Sabtu, 30 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -06-


ZAHRA

CINTA-MASA LALU-HIDUP BAHAGIA... Itu adalah tiga kata yang terus berputar-putar di dalam benakku. Aku mempercayai tentang cinta sejati, bukankah sudah tertulis dengan jelas di dalam Al-Qur’an, jika manusia diciptakan secara berpasang-pasangan, jadi untuk apa aku kembali mempertanyakannya.
Di samping itu aku juga sudah melihat kisah cinta sejati yang begitu indah, meskipun saat itu aku tidak terlalu memperdulikannya. Tapi setidaknya, cinta orang tuaku tidak pernah menghilang, bahkan hingga akhirnya mereka meninggal karena kecelakaan tragis beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, sekali lagi, aku pikir semua cinta itu akan berakhir indah, mungkin yang paling buruk adalah ketika akhirnya sepasang kekasih itu mati, dan meninggalkan kenangan cinta mereka di dunia ini. Tapi toh, mereka akan tetap bersama di surga nanti. Aku hanya belum memikirkan kemungkinan tentang cinta yang tidak pernah tersampaikan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Aku memang bukan sosok yang popular semasa SMP dan SMA, namun aku tidak pernah sampai harus mengemis cinta pada pemuda manapun. Aku adalah gadis yang keras kepala, yang menganggap bahwa cinta itu hanyalah sebuah bagian remaja yang ke kanak-kanakan. Aku memang pernah berpacaran dengan beberapa siswa, namun itu hanya sebuah permaian bagiku. Tidak lebih. Aku menikmatinya seperti aku menikmati permainan game di handphoneku. Dan ketika, sebagian besar siswi kelasku menangisi kisah cinta monyet mereka, aku malah sibuk dengan segudang ekstrakulikuler yang ku ikuti selama ini. Mungkin tidak salah jika aku mendapat julukan gadis dingin semasa SMA. Tapi itu sama sekali tidak menjamin, bahwa sepanjang hidupku, selama nafasku berhembus, aku tidak akan pernah menangis karena cinta itu, karena pada akhirnya, siapapun bisa melihat air mata menjijikan tentang kisah cinta yang tak pernah termiliki.
“Kak Zahra!!” teriakan itu menghentakan tubuhku, cengkraman Raihan yang sempat mengendur di tanganku kini benar-benar menghilang. Aku tidak ingin menahan tangannya tetap menggenggam tanganku, aku tidak berhak. Tapi ketika ia melepaskannya, aku mulai merasa takut, terlebih ketika aku menyadari bahwa aku sendirian.
Tangan kecil Aisah terbuka lebar, menawarkan sebuah pelukan hangat. Aku turut membuka lebar tanganku, jatuh di atas lututku ketika akhirnya tubuh mungil gadis itu sampai ke pelukanku. Aisah membenamkan kepalanya di balik bahuku, memeluk tubuhku dengan sangat erat, dan saat itulah aku merasa kehilangan semuanya, kehilangan hidupku.
Tangisan gadis itu sama sekali tidak mengalahkan isakkanku. Air mataku terus menetes di pundaknya, membuat bulatan-bulatan kecil di kerudung ungu muda yang dikenakannya.
Aku ingin bahagia… aku ingin tersenyum untuk saat ini, dan seharusnya aku memang tersenyum, seharusnya aku berbahagia ketika melihat bahwa pria itu kini bahagia bersama cinta sejatinya, jodoh yang dituliskan oleh sang khalik untuknya. Tapi nyatanya hanya air mata itu yang menghiasi hariku, hanya kegelapan yang kini menyelimutiku. Tapi aku tidak bisa membiarkan siapapun melihat luka itu, sederas apapun air mataku menetes. Aku akan menunjukan bahwa aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja, aku harus…
Keningku sedikit berkerut ketika merasakan isakan Aisah terasa begitu menyakitkan. Ia menangis tergugu di pundakku, jemari kecilnya mencengkram kerudungku dengan sangat keras, menunjukan luka yang selama ini ia simpan, dan sejujurnya hal itu membuat otakku bertanya-tanya. Aku mengangkat wajahku ketika melihat sosok lain keluar dari dalam mobil. Seorang wanita dengan gamis putih yang berhiaskan gambar-gambar angsa kecil di bagian kirinya. Seorang wanita yang menautkan kedua tangannya dalam kegelisahan. Seorang wanita yang terlihat begitu ketakutan namun tampak tengah berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya.
Aku mengangkat tubuh mungil Aisah dalam dekapanku, menggendongnya seakan dia hanya sosok gadis berumur lima tahun yang tengah menangis karena kehilangan boneka kesayangannya. Kemudian dengan perlahan aku melangkah mundur, membenamkan wajahku ke jilbab gadis kecil itu dan akhirnya berjalan masuk ke dalam gedung utama panti yang kosong.
Tak lama setelah itu, aku mendengar suara Ummi dan beberapa guru yang baru pulang dari rapat hari ini. Namun aku tidak peduli, aku terus melangkah masuk ke dalam gedung tua itu sambil menggendong Aisah, memasuki kamarku dan menidurkannya di atas ranjangku. Aku membelai kepalanya dengan penuh kasih. Ia masih menangis, namun tidak separah tadi, sepertinya setelah membisikanku seluruh ketakutannya, ia mulai tampak tenang. Aku memberikan senyuman yang menenangkan untuknya, mengucapkan kata baik-baik saja tanpa suara, kemudian mengecup keningnya dengan sangat lembut.

