Kamis, 18 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH EPILOG



Aku mengernyitkan hidungku ketika mencium aroma yang sangat tajam, seperti aroma cairan alkohol, namun dengan kadar yang sangat tinggi. Ketika sudah bisa sedikit menyesuaikan diri, aku bisa mencium aroma lain, lebih manis dan lembut. Mungkin aroma bunga, tapi aku belum pernah mencium bunga ini sebelumnya. Namun aroma yang kini menarik perhatianku adalah aroma tanah yang terguyur hujan. Begitu menenangkan, begitu kaya. Suara tetesan hujan yang mengenai berbagai benda di bawahnya terasa seperti alunan music konstan yang membuatku merasa begitu nyaman, merasa aman dari ancaman kesepian.
Aku ingin tersenyum ketika mendengar suara tetesan hujan yang semakin deras, namun wajahku terasa sangat kaku. Aku mengernyit, mencoba meraih kontrol akan diriku sendiri. Tapi semuanya di luar kendaliku. Selain suara-suara hujan yang ku dengar, dan aroma-aroma itu, aku tidak bisa meraskan hal lain. Aku bahkan tidak bisa merasakan jemariku. Semuanya tampak hilang, tampak tak tersentuh.
Tiba-tiba hujan mendadak berhenti, aku ingin meneriakinya untuk terus menetes, namun suaraku pun menghilang. Tidak ada yang keluar dari kerongkonganku, kecuali erangan-erangan aneh yang tidak bisa dimengerti.
“Zahra… Zahra… bertahanlah!!!” suara itu terdengar samar-samar di telingaku. Aku ingin menjawabnya, memintanya untuk berbicara pada hujan agar terus turun menemaniku. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun.
“Kau harus kuat!!!” kini suara seorang wanita.
Aku tidak ingin apapun! Aku hanya ingin hujan! Katakan pada langit untuk terus membiarkan hujan itu turun!!! Ku mohon…
Jiwaku meronta-ronta mengharapkan hujan, namun sedetik kemudian aku meraskaan sesuatu meraup seluruh kesadaranku. Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk, merasa begitu lelah. Aku ingin terus terjaga, tapi kabut itu menyelimutiku sedemikian tebalnya, membuatku menyerah pada ketidak sadaran, tepat ketika aku mendengar tetesan hujan itu kembali hadir.
***
“Kau sudah koma selama satu minggu,” ujar  gadis cantik berpakaian putih yang kini tengah sibuk membereskan barang-barang di meja kecil samping ranjangku. Aku memandang langit yang sedikit mendung dari balik jendela kamar rawat inapku tanpa berkata apapun. “Semua orang sangat mengkhawatirkanmu. Aku senang kau akhirnya sadar…” ia menoleh dan tersenyum ramah kepadaku. “Yang lainnya sedang dalam perjalanan ke sini. Apa kau butuh sesuatu?” tanyanya lembut.
Aku menatap wajahnya yang cantik dengan pandangan nanar. Aku masih harus menyesuaikan mataku dengan cahaya yang terasa sangat menyilaukan di sekelilingku. Otakku masih terlalu lemah untuk sekedar memikirkan apa yang ku inginkan saat ini. Aku masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berada di tempat ini? dengan tangan yang dibalut perban, terpasang infus, bahkan elektrokardiograf. Aku ingin terus terjaga, namun aku merasakan lelah itu kembali menghampiriku.
“Zahra!” panggilan itu sedikit mengejutkanku, dengan lemah aku menolehkan kepalaku keasal suara itu, kemudian tersenyum pada mereka yang berdiri di ambang pintu, meski aku sama sekali tidak tau kepada siapa seharusnya senyuman itu ditujukan.
“Alhamdulillah Zahra…”
Alhamdulillah… untuk apa… Batinku sebelum kembali tenggelam dalam kegelapan.
***
“Dia akan baik-baik saja, dia sudah stabil.” Aku mengernyit ketika mendengar penuturan suara asing itu.
“Tapi mengapa dia berkali-kali pingsan seperti ini dok?”
“Ia kelelahan,” jawab orang yang mungkin mereka panggil dokter.
“Kelelahan?! Yang benar saja. Dia sudah hampir dua minggu tidak sadar, dan sekarang dia kelelahan?!” omel suara yang cukup familiar ditelingaku. Suara sahabatku, Andhini.
“Banyak yang harus ia sesuaikan setelah kejadian itu. Kita benar-benar harus bersyukur karena ledakan itu tidak sampai menyebabkan kerusakan fatal pada organ-organ tubuhnya.”
Ledakan?
Aku kembali mengernyit bingung, mulai merasa sesak karena rasa ingin tahuku. Tapi aku masih tidak ingin membuka mataku, aku masih ingin tertidur, seakan yang dikatakan dokter itu memang benar adanya, bahwa aku memang lelah, sangat lelah.
Seseorang menyentuh ujung kaki kiriku, kemudian memijitnya dengan lembut. “Ia memberikan sedikit waktu lebih pada polisi untuk menjinakan beberapa bomnya. Tapi sayangnya, bom yang di kakinya terlalu sulit untuk diraih.”
Bom?! Apa-apaan ini?? mengapa aku harus berhubungan dengan bom dan ledakan?!
