimana mungkin kau bisa memotong mereka dengan ukuran yang sama, apa kau menggunakan penggaris?” tanyanya seraya memperhatikan dua potong wortel. Anna terkekeh dan menggeleng, dengan lembut ditariknya kembali pisau itu.
“Aku tidak pernah meragukan anda tuan Raihan. Aku tau anda pemuda yang sangat hebat, hanya saja setiap orang memiliki tugasnya masing-masing. Duduklah dengan tenang, aku akan memanggilmu jika aku membutuhkan bantuanmu.” Ujar Anna dengan sangat tenang. Raihan membeku di sampingnya, matanya terus menatap sosok cantik yang begitu tenang itu. Wajahnya tampak lebih ceria, meski sesekali ia masih melamun.
“Soal semalam…”
Anna menghentikan gerakannya yang tengah memotong daun bawang. Matanya tampak fokus menatap goresan-goresan pada daun itu, namun hatinya langsung membeku.
“Maafkan aku.” Bisik Anna pelan.
“Tidak An, aku mengerti apa yang kau rasakan. Kita semua memiliki perasaan yang sama akan kesembuhannya. Tapi ku mohon, selama kita di sini, bisakah kau melupakan semua itu.” Anna menolehkan wajahnya pada pemuda itu, ia mengerutkan keningnya tidak mengerti. “Aku tidak memintamu untuk melupakan Alan, tidak sama sekali. Aku hanya ingin kau sedikit bersantai. Lupakan luka itu Ann, setidaknya selama kita di sini. Nikmatilah saat ini, nikmatilah untuk dirimu sendiri. Aku hanya ingin melihatmu bahagia,” Anna kembali menatap sayurannya, kemudian dengan cekatan dimasukannya seluruh sayuran itu ke dalam air yang sudah mendidih sedari tadi. Sebisa mungkin menyembunyikan gemuruh hatinya yang menyesakan dadanya.
“Raihan,” panggilnya. Pemuda itu masih menunduk di samping Anna. “Kau lupa membeli garam,” bisik Anna, suaranya tampak tertahan. Raihan menatap sosok cantik itu sesaat kemudian mengangguk dan berlalu pergi begitu saja.
Air mata Anna perlahan menetes, membasahi jemarinya yang masih menggenggam sisa-sisa sayuran itu. Hatinya begitu sesak.
Tiba-tiba ia mendengar deringan ponsel dari ruang tengah. Anna mengerutkan keningnya, itu bukan suara ponselnya, lagi pula ponselnya sudah mati sejak kemarin sore. Apa Raihan tidak membawa ponselnya? Batin Anna, ia berjalan perlahan ke ruang tengah dan mengambil ponsel Raihan yang tergeletak di meja samping tv. Tiga pesan dan lima panggilan tak terjawab.
Ponsel itu kembali berdering, dengan ragu Anna mengangkatnya.
“Halo assalamu’alaikum,” sapanya.
“Halo, Anna? Kau kah itu?” suara di seberang sana tampak sangat khawatir. “Anna, apa kau baik-baik saja? Apa yang pemuda brengsek itu lakuakan? kau ada dimana, katakan nak, biar kakek menjemputmu.” Ujarnya lagi.
“Kakek tenanglah, aku baik-baik saja. Aku berada di anyer, di vila Raihan. Kakek tidak perlu menjemputku, biar pak Rudi saja yang datang.” Jawab Anna menenangkan lelaki tua itu.
“Baiklah, kakek akan menyuruh Rudi untuk segera datang. Kau berhati-hatilah nak.” Tambahnya lebih tenang. “Dan Ann…”
“Ya?”
“Alan siuman…”
Bruk, tubuh Anna jatuh begitu saja di samping meja kecil itu. Ia ternganga tak percaya. Air matanya menetes perlahan. Suaminya… suami tercintanya. Ia bangun, ia sadar.
“Alhamdulillah kakek… bagaimana keadaannya?” Tanya Anna cemas.
“Kakek akan mengirim Rudi untuk menjemputmu, bersiaplah.” Bisik kakeknya pelan. Anna menangis terisak ketika akhirnya lelaki tua itu menutup teleponnya. Ia begitu merindukan suaminya, merindukannya teramat sangat.
***
Raka tersenyum tipis ketika dua gadis mungil tampak begitu antusias dengan lukisan mereka. Aisah dan Anisa, keduanya berumur 8 tahun. Mereka memiliki wajah yang sangat berbeda, namun entah mengapa setiap orang yang melihatnya pasti melihat kecocokan diantara kedua gadis kecil itu.
Dulu Anisa selalu mengeluh iri padanya karena Aisah memiliki nama yang sama dengan nama ibu panti asuhan mereka. Namun dengan piawai Anna selalu menenangkannya, meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki hal special masing-masing. Dan perseteruan gadis kecil itu pun berubah menjadi persahabatan yang positif. Anisa tidak bisa melukis, namun dengan telaten gadis bermata indah itu mengajari sahabatnya.
