Selasa, 28 Mei 2013

PELANGI HITAM PUTIH -09-


RAIHAN


“Maaf… aku tidak bisa membawa kematian itu bersamaku…”
Untuk kali pertamanya aku benar-benar menangis, jiwaku benar-benar hancur tak berdaya. Aku merasa benar-benar seperti pecundang tak berguna yang akhirnya hanya bisa menghancurkan keinginannya. Aku bahkan tidak bisa menuruti permintaannya untuk menghilang dari muka bumi ini. Dan kini ia terluka karena ulahku…
Aku seharusnya tidak memberontak, seharusnya aku tidak memecahkan vas bunga itu, seharusnya aku tidak mencoba untuk membuktikan bahwa aku bisa melakukan semuanya sendiri. Seharusnya dia tidak pernah terluka, bahkan meski hanya tergores oleh pecahan vas itu.
“Maaf…” bisikku tulus. Dan aku bisa merasakan isakkannya semakin keras, ia memelukku dengan sangat erat. Untuk pertama kalinya juga lah aku merasakan menemukan sosok lain dalam diri gadis itu, sosok yang selama ini tersembunyi di balik seluruh sikap angkuh dan tatapan dinginnya. Sosok yang selama ini ia sembunyikan, sosok rapuh yang membuatku ingin selalu melindunginya.
Namun dengan keadaan seperti ini, aku tidak akan bisa melakukan apapun. Aku hanya pria lumpuh yang tak berguna…
Dengan perlahan aku menggerakan lenganku yang terbalut perban olehnya, ku belai dengan lembut punggungnya yang masih bergetar karena isak tangis. Untuk kali ini saja Tuhan… untuk kali ini saja, izinkan lah aku menunjukan betapa aku sangat mencintainya… untuk kali ini saja… dan aku berjanji ini akan menjadi kali terkahirnya.
Aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin melihatnya kembali terluka. Mungkin sudah saatnya aku menepis egoku, menghentikan seluruh kisah konyolku untuk memilikinya secara eksklusif. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik, yang akan memberikan pelangi berwarna warni di setiap harinya, membuatnya tersenyum.
Tapi bukan aku…
***
            Aku sudah membuat keputusan. Aku akan segera pergi dari kehidupannya. Meski pada akhirnya aku tidak bisa membawa kematian itu bersamaku, namun setidaknya aku bisa memenuhi keinginannya untuk tidak lagi menemukanku dalam kehidupannya.
Ibu menatapku dengan perih. Sesudah kejadian memilukan malam itu, Zahra tertidur dalam pelukanku di sofa dalam ruang rawat inapku. Ia terus menangis hingga akhirnya kelelahan dan tertidur. Sebelah tangannya mencengkram erat ujung baju rumah sakit yang ku kenakan, kepalanya tersandar di bahuku. Aku sudah menghubungi ibuku ketika sinar mentari pertama kali muncul di balik tirai kamarku. Dan ibu langsung datang, tentu saja. Mengingat pada akhirnya hanya aku yang kini di milikinya setelah meninggalnya kakak sulungku.
Kakek berdiri di belakangnya dengan kepala sedikit menunduk. Aku tau ia tidak setuju, namun sudah tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikanku.
Dengan perlahan ku kecup kening gadis itu dan memindahkan kepalanya ke atas sandaran sofa. Beberapa suster membantuku naik keatas kursi roda, dan untuk yang terakhir kalinya, aku memandang dalam-dalam wajah cantik gadis yang masih terlelap itu, berusaha menyimpannya dengan sangat hati-hati ke dalam otakku.
“Kau akan menyesalinya.” Ujar kakek.
“Aku sudah menyesalinya.” Bisikku tanpa sekalipun mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang begitu cantik. “Pastikan dia baik-baik saja.” Bisikku pada seorang suster yang berdiri di sampingnya. “Ayo pergi.”
***
Aku pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya, pada seorang gadis lugu yang begitu menawan. Namun pada akhirnya semua kisah itu berakhir tragis, ketika satu hal kecil menjadi penghalang bagi kami. Lucu memang, tapi semenjak itu aku sudah membuang seluruh hal tentang kata yang akan membuatku lemah. Cinta. Cih!! Hanya orang bodoh yang akan mengakatan cinta itu selalu berkahir bahagia. Karena pada akhirnya selalu ada perpisahan di akhir kata pertemuan, lalu penyesalan dan luka.
Namun entah bagaimana gadis itu bisa membuatku jatuh pada lubang yang lebih dalam lagi. kelam mata indahnya seakan menarikku mendekat, bagai magnet yang tidak akan pernah bisa terpisahkan. Sikap angkuhnya pada dunia membuatku yakin jika dia adalah gadis yang kuat, gadis yang mampu menemaniku dalam masalah apapun. Namun pada akhirnya, aku sendirilah yang menyerah pada seluruh kisah ini.
Dengan pengecutnya aku menghindar dari seluruh mimpiku. Melepaskan seluruh keinginanku untuk memilikinya. Karena aku sadar, kebahagiaannya lah yang ingin ku lihat. Dan ketika bersamaku hanya menimbulkan luka, maka aku bersedia untuk pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.
Aku tidak menyerah, tentu saja tidak.
Aku hanya ingin melihatnya bahagia…
Melihatnya tersenyum dengan menggenggam pelangi beraneka warna di tangannya. Meski dengan begitu, aku harus pergi menjauh, menelan seluruh hitam putih kehidupan ini sendiri dalam kelamnya jurang hatiku.
“Tuan muda… nona Zahra…” ujar  David salah satu pengawalku sambil mengulurkan ponsel kepadaku. Aku tersentak di atas kursi rodaku, namun tidak bergeming. Mataku nanar menatap pintu ganda rumah sakit yang terbuka lebar. Beberapa pengunjung yang berada di lobi rumah sakit itu tampak menatapku dengan tatapan aneh.
“Tuan Raihan Reynaldi… kalau sampai kau berani melewati pintu itu, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku bersumpah!” mataku terbelalak lebar ketika mendengar teriakannya dari sebrang telepon. Namun suaranya tampak begitu jelas, kemarahan dan ancamannya jelas terasa, membuatku mau tidak mau tersenyum perih karena merindukannya.
“Aku bilang berhenti!” kini tubuhku benar-benar menegang. Ku lirik ibuku yang tersenyum manis penuh haru di sampingku. Suster yang mendorong kursi rodaku langsung menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang. Aku tersenyum tipis dan menggeleng-geleng, bagaimana mungkin sesaat yang lalu aku bisa melupakan bahwa gadis itu adalah gadis yang sangat kuat.
“Kau pikir kau mau kemana hah?! Kau tidak akan pernah bisa pergi kemanapun, kau tau itu! kau pikir aku tidak akan mampu merawatmu?! Kau pikir aku sebodoh itu?!” teriakannya kini benar-benar nyata, hingga rasanya aku bersedia menghentikan waktu saat ini juga, agar aku bisa terus merakasan keberadaannya. Tapi aku sudah mulai lelah dengan seluruh pengandaian itu. Aku melirik David yang berdiri di sampingku, dan mengangguk. Kemudian ia meminta suster di belakangku untuk melanjutkan perjalanan kami. Aku bisa merasakan keraguan suster itu untuk sesaat, namun pada akhirnya ia kembali mendorong kursi rodaku. Keningku sedikit berkerut ketika kursi rodaku malah berbelok menjauhi pintu keluar. Apa-apaan ini?! Ku lirik sosok David yang bertubuh besar dengan tatapan geram, namun betapa terkejutnya aku ketika melihat ia tengah tertunduk, tampak sedikit ketakutan. Dengan cepat aku menoleh ke belakang, dan ketika melihat sosok gadis itu, jantungku terasa berhenti.
Penampilan Zahra tampak sedikit berantakan, namun ia masih tetap cantik. Kerudung abu-abunya sedikit berkerut di beberapa sisi, matanya sembab dengan kantung hitam di setiap sisinya, dan wajahnya… ya Tuhan, bagaimana mungkin kau bisa menciptakan wajah secantik itu, bahkan ketika ia marah.
Marah?!
Dug! Aku meringis pelan ketika dengan sengaja ia menabrakan kursi rodaku ke ujung kursi panjang di tengah lorong rumah sakit. Sebelah bibirnya naik sedikit menunjukan senyuman sinisnya yang sangat menawan. Aku terkekeh pelan, kemudian kembali membetulkan posisi dudukku, dengan perlahan namun pasti aku bisa merasakan ketenangan di dadaku, dan pelangi itu pun tak lagi berwarna hitam putih.
Anna tersenyum tipis ketika melihat kami, di sampingnya Raka turut menanti kedatangan kami. Ia masih mengenakan pakaian rumah sakit, bahkan tangannya masih di pasang selang infuse, namun wajahnya tampak sangat segar.
“Mengapa kau melakukannya?” samar-samar aku bisa mendengar pertanyaan Raka pada istrinya itu ketika kami melewati mereka. Anna tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya dari kami.
“Karena aku tidak ingin melihat mereka terluka,” bisiknya pelan. Aku tersenyum tipis, dan menghela nafas lega. Sampaikanlah berjuta terima kasihku pada wanita itu Tuhan…
***
            “Apa aku perlu datang?” Tanya suara di sebrang telepon. Aku terdiam sejenak, kemudian menatap pantulan cahaya bulan yang terbias dari jendela kamar rawat inapku. Sebuah kecemasan perlahan menyelinap ke dalam hatiku.
“Tidak. Kau harus tetap di sana untuk memonitori semuanya. Pastikan semuanya berjalan lancar. Aku sudah meminta David untuk mengambil berkas yang harus ku tanda tangani. Tapi aku ingin kau tetap di sana!”
Hening sejenak.
“Baiklah.” Ujar Lucky pada akhirnya kemudian menutup sambungan telepon kami. Aku menghela nafas lega kemudian meletakan ponselku di meja kecil di samping ranjangku, tepat sebelum David masuk dengan seorang dokter di belakangnya.
“Selamat malam tuan Raihan,” sapa dokter itu ramah. Tapi malam ini aku sedang tidak ingin beramah tamah, waktuku hanya sedikit sebelum gadis itu kembali ke ruangan ini lagi.
“Jelaskan kondisi tubuhku.” Ujarku dingin tanpa memandang wajah dokter itu. Meski begitu aku tetap bisa melihat kegugupan dari gerakan tangannya yang sesekali membetulkan letak kaca matanya yang sebenarnya tidak pernah merosot sedikit pun.
Dokter muda itu berbicara dengan kecepatan yang tidak biasa, mungkin ia terlalu gugup, tapi jelas itu menguntungkanku. Karena semakin cepat ia menyelesaikan, semakin kecil kemungkinan Zahra mengetahui apa yang terjadi.
Aku tersenyum sinis ketika akhirnya dokter itu berhenti berbicara. “Jangan biarkan siapapun mengetahui hal ini, terutama gadis itu,” bisikku masih tanpa melihat wajahnya, namun aku bisa merasakan dokter itu mengangguk dan akhirnya berlalu pergi.
***