“Ya, itu menyebabkan sebuah kejutan untuk tendon-tendon kaki kanannya. Kami masih melakukan beberapa uji coba untuk melihat tingkat kerusakannya. Tapi selama ia masih belum sadar, kita masih belum bisa menentukan dengan pasti.”
Kakiku mati rasa….
Aku tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa merasakannya!!!
Tiba-tiba ketakutan menyelimuti jiwaku. Aku mulai kebingungan mencari kontrol atas kakiku, mencoba merasakannya. Namun nihil, aku sama sekali tidak bisa merasakan kakiku. Ya Allah….
“Aku harap kalian bisa menyembunyikan prilah Raihan dulu darinya.”
Deg.
Ketakutanku akan kakiku mendadak sirna, tergantikan oleh seluruh kepingan memori tentang nama yang baru saja ku dengar entah dari mulut siapa. Raihan… Raihan… Raihan… berkali-kali otakku mengulang-ngulang itu. Mencoba meraih seluruh lembaran kenangan tentang nama itu.
Raihan…. Jantungku tersentak ketika akhirnya menemukan buku besar dalam otaku yang berisi penuh dengan namanya. Raihan, dimana dia? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Mengapa mereka ingin menyembunyikannya dariku?? Dimana dia??!! Dimana Raihanku?!!!
Tubuhku mengejang hebat begitu saja, membuat semua orang di ruangan itu mendadak panik. Aku mulai bisa mengenali seluruh suara penuh cemas mereka satu persatu. Bibi, Raka, Anna, Arya, Amy, Andhini, Risa, kakek Darmawan, dan bahkan tante Luna. Tapi lagi-lagi kegelapan itu menarikku, menyeretku masuk ke bagian yang lebih pekat dari pada sebelumnya. Kemudian mengunciku di sana selama beberapa saat. Memastikanku mati dengan sendirinya.
***
“Dimana Raihan?” tanyaku suatu hari. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Belakangan aku mulai sadar, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang tidak akan pernah mendapatkan jawaban, sekeras apapun aku meneriakinya.
Aku menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa perih yang mendadak menyelimuti hatiku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ku utarakan pada mereka semua yang hadir mengelilingiku, namun pada akhirnya aku hanya terdiam. Menjawab pertanyaan seperlunya dari dokter paruh baya itu. Mencoba menerka sejauh mana Tuhan mengujiku.
Sudah seminggu sejak kesadaran totalku, kini aku sudah bisa berbincang dengan lebih normal. Beberapa alat berat bahkan sudah dilepaskan. Namun dokter masih belum mau membiarkanku pulang. Meskipun aku sudah benar-benar bosan berada di rumah sakit itu.
“Kata dokter kalau hasil test nya sudah keluar sore ini kau bisa pulang.” Ujar bibi dengan sangat lembut. Ia membelai kepalaku penuh kasih, membuatku merasa sangat bersalah.
“Bibi… maafkan aku…” bisikku tulus. Bibi merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya, memberikan kehangatan yang begitu nyaman. “Aku sudah melukai perasaan bibi. Aku sudah berbuat jahat pada bibi…”
“Sstt… tidak, kau tidak boleh menangis. Tidak boleh lagi ada air mata. Kau harus tersenyum anakku.  Kau harus tersenyum,” bibi mengusap air mataku dengan perlahan, “Dengarkan bibi, sampai kapanpun bibi adalah keluargamu. Ingat itu! Bibi sangat menyayangimu Zahra… kau tidak pernah tau betapa takutnya bibi kehilanganmu…”
Aku memeluk bibi dengan sangat erat, menangis tersedu di balik pundaknya, membiarkan air mataku membuat bulatan-bulatan kecil pada kerudung biru tuanya. Ia membelai-belai lembut punggungku, menenangkanku.
Ya Allah… hamba benar-benar minta maaf… bagaimana mungkin hamba bisa menutup mata dari seluruh kasih sayang yang Kau tunjukan selama ini, melalui tangan-tangan lembut mereka… melalui hati-hati tulus mereka…
Pintu kamarku perlahan terbuka. Anna, Aisyah dan Anisa langsung berjalan mendekati ranjangku, disusul oleh Raka tepat di belakang mereka. Anna menggenggam tanganku dengan lembut, membuatku tak bisa menahan senyuman haru yang muncul tulus dari dalam dadaku. Raka menggendong Anisa dan Aisah hingga bisa duduk di atas ranjang. Aku bahkan sangat merindukan celoteh kedua mahluk kecil yang teramat manis ini.
“Ini untuk kak Zahra.” kata Aisyah sambil menyerahkan setangkai bunga lavender. Aku mengernyit dan melirik vas Kristal di atas meja kecil di sampingku. Bunga-bunga lavender di sana masih begitu segar, namun kini Aisyah membawakanku setangkai lagi.
“Terima kasih…” balasku dengan lembut.
“Kak Zahra tau apa arti bunga lavender?” tanya Anisa dengan wajah lugunya. Aku mengernyit dan menggeleng.
“Bunga Lavender itu artinya penantian cinta.” Kini Aisyah yang berkata. Aku tersenyum geli menatap mereka, kemudian melirik Anna yang juga menatap bingung putrinya.
“Sejak kapan kalian mengenal masalah cinta?” tanya Anna lembut. Kedua gadis itu saling berpandangan sambil tersenyum geli penuh rahasia. Raka terkekeh dan menggeleng-geleng melihat tingkah putri-putri kecil itu.