“Kak Raka melamun lagi?” Tanya Anisa. Raka langsung terkesiap dan menggeleng perlahan. Ia tersenyum ramah pada gadis kecil di hadapannya.
“Tadi siang kalian belajar apa di kelas?” Tanya Raka. Anisa melirik Aisah yang masih sibuk dengan lukisannya.
“Kak Amy mengajari kami bahasa arab dan matematika,” jawabnya sambil mengangkat bahunya tak acuh, kemudian duduk di samping Raka. matanya masih menatap sosok Aisah yang tengah sibuk dengan kuasnya. “Apa Aisah akan memenangkan perlombaan itu kak?” tanyanya pelan. Raka mengernyit dan melirik gadis di sampingnya. “Apa ia akan memenangkannya?” ulang Anisa lagi, mata kecilnya menatap sosok Raka.
Raka tertegun sejenak, suara gadis itu menuntut jawabannya, namun entah mengapa matanya menyiratkan sebuah keperihan yang tidak bisa ia mengerti. “Apa kau tidak ingin ia memenangkannya?” Tanya Raka. Wajah gadis itu langsung memucat. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya, menunduk menatap jemarinya yang bertautan di atas pangkuannya. Raka merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, namun yang membuat tubuhnya membeku adalah gelengan gadis kecil di sampingnya.
“Bukan begitu…” bisik Anisa teramat pelan. “Aku hanya takut jika akhirnya dia harus pergi.”
“Apa maksudmu?” Tanya Raka tidak mengerti, sesekali di liriknya sosok Aisah yang masih sibuk dengan lukisannnya. Ia menatap pintu ruang kesenian itu dengan ragu. Pintu itu memang terbuka, namun jika Aisah pergi ia pun tentu bisa menyadarinya.
“Bukankah yang memenangkan perlombaan antara provinsi itu akan mendapatkan beasiswa penuh untuk SMP dan SMA nya di sekolah Internasional?”
Raka terdiam.
“Aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam sekolah itu. Lalu kami akan terpisahkan. Aisah akan bersekolah di sana, ia akan meninggalkanku. Memiliki teman baru, dan melupakanku.” Tuturnya sedih. Raka menggeleng perlahan.
“Apa kau pikir Aisah akan melakukan hal itu?” Tanya Raka dengan lembut. Anisa mengangkat wajahnya, menatap sosok di sampingnya dengan matanya yang basah.
“Nisa, coba lihat ini!!” teriak Aisah tiba-tiba. Baik Raka maupun Anisa langsung menoleh kearahnya. Gadis berjilbab putih itu tampak menyeringai lebar dengan hasil lukisannya, lukisan dua bunga cantik yang begitu indah. “Ini kamu…” katanya seraya menunjuk bunga berwarna pink. “Ini aku…” tambahnya ketika menunjuk bunga berwarna ungu muda. Raka tersenyum tipis.
“Aku rasa tidak…” bisik Anisa pelan sebelum berlari kearah sahabatnya. Senyuman Raka semakin lebar ketika menyadari kata-kata gadis itu ditujukan kepadanya. Ia berjalan perlahan mendekati mereka.
“Mana kak Raka?” tanyanya ketika berjongkok di samping Aisah.
“Ini.” Ujar gadis itu sambil menunjuk pagar di belakang kedua bunga cantik itu. “Kak Raka selalu menjaga kami, dan mata hari ini adalah kak Anna, karena selalu menyinari hari kami…” tambahnya.
“Kak Zahra?” pertanyaan Anisa terlontar begitu saja. Aisah menatap lukisannya dengan sedih. Kemudian mereka bertiga hanya terdiam, bingung dengan jawaban masing-masing yang tersembunyi dalam benak mereka.
“Sudah sudah, sebaiknya kalian segera bersiap. Sebentar lagi Ashar, kalian tidak mau tertinggal jama’ah kan?” Tanya Raka berusaha mencairkan suasana yang mendadak kaku itu. Anisa dan Aisah langsung mengangguk antusias, tampak terlupa sejenak dengan kisah haru tentang kerinduan mereka pada sang mentari.
Tiba-tiba ponsel Raka bergetar, dengan cepat ia merogoh sakunya.
“Halo Assalamu’alaikum pak Raka. pak Alan kritis, sekarang ada di rumah sakit,” uajr Wisnu salah satu asisten atasannya.
“Anna…” desis Raka pelan. Matanya menatap kosong lukisan Aisah di hadapannya. hatinya begitu perih, bayangan gadis cantik itu menangis di samping ranjang suaminya membuat hatinya terpilin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung berlalu dari hadapan kedua gadis kecil yang masih menatapnya penuh tanya. 