Sabtu, 25 Mei 2013

I Found You In London -13-


Bab 13



Pagi harinya tanpa membangunkan Keysha yang masih terlelap tidur, aku menemui om Leo di ruang kerjanya.

"Masuk," teriak om Leo dari dalam. "Ah kamu, Kian ada apa?" Nada suara dan ekspresi om Leo saat melihatku masuk ke ruangannya.

"Om tolong restui hubungan kami," aku tak ingin basa basi dengan om Leo. "Aku tau aku bukanlah manusia baik-baik, hidupku dulu penuh dengan dosa. Tapi om semenjak bertemu dengan Keysha tak ada lagi yang aku inginkan selain bersamanya hingga akhir hidupku." Lanjutku dengan penuh keyakinan.

"Kamu pikir aku akan percaya, hah??" Walau tidak berteriak namun suara om Leo bisa terdengar di seluruh ruangan kerjanya. "Keysha anak gadisku satu-satunya, aku tidak ingin nantinya dia menderita karena perbuatanmu. Aku tak yakin kalau kamu bisa berubah. Kamu juga belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anakku. Hidup tak bisa hanya bermodal cinta, Kian." Om Leo menurunkan sedikit nada suaranya.

"Tapi om demi Keysha, aku akan berubah. Sekarang ini Keysha segala-segalanya untukku. Mengenai hidup Keysha kelak, aku berjanji akan membahagiakannya. Aku akan bekerja keras untuk dapat memenuhi semua kebutuhan Keysa."

"Sudah lupakan cintamu pada Keysha, om telah menjodohkannya dengan orang lain yang jauh lebih baik daripada kamu,,,"

"Apa om? Dijodohkan?" Perkataan om Leo membuat diriku seperti petir saat hujan tiba. Tak percaya dengan apa yang ku dengar.