Ku genggam erat-erat handle pintu kamarku sebelum membukanya dan melangkah keluar. Sekali lagi ku lirik sosok Aisah yang kini sudah tenang terbaring di ranjang kamarku. Aku tersenyum tipis padanya, dan menguatkan hatiku, lalu melangkah keluar kamar.
“Timsar sudah mencarinya,” langkahku terhenti ketika mendengar perkataan wanita yang tidak lagi asing di mataku itu. “Seharusnya ia sudah datang sejak tujuh jam yang lalu, seharusnya dia sudah berada di sini bersama kita. Tapi bodohnya aku! Bagaimana mungkin aku meninggalkannya seperti ini?!”
Aku menghela nafas panjang, berusaha keras untuk meraih ketenangan yang sangat mustahil ku dapatkan saat ini. Air mataku sudah mengering, hatiku kebas, mati rasa, hingga rasanya aku tidak tau kemana langkahku akan membawaku.
Ketika melihatku memasuki ruang tamu, Anna menyeka air matanya, ia menatapku dengan tatapan yang menyiratkan beribu rasa ketakutan. Ummi duduk di hadapannya, membelakangiku, namun aku bisa melihat punggung tuanya sedikit bergetar. Aku menatap prihatin pada Anna, dan berjalan perlahan untuk menyentuh pundaknya. Memintanya untuk melakukan hal yang takkan pernah bisa ku lakukan… bersabar…
“Aku ingin menitipkan Aisah di sini. Aku sudah menghubungi ibu, dan sebentar lagi ibu akan datang. Kakek Darmawan sudah berangkat ke titik pusat jatuhnya pesawat itu, dan aku akan segera berangkat ke sana.” Tutur Anna. “Ummi… aku tidak tau apa yang harus ku lakukan, aku tidak tau kemana aku harus pergi. Aku hanya seorang wanita sebatang kara, aku tidak tau…”
“Sssttt… Anna beristigfarlah, kau harus bisa kuat nak. Kau harus yakin. Ummi tidak bisa melarangmu, tapi ummi pikir lebih baik kau tetap berada di sini bersama Aisah. Mereka pasti akan mengabarimu jika sudah mendapatkan perkembangan yang baru, kau bersabarlah.”
“Tidak ummi, aku tidak bisa menunggu di sini. Aku harus datang ke sana.” Bisik Anna parau.
Ummi memeluknya dengan sangat erat, seperti aku memeluk Aisah beberapa saat yang lalu. Tangan tuanya membelai punggung gadis itu dengan perlahan. “Anna dengarkan ummi, hidup dan mati ada di tangan Allah. Apapun yang akan terjadi nanti kau harus berdiri sekuat mungkin, kau harus meyakini bahwa ini adalah takdir yang sudah dituliskan Allah untuk kita, untuk Raka. Bahkan jika pada akhirnya kenyataan terburuk itu yang hadir—“
“Tidak.” Potongku, aku menatap ummi dan Anna sambil menggeleng perlahan. “Ummi, apa yang ummi katakan?!” tanyaku, mataku menyipit seakan tidak mengerti dengan perkataannya.
“Zahra…” ummi menatapku dengan pandangan memohon. Namun aku terus menggeleng.
“Ummi, aku sudah melerakan Raka, aku sudah mengikhlaskannya untuk menikahi wanita lain. Tapi kepada kematian?? Aku tidak bisa… Raka… dia tidak boleh mati. Dia harus hidup, dia harus hidup dan bahagia. Bukankah sudah ku katakan padamu?!!” tudingku pada Anna. Wanita itu menunduk perih. “Kalau tau kau hanya akan membuatnya terluka, aku tidak akan pernah membiarkannya menikah denganmu!” teriakku keras. “Kau wanita pembawa kesialan…” bisikku tercekat.
Anna sama sekali tidak terlihat marah dengan seluruh makianku, ia malah terus menunduk sambil memandang pangkuannya. Dan itu membuat amarahku semakin besar, aku berteriak keras dan menarik bahunya. “KENAPA KAU MEMBUATNYA SEPERTI INI?!!” teriakku lagi.
“Zahra lepaskan!” gertak ummi. Namun aku tidak peduli, aku mengguncang-guncangkan bahu Anna dengan sangat keras, membuat air mata wanita itu jatuh kesembarang arah. Aku benar-benar membencinya. Hingga tiba-tiba sebuah tangan kekar menarik kedua tanganku, menghempaskannya hingga jatuh ke samping tubuhku, mengunci kedua tanganku dengan cengkraman kuat di kedua sisi lengan atasku. Aku terhenyak, mataku masih menyala karena kemarahan.
“Cukup.” desis Raihan di hadapanku. Matanya tampak berkilat marah, wajahnya tegang dengan kedua rahang yang mengeras. Aku ingin memberontak namun cengkramannya terlalu keras, memitingku dengan sangat kuat. “Hentikan itu sekarang juga.” Tambahnya.
“Mengapa kau membelanya?” tanyaku perih.
“Aku tidak membela siapapun.” Jawab Raihan sungguh-sungguh.
Aku menggeleng perih, air mataku mulai menetes perlahan. “Mengapa harus Raka? Mengapa selalu dia yang terjatuh dalam jurang itu?”
“Zahra, sudahlah.”
“KENAPA HARUS RAKA?! Apa salahnya?!!!!” teriakku histeris.
“Zahra tenanglah, ada aku di sini.” bisik Raihan melembut. Aku menatap dingin wajahnya.
“Aku tidak membutuhkanmu. Mengapa tidak kau saja yang berada di sana?! Mengapa bukan kau yang jatuh dan hilang bersama seluruh awak pesawat itu?! mengapa Raka??!! MENGAPA RAKA?!!! Mengapa selalu Raka yang berada di ambang kematian, sedangkan kau selalu berdiri dengan tenang di sini? Apa karena Tuhan tau, tidak akan ada air mata yang menetes jika kau hilang, atau bahkan kalau kau mati?!”
“Zahra!” tegur ummi dengan suara tercekat.
Aku menatap tajam kedua mata itu, merasakan tubuh kekarnya perlahan membeku. Tatapannya berubah menjadi sedingin es, aku bisa mendengar suara gemeretuk giginya ketika ia mengatupkan rahangnya dengan sangat keras. Kemudian dalam sekali gerakan, ia menghempaskan kedua tangannya dari lenganku, membebaskan tubuhku dari cengkraman kerasnya, dan berlalu dengan langkah besar yang tidak akan pernah bisa ku kejar.
Tubuhku jatuh terduduk di lantai, air mataku menetes seiring menjauhnya langkah pemuda itu. “Pergi… bawalah kematian itu bersamamu…” bisikku pelan, dan bisa ku lihat kedua tangannya terkepal keras bahkan hingga akhirnya bayangan pemuda itu menghilang, aku masih membisikan kata yang sama, berharap itu bisa berubah menjadi mantra dan akhirnya akan menjadi nyata.


PELANGI HITAM PUTIH -05-


RAIHAN


“Ayo pergi!” desisku dingin, ku pererat cengkramanku di tangannya, berharap ia akan tetap terfokus pada diriku. “Zahra lebih baik sekarang kita pergi!” bisikku lagi, namun gadis itu membeku. Matanya terbelalak menatap kearah gerbang. Bibirnya sedikit terpisah, membuatnya menghirup banyak udara dari hidung dan celah bibir indahnya. Aku menatapnya untuk beberapa detik, berharap waktu akan berhenti saat ini juga. Hingga aku tetap bisa menggenggam tangannya seperti ini, dan menjaganya tetap berada di dekatku, sampai jika gadis itu harus menangis, maka aku akan berada di sana untuknya.
Ketika mata indah itu mulai berair, aku tau aku akan jatuh. Tapi aku tidak ingin berhenti di sana, aku ingin membawanya pergi, menutup matanya untuk sejenak, membuatnya melupaka seluruh kisah mengerikan yang akan menyakiti hatinya lagi.
“Zahra!” panggilku lebih keras. Dan gadis itu bergeming, air matanya perlahan menetes, ia menoleh padaku, menatapku dengan pandangan yang luar biasa menyakitkan. Tanpa sadar aku melepaskan cengkramanku, dan untuk sesaat aku merasa menyerah pada semua ini, aku tidak mungkin bisa menghapus semua lukanya.
“Kak Zahra!!!” seorang gadis sepuluh tahun tampak berlari-lari kecil di jalan kerikil yang entah di buat oleh siapa. Kedua tangannya berayun seirama, ujung-ujung jilbab ungu mudanya menari indah seiring dengan langkah kakinya. Senyumannya mengembang lebar dengan kedua tangannya terbuka seakan bersiap untuk memberikan sebuah pelukan yang hangat.
Aku memalingkan wajahku, namun aku tidak mundur, hanya mulai berpikir apa yang harus ku lakukan untuk membuatnya berhenti menunjukan senyuman palsu itu.