CAHAYA CINTA -08-



“Anna!! Anna bangun!!” teriak Raihan panik di tengah kelamnya malam. Ia mengguncang-guncang tubuh Anna yang masih berteriak-teriak dan menangis terisak. Wajah Raihan memucat, tubuhnya dingin karena tegang. Deburan ombak itu terdengar jelas mengiringi isakan keras Anna. “Anna. Demi Tuhan bangunlah!” ujarnya frustasi. Air matanya mulai tergenang, ia benar-benar ketakutan.
Deg.
Anna tersentak dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, menatap kegelapan yang memenuhi kamarnya. Pikirannya kosong, dan jiwanya seakan mati suri.
“Anna…” bisik Raihan penuh syukur. Dengan perlahan Anna menggerakan bola matanya, mengintip sosok itu dari bulu matanya yang indah. Kemudian sosok itu merosot jatuh di samping ranjang Anna. Kepalanya tertunduk di atas tangan Anna, dan ia menangis terisak. Anna masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi, namun dengan perlahan ia menggerakan sebelah tangannya yang bebas, membelai lembut kepala itu, menawarkan sebuah ketenangan yang mustahil hadir. air matanya perlahan menetes ketika mengingat mimpi indah itu. Mimpinya yang begitu nyata, mimpinya yang begitu indah, mimpinya tentang Alan.
***
“Astagfirullah…” Raka mendesah pelan seraya mengusap wajahnya. Ia menyipitkan matanya pada layar computer di hadapannya seraya kembali memfokuskan pikirannya.
“Kau belum tidur Raka?” Tanya Aminah ketika terbangun pukul 2 dini hari. Raka mendongkak dan menggeleng. “Ada apa?” tanyanya ketika melihat kerutan di dahi putranya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan Aisah dan anak-anak yang ikut lomba hari ini,” ujarnya seraya menyandarkan punggungnya ke kursi. Aminah berjalan mendekati meja kerja putranya yang berada di dekat ruang keluarga. “Mereka akan menerima beasiswa di sekolah internasional jika mereka menang,” bisikknya. Aminah mengernyit kepada putranya, tidak mengerti.
“Bukankah itu hal yang bagus?” tanyanya.
“Ibu, tapi itu sekolah internasional. Aku sudah memeriksa kurikulum sekolah itu. mereka tidak memasukan pelajaran tentang keagamaan. Mereka memang mempelajari bahasa arab sebagai tambahan, tapi semua pelajarannya adalah pelajaran umum dan bertolak ukur pada Negara barat,” tutur Raka. Matanya terus menatap layar komputernya dengan lelah. “Aku merasa sedikit aneh dengan sekolah ini. Mereka sama sekali tidak memasukan pelajaran keagaaman dalam sekolah mereka, tapi mengapa mereka mengadakan perlombaan itu, dan bahkan menghadiahkan beasiswa penuh untuk pemenangnya,”
“Bukankah kau bilang lomba itu diadakan oleh pondok pesantren modern?”
“Iya, tapi bekerja sama dengan sekolah ini. Aku yakin,” Raka kembali mengerutkan keningnya. Ia mencoba menghubungkan seluruh potongan-potongan pemikiran yang sedari kemarin menggelitik kepalanya.
“Raka, kau terlalu berlebihan nak. Mungkin kau lelah, sebaiknya kau istirahat. Ibu yakin mereka hanya berbuat baik.”
“Aku harap begitu bu,” jawab Raka pelan.
“Oya Raka besok ibu akan menemui ustadzah Aisha untuk meminta Zahra,”
“Ibu—“ kata-kata Raka tercekat. Matanya melebar ketika melihat sosok ibunya yang dengan perlahan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat lailnya. Sekali lagi ia mendesah dan memejamkan matanya, dengan perlahan dipijitnya pangkal hidungnya, mencoba menghilangkan lelah dalam benaknya.
***
Siang itu begitu terik, namun beberapa anak tampak dengan riang mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh Zahra. Sesekali Zahra terkekeh pelan melihat tingkah lucu anak-anak itu. perlahan ia mulai mengerti bagaimana perasaan bibinya terhadap bintang-bintang kecil itu.
“Ia gadis yang baik…” bisik seorang wanita paruh baya dari balik jendela kelas yang usang. Matanya berbinar penuh pengharapan pada gadis yang tengah ditatapnya.
“Aku ingin memintanya untuk Raka,” bisik wanita lain yang turut menatap sosok cantik Zahra. Aisah mendesah pelan. “Raka tidak bisa terus seperti ini, ia tidak bisa terus mencintai Anna.” Bisik wanita itu lagi penuh kepedihan.
Aisah tersenyum lembut seraya menatap sosok sahabatnya. Ia menggenggam erat jemari Aminah. Mengangguk pelan penuh pengertian. “Aku mengerti,” bisiknya pelan.
***
“Apa?” pekik Zahra terkejut. Mata indahnya melebar menatap sosok bibinya yang masih tersenyum lembut kepadanya. “Pasti bibi bercanda.” Ujarnya sambil menggeleng-geleng tidak percaya. Ia berjalan perlahan menuju meja di sudut kiri kamarnya, tepat di sebelah meja rias dan lemari pakaian.
“Tadi siang ibu Aminah sendiri yang datang kepada bibi,” ujar Aisah. Matanya terus memperhatikan reaksi keponakan terkasihnya.
“Bi, tapi aku tidak ingin dijodohkan,” gumam Zahra pelan, matanya menatap jemarinya yang bertumpu pada tepi meja. Jantungnya berdegub sangat kencang hingga ia khawatir jika bibinya yang duduk di ranjangnya bisa mendengarnya.
“Zahra…” panggil Aisah lembut. Zahra masih berdiri membelakanginya. “Ini bukan perjodohan nak. Bibi tidak memaksamu. Tapi Raka memang membutuhkanmu untuk menjadi pendamping hidupnya, bibi mengenal pemuda itu sejak dulu. Dan bibi rasa dia pantas untuk menjadi suamimu,”
Nafas Zahra tercekat. Dadanya mulai terasa perih karena kebahagiaan yang meluap-luap di hatinya. Kata-kata bibinya begitu lembut, begitu manis, dan begitu membekukan sosok Zahra. Raka… pemuda tampan berwajah rupawan itu, pemuda baik hati yang memiliki berjuta keahlian itu, dia akan menjadi suaminya. Zahra bisa merasakan kepalanya hampir meledak karena pemikiran indah itu. Astaga… desisnya pelan.
“Tapi sudah bibi katakan, bibi tidak ingin memaksakanmu. Keputusan seluruhnya ada di tanganmu. Bibi hanya menyampaikan niat baik keluarga Raka untuk mempersuntingmu. Dan kalau bibi boleh beropini, ini adalah hal yang sangat baik nak,” Aisah menarik nafas panjang ketika melihat sosok itu masih terdiam membelakanginya. Ia mendesah dan berjalan kepintu kamar keponakannya yang sedikit terbuka. “Tapi jika kau tidak mau, bibi akan mengatakannya pada mereka,” ujar Aisah akhirnya.
“Bibi!” panggil Zahra sesaat sebelum bibinya melangkah keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu menoleh dengan kerutan di dahinya. “Aku… Mau…” bisik Zahra terbata-bata, wajahnya memerah, namun matanya dengan jelas menunjukan kesungguhan kata-katanya. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
“Bibi tau,” bisiknya sebelum berlalu dari kamar gadis itu.
Tubuh Zahra langsung merosot di samping mejanya. Ia terduduk lemas diatas lantai. Ia tidak tau apa yang baru saja terjadi, apa yang baru saja bibinya katakan, dan apa yang baru saja dirinya sendiri katakan. Tapi entah mengapa dadanya terasa berdebar-debar, kebahagiaan itu seperti meluap-luap di dalam kepalanya. Dan sesaat kemudian ia menangis tersedu di balik kedua tangannya. Menumpahkan air mata bahagia yang langsung mengguyur seluruh kekeringan di dalam hatinya.
***
Raka terpaku di depan meja kerjanya. Pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain di luar pekerjaannya, dan sialnya ia tidak bisa menghentikan semua itu. Bayangan gadis itu masih menghiasi pikirannya. Ia mendesah lelah kemudian kembali memfokuskan pikirannya pada berkas-berkas yang tertumpuk di atas meja.
Lima menit kemudian, ia menyerah dan berlalu pergi dari kantor yayasan itu.