"Ya. Om rasa Keysha akan sangat menyukai orang tersebut dan akan segera melupakanmu. Dia dulu tinggal di Indonesia juga, tampan, memimpin sebuah perusahaan ternama, bertanggung jawab, pintar dan yang terpenting dia tulus mencintai Keysha." Lanjut om Leo, matanya menerawang membayangkan orang yang dimaksudnya.

"Jadi lebih baik sekarang kamu jangan pernah berharap aku akan merestui kalian. Pergilah..." Mata om Leo tertuju pada pintu ruangan kerjanya.

"Om... Jika hanya tentang ketampanan wajah, harta dan kepintaran, aku memang kalah. Namun jika menyangkut cinta, aku yakin cintaku lebih besar dari pria itu." Aku masih mencoba meyakinkan om Leo.

"Sudah sekarang pergilah, aku tak ingin melihatmu lagi," kini om Leo benar-benar mengusirku secara jelas.

"Om, aku mohon restui kami," aku bersimpuh di hadapan om Leo, menundukkan kepala. Jika dengan bersimpuh seperti ini om Leo dapat merestui kami, aku rela walaupun nanti kakiku akan sakit ketika bangun.

"Walaupun kamu bersimpuh sepanjang hari, om tetap tak akan merestui kalian. Jadi percuma kamu melakukannya. Sekarang bangun dan pergilah," om Leo meninggikan suaranya. Tapi aku tak bergeming, inilah usahaku yang terakhir. Jika memang dengan seperti ini om Leo tidak juga merestui kami, entah apa yang aku lakukan. Menghamili Keysha?? Ku rasa itu bukan solusi yang baik.

"Kian pergi atau aku akan menyeretmu dari ruangan ini," perkataan om Leo menyadarkanku.

"Kian, kamu gak dengar apa yang papaku katakan hah?" Tiba-tiba saja Frank berdiri di hadapanku. Mungkin jika aku yang dulu akan menantang Frank untuk berkelahi karena aku benar-benar tak tahan dengan sikapnya padaku dan Keysha.

"Kian pergi!" Teriakkan om Leo, kurasa bisa terdengar hingga ke lantai dua. Aku berdiri dan menatap wajah om Leo dan Frank. Setelah beberapa saat, ku melangkah pergi.

"Oh ya om harap kamu mau datang untuk menyambut kedatangan tunangan Keysha nanti siang," ujar om Leo saat aku memegang handle pintu.

"Pasti om," kataku pelan tanpa menatap lagi ke arah om Leo dan Frank.

Keputusan om Leo sudah final, aku tak bisa meyakinkan dirinya untuk merestui kami. Haruskah aku menyerah dengan keadaan? Harukah aku menerima perpisahanku dengan Keysha? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengapa saat ku menemukan cinta, takdir sepertinya tak berpihak padaku?

"Key," aku terkejut ketika membuka pintu, mendapati Keysha berdiri dengan airmata yang membanjiri mata dan pipinya. Kurengkuh tubuh Keysha yang berguncang pelan, kukecup puncak kepalanya. Keysha terus menangis tak bersuara di pelukanku. Keysha melepaskan pelukanku, melihat ke dalam dan hendak menemui om Leo. Aku menggelengkan kepala, Keysha menatapku dengan keras. Ku genggam tangan Keysha, menariknya menjauh dari ruang kerja om Leo. Walau dengan berat hati Keysha menurutiku. Tanpa ada satu katapun, aku membawa Keysha ke kamarnya.

Setelah mengantar Keysha, aku kembali ke kamarku, aku langsung merapihkan pakaian dan barang-barangku. Aku tak ingin tinggal di rumah om Leo hanya untuk melihat pesta penyambutan calon tunangan Keysha. Saat asyik merapihkan barang-barangku, pintu kamarku diketuk dari luar.

"Siapa?" Tanyaku kesal. Bukannya menjawab pertanyaanku, orang itu malah makin keras mengetuk pintu kamarku. Ku dekati dan membuka pintu dengan kesal.

"Key. Ada apa??" Ku lembutkan suaraku saat melihat sosok Keysha dengan mata sembabnya.

"Boleh aku masuk?"

"Maaf tapi aku sedang membersihkan kamarku."

"Apa yang kamu sembunyikan Kian?" Keysha rupanya tak mudah percaya dengan perkataanku. Tubuhnya mendesak tubuhku untuk masuk ke dalam.

"Nggak ada yang kusembunyikan Key." Aku masih berusaha agar Keysha tak mengetahui jika aku sedang merapihkan barang-barangku.

"Kalau tidak ada yang kamu sembunyikan biarkan aku masuk." Keysha memaksa masuk ke dalam kamarku.

"Key hentikan!!!!!" Aku tak sengaja berteriak padanya. Tapi Keysha tak terpengaruh dengan teriakanku, ia makin berusaha keras untuk masuk. Entah karena aku lengah atau karena tiba-tiba Keysha mempunyai tenaga yang besar, akhirnya ia bisa masuk ke dalam. Keysha memperhatikan seluruh kamarku. Ia tak menghiraukan teriakan dan panggilanku. Matanya tertuju pada koper yang belum sempat kusembunyikan, ia mendekati dan memperhatikannya. Aku tak berani mendekatinya, betapa pengecutnya bukan aku.

"Jadi hanya sampai disini?" Tanyanya beberapa saat setelah ia berada di dekat koper.

"Key..." Aku berusaha untuk tetap bersikap tenang.

"Jawab aku." Suaranya hampir seperti bisikkan.

"Key, aku..."

"Jawab aku, Kian!" Kini suaranya telah berubah menjadi sebuah teriakan, tubuhnya bergetar hebat. Sampai disinikah perjuanganku? Tidak. Aku tidak ingin berhenti memperjuangkan cintanya. Tapi apa yang bisa kuperbuat sekarang? Om Leo tidak bisa merestui kami, keputusannya pun telah mutlak untuk menjodohkan Keysha dan siang ini calon tunangannya akan datang. Aku tak sanggup untuk melihat semuanya, melepas cintaku untuk orang lain. Saat cinta terbentur restu orang tua, kawin larikah jawabannya? Tidak. Karena hal itu hanya akan memperburuk keadaan, makin menambah kesan negatif yang dirasakan om Leo padaku. Andai waktu yang kumiliki lebih lama untuk bisa meyakinkan om Leo.

"Tak bisakah kau hanya menjawab pertanyaan sederhanaku, Kian?" Keysha kini memutar tubuhnya. Matanya semakin sembab, tak ada lagi sinar kebahagiaan yang muncul di dalamnya. Kini hanya ada rasa luka, kecewa, sakit hati. Ku mendekatinya namun ia mengangkat kedua tangannya, penolakan. Aku terpaku.