Jumat, 29 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -04-


ZAHRA


AKU BERJALAN PERLAHAN menuju kamar Amy, kemudian berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia tidak ada di panti, namun ia sudah memberikan kunci pintu kamarnya padaku. Tampaknya ia sudah benar-benar percaya padaku, atau mungkin ia tau jika sesekali aku akan masuk ke dalam kamarnya sekedar untuk melihat bingkai foto yang tersimpan di meja kerjanya.
Aku memasuki kamar bernuansa pink itu dengan perlahan. Ada sebuah ranjang besar di bagian pojok ruangan, menyatu dengan dinding dan meja kecil di sampingnya. Ada sebuah lemari dua pintu berada di depan ranjang, dan meja besar tempatnya menyimpan buku-buku mengajarnya berada di sebelah kiri ranjangnya. Aku berjalan perlahan hingga sampai ke depan meja itu. Cahaya rembulan yang masuk dari jendela besar di kamarnya membuatku enggan menyalakan lampu. Aku lebih senang seperti ini, terdiam sendiri dalam kegelapan.
Sebuah pigura indah menarik perhatianku. Aku meraihnya dan meraba permukaan foto itu dengan perlahan, seakan aku bisa meraba dan menyentuh sosok-sosok di dalamnya, sosok-sosok yang tengah tersenyum penuh kebahagiaan. Aku tersenyum tipis dan meletakan foto itu kembali ke atas meja, kemudian menghela nafas panjang sebelum berlalu pergi.
Cukup sudah untuk hari ini.
Sebenarnya, aku tidak pernah mengerti dengan jalan pikiranku akhir-akhir ini. Seakan-akan banyak hal yang tidak sinkron dalam benak dan hatiku. Semuanya tampak berantakan, dan membuatku semakin lelah. Aku akan sangat terluka ketika melihat foto itu, seakan-akan menyayat kulitku yang masih berdarah, namun aku tidak bisa berhenti menatapnya. Meski hanya untuk sekedar meyakinkan diri sendiri bahwa pria itu, cinta pertamaku, kini sudah merasa benar-benar bahagia dengan kekasihnya.
Well, ironis memang. Tapi begitulah kenyataannya. Aku jatuh ketika pertama kali menemukan kisah cinta pertama yang bisa membuatku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Aku masih bisa merasakan rona bahagia ketika ia menggenggam tanganku, aku masih bisa mendengarkan suara tawanya yang renyah di telingaku, bahkan senyuman menawannya, tatapan hangatnya, dan air mata putus asa nya. Aku masih mengingat semuanya dengan sangat jelas, seakan otakku memang diprogram hanya untuk memikirkannya. Namun kini dia sudah menjadi milik orang lain, milik gadis yang lebih sempurna dari padaku. Sosok yang ku yakin akan selalu menjadi pusat dunianya.
Langkahku terhenti ketika melihat sosok bibi berdiri di depan pintu kamar Amy, ia menatapku dengan pandangan sedih. Buru-buru ku hapus sisa-sisa air mata yang sempat menetes beberapa saat yang lalu.
“Aku merindukan Amy,” ujarku mejawab pandangan sedihnya. Ia mengangguk dan berlalu begitu saja, dan itu justru membuatku merasa tidak puas. Aku merasa perlu menegaskan lagi padanya, meski ia sama sekali tidak meminta penegasan atau penjelasan apapun padaku. Tapi aku ingin ia benar-benar mengerti bahwa aku merindukan Amy, bukan merindukan sosok yang sempat menjadi pangeran hatiku, dan kini menikah dengan orang lain!
***
“Kita akan menanam apa hari ini kak?” Tanya seorang bocah berpeci hitam padaku. Aku yang masih mematung di depan ruang guru langsung tersentak kaget. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk kembali memusatkan perhatianku pada dunia nyata yang tengah ku tapaki itu.
“Kemarin pak Surya bilang tanaman apa?” ujarku balik bertanya. Bocah sepuluh tahun itu berpikir sejenak, keningnya tampak berkerut, dan matanya menyipit sambil melihat ke lantai.
“Pak Surya bilang kita tanam pohon tomat minggu ini.” Jawab seorang gadis kecil sambil berjalan menghampiri kami. Ia mencium punggung tanganku dengan santun dan tersenyum manis. Tangan kirinya membawa kantung kresek hitam yang cukup besar.
Senin ini, karena ada rapat dewan guru maka murid-murid madrasah dan SMP dilliburkan. Itu adalah satu kesempatan bagus untuk bermain bersama mereka, karena belakangan aku memang tidak memiliki waktu libur bersama mereka. Setiap pulang ke bandung, aku pasti harus bertemu dengan anak-anak panti di dalam kelas, dan melakukan kegiatan belajar-mengajar yang cukup membosankan, sedang sorenya mereka harus mengikuti kegiatan mengaji bersama ummi dan pengajar yang lainnya.
Sejak satu bulan yang lalu aku sudah menerapkan sebuah komunitas baru di panti. Komunitas green corner yang bergerak dalam bidang penghijauan panti. Well, sebenarnya kawasan panti sudah cukup asri, namun aku merasa sangat bahagia ketika melihat bocah-bocah itu tertawa dan sejenak melepaskan penat mereka dengan bermain tanah dan air yang juga bermanfaat. Kami sudah menanam bibit cabai rawit untuk keperluan panti, beberapa bibit sawo, mangga dan manggis yang sampai saat ini masih belum mengalami perubahan, bunga melati, mawar, dan sebuah pohon kenanga yang mulai tumbuh tinggi. Dengan bantuan pak Surya sebagai guru IPA di SMP, semuanya terasa semakin mudah. Sayangnya, sejak sibuk melanjutkan kuliah S2 ku di ciputat, aku mulai kehilangan hari jum’atku yang berharga bersama mereka. Jadi ketika kebetulan senin ini libur, aku sangat bersemangat untuk kembali meninjau kebun kecil kami.
Panti asuhan Naura Jannah ini memiliki tiga gedung utama, yang jika di lihat-lihat posisinya menyerupai leter U. Gedung utama yang juga merupakan gedung kantor, kamar para pengurus panti, dan ruangan ummi berada di bagian tengah. Gedung sebelah kanan ditempatkan oleh anak-anak putri, perpustakaan mini, dan dapur. Sedangkan gedung sebelah kiri meliputi tempat anak-anak putra, madrasah (yang kini sudah dialokasikan ke tempat lain atas bantuan pak Darmawan, dan diganti dengan ruang mengaji), dan ruang seni.
Tidak ada yang istimewa dari bangunan tua itu, di tengah-tengah ketiga bangunan itu terdapat sebuah lapangan tanah yang akan menjadi kobangan lumpur ketika hujan, namun anak-anak panti bersama Raka dan Arya sudah membuat jalan setapak mengunakan kerikil untuk menghubungkan ketiga gedung dengan jalan utama. Ada sebuah pohon jati yang cukup rindang di depan gedung putri, yang di sekelilingnya di tumbuhi rerumputan pendek yang indah. Atas inisiatif Amy, akhirnya mereka menanami rumpun mawar di sekeliling pohon itu, membuat suasana panti yang teduh semakin tampak manis.
Di bagian belakang panti terdapat sebuah lahan kosong yang sebelumnya hanya digunakan untuk tempat pembakaran sampah dan sisanya dibiarkan merumput tinggi. Atas persetujuan ummi kami mengubahnya menjadi green corner kami, dan Alhamdulillah hasilnya memuaskan.
“Baiklah, kalau begitu sekarang kita akan menanam pohon tomat!” seruku bersemangat. Kedua bocah kelas enam SD itu tersenyum lebar. Gadis kecil yang kerap dipanggil Anisa itu langsung menggandeng tanganku, sedangkan bocah berpeci hitam itu mengambil alih tugas Anisa untuk membawakan bibit tomat yang Anisa ambil dari gudang. Aku terkekeh pelan melihat tingkah manis yang tampaknya tidak mereka sadari.
Ketika sampai ke bagian belakang panti, tampaknya aku terlambat, semua anak tampak asyik dengan tanaman-tanaman mereka. Beberapa dari merek tampak tengah mengamati tanamanan cabai yang mulai berbunga, beberpa gadis kecil berjongkok melingkari rimbunan bunga melati, memunguti melati-melati yang sudah jatuh dari pohonnya, dua gadis berkerudung hijau dan biru tampak asyik memandang bunga-bunga mawar yang mulai bermekaran. Sedangkan remaja-remaja putra yang kini duduk di kursi SMP dan SMA tampak sibuk memaculi tanah untuk lahan tanaman kami yang selanjutnya.