Raka merangkul Anisa dan Aisyah secara bersamaan, “Kalian memang harus mengenal masalah cinta itu. Tapi yang harus kalian ingat adalah, Cinta pertama kalian harus-hanya-kepada Allah.” Ujar Raka dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. Kedua gadis itu mengangguk penuh semangat.
“Iya… yang pertama itu Allah… lalu bunda Anna, lalu ummi Aisyah, lalu kak Zahra, ayah Raka, Kak Amy, Kak Arya, Ayah Alan, eyang, nenek Luna dan kak Raihan!” ujar Aisyah seraya menghitung dengan jemari kecilnya. Ada sentakan aneh di dadaku ketika mendengar nama itu, namun sebisa mungkin aku menyembunyikannya, mencoba tetap bersikap normal. Bibi membelai lembut buku-buku jemariku, dan tersenyum menenangkan.
“Bibi akan menemui dokter dulu,”
“Biar aku temani ummi,” ujar Anna. Namun bibi menggeleng, membuat Anna kembali duduk di kursinya, di sampingku.
Hanya berselang lima menit dari kepergian bibi, pintu kamarku kembali terbuka. Kakek Darmawan mendorong kursi roda tante Luna masuk, mereka tampak sehat, dan aku bersyukur karenanya. Kakek Darmawan mencium puncak kepalaku dengan penuh kasih, sedangkan tante Luna mencium kedua pipiku. Mata indahnya tampak sedikit berkaca-kaca ketika memandangku, dan entah bagaimana itu membuatku merasa begitu nyaman, begitu dicintai.
Aku mengernyit ketika tidak lama kemudian Arya dan Amy memasuki kamarku. Seorang pria seumuran kakek tampak berjalan mengikuti mereka. Aku tidak tau bagaimana harus bersikap kepada Amy, ada banyak hal yang ingin ku jelaskan kepadanya, namun aku masih belum memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya. Bahkan kini rasanya kamarku mulai penuh sesak oleh orang-orang yang datang mengunjungiku.
Amy tersenyum tipis seraya menggenggam jemariku. Begitu banyak hal yang ingin ku katakan padanya, begitu banyak ungkapan maaf yang perlu ku sampaikan.
“Maafkan aku…” bisikku tulus. Gadis itu menggeleng perlahan.
“Aku yang seharusnya mengatakan itu. Maafkan aku Zahra, aku tidak tau jika kau dan Raihan saling mencintai. Hampir saja aku menghancurkan cinta itu.”
“Kau tidak salah sama sekali…” ujarku perih.
Amy menyeka air mataku dengan lembut, “Tapi semuanya bukan masalah lagi sekarang, kau bisa tenang karena kami sudah menikah.” bisik Amy ditelingaku. Mataku langsung terbelalak lebar mendengarnya. “Aku memang mencintai Raihan, tapi bukan ia pria yang ku yakini akan menjadi imam terbaikku. Pria inilah orangnya.” Amy tersenyum manis penuh kebahagiaan seraya melirik sosok Arya yang berdiri di sampingnya. Aku sama sekali tidak bisa menahan air mata haru yang perlahan membanjiri pelupuk mataku.
“Tapi bagaimana dengan masalah ibunya?” tanyaku ngeri.
“Masalah wanita itu, hanya sebuah kesalah pahaman.” Ujar Arya menambahkan.
“Wanita itu?” tanyaku bingung. Arya mendesah lelah kemudian melirik bapak tua yang berdiri di sampingnya.
“Hahahaha… maaf sudah membuat keributan sebelumnya.” Ujar bapak itu, nada suaranya yang ramah benar-benar mengingatkanku pada sosok Arya. “Aku ayah Arya. Wanita yang datang menemuimu dan menantuku adalah istri ketigaku.” Ujarnya tanpa malu-malu, membuatku spontan ternganga mendengarnya. “Aku juga ingin meminta maaf sekali lagi padamu,” ia memandang Amy dengan penuh kasih. “Ayah tidak tau kalau kau banyak terluka karena Keke,”
“Aku baik-baik saja ayah.”
“Ah… kau begitu lembut… kau sangat mirip dengan almarhumah ibu Arya…”
“Ayah! Dia istriku,” tegur Arya kesal. Bapak itu tertawa lebar sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Tapi aku masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Aku melirik Amy meminta penjelasan lebih. Dan bagaimana mungkin mereka bisa tega-teganya menikah tanpa menungguku?!
Beberapa hari kemudian saat aku akhirnya memiliki kesempatan berbincang berdua dengan Amy, barulah ia menjelaskan segalanya. Tentang almarhumah ibunda Arya yang dikuburkan di Mekah, tentang ayahnya yang kesepian, tentang ibu mertuanya yang pencemburu, yang ternyata istri ketiga dari ayah mertuanya, tentang kebenciannya akan poligami yang dilakukan suaminya sendiri hingga tega-teganya berkata demikian kepada Amy, menolaknya dengan menggunakan masa lalunya sebagai senjata.