"Jika memang ini yang kamu inginkan, baiklah." Kepasrahannya membuat hatiku makin teriris perih. Ku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal. Keysha memutari tempatku berdiri, menutup pintu dengan suara kencang.

"Keysha... Keysha... Keysha..." Aku memanggilnya lirih namun tak mengejarnya. Hancur sudah kepercayaan Keysha pada diriku. Tamat sudah riwayat percintaan kami. Ini bukan karena Keysha tapi karena aku yang tak berani untuk terus berjuang, untuk bisa meyakinkan om Leo. Aku terduduk lemah di lantai. Entah berapa lama aku terduduk disana hingga sebuah ketukan menyadarkanku.

"Keysha..." Ku panggil namanya sambil membuka pintu. Membayangkan Keysha berdiri di depan pintu membuatku bersemangat, hatiku bersorak gembira.

"Key..." Kekecewaan menyergapku saat membuka pintu. Bukan Keysha yang berdiri disana tapi Frank. Raut wajahnya tak terbaca jelas, sedikit kemarahan, kesombongan, kebencian. Tapi apa yang kuperbuat sehingga aku pantas mendapat perlakuan seperti ini darinya.

"Apa yang kamu perbuat padanya?" Frank bertanya dengan ketus, nada suaranya dijaga agar tak berteriak. Matanya mengintip ke arah kamarku.

"Nggak ada," jawabku singkat, aku tak ingin meladeni segala perkataannya.

"Aku tak percaya," suaranya sinis.

"Terserah," aku tak kalah sinis dengannya. Yah jika ia bisa berfikir karenanyalah, Keysha seperti sekarang. Memaksaku untuk menjauh dari Keysha tak pernahkah ia fikirkan perasaan adiknya. Apa akibat dari perbuatannya.

"Baiklah, aku percaya padamu." Frank berujar ringan. "Tumben," lirihku dalam hati. Frank memutar tubuhnya, menjauh dariku.

"Oh ya papa titip pesan, pertemuan di percepat. Tak sampai jam makan siang, mungkin sekitar satu jam dari sekarang mereka akan datang. Jadi jangan berbuat macam-macam, ikut dengan kami menyambut calon keluarga besan," senyum puas dan licik diukir Frank di bibirnya. Tak dapat kusembunyikan keterkejutan di wajahku. Aku yakin wajahku kini bagai vampire yang sudah lama tak menghisap darah. Jiwaku seperti meninggalkan ragaku, hampa dan kosong.

"Satu jam." Aku mengulangi perkataan Frank, tak mempercayai apa yang ku dengar. Bagaimana aku bisa pergi dari rumah ini dalam waktu kurang dari satu jam? Aku belum membereskan semua barang-barangku dan kak Sandra. Ya aku memutuskan pindah ke rumah yang kubeli untuk kak Sandra. Tak bisa pergi. Aku harus bisa menghadapi semuanya dengan lapang dada dan hati ikhlas.

****

Tok! Tok!

"Masuk!" Suara om Leo begitu tegas dan datar. Ku melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Berdiri beberapa senti dari tempat om Leo duduk.

"Ada apa Kian?" Tanya om Leo saat mengangkat kepalanya dari tumpukan kertas. Kedua tangannya ditautkan, sikunya di atas meja menopang dagunya. Matanya tajam menatapku dingin.

"Om maaf jika aku lancang. Tapi aku rasa kehadiranku di acara pertunangan Keysha takkan ada gunanya. Aku hanya orang luar yang kebetulan menumpang di rumah om dan juga mencintai anak om. Saat om tak juga merestui hubungan kami sebenarnya aku dan Keysha masih ingin terus bejuang tapi aku tak ingin membuat Keysha menjadi anak yang durhaka dengan menentang setiap perkataan orang tuanya." Wajah om Leo masih tak bergeming mendengarkan perkataanku.

"Om, aku ikhlas dan rela Keysha dijodohkan dengan orang lain. Aku berjanji hari ini adalah hari terakhir om dapat melihatku di rumah ini. Aku juga mengundurkan diri dari perusahaan yang om pimpin sekarang. Aku  yakin Keysha tak bisa menerima pertunangannya dengan orang lain jika aku masih di sekelilingnya." Kataku lebih lanjut.

"Hanya itu?" Suara dan wajah om Leo masih sedingin es di kutub utara. Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu silahkan kamu angkat barang-barangmu." Aku terkejut mendengar jawaban om Leo sungguh berbeda dengan yang diucapkan Frank. "Kenapa bengong? Silahkan kemasi barang-barangmu, bukankah itu yang kamu mau?" Om Leo menyadarkanku dari lamunan. Ku balikkan badanku menuju pintu kantor. Rasa lega sedikit menghampiri hatiku tapi rasa itu terkalahkan dengan kekhawatiranku akan sikap Keysha. Akankah ia bisa memaklumi segala tindakanku? Akankah ia bahagia bersama dengan laki-laki pilihan ayahnya? Marahkah ia nanti setelah mengetahui keputusan yang kuambil? Key, ku harap kamu mengerti kataku dalam hati.

Di kamar aku segera membereskan semua barang-barangku. Foto-fotoku bersama Keysha tak luput ku masukkan ke dalam koper, setidaknya aku bisa mengobati kerinduanku padanya kelak. Setelah selesai, aku beranjak pergi ke kamar kak Sandra membantu mbok Nah membereskan barang-barangnya. Yah aku tak ingin berpisah dengan kak Sandra sedetikpun.

"Hai kak sudah siapkah?" Tanyaku setibanya di kamar kak Sandra. Walau tak pernah ada jawaban darinya, aku selalu berusaha bersikap senormal mungkin dengan kak Sandra.

"Mbok sudah semua dibereskan?" Tanyaku saat melihat ke arah mbok Nah yang membereskan barang-barang kak Sandra. Mbok Nah mengangguk setelahnya beliau keluar dari kamar.

"Kak maafkan aku harus memisahkan kalian berdua. Bukan niat dan keinginanku tapi aku tak kuat untuk tetap berada di rumah ini melihat orang yang ku cintai bersanding dengan orang lain." Ku kecup punggung tangan kak Sandra. Wajah kak Sandra terlihat murung, mungkin karena kak Sandra ikut merasakan penderitaanku.

"Siapa yang mengizinkanmu membawa Sandra dari sini." Sebuah suara berasal dari belakang mencegahku.