Zahra tersenyum malu-malu ketika melihat bahan yang di tunjukan oleh ibunda Raka. Ia tidak tau akan secepat ini, namun ia bisa merasakan antusiasme dari seluruh penghuni panti itu. Terkecuali Raka,  pemuda itu malah lebih sering menyibukan dirinya di kantor yayasan, dengan dalih ingin membereskan seluruh pekerjaannya secepat mungkin, agar bisa mendapatkan waktu luang untuk acara pernikahan mereka.
Ah… pernikahan itu…
Sejak kecil Zahra selalu bermimpi akan mengadakan pesta pernikahan yang indah. Pesta mewah yang berhiaskan bunga-bunga berwarna putih yang harum dan gaun cantik berwarna peach yang memiliki ekor panjang. Terlebih ketika ia akhirnya kuliah di Jakarta dan bergaul dengan berbagai tradisi baru. Ia tidak ingin mengenakan kebaya, ia ingin gaun indah seperti di cerita-cerita negri dongeng. Ia ingin lambutnya di sanggul tinggi dengan hiasan mutiara cantik berwarna biru muda.
Namun seiring berjalannya waktu, mimpinya perlahan-lahan berubah. Untuk saat ini, ia merasa tidak membutuhkan seluruh kemewahan itu, cukup bersanding dengan pria yang paling di cintainya, itu sudah lebih dari cukup.
“Nah Zahra, kau lebih suka yang berwarna peach atau biru muda?” Tanya Aminah, Zahra tersenyum manis.
“Putih saja ibu, aku hanya ingin pesta yang sederhana namun sakral,” bisiknya lembut. Aisha tertegun ketika mendengar jawaban gadis yang duduk di sebelahnya.  Dalam jangka waktu semalam dan gadis itu sudah berubah, gadis angkuh yang dulu ia kenal perlahan menghilang. Dengan perlahan ditepuknya jemari gadis itu menunjukan rasa bangganya. Zahra kembali menunduk ketika kedua wanita itu terus menatapnya.
“Ini akan menjadi pesta pernikahan yang indah sayang…” bisik Aisah. Zahra menatap bibinya penuh haru. “Bibi sudah berjanji kepada orang tuamu untuk membuatmu bahagia,” tambahnya lagi. Air mata Zahra menetes perlahan.
“Terima kasih bi, aku sangat bahagia,” bisik gadis itu dengan senyuman indah di wajah cantiknya.