“Aku tidak pernah bermasalah dengan poligami. Tidak sama sekali, dan masalah anakmu. Kau tenang saja, aku bahkan tidak ingat menemukan Arya dimana…” seloroh bapak tua itu. spontan kami semua tertawa mendengarnya. Namun aku mengerti maksudnya, aku mengerti betapa ia berjiwa besar dan penyayang, sama seperti putranya. Betapa ia mencintai istri pertamanya, bahkan meski kini ia sudah tidak ada. “Bagaimana dengan keadaanmu, nak?” tanya bapak itu seraya memandangku. Aku tersenyum santun dan mengucapkan Alhamdulillah atas keadaanku saat ini. “Ah… kau sangat cantik, sangat mirip dengan almarhumah ibunda Arya, mungkin kau bisa…”
“Ayah!” potong Arya gemas. Aku terkekeh geli ketika menyadari maksud perkataan bapak yang begitu ramah itu.
“Maaf pak, tapi gadis itu sudah memiliki kekasih.”
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara itu. Kami semua langsung menoleh ke arah asal suara itu. Jantungku terasa berhenti begitu saja ketika melihatnya berdiri disana, begitu tampan dan mempesona. Sosok itu tersenyum angkuh seperti biasa, namun aku bisa merasakan tatapan penuh cintanya yang mampu membuatku terbuai sedemikian rupa.
Aku tidak tau sudah berapa lama aku tidak pernah melihatnya, namun rasanya rindu itu sudah menggunung di dadaku. Membuatku ingin menangis karena kebahagiaan yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia berjalan perlahan tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. Ditangannya sebuket bunga lavender tampak berseri indah.
“Selamat pagi cantik,” bisiknya di telingaku. “Assalamualaikum…” tambahnya. Dan aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan tangis bahagiaku.
“Kemana saja kau?” tanyaku terbata-bata.
“Mencari penghulu.” Ujarnya dengan tatapan geli. Aku mengernyit bingung ketika ia berbalik, memanggil seorang pria berjas hitam.
“Apa-apaan ini?” tanyaku bingung. Bahkan tiba-tiba saja Hanna, Andhini, Risa berserta Damar sudah berada di kamarku. Ummi datang bersama dokter dan beberapa suster, membuat kamar rawat inapku benar-benar penuh oleh semua orang. Raka menggendong Aisyah, sedang Arya menggendong Anisa dari ranjangku, memberikan akses yang lebih luas pada Raihan dan orang yang ia sebut sebagai penghulu.
“Kita akan menikah,” ujar Raihan, kini suaranya terdengar sedikit gugup. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Dengan kikuk aku menatap satu persatu wajah di sekeliling kami. Semuanya, tanpa terkecuali, tampak memasang satu senyuman yang sama, satu jenis tatapan yang sama pula. Tatapan kebahagiaan.
Jadi ini adalah rencana kejutan mereka??? Rasanya aku ingin memeluk semua orang saat itu juga. Aku ingin mengucapkan seluruh kata terima kasih atas air mata haru penuh keindahan itu.
Tiba-tiba mataku menyipit ketika melihat sosok di sampingku tersenyum lebar penuh kebanggaan. “Tapi aku belum mengatakan iya kepadamu.” tudingku kesal. Raihan menyisir rambutnya dengan jemarinya, wajahnya tampak gemas pada sikapku.
“Dengar nona Zahra, aku tidak pernah menanyakan apakah kau mau atau tidak menikah denganku, jadi aku tidak perlu menunggu jawabanmu.” Ujarnya sombong. Aku menatapnya tidak percaya. Apa-apaan dia?!!
“Bagaimana kalau aku tidak mau menikah denganmu.”
“Aku tidak peduli.” Ujarnya. “Mau ataupun tidak, kau akan tetap menikah denganku!” ujarnya tegas. Aku melirik Ummi meminta bantuan, namun tampaknya saat ini semua orang lebih mendukung sosok angkuh di sampingku. “Ayo pak, segera dimulai.” Ujarnya tak sabar.
“Tunggu.” Potongku cepat. Raihan mendengus kesal kemudian menoleh kepadaku. “Apa kau benar-benar ingin menikahi seorang wanita yang lumpuh sepertiku?” tanyaku pelan. Wajah angkuhnya perlahan mencair, melembut dan penuh kasih.
“Kau akan sembuh.” Bisiknya begitu lembut. “Dan kalaupun kau kehilangan sebagian organ tubuhmu, kalaupun kau lumpuh selamanya, aku akan tetap mencintaimu. Aku akan tetap menikahimu. Karena aku sadar, hanya denganmu lah aku bisa menemukan kebahagiaan itu. Kau yang sudah membawaku kembali untuk menemukan cahaya kebenaran itu, kaulah wanita yang ku cari selama ini, jodoh yang dituliskan Tuhan untukku.” Air mataku menetes perlahan ketika mendengar kata-kata indahnya.
Subhanallah, aku sangat mencintainya ya Allah… sangat mencintainya…
Ummi dan tante Luna menyeka air mata haru mereka secara bersamaan. Amy tersenyum lembut kepadaku, Anna bahkan menangis haru di pundak suaminya. Sedang ketiga sahabatku tidak bisa lagi menyembunyikan rona kebahagiaan mereka.
“Raihan, Raihan Reynaldi Al-Farizi… aku mencintaimu karena Allah. Karena agama yang ada pada dirimu. Jangan lepaskan lagi, jangan biarkan agama itu pergi. Karena jika kau hilangkan agama itu dari dirimu, maka hilanglah cintaku padamu.” Bisikku sungguh-sungguh. Raihan menatapku dengan sangat tulus. Kemudian ia mengangguk.