"Dia kakakku jadi dia tanggung jawabku, om," kataku dengan menahan emosi. Apa-apaan om Leo ini, aku masih terima jika aku harus berpisah dengan Keysha tapi jika harus berpisah dengan kak Sandra, issshhh tak akan ku biarkan om Leo menghalangiku.

"Letakkan Sandra di tempat tidurnya." Suara Om Leo menggema di ruangan. Aku berusaha untuk melawan kali ini. Kak Sandra bagaimanapun adalah tanggung jawabku. Perdebatan kami berdua sangat panjang, ego kami yang bermain disini. Tapi pada akhirnya aku lagi yang harus mengalah.

"Untuk sekarang aku biarkan kak Sandra untuk tetap tinggal di rumah ini. Tapi suatu saat aku akan membawanya pergi dari rumah ini." Menyerahkah aku? Untuk sekarang ya, karena aku lelah berdebat dengan om Leo.

"Kak maaf kakak sementara tinggal disini dulu ya. Aku janji tidak akan lama kita akan bersama kembali." Bisikku sebelum meninggalkan kamar kak Sandra, tak lupa aku mengecup keningnya. Tak terasa pula airmataku jatuh di wajah kak Sandra. Sementara om Leo masih tetap bersandar di pintu kamar memperhatikan kami berdua. Aku melewati om Leo tanpa menegurnya sama sekali. Bahkan memandangnya pun aku tak ingin.

Sesampainya di kamar, aku merebahkan diriku sejenak, memandangi kamarku yang beberapa bulan terakhir ini menjadi tempatku beristirahat. Menemukan cinta sejatiku, cinta yang sayangnya tak bisa kumenangkan. Cinta yang mampu membuatku hari-hariku berwarna. Cinta yang mengajarkanku kedewasaan, kelembutan, perjuangan dan pengorbanan.

Tiga puluh menit aku berdiam diri di kamar. Memandangi langit dan mencoba merekam semua kenanganku bersama Keysha. Setelah semuanya terasa cukup, ku angkat ransel dan koperku melangkah meninggalkan kamar. Perlahan aku menutup pintu kamar, melangkah ke lantai satu lalu melangkah pergi meninggalkan rumah om Leo. Sepanjang perjalananku yang singkat dari lantai satu ke lantai dua, tak ku temukan sosok Keysha. "Dimana kamu, Key? Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya." Ujarku pelan. Namun tak jua aku melihatnya. "Key, maafkan aku sayang." Batinku berteriak. Dengan berat hati aku mempercepat langkahku ke depan pintu rumah om Leo.

Ting tong!!! Ting tong!!!

Belum sampai ku buka pintu tersebut, suara bel berbunyi berulang. "Siapa sih nggak sabar bener?" Rungutku sambil menghitung berapa kali bel berbunyi. "Hmmm pasti si kutu kupret bersama keluarganya," gerutuku pada diri sendiri. Kutu kupret julukanku pada pria yang akan menikahi Keysha. Aku tak beranjak dari tempatku berdiri. Tak sudi aku membukakan pintu untuknya.

"Hei tak adakah yang mendengar bel pintu berbunyi?" Teriak om Leo sambil keluar dari kamarnya. "Wah kebetulan Kian, kamu dekat dengan pintu. Tolong bukakan pintu itu, sebentar lagi aku keluar." Ucap Om Leo yang melihatku masih berdiri di depan pintu.

"Hah, aku? Bukain pintu untuk kutu kupret itu? Emangnya aku among tamu apa?" Sewotku.

"Apa kamu bilang Kian?" Tanya om Leo yang rupanya belum terlalu jauh berjalan.

"Hah? Apa om?? Bukan apa-apa. Aku akan bukakan pintunya," jawabku setengah hati.

"Okey, terimakasih," jawab om Leo ramah. Hah?? Dasar om Leo stress kenapa harus aku sih? Kemana pembantu di rumah ini? Kenapa semua orang menghilang? Seribu tanya di hatiku yang merasa semuanya begitu aneh.

Ku buka pintu rumah om Leo dengan wajah masam. Terserah apa anggapan kutu kupret dan keluarganya tentang sikapku. Toh aku bukan bagian dari keluarga ini.

"Kenapa lama sekali sih?" Rupanya orang di luar sana sudah tak sabar. Hmmm dikerjain enak kali ya? Pikirku dalam hati. Tapi aku penasaran sama mukanya pria pilihan om Leo. Maka segera ku buka pintu.

"Kian!!!"

"Om Marcus???!!!!"