I Found You In London -10-





"Kian... Kian... Kian bangun. Kian, kamu kenapa?" Keysha mengguncang bahuku keras.

Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi saat aku terjaga dari mimpiku. Wajah Keysha penuh dengan ketakutan karena mendengar teriakkan dari mulutku. Bulir-bulir keringat keluar deras dari kulitku.

Keysha menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Menghapus setiap bulir keringat yang keluar dengan tangannya. Tangannya turun ke leher dan dadaku yang berbungkus kaos tipis.

"Key... Mau kemana?" ku genggam tangan Keysha ketika dia hendak turun dari tempat tidur. Perasaan panik dan tak ingin ditinggalkan olehnya menyelimutiku.

"Kaosmu basah perlu diganti, jadi -"

"Tak perlu... Cukup dengan seperti ini," aku menarik ke atas kaos yang melekat di tubuhku.

"Kian nanti kamu sakit," Keysha menarik selimut menutupi tubuhku sampai ke dada.

"Key..."

"Maafkan aku. Seharusnya tadi aku tak menahanmu untuk tidur bersamaku. Maaf, aku...." Keysha menatapku dengan rasa bersalah.

"Aku... Aku memang tak bisa dewasa, aku..."

Ku tarik tangan Keysha sehingga kini dia ada di atas tubuhku. Mata kami saling bertatapan. Aku dapat mendengar debar jantung Keysha yang berdegup kencang. Nafas yang memburu. Rasa gugup nampak jelas di wajahnya. Begitu pula denganku.

"Kian... a—“

Aku letakkan jari telunjukku di bibirnya. Kudekatkan wajah kami berdua.  Hidung dan dahi kami saling menempel satu sama lain. Aku tak dapat lagi menahan dorongan untuk mencium bibirnya yang ranum. Perlahan dan lembut kucium bibirnya.

Ku lumat bibirnya yang tipis. Lidahku memaksa mulutnya terbuka, memainkan lidahnya. Keysha yang belum terbiasa hanya menerima ciuman yang kuberikan bertubi-tubi pada bibirnya. Sekali-kali ia membalas walau tak ahli aku menikmati ciumannya. Ciuman itu akhirnya berubah menjadi gairah yang panas.

Aku berguling, kini tubuhku berada di atas tubuhnya. Mulutku pindah ke leher dan dadanya. Tanganku mengembara di sepanjang kaki dan pahanya. Keysha mengeluarkan suara lenguhan yang semakin membangkitkan gairahku. Tangannya meremas-remas rambutku, menikmati setiap sensasi yang kuberikan. Sementara itu dibawah sana kejantananku semakin mengeras.

Sebuah kesadaranku muncul, yang mengingatkan akan keberadaanku di rumah om Leo. Pertolongan yang diberikannya tak mungkin aku balas dengan merampas keperawanan putri cantiknya. Aku segera melepaskan diri dari tubuh Keysha. Aku berbaring di sebelahnya, menghela nafas panjang. Sementara itu nafas Keysha masih terengah-engah akibat ciuman kami yang panas. Bibir kami berdua sedikit bengkak akibat ciuman yang tadi.

"Key... Maaf atas apa yang terjadi tadi. Aku bersumpah tak akan mengulanginya," aku memiringkan tubuhku menghadap Keysha,  menyanggah kepalaku dengan salah satu tanganku. Serta menatap wajahnya yang masih merona merah.

Keysha menoleh, tangannya merengkuh wajahku. Menatapku tajam dalam diamnya. "Aku mencintaimu," pipinya makin merona saat mengatakannya.