Pak Surya tersenyum ramah ketika melihatku datang bersama Anisa dan Rafli. “Assalamua’alaikum pak,” sapaku. Bapak paruh baya itu tersenyum dan membalas salamku. “Bapak tidak ikut rapat?” tanyaku.
“Ah, kan sudah banyak yang mewakilkan, bapak lebih senang berada di sini.” Ujar pak. Surya sambil memandang ke sekelilingnya. Aku tersenyum tipis dan turut memandang ke sekitar. “Andai kita bisa mendapatkan lahan itu,” gumam pak Surya seraya memandang lapangan tak terurus di luar kompleks panti yang hanya di batasi oleh pagar bambu ala kadarnya. Aku mendesah pelan. “Sepertinya antusiasme anak-anak ini pada tumbuhan sangat besar,” ujarnya, kembali tersenyum tipis sambil melihat bocah-bocah kecil yang berada di sampingnya, tampak asyik dengan bibit baru mereka.
“Tapi lahan itu milik perusahan besar di Jakarta, aku tidak yakin kita bisa dengan mudah mendapatkannya.” Gumamku.
“Pernahkah kau membicarakan hal ini pada pak Darmawan? Mungkin beliau bisa membantu.”
Aku mengailhkan pandanganku pada tiga remaja putri yang duduk di kelas satu SMP, mereka tampak sibuk mencatat sesuatu di depan sebuah tumbuhan yang tidak ku kenali, salah satu dari mereka tampak tertawa renyah ketika melihat temannya menginjak lumpur yang belum mengering dari hujan kemarin.
“Aku tidak ingin merepotkan pak Darmawan lagi,” bisikku begitu pelan, bahkan berharap pria berumur 40 tahunan itu tidak mendengar. Dan sepertinya harapanku terwujud, pak Surya, yang merasa aku enggan menjawab atau karena  melihatku tengah sibuk dengan pemikiranku sendiri, akhirnya kembali mengalihkan fokusnya pada sosok bocah-bocah kecil yang tengah menggali lubang kecil untuk bibit tomat.
“Beri jarak sedikit.” Ujarnya pada Bagas, bocah kelas 6 SD yang sudah hafal juz ke-30. Aku memperhatikan mereka untuk sesaat, kemudian ikut berjongkok di samping Anisa yang tengah menggali dua lubang untuk bibit tomatnya.
“Mengapa kau menggali dua lubang?” tanyaku.
“Satu untukku, dan yang satunya untuk Aisah,” katanya sambil terus menggali. Aku tertegun sejenak, kemudian membantunya menggali tanah itu. Wajah Anisa sedikit mengkerut jijik ketika melihat cacing kecil di dalam lubang yang ia gali. Aku terkekeh pelan.
  “Tidak apa-apa, ia akan membantu menyuburkan tanaman kita,” ujarku menenangkan. Anisa menatapku dengan pandangan yang sedikit tidak percaya.
“Kak Zahra benar,” ujar pak Surya dengan lembut pada kami. Ia melongok sedikit pada lubang yang dibuat Anisa dan mengangguk-ngangguk, sebelum menjelaskan kegunaan cacing untuk tanaman kami.
“Kak Zahra!” aku menoleh ketika mendengar seseorang memanggilku. “Ada yang mencari kakak.” Kata Arini, seorang gadis berumur 14 tahun yang baru dua tahun ini menjadi anggota keluarga panti. Aku mengerutkan keningku, namun tidak melontarkan pertanyaan apapun kepadanya.
“Terima kasih Arin,” kataku, dan ia mengangguk lalu kembali berlari dengan buku di dekapannya. Aku menoleh pada pak Surya yang tengah menatapku, ia mengangguk seakan mengerti dengan apa yang akan ku katakan.
“Kakak pergi dulu ya Anisa,” ujarku pada Anisa yang mulai memasukan benihnya ke dalam lubang dengan bantuan Bagas.
“Iya kak,” jawab Anisa.
Aku beranjak dari lahan yang di beri nama ‘benih tomat baru’ melewati rumpun bebungaan, dan tanaman-tanaman obat-obatan. Sambil mencuci tanganku di keran air yang berada di samping pintu belakang panti, aku kembali memikirkan siapa gerangan yang mencariku. Hm, ini terasa sedikit aneh karena biasanya yang bertugas menemui tamu adalah ummi atau Amy, namun karena Ummi sedang pergi mengikuti rapat, dan Amy masih belum pulang dari perjalanan panjangnya bersama Teuku Arya Pratama, teman pantiku yang juga kekasih Amy (meski sampai saat ini mereka hanya bilang teman biasa), ke kediaman keluarga besar Arya di Aceh.
Bibirku sedikit tertarik, membentuk senyuman simpul ketika mengingat kedua sahabatku itu, Amy dan Arya, entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang. dan rasanya aku ingin sekali menyerbu Amy dengan ribuan pertanyaan mengenai hubungan mereka. Gadis itu selalu menolak jika dikatakan memiliki hubunan khusus dengan Arya, tapi lihat kan, dia sama sekali tidak menolak ketika Arya membawanya menemui keluarga besarnya. Ya Allah… sepertinya aku akan segera mendapatkan undangan baru. Aku kembali tersenyum pada pemikiran itu.
Ketika mematikan keran, buku-buku jariku sudah hampir memutih karena terlalu lama berada di bawah guyuran air, aku mengibaskan jemariku hingga menyipratkan air ke berbagai arah. Kemudian berjalan perlahan menuju gedung utama. Langkahku langsung terhenti ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan gedung utama panti, mataku mulai terasa memanas, sekuat tenaga ku tahan semua gemuruh yang mendadak memenuhi relung hatiku. Sejujurnya, aku tidak menginginkan semua rasa ini menyerbuku, namun sungguh, aku lelah. Aku lelah pada semua kata cinta yang palsu itu.
Sosok itu berdiri membelakangiku, tangan kirinya tersembunyi di dalam saku, sedangkan tangan kanannya menempelkan ponselnya di telinga, berbicara dengan suara tegas yang bernada memerintah.
Aku berdiri di belakangnya selama beberapa detik, mataku terus menatap punggungnya yang bidang. Aku sama sekali tidak bisa menangkap apa yang ia bicarakan di telepon, namun ia jelas tampak sedikit gusar pada lawan bicaranya.
“LAKUKAN!” teriakan itu menghentakku. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, menyadarkanku pada dunia nyata lagi, dan ketika tersadar, hal yang ku inginkan adalah pergi secepatnya dari tempat itu. kemarin ia hampir saja membunuhku, dan hari ini mungkin dia akan benar-benar membunuhku, mencekikku sampai mati, dan menunjukan sisi ‘indah’ dari kata cintanya.
Fakta itu membuat tubuhku bergetar karena ketakutan, dengan cepat aku memutar kakiku, bersiap untuk berlalu secepat mungkin.
“Kak Zahra aku sudah berhasil!!” teriak Anisa sambil mengangkat dua tangannya yang kotor karena tanah. Aku meringis kepadanya, namun sebisa mungkin tetap tersenyum dan mengangguk. Setelah puas menyeringai padaku gadis kecil itu kembali pergi memasuki gerbang halaman belakang, mungkin ia hendak mencuci tangannya atau apa, aku sudah tidak peduli. Yang kini menarik perhatianku adalah perubahan atmosfir di sekelilingku yang tiba-tiba. Dalam hati aku mulai menghitung sampai ia memanggilku, namun hingga hitungan ke tujuh, tidak ada panggilan apapun. Aku mulai bertanya-tanya apakah Raihan tidak menyadari keberadaanku atau dia memang sudah pergi?
“Zahra.” Panggilnya pada hitunganku yang ke dua puluh tiga. Aku melirik sedikit ke belakang. “Aku mencarimu.”
“Aku tidak ingin menemuimu,” jawabku ketus.
“Aku tidak memintamu menemuiku,” katanya, mataku menyipit.
“Oke kalau begitu, aku akan segera pergi!” pekikku kesal, namun ketika hendak berlalu, tangannya menahan tanganku, mencengkram pergelangn tanganku dengan sangat erat. Aku menatap sinis padanya. Apa yang sebenarnya pria ini inginkan?!
“Sampai kapan kau akan sadar, jika kau tidak bisa pergi dariku.”
Aku mendengus jijik, namun cengkramannya terlalu keras hingga sekuat apapun aku berusaha, aku tidak akan bisa melepaskannya. Tapi kemudian, ketika teriakan gadis kecil itu menggema di antara kami, cengkramannya mengendur, aku melirik sosoknya yang tampak menegang, wajahnya tak terbaca, hanya tersirat sekelebat bayangan lega dan cemas dalam waktu yang bersamaan.
“Om Raihan!!” teriakan itu kembali terdengar, kali ini membuatku menoleh kearah gerbang panti, mataku menyipit untuk memastikan siapa yang datang. dan ketika mobil itu berhenti di depan gerbang, aku bisa merasakan air mataku tergenang. “Kak Zahra!!!” teriak seorang gadis kecil berjilbab ungu dari dalam mobil.
Dan air mata itu pun menetes.