PELANGI HITAM PUTIH -08-


ZAHRA  

Bukankah seharusnya aku berbahagia, bukankah seharusnya aku tersenyum, bukankah seharusnya aku bersyukur ketika melihatnya masih bernafas??!!! Tapi mengapa justru perih itu yang kini terasa… ketika sosok wanita lain lah yang berada di pelukannya, menangis haru penuh rasa lega di pelukannya. Sosok lain yang bukan diriku…
Untuk beberapa saat aku hanya mampu berdiri mematung di depan kamar rawat inap Raka. Mataku nanar menatap pemandangan haru di hadapanku. Setelah menangis setengah jam aku memang langsung menghubungi bibi dan menyusul mereka semua ke rumah sakit. Raka sudah ditemukan, dan lagi-lagi Allah menunjukan kuasanya. Ia selamat, bersama beberapa orang yang beruntung lainnya, menimbulkan sedikit rasa iri bagi keluarga lain yang kini tengah menangisi korban-korban yang tidak dapat di selamatkan lagi.
Untuk lima menit pertama kedatanganku ke rumah sakit ini, aku sempat merasa lega karena bukan kamar mayatlah yang ditunjukan oleh perawat itu, melainkan sebuah kamar rawat inap biasa. Namun lima menit kemudian, hatiku mulai terasa kembali perih. Aku ingin bahagia dan mensyukuri keselamatannya. Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa berpura-pura bahagia melihat wanita lain di pelukannya. Aku tidak bisa… aku bukan wanita seperti itu…
“Zahra…” aku tersentak ketika mendengar panggilan itu, dengan cepat ku seka air mataku dan berusaha sekuat mungkin untuk kembali memasang topeng itu, menunjukan mimic wajah yang sama sekali tidak memiliki emosi apapun, datar dan hampa.
Anna menatap kikuk ke arahku, tubuhnya masih bergetar karena sisa-sisa tangis yang baru saja berhenti. Aku sama sekali tidak ingin menangis, namun entah mengapa, ketika aku melihat Raka menggenggam tangan Anna, hatiku kembali perih. Dan aku mulai benar-benar merasa muak pada diriku sendiri yang tidak pernah bisa menghilangkan semua rasa itu. mulai merasa sangat teramat bodoh karena mencintai orang yang sama sekali tidak pernah memandangku. Mungkin tidak separah itu, Raka bukanlah sosok yang kejam. Ia begitu baik hati dan penyayang.
Tapi dia tidak mencintaiku.
Tidak sama sekali. Tapi mengapa, seakan buta dan tuli, aku sama sekali tidak bisa membuat otakku mengerti tentang hal itu. mengapa aku tidak bisa berhenti mencintainya? Mengapa aku terus mengharapkan jika suatu saat nanti tanganku lah yang akan berada dalam genggamannya??
Aku tau ini salah.
Semua orang pun tau. Tapi aku sendiri tidak bisa menyadarkan hatiku. Seakan sudah membeku dalam cinta yang hanya akan menjemput tangis itu.
Dan air mata itupun menetes perlahan ketika tangan kiri raka mempererat genggamannya, membuat benda keperakan yang melingkari jemari manis mereka semakin berkilau indah di mataku. Aku tersenyum tipis penuh kegetiran. Toh, pada akhirnya aku juga yang mendukung pernikahan mereka kala itu. pantaskah aku menyesalinya saat ini??
“Aku senang kau baik-baik saja…” bisikku setelah diam entah berapa lama. Raka tersenyum lembut dan mengangguk perlahan.
“Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan untukku. Dan ini juga berkat do’a kalian semua. Maaf telah membuat kalian khawatir.” Tuturnya tanpa sekali pun melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Dan, sampaikan terima kasihku pada Raihan,” ujarnya seraya menatap Anna. Aku terkesiap ketika mendengar nama itu. ingatanku kembali berputar ke saat di mana aku meminta ia pergi dan membawa kematian bersamanya.
“Dia masih di ruang ICU,” bisik Anna pelan. Untuk sejenak aku bisa merasakan sorak sorai dari dalam kepalaku. Seakan pada akhirnya Tuhan mendengar doaku. Namun sedetik kemudian, aku mulai merasa takut. Merasa khawatir jika semua yang terjadi padanya itu disebabkan oleh perkataannku.
“Kasihan Raihan. Karena kegigihan kelompok yang dipimpinnyalah, kami pada akhirnya bisa ditemukan. Namun ketika akan kembali, ia malah sengaja memisahkan diri dari kelompoknya dan menulusuri jalan yang berbeda.” Tutur Raka sambil memandang keluar jendela. Tiba-tiba tubuhku menggigil, hatiku mulai diliputi perasaan takut yang aneh, perasaan khawatir jika semua kisah itu diakibatkan oleh ku. Aku tau itu konyol, tapi aku tetap tidak bisa menghentikan kecemasan itu.
“Assalamualaikum…” salam bibi ketika berdiri di sampingku, dengan perlahan aku beringsut menyingkir untuk memberikan ruang agar bibi bisa lewat. Bibi tersenyum tipis dan menyentuh pundak Anna dengan perlahan.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Raka dengan kecemasan yang tidak dibuat-buat.
Bibi meletakan tas jinjingnya di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang rawat inap Raka, ia mendesah lelah kemudian melirik sosok kakek Darmawan yang entah sejak kapan berada di sampingku.
“Masih sama, masih sulit diajak berkomunikasi. Mungkin ia masih belum bisa menerima dengan prediksi dokter yang mengatakan bahwa ia mengalami kelumpuhan.”
Deg…