"Tak perduli apa yang kamu rasakan. Tak perduli kamu memiliki perasaan yang sama denganku atau tidak. Aku hanya ingin mencintaimu. Melihat dan membuatmu bahagia, apapun akan aku lakukan. Dan kamu tak berkewajiban untuk membalas apapun yang aku lakukan untukmu terutama perasaanmu. Cinta tak dapat dipaksakan, hanya jangan pernah kamu membohongi hatimu. Aku percaya apapun yang kamu rasakan untukku itulah hal yang terbaik untuk kita berdua terutama aku. Aku mencintaimu tanpa pamrih, dengan seluruh jiwa ragaku. Cintaku tak kan pernah mengekang kebebasanmu. Bila perasaan ini telah mengekangmu, aku minta maaf. Aku akan menguburnya dalam-dalam, melupakannya. Aku berterimakasih karena kamu telah memberiku kesempatan untuk mencintaimu," Keysha mengungkapkan segala yang ia rasakan tanpa berkedip dan tanpa keraguan di dalamnya.

Aku masih terpaku mendengar semua perkataannya. Benar apa yang dikatakan Keysha sebelumnya, akulah yang pengecut. Aku terlalu takut untuk terikat dalam sebuah hubungan.

"Sekarang kembalilah tidur, besok pagi kamu akan lelah jika tak segera tidur," Keysha membelai pipiku lembut dan mengecup singkat keningku. Setelah itu Keysha membalikkan tubuhnya, memunggungiku. Perlindungan diri yang dibangun Keysha kokoh sekaligus rapuh.

Kurebahkan kepalaku di atas bantal. Kurengkuh tubuh Keysha dari belakang. "No matter what happens, I don't want to let you go. Coz from the deep side of my heart, I love U too," bisikku di telinganya. Seutas senyum terukir di bibirnya. Keysha tidur beralaskan lenganku. Ia menarik jari-jariku mendekatkan ke bibirnya dan mencium. Tanganku yang satu lgi melingkar di pinggangnya. Daguku berada di atas kepalanya. Kuhirup wangi yang keluar  dari rambutnya.

"Key,,,"

"Hmmm,"

"Kamu nggak takut jika tadi aku mengambil sesuatu yang sangat berharga dari dirimu?" Tanyaku sambil mencium rambutnya.

Keysha tak langsung menjawab, ia memutar tubuhnya. Membelai lembut wajahku dengan kedua tangannya. "Aku percaya kalau kamu nggak akan melakukannya," Keysha membenamkan wajahnya di dada telanjangku. Menikmati aroma yang keluar dari tubuhku. Tangannya bermain di dadaku yang tumbuh sedikit rambut. Sesekali mencium lembut rambut-rambut tersebut. Tak tahukah ia jika yang dilakukannya telah membuat kejantananku semakin mengeras di bawah sana?

"Ki..."

"Ya."

"Boleh aku tau apa mimpimu tadi?" Keysha nampak ragu dengan pertanyaannya.

"Malam dimana kak Sandra diperkosa. Aku gagal menjaganya, aku bukan adik yang-"

"Itu bukan salahmu, Ki. Hentikan perasaan bersalahmu itu. Aku juga yakin kak Sandra nggak mau kamu seperti ini," potong Keysha cepat. Jari jemarinya yang lentik menutup mulutku. Mata kami saling bertautan. Tak tahan aku ingin mengecup bibirnya lagi.

Kusingkirkan tangannya dari bibirku, mulutnya ku lumat kembali. Kali ini Keysha membuka mulutnya sendiri. Mulut kami saling berpagutan dan lidah kami bertautan. Aku tertawa dalam hati karena Keysha cepat sekali belajar, ia kini sudah pintar memilin lidahku. Gairah yang tadinya perlahan surut kini mulai merangkak naik.

“Key..” panggilku disela-sela ciuman kami.

“Hmmm...” Keysha mendesah menikmati setiap sensasi yang kuberikan. Sementara tangannya terus meremas-remas  rambutku. Tanganku asyik bermain dikedua puncak gundukannya. Tanganku yang lainnya bermain di sekitar kemaluannya mencari titik yang paling sensitif dalam dirinya.

“Aku...” Suaraku tercekat akibat dari gairah kami berdua. Keysha tak membiarkan bibir kami terlepas. Pikirannya kini dipenuhi rasa ingin terpuaskan.

Aku segera menarik bibirku menjauh darinya. Merengkuhnya dalam pelukanku untuk meredakan gairah yang telah membakar kami berdua. Debar jantung kami berdua berlomba untuk tenang. Kedua puting Keysha masih mengeras terasa di dadaku. Kejantananku juga masih mengeras, menyembul di balik celana yang ku kenakan.

Perlahan ku belai rambutnya, mencium aroma yang keluar. Tangannya lembut membelai punggungku. Aku menarik wajahnya dari dadaku. Menatapnya jauh ke dalam matanya yang hijau bening. "Ya Tuhan, kamu sungguh cantik," aku menggodanya lagi. Sungguh sangat senang melihat rona pipinya ketika ia malu.

"Sekarang tidurlah, aku akan kembali ke kamarku," jam sudah menunjukkan pukul 3.30 pagi. Aku tak ingin membuat semua orang memarahi kami berdua, terutama pada Keysha.