“Insya Allah, untuk kali ini, aku akan menjaganya. Takkan ku biarkan lepas lagi.” ujarnya seraya tersenyum lembut, kemudian ia berbalik, menjabat uluran tangan penghulu dengan keyakinan sepenuhnya. Dan ketika ia mengucapkan kalimat dua syahadat itu, aku tau dia mencintaiku. Sangat mencintaiku…
Terima kasih ya Allah… terima kasih atas semua cinta yang telah Engkau berikan kepada kami… terima kasih banyak…
Ayah, bunda… akhirnya aku menemukan pelangi itu. Tidak berwarna memang, hanya hitam dan putih. Namun itu saja sudah cukup… aku merasa sangat bahagia karenanya. Aku sangat mencintai pria ini. Ku mohon, restuilah kami…
***
4 bulan kemudian
“Aku yakin ayah sangat bahagia bertemu dengan kakek,” bisikku pelan. Raihan meremas jemariku dengan lembut, mengiyakan perkataanku tanpa mengalihkan pandangannya dari tiga pusaran di hadapan kami.
“Bagaimana pendapatmu tentang pinangan ayah Arya pada bibi?” tanya Raihan. Aku mendesah dan memutar bola mataku.
“Aku tidak yakin.”
“Tapi mereka saling mencintai.”
“Tapi ayah Arya itu mata keranjang!”
“Tapi sekarang kelihatannya serius.”
“Sejak kapan kau jadi sok tau begitu?!”
“Aku memang selalu tau.”
“Kau benar-benar besar kepala!”
“Ini kenyataan, kau tidak bisa memisahkan mereka.”
“Aku tidak sedang memisahkan siapapun. Aku hanya ragu!”
“Keraguanmu itu menyakiti mereka.”
“Kalau begitu biar saja mereka mengurus masalah mereka sendiri. Mereka sudah sama-sama dewasa, kita tidak perlu ikut campur!”
“Aku hanya sedang memikirkan.”
Lalu tiba-tiba hujan turun begitu saja, mengguyur kami tanpa peringatan.
“Ya Allah.. hujan, ayo cepat ke mobil,” ujarnya seraya berbalik pergi.
“Tunggu!”
“Apa lagi? ayo cepat, atau kau akan basah kuyup.”
“Tapi aku tidak bisa berlari!” teriakku ditengah-tengah guyuran hujan. Raihan memicingkan matanya sambil menatap kedua kakiku.
“Jangan banyak alasan, kau sudah sembuh total sejak dua bulan yang lalu!” ujarnya gemas.
“Iya, tapi dokter bilang aku tidak boleh berlari!”
“Zahra?” ia menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku yang masih belum beranjak dari samping makam orang tua dan kakekku. Matanya menyiratkan sebuah kecemasan yang entah bagaimana membuatku begitu bahagia.
“Karena aku sedang hamil.” Kataku tak acuh. Sedetik kemudian aku merasa tubuhku melayang, dan ketika tersadar aku sudah berada di dalam dekapan pria yang paling ku cintai. “Turunkan aku!” pekikku ngeri.
“Diam. Aku sedang menggendong istri dan calon jagoanku.” Ujarnya angkuh. Aku terkikik geli di balik dadanya. Lagi pula siapa juga yang mau turun dari dekapannya?!
Aku membenamkan kepalaku di balik dadanya yang bidang, merasakan kehangatan yang terpancar dari dalam dirinya, mendengarkan detak jantungnya yang menenangkan. Kini aku bebas menghirup dalam-dalam aroma maskulin priaku, dan aku tidak pernah menyia-nyiakannya.
 Aku sangat mencintainya, aku mencintai amarahnya, aku mencintai gumaman kesalnya, aku mencintai wajahnya ketika tengah terlelap, aku mencintai gurauannya yang kadang tidak mengundang tawa, aku mencintai usaha gigihnya ketika belajar memasak, aku mencintainya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya, aku mencintainya mimik seriusnya ketika berhadapan dengan kertas dan laptopnya, aku mencintai suaranya ketika menjadi imam di setiap shalatku, aku mencintai dekapannya, aku mencintai kejahilannya ketika menggangguku tidur, aku mencintai kecupan lembutnya di setiap pagi, aku mencintai senyuman miringnya yang sangat mempesona, aku mencintai belaian menenangkannya ketika aku merasa lelah dan terluka, aku mencintainya yang mencintaiku apa adanya, aku mencintai ia yang telah membawa pelangi hitam putih dengan berjuta kehangatan ke dalam duniaku. Begitu banyak yang ku cintai dari pria ini, hingga meski aku menghabiskan hidupku untuk menuliskannya, itu takkan pernah selesai tertulis. Aku mencintainya yang mencintai Allah dengan sangat tulus.
“Turunkan aku,” ujarku ketika kami sudah sampai di parkiran pemakaman umum tempat ayah bunda dan kakekku dimakamkan.
“Tidak.”
“Bagaimana jika ada yang melihat.”
“Aku tidak peduli!” ujarnya tak acuh, kemudian mempererat dekapannya, seakan aku tidak memiliki bobot sama sekali. “Lagi pula kita sedang di pemakaman, dan hujan sangat deras. Mana mungkin ada orang yang sengaja berolah raga di sini.” Guraunya. Aku tidak ingin tersenyum mendengarnya, namun nyatanya pria ini selalu bisa mengukir pelangi dihatiku. Bahkan meski hujan itu belum berhenti menetes, seperti hari ini.