Rabu, 27 Maret 2013

PELANGI HITAM - PUTIH -03-


RAIHAN

MATAKU MELEBAR KETIKA tubuh gadis di sampingku memeluk tangan kiriku. Tapi bukan itu yang membuatku tersentak. Teriakannya yang keras, yang memintaku untuk berhentilah yang membuatku membeku.
Aku hanya ingin melindunginya, aku ingin menenangkannya, aku ingin menjaganya, ya, alasan klise di balik kenyataan bahwa aku ingin memilikinya.
Namun kini, satu detik saja aku terlambat menginjak rem, maka aku akan menghancurkan sosok yang paling ku inginkan di dunia ini. Aku akan melukainya, atau mungkin membunuhnya.
Dengan cepat aku menginjak rem dan membanting kemudi ke sebelah kiri, membuat mobil kami berputar sekali dengan suara decitan ban yang akan terdengar memekakan telinga jika tidak ada suara derasnya hujan. Namun licinnya jalanan karena hujan hari itu justru memperarah keadaan. Aku tidak bisa mengendalikan kemudi lagi, tekanannya terlalu kuat.
Hatiku terasa begitu perih ketika merasakan tubuh gadis di sampingku semakin menegang ketakutan, suara teriakannya menyatu dengan hujan hingga akhirnya mobil kami berhenti setelah membuat goresan melingkar di jalan raya yang langsung tertutup hujan itu. Kami beruntung karena mobil yang berlalu lalang tidak lah terlalu padat, hingga tidak ada satu mobilpun yang ikut lepas kendali dan menabrak mobil kami.
Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi, nafasku masih memburu, mataku terbelalak menatap jalanan yang di tutupi hujan deras, tanganku masih mencengkram kemudi dengan sangat erat, hingga buku-buku jariku memutih.
Isakan tangis gadis di sampingku mengembalikan sadarku. Dengan perlahan aku menoleh pada sosok yang masih bersembunyi di balik tanganku. Cengkramannya terasa sangat kuat, membuatku yakin ia memang sangat ketakutan. Dan kenyataan itu menggoncang jiwaku. Aku ingin melindunginya, membuatnya bahagia. Bukan menakuti dan membuatnya menangis.
Aku ingin ia tau bahwa aku mencintainya.
“Maaf…” bisikku terbata. Gadis di sampingku masih menangis tergugu. “Zahra… maafkan aku…” ujarku lagi. Dengan perlahan ia mengankat wajahnya, dan melepaskan cengkramannya, duduk meringkuk di kursinya, sambil memeluk kedua lututnya, wajahnya masih pias karena syok.
Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, dan memejamkan matanya dengan perlahan. Membuatku khawatir apakah dia pingsan atau apa.
“Zahra… kau baik-baik saja?” tanyaku ketakutan. Gadis itu kembali membuka matanya, membuatku merasa benar-benar seperti bajingan brengsek ketika melihat pandangan matanya yang terluka-ketakutan-dan tampak pasrah. “Aku akan membawamu pulang,” bisikku dan kembali menggenggam erat kemudiku. Namun tanpa amarah kali ini.
***
Perjalanan yang selanjutnya terasa begitu sunyi, dua jam perjalanan tersisa sebelum kami sampai di panti, dan sepanjang perjalanan aku bisa melihat Zahra masih begitu syok. Ia sudah menurnkan lututnya, kini duduk normal di sampingku. Matanya terus menatap keluar jendela, dengan tangan yang saling bertautan di atas pangkuannya. Aku tau dia masih ketakutan, tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkannya, dan untuk sesaat aku kembali berpikir apakah aku benar-benar pantas untuknya.
Aku tidak pernah berniat untuk jatuh cinta pada gadis manapun lagi. Aku sudah pernah terluka dan tidak berniat untuk kembali terjatuh. Tapi ketika pertama kali melihatnya, melihat dua mata coklatnya yang tajam, aku tau aku sudah jatuh cinta. Begitu mudah, begitu sederhana. Aku mencintainya meski tampak jelas dia sama sekali tidak menyukaiku. Terlebih lagi, ketika itu dia sudah memiliki tunangan.
Tapi sosoknya sudah membuatku gila sejak pertama kali melihatnya. Aku jatuh cinta tanpa mengetahui namanya, aku jatuh cinta bahkan sebelum melihat mata indah itu berkedip, atau mulut manisnya berbicara. Aku jatuh cinta dengan cara yang tidak ku mengerti. Meski selama ini aku selalu mencibir pada kisah-kisah percintaan yang kadang ditunjukan orang-orang di sekelilingku untuk sekedar membuatku iri dan akhirnya memutuskan untuk mencari pendamping hidup.
Sejujurnya, bagiku wanita hanya seperti barang. Ada yang berharga, ada juga yang seperti sampah. Namun jika kau berusaha, tidak ada barang yang tidak bisa di beli dengan uang. Semuanya hidup demi uang bukan? Barang antik pun akan terjual jika pembelinya berani membayar mahal. Begitu pula dengan wanita, secantik apapun bisa kau dapatkan asalkan kau siap membayar mahal. Dan, well… selayaknya barang, wanitapun bisa di tukar, dipinjamkan, atau bahkan di buang ketika bosan.
Semudah itu.
Hingga aku melihat sosok cantik berkerudung abu-abu di sampingku. Ketika itu, di tengah mendung, dengan mata sembab dan wajah yang pucat, aku tanpa sengaja bertemu dengannya, dan jatuh cinta.
Memikirkan kata cinta itu membuat tubuhku menegang. Atau lebih tepatnya memikirkan gadis di sampingku lah yang membuat tubuhku kaku. Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Aku adalah seorang direktur, dan memiliki berpuluh-puluh perusahaan dalam berbagai bidang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Tapi ketika berhadapan dengannya, sekuat apapun usahaku, aku akan selalu merasa takut dan cemas. Aku takut dia terluka, aku takut dia tidak bahagia, aku takut…
Dan kejadian beberapa saat yang lalu membuatku berpikir, apakah aku pantas untuknya. Bagaimana jika semua ketakutan, kepedihan dan lukanya itu disebabkan olehku. Bagaimana jika dia justru akan menangis ketika bersamaku? Bagaimana jika…
Ah Persetan!!! Aku mencintainya, dan akan mendapatkannya!
***
“Nak Raihan tidak masuk dulu?” Tanya wanita paruh baya yang mereka panggil ummi. Aku tersenyum santun dan menggeleng. Setelah mengantarkan Zahra sampai di depan pintu panti tempat tinggalnya selama ini,  aku berbalik memohon pamit. Aku masih menatap gadis itu dari dalam mobil, seakan tersadar akan sesuatu, gadis itu menoleh, menatap tajam tepat kearahku. Dan aku merasa tatapannya menyiratkan kebenciannya padaku, bahkan mungkin mengharapkanku mati di perjalanan pulang kali ini.
Aku tidak takut mati, aku tidak keberatan sama sekali, toh jiwaku memang sudah lama mati. Namun tidak saat ini, tidak ketika aku masih bisa melihat goresan luka di mata indahnya. Tidak sebelum ia akan benar-benar tersenyum bahagia, dan saat itu mungkin aku bisa mati dengan tenang. Tanpa permintaan siapapun.
Sejenak sebelum benar-benar mengeluarkan mobilku dari halaman panti itu, aku kembali menoleh. Namun kali ini bukan untuk Zahra atau siapapun, aku hanya ingin menoleh dan memastikan bahwa pikiranku selama ini tidaklah benar. Mungkin mataku sedikit bermasalah hingga akhirnya malah berhayal melihat gadis itu lagi. Gadis yang sempat ku kenal beberapa waktu yang lalu.
***
“Ada apa?” tanyaku ketika melihat sosok jangkung Lucky tengah berdiri membelakangiku. Ia berdiri mematung sambil menatap kemilau lampu kota bandung dari jendela besar apartemenku.
“Aku mencarimu kemana-mana.” Ujarnya datar. Ku hempaskan tubuhku di sofa setelah sebelumnya melemparkan kunci mobilku ke atas meja. Memijit pangkal hidungku untuk meringankan peningku.
“Ada masalah apa?”
“Tidak ada, hanya saja kau sudah harus menandatangani semua berkas itu.” Lucky menunjuk tumpukan berkas di atas meja dengan tatapannya. Aku melirik kertas-kertas itu sekilas, dan sepertinya Lucky bisa membaca kejengahanku pada kertas-kertas itu, karena ia segera menambahkan. “Perjanjianmu dengan mr. Chad sudah harus dilakukan.” Ujarnya mengingatkan. Aku mengangguk dan meraih berkas itu.
Aku membaca lampiran kedua dari berkas itu dan menemukan sebuah nama yang ku kenal dengan cukup baik. Untuk sesaat aku merasakan bayangan keraguan menyelinap dalam diriku, namun pada akhirnya aku langsung menanda tangani berkas itu dalam diam. Lucky menatapku, seperti biasa, ia adalah sosok yang bekerja dalam kebisuan. Satu hal yang selalu membuatku merasa cocok dengannya. Lucky tidak pernah sekalipun berpura-pura ramah pada siapapun, bahkan pada atasannya, yaitu aku sendiri. Ia mengatakan apa yang ia pikirkan, melakukan apa yang ku perintahkan. Tapi dia bukan sahabatku, hingga rasanya, sebesar apapun keinginanku untuk berbagi kisah tentang khayalanku akan wanita itu, aku tetap tidak bisa mengatakannya, meski mungkin itu akan membuatnya sedikit bahagia.
***