Aku membelakakan mataku lebar-lebar, dadaku terasa begitu nyeri setiap kali aku menghembuskan nafas, semuanya terasa begitu menusuk kepalaku. Sekelebat penyesalan itu melintasi benakku, menari-nari dengan senyuman mengejek.
Ku putar langkahku, ketika suara bibi kembali membekukan tubuhku. “Dia tidak ingin menemuimu Zahra…” bisik bibi getir. Aku tidak menoleh, tidak juga membantah, aku hanya menundukan kepalaku lebih dalam lagi, kemudian berlalu pergi tanpa sepatah katapun.
***
Hari sudah menjelang fajar, namun mataku masih terbelalak lebar. Tidak sedikit pun rasa kantuk itu menghampiriku, semua yang kurasakan memaksaku untuk tetap terjaga, memaksaku untuk merasakan semua ketakutan itu. Aku memandang lorong rumah sakit yang sepi itu dengan nanar. Hanya ada dua pintu di setiap sisinya. Semuanya terasa begitu sunyi dan sepi, membuatku mampu merasakan seluruh luka itu lebih dalam lagi.
Dengan perlahan ku langkahkan kakiku, menapaki garis yang sebelumnya tidak pernah ingin ku sentuh, membuka lembaran yang sebenarnya ingin segera ku bakar habis. aku tau, semua kejadian ini sudah ditakdirkan oleh sang khalik, dan aku tidak berhak untuk mengingkarinya. Tapi entah mengapa aku merasa sedikit bersalah dengan apa yang kini menimpah Raihan, dan sialnya aku tidak bisa melakukan apapun untuk mengembalikan waktu.
Prang!!
Langkahku tercekat ketika mendengar suara barang pecah dari ujung lorong. dengan segera aku langsung berlari menuju asal suara itu.
“Raihan!” pekikku ketika sampai di kamar ujung lorong sunyi itu. Mataku terbelalak lebar ketika melihat ceceran darah di mana-mana, entah bagaimana ia sudah melepaskan alat-alat yang menempel di tubuhnya.
Ruangan itu cukup besar, dengan alat-alat untuk memonitori secara intensif keadaan sang pasien. Dan kini semuanya tampak berantakan; pecahan vas Kristal berserakan di tengah-tengah ruangan, bunga-bunga lily yang masih cukup segar jatuh berantakan bersamanya, di tambah dengan ceceran darah yang menetes dari tangan Raihan yang tak lagi terpasang selang infus. Aku berteriak histeris dan langsung menghampiri tubuhnya yang sudah terjatuh terduduk di depan pecahan vas itu.
“Ada apa denganmu?!!!!” teriakku penuh ketakutan. Air mataku menetes sambil berusaha membalut tangannya yang masih mengeluarkan darah dengan ujung kerudungku.
“Hentikan.” Bisiknya pelan. Namun saat itu aku sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya. Suasana dini hari kala itu benar-benar membuatku bertambah kalut. Aku menangis sesenggukan sambil terus melakukan hal yang tidak ku sadari.
“Mengapa kau melakukan ini?! Apa kau sudah gila??!!”
“Berhenti mengasihaniku.” Geramnya.
“Aku akan memanggilkan suster,” ujarku seraya beranjak untuk meraih tombol merah di samping ranjangnya. Namun lengannya menahan pundakku.
“Pergi,” desisnya sinis. “Jangan lakukan apapun!” aku menatapnya tidak mengerti.
“Kau butuh perawatan!!” teriakku.
“Aku tidak butuh apapun! Aku tidak butuh siapapun!” balasnya berteriak. Tubuhku bergeming, air mataku kini menetes dalam kesunyian, namun perih yang ditimbulkan terasa semakin dalam. Dengan perlahan aku kembali duduk di hadapannya, meraih tangannya dan membalutnya dengan kasa yang ku temukan di atas meja kecil di samping ranjangnya. “Kau tidak perlu mengasihaniku…” bisiknya, namun tanpa pemberontakan kali ini. Aku hanya terdiam sambil terus membalutkan lukanya, meski kini gulungan kasa itu hampir sepenuhnya menutupi tangannya. “Kau terluka…” bisiknya sambil meraih tangan kananku. Nada cemas dalam suaranya membuatku terbelalak menatapnya.
Pria tampan itu, pria dengan baju rumah sakit dan balutan perban di mana-mana yang jelas tampak kesakitan itu malah mengkhawatirkan luka kecilku. Ia meraih tanganku dan menatap luka kecil akibat tergores pecahan vas itu dengan seksama. Ibu jarinya meraba luka itu, kemudian dengan lugu ia menatap mataku. “Apa sakit?” tanyanya hati-hati. Aku ingin menggeleng, tapi perih dalam hatiku membekukan tubuhku.
Pria macam apa dia?! Mengapa ia bisa bersikap begitu baik padaku?? Mengapa ia tidak memakiku dan menyalahkanku atas apa yang kini terjadi padanya?! Mengapa dia tidak membentakku?! Mengapa dia malah menghkhawatirkan luka kecilku?? Apa dia tidak memiliki hati?? Apa dia tidak bisa merasakan rasa sakit??! Apa dia tidak tau seberapa besar rasa benciku padanya?!! Tidakkah ia bisa melihat semua itu dari mataku??!
Sedetik kemudian aku sudah menghambur memeluk tubuhnya. Menangis sesenggukan di balik dada bidangnya. Mencoba menumpahkan seluruh asa dan luka yang selama ini ku rasakan, menumpahkan seluruh rasa benciku padanya. Untuk sesaat ia tampak terkejut. Tubuhnya membeku dalam pelukanku, kemudian dengan perlahan aku merasakan ia mulai kembali tenang. Raihan menundukan kepalanya hingga menyentuh bagian samping kepalaku, dan aku bisa merasakan tetesan air matanya membasahi bahuku.
“Maaf… aku tidak bisa membawa kematian itu bersamaku…”