“Ada yang melihat kita!” ujarku bersikukuh, sebisa mungkin menunjukan wajah kesalku.
“Siapa?!” tantang Raihan seraya mengedarkan pandangannya. Aku melirik kebalik lengan kekarnya.
“Ayah, bunda dan kakek…” bisikku penuh kasih. Raihan menghela nafas panjang, kemudian aku bisa melihat senyuman indahnya kembali terukir. Ya Allah, bagaimana mungkin wajahnya bisa berubah semakin tampan setiap kali aku melihatnya.
“Biar saja mereka melihat. Aku yakin mereka semua akan senang melihatku menggendong ratu dan calon jagoan kecilku.” Ujarnya santai. Aku terkekeh pelan dan kembali menyembunyikan wajahku di dadanya.
Tapi tunggu dulu, jagoan katanya?! Aku menginginkan seorang putri untuk anak pertama kami, seperti Anna yang memiliki Aisyah dan Amy yang memilik Anisa!
“Dia perempuan.” desisku dalam dekapannya.
“Jangan bergurau, dia pasti jagoan kecilku!” aku mendongkakkan kepalaku, berusaha menatap wajahnya, namun gagal.
“Dia perempuan! Aku ibunya, aku bisa merasakannya!”
“Dia putraku. Tidak perlu diperdebatkan lagi.”
“Tapi dia perempuan,”
“Dia seorang jagoan Zahra!”
“Pokoknya perempuan!”
“Jangan pernah kau dandani jagoanku dengan pakaian perempuan!”
“Dia memang perempuan kok!” ujarku tak mau kalah. Dan perdebatan kami tidak pernah berhenti di sana. Seperti yang ku katakan, hidup bersama Raihan tidak pernah menjanjikan pelangi berwarna-warni pada umumnya. Hanya ada pelangi hitam putih, namun di balik itu semua, aku bisa merasakan berjuta warna yang lebih indah, yang dengan sekuat tenaga ia coba hadirkan diantara kami.
Raihan tidak pernah mengalah padaku, namun aku tidak pernah bisa marah akan hal itu, karena pada akhirnya, aku akan kembali luluh ketika ia mencium keningku dengan penuh kasih di tengah-tengah argumennya, menunjukan apapun yang kami perdebatkan tidak akan mengurangi sedikitpun rasa cintanya padaku. Tepat seperti rasa cintaku kepadanya. Kepada pria pemilik pelangi terindah dalam hidupku itu.
Terima kasih ya Allah,
Terima kasih atas semua senyuman ini, terima kasih banyak.
“Dengar.” ujarnya seraya mendudukanku di kursi penumpang, ia membungkuk sejenak di depan pintu mobilnya, menatap wajahku lekat-lekat. “Apapun itu, entah seorang putri atau jagoan kecil, asalkan itu lahir dari rahimmu, aku akan mencintainya.” Ujarnya sungguh-sungguh, kemudian dengan cepat ia mengecup keningku, membuatku melongo menatapnya. Aku memandang sosok yang tengah berjalan menuju kursi kemudi itu dengan senyuman mengembang. Lihatkan, betapa mudahnya ia membuatku jatuh cinta kepadanya.

The End

Tangerang.
12 July 2013
21:57 PM


Rabu, 17 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH -26- ENDING

ZAHRA


“Kakek…” bisikku pelan. Terguncang oleh seluruh luka itu. “Kakek…” ulangku perih, kini aku tidak lagi bisa menyembunyikan apapun. Aku lelah, jiwa dan raga. Aku memandang sosok tua itu tanpa berkedip, berusaha menjaga air mataku tetap diam tergenang di sana, tak menetes sedikitpun. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat sosoknya, mungkin seribu tahun lamanya. Karena saat ini, ketika akhirnya aku menatap wajah itu, aku merasakan rindu yang teramat sangat di dalam dadaku. “Aku merindukan kakek… sangat merindukan kakek…” tambahku. Dan itu benar adanya. Rasa rindu itu sangat besar untuknya, membuatku hampir saja mati karena perasaanku sendiri.
Aku merindukan seluruh kehangatannya, dekapan eratnya, belaian lembutnya, bahkan canda tuanya yang tak pernah bisa ku mengerti. Tapi ia sudah lama menghilang, hingga serindu apapun ayah pada kakek, kami hanya bisa melihat rekaman candanya dari video-video milik ayah. Ayah selalu berkata bahwa ia sudah berubah, tapi di mataku… ia tetap sama, tetap menjadi kakek yang paling ku sayangi… ku rindukan, sampai saat ini…
Tapi pria itu tidak bergeming. Ia hanya menatapku tanpa berkata-kata. “Aku kehilangan semuanya kek. Ayah dan bunda sudah meninggalkanku. Aku sendirian. Selama ini aku selalu berharap bahwa suatu saat nanti kakek akan mencariku, menjemputku, menawarkanku kehangatan yang lain. Bahkan sampai saat ini aku masih menyimpan harap itu. Aku sebatang kara kek…” isakku. “Dan aku terluka…”
“Maafkan kakek, Zahra…” bisiknya lembut.