Senin, 25 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -02-


ZAHRA

SEPERTINYA AKU TERLALU banyak melamun, hingga ketika bu Aini menutup kelasnya, aku masih terbengong-bengong dengan catatan yang kosong. Risa yang duduk di sampingku melirikku dengan pandangan heran, kemudian kembali melirik kertas kosong di hadapanku. Aku hanya mengangkat bahu dengan mimik ragu, lalu menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, kembali menatap hujan yang belum juga mereda.
Kebanyakan dari teman-teman satu kelasku adalah orang-orang yang sudah berkeluarga, hingga ketika aku bertemu dengan Andhini dan Hana aku langsung merasa ‘klop’ karena kebetulan kami memiliki nasib yang sama, tiga-tiganya gadis lajang. Ketika aku melihat sosok Risa yang duduk sendiri satu minggu yang lalu, aku mendekatinya. Aku tau dia sudah menikah, namun umurnya tidak terpaut jauh dari kami, hanya berbeda satu tahun di atasku, 23 tahun, dan baru saja menikah 4 bulan yang lalu. Dan sepertinya, meski ia sudah menikah ia masih belum bisa bergabung dengan ibu-ibu yang mendominasi kelas non regular kami.
Aku tinggal di sebuah rumah sewaan tidak jauh dari kampus bersama Hanna dan Andhini, meski dalam seminggu kami hanya memiliki tiga hari jadwal kuliah; jum’at, sabtu, dan minggu. Dan sisanya ku habiskan di bandung untuk membantu bibi mengurus panti asuhan yang kini sudah merambah menjadi madrasah, dan sekolah SMP dengan guru-guru terpercaya atas bantuan seorang kakek Darmawan yang kebetulan memiliki nama Darmawan juga.
Hari ini hari minggu, itu artinya aku akan pulang ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta pada jum’at pagi. Namun untuk pertama kalinya aku tidak ingin pulang ke panti. Well, konyol memang, tapi aku lebih memilih tinggal di rumah sewaan kami di sini dari pada harus pulang di antar pemuda sialan itu.
Ah tapi, dia pasti sudah pulang karena bosan. Aku melirik jam dinding yang tertempel di atas white board. Sudah tiga jam berlalu, bahkan hampir empat jam. Mustahil rasanya jika pemuda itu tetap berada di bawah. Lagi pula ini kan bukan FTV!
“Kau mau menginap di sini?” tegur Andhini. Aku terkesiap dari lamunanku dan langsung memasukan barang-barangku dengan asal ke dalam tas. Ketiga sahabatku menunggu di ambang pintu. Risa berdiri di depan lorong dengan ponsel di telinganya.
“Damar sudah datang?” tanyaku ketika berjalan di sampingnya. Risa memasukan teleponnya ke dalam saku gamisnya dan mengangguk.
“Di bawah,” katanya sambil melirik hujan dari jendela di sampingnya. Kami berjalan dalam diam menuju lift. Hanna membuka bungkusan cokelat di sampingku ketika lift bergerak turun, dan mengunyahnya dengan santai. Aku menggeleng-geleng pelan sambil menatapnya. Andhini menggeram di samping Risa dan merebut coklat itu dari Hanna.
“Kau bilang mau diet!” pekiknya. Aku bersyukur hanya ada kami berempat di dalam lift, kalau tidak… aku tidak yakin bisa menahan malu melihat kelakuan teman-temanku.
Pintu lift terbuka. Andhini dan Hanna masih saling melanjutkan genjatan senjata mereka. Dhini menggenggam erat coklat Hanna, membuat gadis subur di sampingku bersidekap dengan wajah yang menunjukan kekesalannya. Langkah kami terhenti ketika melihat sosok Damar berjalan perlahan ke arah kami. Seperti biasa ia selalu terlihat rapih dan mempesona, dengan stelan kemeja dan celana bahannya yang berwarna abu-abu. Ia adalah seorang head officer salah satu bank syariah di Jakarta, dan istimewanya lagi, ia selalu menyempatkan diri untuk menjemput Risa.
Aku tersenyum santun kepadanya ketika ia menyapa kami setelah menyapa Risa. “Wah, romantis yah…” gumam Hanna dengan wajah yang sedikit konyol, Dhini menyikut lengan kanan gadis itu perlahan.
“Sudah selama ini, dan kau baru menyadari keromantisan mereka,” cibir Dhini.
Hanna mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menatap gadis itu dengan pandangan siap beperang. “Bukan Risa dan Damar. Well, mereka memang romantic, tapi ya aku sudah tau sejak lama. Tapi dia, pemuda itu!” Hanna menunjuk ke depan dengan telunjuknya yang tampak seperti ibu jari milikku atau Risa, dan jelas tampak seperti dua ibu jari Dhini jika di satukan.
Kami semua menoleh pada arah yang ditunjuk Hanna. Dan saat itu juga aku merasa berjuta rasa berkecamuk dalam hatiku. Terutama perasaan tidak percaya, namun alih-alih menemuinya dengan senyuman, seperti yang Risa lakukan ketika bertemu dengan Damar, aku malah berbalik, bersiap melarikan diri secepat mungkin.
“Kau tidak bisa lari.” Suara itu membekukan tubuhku. Aku berdiri membelakanginya, kedua tanganku mengepal di kedua sisi tubuhku. Aku tau, seharusnya aku tersanjung dengan perlakuan manisnya yang rela menungguku hingga kurang lebih 4 jam lamanya di kampus. Tapi semua tentangnya hanya membuatku marah dan marah dengan alasan yang masih tidak bisa ku mengerti. “Aku harap kau tidak kecewa karena aku tidak menunggumu di tengah guyuran hujan.” Ujarnya dengan sedikit nada geli. Wajahku memerah.
“Haha ini kan bukan serial FTV,” ujar Hanna sambil tertawa, tampaknya sudah lupa dengan kekesalannya pada Dhini. Aku melirik sengit sosok besarnya.
“Ya sudah, aku harus pergi.” Ujar Risa memecah keheningan yang sempat tercipta setelah tawa konyol Hanna berhenti. “Zahra, ku rasa sebaiknya kau pulang bersamanya, sudah terlalu sore, sepertinya bu Aini benar-benar mengganti jam ajarnya yang minggu kemarin terlewat karena beliau pergi ke luar kota. Dan hujan pula, untuk kebaikanmu sendiri pulanglah bersamanya.” Tutur Risa lembut. Aku mendesah dan melirik Damar, betapa beruntungnya ia memiliki Risa sebagai pendamping hidupnya.
“Ku rasa pulang sendiri akan lebih aman dari pada pulang bersamanya,” desisku sinis. Dhini mengunci rapat-rapat mulutnya, meski aku tau ia tengah menahan tawa.
“Kau akan pulang bersamaku.” Ujar pemuda itu dengan penekanan di setiap kata-katanya.
“Kalau aku tidak mau?!” tudingku sambil berbalik, menatap lurus-lurus mata tajamnya. Ia menyipitkan matanya dan menarik tanganku.
“Aku tidak pernah menanyakan apakah kau mau atau tidak. Aku tidak peduli.” Katanya seraya menarikku menerobos hujan dan berjalan ke mobilnya. Tubuhku yang masih terlalu syok tidak sempat memberontak. Hingga aku sudah berada di dalam mobil, duduk diam dengan bagian atas jilbabku sedikit basah, aku baru tersadar. Aku bisa melihat Hanna melambai-lambaikan tangannya dengan senyuman lebar, Dhini mengangkat dua ibu jarinya, dan Risa hanya tersenyum sambil mengangguk di samping Damar. Sedangkan aku masih melongo bodoh di dalam mobil pemuda gila itu.
Aku mulai memikirkan berbagai macam cara untuk keluar dari mobil ini. Hujan di luar sana masih sangat deras, dan tampaknya bertambah deras. Aku melirik ke luar jendela, aku bisa saja melompat keluar, namun mengingat berita meninggalnya seorang mahasiswi karena melompat dari angkutan umum, aku langsung menghapus pilihan itu dari pikiranku. Terlebih ketika pemuda di sampingku terus menambah kecepatan mobilnya.
“Pakai sabuk pengamanmu!” katanya dengan nada memerintah. Aku mencibir dan bersidekap. Benar-benar seperti bocah kecil yang tengah marah karena tidak di belikan mainan ke sukaannya. Konyol memang, tapi aku memang tidak ingin melakukan apa yang dia inginkan. Aku masih membencinya!
“Pakai. Sabuk. Pengamannya!” ia mengulangi kata-katanya dengan penekanan yang lebih kuat lagi. Aku sempat merinding juga karena suaranya, namun aku tidak mungkin melakukan apa yang ia katakan! Memangnya siapa dia?!
Kemudian tanpa di duga-duga ia menghentikan mobilnya di bahu jalan. Tubuhku sampai condong beberapa senti ke depan karena rem dadakannya, kemudian dengan cepat kembali bersandar ke kursi. Jantungku berdetak kencang karena terkejut. Dengan segera ia mencondongkan tubuhnya di atasku, meraih sefty belt yang berada di sampingku. Aku melotot menatapnya, dan saat itu juga tangaku reflex meraih sesuatu di pangkuanku, dan memukul wajahnya dengan cukup keras.
“Aw!!” teriaknya sambil mundur ke kursinya dan melepaskan seft belt yang tadi sudah di raihnya. Aku terengah-engah menatapnya, wajahku memerah kesal sambil terus menggenggam benda yang ku gunakan untuk memukul pelipisnya yang kini tampak memerah.
“Apa yang mau kau lakukan?!!” tudingku marah. Ia memicingkan matanya.
“Aku ingin memasangkan sabuk pengamanmu, bukankah sudah ku katakan!” ia balas berteriak. Aku melongo menatapnya, satu hal lain yang ku benci dari diriku sendiri adalah, aku akan menangis ketika merasa benar-benar kesal. Dan saat ini aku benar-benar ingin menangis. Bukan karena takut atau apapun. Tapi rasa kesal dalam hatiku rasanya sudah benar-benar menumpuk hingga siap meledak.
“Aku bisa melakukannya sendiri!” suara hujan di luar sana membaurkan suara teriakkanku. Membuatku ingin mengulang teriakanku agar dia tau betapa aku tengah kesal kepadanya. Betapa aku membencinya!
“Kalau begitu lakukan!!” teriaknya dengan tatapan yang menunjukan kemarahan. “Kalau kau merasa bisa melakukan semuanya sendiri, lakukanlah. Jangan membuat orang ingin melakukannya untukmu!”
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan. Namun suara teriakannya membuat tubuhku bergetar marah. Dengan kasar ku raih seft belt di sampingku, menariknya hingga ke atas tubuhku, dan menguncinya di sisi yang lain di kursiku. “Puas!?” tudingku, menatap tajam ke arahnya. Suaraku cukup dingin, bagai hawa yang di bawa hujan hari itu. dingin dan menusuk.
Pemuda itu menyandarkan kembali tubuhnya di sandaran kursi, kedua tangannya mencengkram erat-erat kemudi, matanya menatap lurus jalanan yang berkabut di hadapan kami. Dan sejenak, aku merasa takut jika kemarahannya akan membahayakan kami. Jalanan tengah licin, dan aku yakin seratus persen dia tidak akan bisa berkonsentrasi.
Ternyata benar dugaanku, ia langsung menginjak gasnya, menambah kecepatan mobilnya terus menerus, seakan yang terjadi di luar sana bukanlah hujan lebat yang menutupi jarak pandang, melainkan hanya sepoi angin yang bahkan tidak bisa menerbangkan secuil kapas. Aku tersentak ke belakang sandaran kursi beberapa kali. Tanganku menggenggam erat kedua sisi kursi di samping pahaku. Aku ingin berteriak! Kecepatan ini membuatku mual, aku takut!
“Berhenti!” aku ingin berteriak, tapi suara yang keluar justru hanya sebuah decitan kecil seperti seekor tikus yang tengah ketakutan di kelilingi oleh kucing-kucing besar yang tampak lapar.
Kami sudah melewati puluhan mobil di belakang, menerima beribu klakson kesal dari berbagai pengemudi, hingga rasanya tubuhku lemas tak berdaya. Bagaimana mungkin ia bisa mengemudi secepat ini dengan jarak pandang yang terbatas karena jalan tol kala itu benar-benar sudah di tutupi hujan berserta kabut kelabunya.
“RAIHAN BERHENTI!!!!!” teriakku kencang seraya memeluk tangan kirinya ketika aku melihat sebuah mobil bus berada beberapa meter di depan kami, bahkan mungkin sedetik kemudian, dengan kecepatan menggila seperti ini, kami sudah akan berada di bawah ban mobil itu, atau mungkin terguling, dan ditabrak oleh mobil yang datang dari arah berlawanan. Lalu mati.