Aku mengambil kaos yang berada di atas bantal tempat ku berbaring. Aku berdiri di lantai dekat tempat tidur, memakai kembali kaos yang ku lepaskan. Keysha bangkit dan membantuku. Begini rasanya disayang oleh orang yang mencintai kita sepenuh hati. Hal sekecil apapun, selalu diperhatikannya. Hatiku senang menerima segala yang dilakukan Keysha.

Sebaris senyum manis kuberikan untuk orang yang paling ku cintai, Keysha. Ia membalas dengan tak kalah manisnya. Sebelum ku beranjak menjauh dari tempat tidur, aku melihat sekilas tatapan sedih di mata Keysha.

"Hei ada apa??" Aku tak ingin ia menyembunyikan sesuatu dariku. Terutama jika yang ia rasakan adalah perasaan kecewa dan kesedihan terhadap diriku. Keysha menggelengkan kepalanya.

"Key... Katakanlah," dagunya kutarik menggunakan jari-jariku. Ku kecup pinggir bibirnya.

"Besok..." Keysha ragu dengan apa yang akan dikatakannya. Aku menaikkan kedua alisku memintanya untuk melanjutkan perkataannya.

"Sudahlah, lupakan saja," Keysha menyerah tak bisa melanjutkan perkataannya.

"Mengenai kepindahanku?" Yang keluar dari mulutku bukanlah pertanyaan tapi pernyataan. Aku berkata seraya memainkan hidung kami berdua, menyentuhnya dengan ujung hidungku. Keysha mengangguk lemah.

Keysha tau cepat atau lambat, aku akan pindah dari rumah ini. Tapi ia nampaknya terkejut bila aku akan pindah secepat ini. Mungkin hitungan beberapa tahun lagi pikirnya. Ku tak kuasa melihat tatapan sedihnya.

Kudekatkan mulutku ke telinganya, "aku bercanda." Senyum kemenangan terukir di wajahku. Keysha menarik dirinya, matanya membalak tak percaya.

"Apa yang kamu katakan?" Suaranya masih menunjukkan keterkejutannya. "Ulangi," pintanya.

Aku tak mengulangi perkataanku tapi aku malah asyik tersenyum menatap wajahnya yang masih terkesima. Ku gelenggengkan kepala dan jariku tanda jika aku tak akan mengulangi perkataanku. Bibirnya dimajukan, warna wajahnya berubah merah karena menahan malu. Aku semakin tergelak menatap perubahannya.

"Aku nggak mau bicara denganmu lagi Kian. Kamu jahat, kamu sudah mempermainkan aku dan perasaanku," Keysha menarik diri dariku, membenamkan wajahnya di atas bantal.

"Key..." Panggilku di sela-sela tawaku yang masih tersisa. Aku mendekatkan tubuhku.

"Pergilah Kian... Kamu tega," usirnya Keysha penuh dengan kemanjaan.

"Key maafkan aku cuma aku pikir itulah satu-satunya cara aku bisa berbicara padamu, untuk mengetahui isi hatimu yang sebenarnya." Aku duduk di pinggir tempat tidur menunggu Keysha.

Keysha menolehkan wajahnya ke arah diriku. Dia masih menunjukkan rasa kesalnya karena telah ku bohongi.

"Untuk apa kamu berbicara seperti tadi? Tak bisakah kamu mengerti semua sikapku?" Sekarang Keysha duduk menghadapku. Duduk bersila, diatasnya sebuah bantal dipegangnya.

Aku mendekat ke tempatnya duduk. "Key... Maafkan aku tapi aku bukan orang yang mau menebak-nebak sesuatu hal. Aku ingin mendengarnya langsung darimu. Aku juga tak pernah merencanakan semua ini. Semuanya spontan karena aku tadi bingung saat tak mendengar kabar darimu," jelasku mencoba menenangkan hati Keysha.

"Tapi Key mengenai kepindahanku... Walau bukan besok, dalam waktu dekat aku akan pindah dari sini. Mengenai perasaanku, aku bersungguh-sungguh." Aku tetap melanjutkan penjelasanku padanya.

"Key... Kamu masih marah?" Aku benar-benar tak tahan dengan kebisuan yang tercipta diantara kami.

"Baiklah kalau kamu sudah nggak mau bicara denganku lagi lebih baik besok aku segera pindah dari rumah ini," aku mengangkat tubuhku, melangkah keluar. Aku menggoda Keysha dengan cara seperti ini.

Baru beberapa langkah aku menjauh dari tempat tidurnya, Keysha memeluk tubuhku dari belakang. Kakinya berada di pinggangku, tangannya melingkari leherku dan dagunya berada di bahuku, nafasnya terasa hangat menyentuh kulit leherku.

"Hanya seperti itu usahamu, Ki," Keysha menantangku di telingaku. Bibir dan hidungnya sesekali sengaja disentuhkan ke leherku. Aku memutar kepalaku, menciumnya lagi. Tanganku mengambil tubuhnya, kami saling berhadapan. Ia tak turun dari tubuhku.