“Kakek mengenaliku…” gumamku pelan, “Aku sudah memaafkan kakek. Sudah sejak awal. Aku tau kakek menyayangiku, hanya saja kakek terlalu sibuk hingga tidak bisa mencariku, tapi aku sudah memaafkan kakek untuk itu. Aku sendirian kek, bagaimana mungkin aku bisa membenci satu-satunya keluargaku. Sejak kecil, aku tidak pernah berhenti mengagumi kakek. Aku mencintai kakek.” Aku menyeka air mataku dengan punggung tanganku. Berharap bisa menghapus perih yang menghimpit dadaku semudah itu. “Aku bahkan tidak pernah membenci kakek karena telah membuat ayah dan bundaku pergi.”
Kakek tampak tersentak mendengar perkataanku. Mata tuanya memandangku dengan tatapan perih, namun ia tidak mengelak. “Aku tau apa yang terjadi. Tapi aku tidak ingin mengungkitnya. Aku takut, jika kakek masuk penjara, maka aku akan benar-benar sendirian. Maka harapanku untuk merasakan kehangatan itu akan menghilang, lenyap dibalik sirine mobil polisi. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku takut kehilangan kakek…
“Tapi hari ini. semuanya berubah. Kakek… pria ini…” aku mengulurkan tanganku yang gemetar untuk menunjuk Raihan, “Pria ini, Pria yang akan mati kapan saja kakek menganggukan kepala kakek, adalah pria yang paling ku cintai. Satu-satunya pria yang membuatku ingin terus bertahan untuk tetap hidup. Dia bukan pria yang baik, memang bukan. Ia melakukan banyak kesalahan. Banyak sekali, hingga aku lelah menghitungnya, tapi dia mencintaiku apa adanya. Membuatku merasa seperti seorang putri, merasa dicintai. Merasa kembali memiliki alasan untuk hidup.
“Aku sudah mengalami berbagai kepahitan hidup kek. Berkali-kali tercampakan oleh cinta dan takdir, dipermainkan sedemikian kerasnya oleh hidup. Dan dia satu-satunya yang bersedia merangkulku, menawarkanku cinta yang lain. Aku lelah jatuh cinta kek. Tapi ketika bersamanya, rasa itu muncul begitu saja. Begitu manis… begitu mempesona…
“Jika kakek ingin membunuhnya, maka perintahkan mereka juga untuk membunuhku…”
“Zahra!”
“Kakek tega membunuh kedua orang tuaku, maka membunuhku tidak akan menjadi hal yang sulit, bukan?” air mataku perlahan menetes, namun kini gemuruh hatiku sudah mulai lebih tenang. “Aku kesepian kek. Sebanyak apapun aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi itu sama sekali tidak benar. Aku terluka luar dan dalam. Aku tidak pernah tau apa itu arti kata bahagia. Selalu hujan dan hujan yang ku temui, dan ketika matahari kembali hadir untuk menciptakan pelangi, Tuhan selalu menariknya kembali.
“Bersama pria ini, aku banyak belajar tentang kehidupan, tentang kegigihan, tentang cinta, tentang rasa sakit, tentang kerinduan. Ia tidak seperti pria lain yang menjanjikanku pelangi berwarna indah. Ia hanya sosok yang menawarkanku sebuah pelangi hitam putih yang penuh kesunyian. Tapi karena itulah aku mencintainya, karena di balik pelangi hitam putih yang dibawanya aku bisa merasakan berjuta warna kemilau yang tidak akan bisa ku temukan dengan sosok lain.
“Hidup dan matiku hanya sekedar wacana kek… cepat atau lambat…” bisikku seraya terus maju mendekati Raihan yang tidak lagi meronta. Aku tersenyum tipis ketika melihat tatapan matanya yang penuh cinta. Ah… pria angkuh ini memang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Aku mencintainya ya Allah…
“Zahra! berhenti di sana. Kau tidak boleh mendekat. Ada bom yang tertanam di sekeliling mereka!” teriaknya. Aku menoleh pada kakekku dengan cepat, merasakan perih yang teramat sangat. Namun aku tidak takut sama sekali. Disinilah tempatku, di samping pria yang ku cintai. Jika Tuhan harus mencabut nyawaku, maka inilah tempat yang ku inginkan. Tepat berada bersamanya.
Aku menatap Raihan dengan pandangan yang menyiratkan seluruh kerinduanku. “Aku mencintaimu.” Bisikku pelan. Kemudian berpaling pada Christine, “Maafkan kami…” bisikku tulus. Gadis itu mengangguk pelan, aku tidak bisa melihat jelas mimik wajahnya yang juga di sumpal kain hitam. Namun aku yakin kini ia tengah tersenyum manis, menyerahkan diri pada seluruh takdir Allah.
Mungkin saat ini kami akan mati, mungkin semuanya akan selesai di sini, tapi aku tidak lagi menyesali semuanya, tidak ingin. Begitu banyak kesalahan yang sudah ku perbuat, dan kini, di detik-detik kehidupanku, aku tidak ingin menambah kepingan dosaku.
Aku gadis yang keras kepala, aku tau, yang entah bagaimana selalu menutup diri dari kisah indah yang digoreskan Tuhan untukku. Aku sudah banyak menyakiti berbagai hati, hingga meski aku mengabdikan diriku untuk mengucapkan beribu kata maaf sekalipun, kesalahanku tidak akan pernah terhapuskan. Aku mencintai mereka semua, aku mencintai orang-orang yang selama ini berada di sekelilingku. Dan aku harap mereka tau itu. Bibi, ayah, bunda, Anna, Raka, Arya, Amy, Andhini, Risa, Hanna, kakek Darmawan, tante Luna, Aisyah, Anisa, anak-anak panti itu… bahkan Raihan…
Aku harap mereka tau betapa aku sangat mencintai mereka.