INDEKS

PELANGI HITAM PUTIH -01-


ZAHRA

“Hujan lagi…” keluh seorang gadis di sampingku sambil terus menepis-nepiskan air yang menetes dari sebagian rambut hitamnya. Tetesan hujan itu juga menyisakan jejak bulat-bulat kecilnya di blus hijau toska wanita itu. aku tersenyum tipis dan mengulurkan sekotak tisu kepadanya. Untuk sejenak wanita itu terdiam, ia langsung menatapku dengan kedua mata abu-abunya. Meneliti wajahku. Aku mengangguk santun dan kembali tersenyum.
“Ini,” bisikku sambil memberikan tisu itu kepadanya. Dan tepat pada saat itu, bis yang ku nanti datang, dengan cepat aku mengucapkan selamat tinggal pada wanita itu dan berlalu menaiki bis. Ia masih terbengong-bengong dengan tangan yang memegang tisu yang ku berikan. Aku sudah tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi lagi. Aku sudah harus segera berangkat ke kampus, atau aku akan kehilangan jam kelasku yang berharga.
Aku tidak mengenal wanita itu sama sekali, dan mungkin ini adalah kala pertama dan terakhir kalinya aku akan melihat sosok wanita berblus hijau toska itu. tapi aku tau, ada satu hal yang membuatku terpaku melihatnya sejak pertama kali ia berlari-lari kecil ke halte tempat ku berdiri menunggu bis datang, hingga akhirnya hujan itu turun mengguyur raya.
Tapi, aku tidak tau apa.
***
“Zahra!!!” teriak seorang gadis berjilbab hijau muda sambil menubruk tubuhku. Kemudian di susul oleh dua gadis lain di belakangnya. Aku mendesis jengah sambil mendorong tubuh tambunnya menjauh.
“Apa?!” tudingku sambil meletakan tanganku sebagai batasan buku yang tengah ku baca.
“Ada yang mencarimu.” Ujar Hana, gadis sebayaku yang memiliki hobi makan dan makan, hingga tidak heran rasanya jika melihat sosoknya tumbuh subur seperti ini.
“Siapa?” tanyaku pada Risa, satu-satunya sosok yang paling dewasa di antara dua sahabatku yang lainnya.
“Pangeran tampan itu lagi.” Goda Andhini sambil menyenggol bahuku. Aku meringis, menatap sosok Risa meminta bantuan.
“Sepertinya kau harus menemuinya, kau tau… kedatangannya selalu mengundang perhatian banyak orang.” Ujar Risa. Aku melongo, bahkan sosok Risa pun menyuruhku untuk menemuinya!!!