"Sifat manjamu ini sangat mudah ditebak. Pantas saja Frank sangat suka menggodamu. Tapi aku suka melihatmu saat bermanja-manja denganku, hanya denganku. Kamu tak boleh bermanja-manja dengan laki-laki lain," ku menempelkan dahi kami berdua.

"Kamu pikir aku, wanita macam apa? Tentu saja hanya denganmu, aku bisa seperti sekarang," Keysha membalas perkataanku seraya mencubit hidungku.

Aku mengangkat dan membaringkan Keysha di tempat tidur. Pelukannya tak dilepaskan, aku berada di atas tubuhnya. Posisi yang bisa membuatku melihat seluruh wajahnya.

"Key tidurlah. Hari sudah hampir pagi, aku tak mau membuat semua orang bangun dan melihat kita seperti ini. Aku akan kembali ke kamarku," ku coba terlepas dari pelukannya. Keysha tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Key..." sengaja aku melebarkan mataku seperti orang yang sedang marah. Keysha tak merasa takut, ia terlihat senang mimik yang kubuat. Keysha mulai belajar untuk tak lagi tertipu dengan sikapku.

"Hmmm baiklah kalau jika kamu mau seperti ini. Jangan salahkan aku jika nanti ayahmu akan menikahkan kita dalam waktu dekat," aku tersenyum saat mengucapkannya.

"Aku nggak akan menolaknya," Keysha tak mau kalah denganku. Anak ini benar-benar keras kepala.

"Kamu pikir menikah itu gampang Key," aku menarik hidungnya.

"Asal bisa terus bersamamu, melihatmu setiap hari, menghabiskan waktu denganmu, melayanimu, aku rasa akan mudah," Keysha menarik tanganku yang memainkan hidungnya. Rasanya semua begitu mudah untuknya, tak pernah ada kata susah dalam hidupnya.

"Kamu benar mau menikah denganku?" Aku mencium keningnya. Keysha mengangguk pasti.

"Aku belum punya apa-apa Key. Pekerjaan saja, aku baru merintisnya. Bagaimana kamu akan hidup nantinya? Kamu terbiasa dengan segala kekayaan yang diberikan orang tuamu," perasaan ragu menghinggapi diriku.

"Big boss... Aku bukan wanita yang lemah. Aku pernah hidup dalam serba kekurangan. Ayahku tidak langsung kaya saat itu. Jadi aku tau rasanya tidak mempunyai uang, makan hanya sekali, terkadang aku juga tidak makan. Jangan pernah meremehkan aku," Keysha mengancamku tapi tak pernah menghilangkan senyum di wajahnya. Aku semakin mencintai wanita yang sekarang berada di bawahku.

Keysha sama sekali tak mengetahui jika aku masih mempunyai beberapa persen saham di Indonesia. Ia hanya tau jika sekarang aku menjadi salah seorang pekerja ayahnya. Keysha memang tak pernah memandang berapa banyak harta yang dimiliki seseorang untuk bisa menjadi teman atau pacarnya. Ia hanya perduli dengan hati dan kejujuran seseorang dalam berhubungan.

"Okey my little lady, if you said like that. Will you marry me?" Aku tak ingin melepaskannya sekarang.

"Kamu melamarku?" Keysha tak percaya dengan permintaanku.

"Ya."

"Hmmm give me a little time to think, okey?"

"Hei kamu mau membalasku?" Aku tau Keysha ingin membalasku. "Tapi kamu gak akan berhasil karena besok kamu setuju atau tidak, aku akan menghadap ayah dan ibumu." Tekadku sudah bulat ingin melamarnya sebagai istriku. Keysha menarik kepalaku, mengecup sedikit bibirku.

"I do," singkat, jelas jawaban yang ia lontarkan. Rasa senang membuncah dalam dadaku. Ingin aku berteriak mengatakan pada seluruh dunia, Keysha milikku, selamanya. Ciumanku tak henti-hentinya mendarat di bibir manisnya.

"Love you, my little lady," ucapku ditengah-tengah ciuman kami.

"Love you too, big boss."

Aku menggeser tubuh Keysha ke tengah agar aku bisa tidur disampingnya. Tak ada yang berusaha untuk melepaskan pelukan. Menikmati sisa pagi ini dengan berpelukan dan tertidur bersamanya, saat paling indah dan menyenangkan untukku. Tak pernah ku sangka akhirnya hatiku telah jatuh di tangan seorang gadis berusia 19 tahun. Walau dengan umurnya yang masih muda, ia bisa menjadi seorang yang dewasa dan bijak dalam memandang hidup. Tujuan hidupku kini sudah jelas, membahagiakan dan menjaga dua wanita dalam hidupku, Sandra Alvaro, kakakku dan Keysha Aisyah Admira pendamping hidupku kelak.