Sabtu, 18 Mei 2013

PELANGI HITAM PUTIH -07-


ZAHRA

AIR MATAKU SUDAH mengering, namun perih yang kurasakan masih belum juga menghilang. Aku berdiri mematung di kamarku yang gelap, seperti biasa, termenung sendiri sambil menatap langit malam yang kelam, seakan dengan begitu perlahan-lahan semua rasa dalam hatiku akan menghilang.
Aisah sudah pergi ke kamar Anisa sejak tadi sore. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan, dan lagi pula aku sudah tidak peduli. Aku tau bibi marah padaku karena kejadian tadi, tapi aku tidak bisa mengatakan apapun, aku tidak menyangkal dan mencoba membela diri, karena itu adalah hal yang memang ada di benakku.
Aku mencengkram erat rokku, sudah beberapa jam berlalu, dan belum ada berita sama sekali. Aku sudah hampir pergi menyusul kakek Darmawan jika bibi tidak melarangku. Dan sialnya, entah mengapa Anna juga malah tetap berada di sini. istri macam apa dia?! Mengapa dia tidak ikut mencari Raka?! Bagaimana jika Raka membutuhkannya. Apa Anna akan menunggu terus, sama seperti ia menunggu suaminya yang terdahulu? Menunggu jenazah suaminya…
Wajahku mengeras ketika memikirkan kemungkinan itu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Raka. Aku benci pada kematian. Aku benci! Aku benci pada kenyataan bahwa kematian bisa mengubah hidup seseorang semudah itu, merusak seluruh harapan, dan menebarkan luka. Masih belum hilang rasa sakit ketika pada akhirnya aku harus berdiri di ambang pintu kamar mayat, dan memastikan dua mayat yang bersimbah darah itu adalah kedua orang tuaku, itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, namun rasa sakitnya masih begitu membekas. Meremukan seluruh jiwaku, menarikku pada sebuah jurang kegelapan yang begitu kelam.
Mungkin mereka benar, jika bukan karena bibi aku mungkin sudah benar-benar hilang. Tapi pada kenyataannya meski aku berdiri di sini, aku merasa eksistensi kehidupanku tetap akan menghilang. Ketika tengah berdiri sendiri seperti ini, hal yang terlintas di benakku adalah seluruh kisah masa laluku yang berlalu begitu singkat, namun jelas menyisakan luka yang teramat dalam. Aku tau, aku bukan gadis yang baik, aku bukan sosok yang dapat dengan mudah dicintai oleh orang lain. Aku tidak bisa mengatakan iya ketika otakku mengatakan tidak. Dan hal yang paling menakjubkan dalam hidupku adalah, ketika pada akhirnya aku merelakan sosok cinta pertamaku menikah dengan wanita yang teramat dicintainya.
Tidak ada penyesalan, atau lebih tepatnya aku berusaha untuk menerimanya, toh aku melakukannya karena itulah yang menjadi jawaban shalat-shalat istikharahku. Tapi pada kematian… haruslah aku melerakannya juga?
Aku pikir, setidaknya setelah perpisahan yang menyakitkan itu, aku tetap akan melihatnya, menatap kebahagiannya, membalas senyumannya… namun jika semuanya berakhir seperti ini… aku tidak yakin, mampukah aku terus berdiri tegar di atas dunia ini.
Cinta itu menyebalkan, meski aku masih belum tau apa arti cinta itu sendiri, namun sejujurnya pada detik ini aku membenci cinta! Aku membenci diriku yang lemah karena cinta itu. Aku lelah menjadi sosok yang tersakiti karena cinta itu. Aku membenci cinta yang hanya mempermainkan seluruh hatiku. Mungkin aku gila karena perasaan yang tak kunjung mati ini, tapi sebesar apapun usahaku untuk melenyapkan rasa cinta itu, maka semuanya semakin nyata, seakan memang mereka terus ingin membayang-bayangi kehidupanku.
Tubuhku tersentak ketika mendengar rebut-ribut dari luar kamarku, dengan segera aku langsung meraih ponsel yang tergeletak di meja kerjaku dan berlalu keluar kamar. Bibi tampak tengah merangkul pundak Anna yang terduduk lemah di depan meja telepon, wanita itu mengatupkan kedua tangannya di depan mulutnya, entah mencoba untuk menutupi isakannya atau apa, namun bagiku, semuanya sia-sia, air mata wanita itu sudah menghancurkan jiwaku, menarik tubuhku menuju jurang terdalam yang selama ini tersimpan apik dalam hatiku.
Dengan perlahan Anna meletakan gagang teleponnya kembali, lalu menyandarkan kepalanya ke pundak bibi, seakan ia sudah sama sekali tidak memiliki kekuatan. Aku bisa melihat air mata bibi mulai menetes, dengan lembut ia membelai kepala wanita itu. aku tersenyum pahit penuh kegetiran, sebisa mungkin memalingkan wajahku dari semua pandangan itu, menyembunyikan jiwaku dari kelam perih kisah yang bukan milikku lagi, membohongi diriku sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
“Zahra… kami akan ke rumah sakit, kau ingin ikut nak?” Tanya bibi beberapa saat kemudian. Aku tidak bisa menjawab, bahkan menoleh pun aku tak kuasa, tubuhku kaku menahan keperihan.
“Aku akan menyusul,” bisikku setelah terdiam selama lima menit. Kemudian aku bisa mendengar pintu ganda panti tertutup di belakangku. Dan saat itulah aku kehilangan seluruh kekuataanku, tubuhku ambruk begitu saja, jatuh terduduk kemudian dengan perlahan aku menekuk lututku, memeluk keduanya dengan amat erat, menyembunyikan wajahku di sela kedua lututku, dan menumpahkan seluruh tangisku.
Kenangan beberapa tahun yang lalu kembali menghiasi benakku. Ketika mereka meneleponku untuk segera datang kerumah sakit karena orang tuaku mengalami kecelakaan. Aku yang saat itu tengah sibuk dengan tugas kuliahku di kampus langsung meninggalkan semuanya, kecemasan langsung memenuhi seluruh relung jiwaku. Aku begitu khawatir jika kedua orang tuaku mengalami luka yang parah, aku begitu ketakutan.
Ketika sampai di rumah sakit, aku langsung di hadang oleh seorang polisi. “Nona Zahra?” tanyanya, aku tidak sempat memikirkan bagaimana ia mengetahui namaku, namun aku langsung mengangguk tidak sabar.
“Dimana orang tua saya? Bagaimana keadaan mereka?” tanyaku cepat, nafasku hampir terkuras karenanya.
“Nona, sebaiknya nona tenang dulu, kami membutuhkan beberapa informasi terlebih dulu sebelumnya.” Ujar polisi itu. aku mengernyit tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ia memintaku untuk tenang??!
“Aku ingin bertemu dengan orang tuaku! Bagaimana keadaan mereka? Aku harus kemana? IGD? Apa mereka ada di dalam??” tanyaku frustasi sambil melangkah menu ruang IGD. Polisi itu menangkap tanganku, menahan langkahku dengan tatapan anehnya.
“Apa ini foto anda?” tanyanya seraya menyerahkan selembar foto yang bagian-bagian ujungnya sedikit hangus. Aku mengerutkan keningku, dan mengangguk. Itu adalah foto wisudaku, lengkap dengan kebaya ungu muda yang khusus di pesankan oleh ibuku. “Anda harus ikut dengan kami,” ujarnya dengan perlahan. Untuk pertama kalinya selama 2 jam terakhir itu aku merasa kehilangan akalku. Aku berjalan perlahan di belakang polisi paruh baya itu. mataku manatap nanar punggung tuanya yang tampak sedikit lelah. Tanpa sadar kami melewati beberapa ruangan, lorong-lorong panjang rumah sakit itu cukup ramai, namun tampak sunyi di mataku.
Polisi itu menghentikan langkahnya ketika sampai di sebuah ruangan yang sedikit jauh dari ruangan rumah sakit lainnya. “Saya ingin anda memastikan apakah jenazah di dalam itu adalah orang tua anda…”
Deg.
Leherku terasa begitu kaku dan berat ketika menoleh ke arah ranjang di dalam ruangan serba putih itu. Aku menggeleng perlahan. “Kami bisa melakukan tes DNA kalau nona ingin,” ujar seorang dokter berjas putih.
Aku kembali menggeleng, pipiku terasa panas ketika air mata itu mengalir perlahan. Pemandangan mengerikan di hadapanku membuat jiwaku hancur. Namun bukan pemandangan sepasang jenazah yang hanguslah yang membuat air mataku menetes… melainkan kenyataan bahwa aku mengenal mereka berdua, sehitam apapun api menghanguskan mereka.
Kenyataan bahwa aku mengenali tangan-tangan sosok kaku itu, kenyataan bahwa aku mengenali keseluruhan tentang diri mereka seperti aku mengenali diriku sendiri. Kenyataan bahwa tangan yang hangus itu lah yang dulu menggendongku, menimangku dengan penuh kasih, bahkan meski seburuk apapun kelakuanku. Ibuku… sosok wanita yang kini terbaring kaku tak terkenali secara fisik.
Dan ia, sosok lain itu…. aku mengenalnya, aku bahkan masih bisa merasakan sentuhan penuh kasihnya, aku masih bisa mendengar nasihat-nasihatnya, yang pada saat itu langsung ku sangkal, aku mengenali mereka… aku mengenali mereka sebagai orang tua yang ku cintai…
Tubuhku jatuh terduduk di atas lutut. Sepasanga tangan dengan sigap langsung menahan pundakku agar aku tidak jatuh ke lantai dan membenturkan kepalaku sendiri, meski saat itu, aku benar-benar ingin melakukannya.
Tuhan sudah mengambil orang tuaku, namun aku merasa bahwa IA juga mengambil jiwaku. Jadi untuk apa raga ini tetap hidup jika tak ada lagi Jiwa yang bisa dipertahankan??
Untuk apa aku tetap hidup, jika alasan hidupku sudah menghilang??
***
Ketika hidup dan mati hanya sekedar wacana
Air mata pun takkan mampu mewakili luka…
Pergi jauh jauh dan lupa jalankembali,
hingga letih memaksa mati