Aku tidak yakin dengan apa yang ku lakukan. Tapi akhirnya aku tetap berjalan menuju lift, turun ke lantai bawah, menelusuri lorong panjang yang memberikan pandangan monoton; pintu kelas berjajar dan sebuah taman di tengah-tengah gedung fakultasku. Ketika mataku sudah bisa menatap sosok itu dengan jelas, aku menghentikan langkahku. Tampaknya dia tengah berbincang dengan seorang bapak paruh baya. Seorang dosen mungkin, aku tidak yakin, aku belum pernah melihatnya sebelum ini, atau mungkin karena jam kelasku yang masih terbilang baru.
Ia berdiri dengan tegap, rambut hitamnya tersisir rapih, namun tidak selicin bapak tua di hadapannya. Dengan anak jenggot yang mungkin ia sengaja biarkan tumbuh, ia memang terlihat cukup seksi. Apalagi, dengan senyuman menawannya, jadi tentu saja sangat tidak mungkin jika kedatangannya tidak mengundang berjuta perhatian.
Aku mendesah ketika menyadari bahwa bukan hanya aku yang tengah menatap kearahnya, secara sembunyi-sembunyi atau bahkan terang-terangan. Mereka masih berbincang, tampak jelas kalau bapak itu benar-benar kagum kepadanya, aku bisa melihat pancaran matanya. Dan, meski aku sangat yakin ia merasa bosan, tapi anehnya ia tetap terlihat nyaman. Hingga akhirnya ia melihatku berdiri di balik tiang besar yang menopang bagian depan gedung berlantai lima, gedung kelasku sejak dua minggu yang lalu.
Di depan gedung yang biasa ini, di parkiran yang biasa juga, sosok itu tersenyum padaku, melambaikan tangannya dengan wajah yang sepertinya terlihat lega. Tanpa sadar aku menaikan sebelah alisku, dan membentuk wajahku untuk menunjukan rasa malas yang muncul dari hatiku ketika melihatnya. Tapi entah mengapa ego ku merasa sedikit senang ketika melihat beberapa mahasiswi menatapku tidak percaya, kemudian jelas mereka kecewa karena pemuda itu ternyata mengenalku, dan memang datang untukku. Hilang sudah harapan mereka untuk sekedar berkenalan dengannya.
Untuk sesaat aku tersenyum licik.
“Astagfirullah…” bisikku pelan. Apa yang sudah ku lakukan, bagaimana mungkin aku bisa memiliki pemikiran seperti ini. Apa yang akan di katakan bibi jika beliau sampai tau tingkahku.
Aku berjalan melewati lima atau enam anak tangga, hingga berada di parkiran yang berjarak dua meter dari anak tangga terkahir. Ada tiga mobil di sana, dan mobil hitamnya yang paling mencolok, atau sebenarnya tidak juga. Tapi sosok itulah yang membuat mobilnya tampak paling terlihat di antara dua mobil lainnya. Sebuah pohon besar tumbuh di rerumputan tepat di depan gedung fakultasku. Memayungi sebagian besar area parkir dan taman buatan di sekelilingnya. Sepoi angin yang lembut mengibarkan ujung-ujung jilbabku ketika akhirnya aku sampai di depan mereka.
Bapak paruh baya itu langsung menoleh padaku dengan tatapan tidak suka, namun mulutnya tetap menyunggingkan senyuman palsu yang menunjukan seakan-akan ia begitu senang melihatku.
Aku membalasnya dengan senyuman simpul dan mengangguk santun setengah hati.
“Ini pak Rudi, salah satu dosen di fakultasmu.” Tuturnya. Aku langsung menaikan sebelah alisku dengan pandangan ‘oh ya?’,  yang jelas meragukannya.
“Ah mungkin dik Zahra tidak mengenal bapak. Bapak mengajar anak-anak S1 semester awal.” Ujarnya menjawab tatapan meragukanku. Lagi-lagi aku tersenyum simpul, menjaga kesopananku sebisa mungkin.
Tunggu, tadi apa katanya? Dik Zahra?! Dia bahkan sudah mengetahui namaku!
Aku melirik sinis pemuda di sampingku yang masih tersenyum maklum pada bapak itu. “Tapi bapak yakin kita akan sering bertemu.” Ujar pak Rudi, dan kini aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa raguku lagi.
“Terima kasih pak, mohon bimbingannya, dia adalah mahasiswi baru di sini.” Tuturnya. Aku melotot kepadanya, aku tidak butuh bantuan siapapun! Aku bisa melakukannya sendiri!
Kemudian sambil tersenyum lebar-aneh, ia sedikit membungkuk dan berlalu pergi dari hadapan kami. Aku menjawab salamnya perlahan, dan berbalik untuk menghadapi langsung sosok yang membuatku terpakasa turun dari lantai 4 kelasku hingga ke parkiran.
“Ada apa?” tanyaku ketus.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin menemuimu.” Ujarnya santai, semilir angin yang menerpa tubuh kami, menebarkan aroma maskulinnya yang membuatku menutup hidungku rapat-rapat. Aku pernah hampir dimabukan oleh aromanya, dan untuk saat ini, aku tidak ingin terpeleset lagi. Aku masih membencinya dengan berjuta alasan, yang sepertinya bisa ku mengerti, namun ketika ingin menuliskannya aku merasa otakku kosong.
Aku menaikan sebelah alisku, “Aku sedang di kampus, dan aku ada kelas!” ujarku datar. Ia tersenyum tipis. Telingaku mulai gatal ketika mendengar suara bisikan dari sekelilingku. Bukan… bukan suara bisikkan setan atau apapun yang tak kasat mata. Tapi suara bisikkan mahasiswi yang menonton kami. Menonton kami!! Astaga!
Ya Allah…
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling lapangan parkir itu. Ada dua gadis yang tengah berdiri di parkiran motor tidak jauh dari tempat kami berdiri, mereka berpura-pura menyibukan dengan motor mereka ketika aku melirik kearah mereka. Dan sekelompok mahasiswi yang duduk di kursi-kursi beton di tengah taman juga tampak terang-terangan menonton kami. Jantungku mencelos, aku tidak berani berbalik ke belakang, ke arah gedung fakultasku yang sudah barang tentu tengah rama oleh para penonton. Bahkan rasanya aku bisa mendengar suara melengkin Andhini dari jendela kelas kami.
Aku tidak melebih-lebihkan. Sama sekali tidak, dan aku sudah sangat bersyukur karena tidak ada mahasiswi bodoh yang menghampiri kami untuk sekedar meminta foto bersamanya atau mungkin tanda tangannya. Masya Allah, aku menggeleng-geleng pada pemikiran konyol itu. setidaknya beberapa menit yang lalu, dosen yang katanya mengajar juga di fakultasku menghampirinya terlebih dahulu.
“Aku akan menunggumu, dan mengantarmu pulang.”
Aku mendengus kesal. “Kau bukan supirku.”
“Aku tidak mengatakan kalau aku supirmu.” Ujarnya dengan wajah datar.
Aku menggertakan gigiku ketika melihat wajahnya. “Kalau begitu kau tidak perlu menungguku di sini!” pekikku kesal.
“Kau bukan ibuku.” Ujarnya masih dengan wajah tenang. Namun aku bisa melihat kilatan geli di matanya.
“Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku adalah ibumu.” Ujarku sengit. Ia menunjukan senyuman miringnya dan mengangguk.
“Kalau begitu kau tidak bisa menentukan apa yang boleh dan tidak aku lakukan.” Ujarnya, kini mimic gelinya tampak jelas. Aku melongo menatapnya, berjuta sial! Berani-beraninya dia.
“Terserah!” desisku sinis, kemudian berbalik untuk berlalu pergi. “Tapi kalau kau ingin mengganggku dengan melakukan semua hal konyol ini, kau tidak akan pernah bisa.” Tuturku sebelum melangkah.
“Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”
Langkahku berhenti sejenak, namun sedetik kemudian aku meneruskannya, berlalu menaiki anak tangga, melewati lorong-lorong kelas, masuk ke dalam lift, dan kembali berjalan ke dalam kelasku dengan hati hancur.
Kata cinta itu begitu menyakitkan. Masih terasa meremukan hatiku, meski aku sudah berusaha berdiri setegar mungkin. Dan tidakkah ia mengerti itu?! apa selama ini aku terlihat begitu bahagia, tertawa terbahak hingga hampir menangis?! Apakah aku terlihat baik-baik saja?! Hingga tidak ada sebuah rangkulan datang, yang sebenarnya paling ku butuhkan saat ini.
Tapi pada akhirnya aku malah menemukan sosok yang siap menumpahkan air garam pada lukaku yang bahkan belum pernah mengering sama sekali.
***
Tetesan hujan itu turun dengan perlahan. Aku masih mengikuti kelas bu Aini yang terkenal membosankan, namun menurutku cukup penting. Keningku berkerut sambil menatap gumpalan awan kelabu yang menjadi pemandangan utama jendela di sampingku. Padahal beberapa saat yang lalu matahari masih bersinar dengan sangat terang, memberikan panas yang membuat orang-orang membuat kipas dadakan dengan kertas, buku, atau apapun yang mereka pikir bisa menghilangkan panas itu.
Aku mencibir pada diriku sendiri ketika pikiranku melayang kepada sosok pemuda yang ku temui dua jam yang lalu di parkiran. Ah bodoh, dia pasti sudah pergi. Lagi pula, ini bukan serial FTV, tidak ada mahluk berjenis kelamin laki-laki yang bersedia menunggu di bawah guyuran hujan. Ini adalah kehidupan nyata, dimana kaum pria lebih takut pada air dari pada berharap mendapatkan decakan kagum penuh kasih dari pasangan mereka ketika melihat bahwa prianya rela menunggu di tengah guyuran hujan.
Ini kehidupan nyata. Aku mendesah pasrah pada pemikiran itu. kehidupan nyata yang kini terasa sedikit membuatku lemah. Tidak. Aku sudah berjanji pada bibi untuk bertahan. Aku adalah Zahra, aku bukan gadis lemah, aku akan baik-baik saja meski mungkin akan menangis sekali atau dua kali. Tapi aku akan baik-baik saja. Harus.
Hanya saja aku tidak yakin, akankah pintu hatiku kembali terbuka dan menerima sekelebat bayangan cinta yang mungkin suatu hari nanti hadir di dalam hidupku. Tapi aku meragukannya. Karena rasanya sampai saat ini, aku sudah kehilangan hati itu. Gumpalan daging itu sudah membusuk karena di banjiri air mata duka, jadi bagaimana cinta itu akan tumbuh jika tidak ada tempat untuknya? Hanya seperti bagiamana mungkin janin akan tumbuh jika wanita itu tidak memiliki rahim.
Aku selalu merasa ingin menangis, dan muak pada diriku sendiri yang masih tidak bisa menahan gemuruh hatiku. Bukankah ini adalah keputusanku? Ini adalah hal yang ku inginkan. Lalu mengapa aku masih belum bisa mengikhlaskannya?
Ikhlas…
Ya, ratusan kali aku mengucapkan kata itu, namun satu titik pada diriku. Titik yang mungkin tersisa dari daging busuk yang mereka bilang hati itu, memaksaku untuk memberontak.
Tapi bagaimanapun caranya, aku akan tetap bertahan. Aku akan bertahan, aku harus.