Aku mencengkram pundak Raihan dengan sangat erat, kemudian memejamkan mataku sendiri. Tepat sebelum aku mendengar sebuah suara dentuman yang sangat besar. Lalu semuanya hilang, penuh kabut dan asap.
Innalillahi wa inailaihi rajiun… hamba ikhlas ya Allah…
****




 “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan.” (QS : al ankabut : 57)




Selasa, 16 Juli 2013

PELANGI HITAM PUTIH -26- ENDING

RAIHAN


BRUK!
“Dia yang kau inginkan!” teriakan itu menyadarkanku. Aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandanganku, mencoba memandang sosok yang kini terbaring lemah di lantai, tidak jauh dari tempatku terikat. Mataku terbelalak lebar ketika menyadari siapa gadis itu. Aku meronta-ronta dalam ikatan itu, mencoba berteriak sekuat tenaga, meski pada akhirnya yang keluar dari mulutku yang disumpal hanya sebuah suara-suara samar.
Lucky melirik sinis kepadaku, kemudian berpaling kepada sosok lain di belakangku. Sosok yang kini terbujur lemah tak berdaya. Terikat sama sepertiku. Ia menggeleng perlahan sambil terus menangis.
“Lepaskan adikku! Kau salah menangkap orang, bukan Christine yang dicintainya. Tapi gadis ini!”
Tepat pada saat itu Zahra membuka matanya. Sejenak aku mendesah lega ketika menyadari bahwa gadis itu masih hidup. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian mencengkram kepalanya, mungkin berusaha meraih kesadarannya. Aku sangat merindukan gadis itu. Gadis angkuh yang tidak pernah bisa membuatku berhenti memikirkannya. Melihatnya di saat-saat terakhir sebelum aku mati adalah impianku yang muncul sejak beberapa saat yang lalu. Namun kini, ketika menyadari betapa bahayanya keberadaannya di sini, aku mulai mengutuki do’aku. Aku ingin memintanya untuk segera lari keluar dari gudang ini. Aku tidak ingin mereka semua mengenalinya, kemudian mengincarnya.
Aku melirik gerombolan berkemeja hitam di sebelah kananku, mungkin mereka berjumlah belasan, aku tidak terlalu yakin. Mereka berdiri tepat di belakang seorang pria yang lebih tua. Lima orang di antara mereka mengangkat senapannya tepat kepadaku, sedangkan yang lainnya membidik Lucky dan Zahra.
Aku berteriak kalut ketika melihat Zahra berdiri dengan susah payah. Penembak-penembak itu semakin memfokuskan sasaran bidikan mereka. Dan aku tau, satu tembakan saja, maka aku akan mati. Bukan hanya dia, tapi aku. Bahkan mungkin sakit yang ku rasakan akan lebih perih jika di bandingkan dengan sakitnya.
Gadis itu menatapku dengan pandangan tidak percaya, kemudian air mata mulai mengalir dari kedua pelupuk matanya yang indah. Aku bisa merasakan kepedihan dan ketakutan dari tatapannya, dan bahkan rasa rindu yang tersembunyi dengan rapat itu pun mulai terlihat. Aku menatap pasrah wajah cantiknya, mencoba mengutarakan kata maaf atas apa yang kini terjadi kepadanya.
Aku membenci diriku. Ya, semua orang membenci diriku. Ibu dan kakek membenciku karena seluruh ketololan yang telah membuat ibu masih terbujur lemah di rumah sakit; Anna dan Raka jelas membenciku karena sudah melibatkan putri mereka dan anak-anak berprestasi itu  menjadi bayaran untuk apa yang sudah ku dapatkan dari kelompok itu, memanfaatkan mereka sebagai senjata untuk menghancurkan kakekku sendiri; Bahkan kini Lucky juga membenciku karena pada akhirnya ia tau, aku tidak akan pernah bisa kembali mencintai adiknya seperti dulu, dan malah membahayakannya seperti ini.
Aku menggeleng keras ketika Zahra berjalan mendekatiku dan Christine. Tidak, dia tidak boleh terlibat. Ia harus tetap hidup!
Bidikan senapan itu tampak semakin nyata, tak terlihat namun jelas terasa. Mengunci seluruh udara hingga membuatku sesak karena takut. Aku tidak pernah takut pada kematian, tapi melihat mereka semua membidik wanita yang paling ku cintai, membuat hatiku merasakan takut yang teramat sangat. Seakan mereka sedang mencengkram jantungku, dan siap menariknya kapanpun bila aku bergerak sedikit saja.
Aku mulai berteriak-teriak  semakin gila, merasakan sebuah kekalahan yang sangat nyata. Aku sangat mencintainya, dan kini aku hanya membahayakannya, aku bahkan tidak bisa menjaganya. Yang ku lakukan hanya menebar perih di kehidupannya. Maafkan aku…
Aku terus memintanya untuk lari, dan pergi. Namun gadis itu tidak bergeming, ia malah berjalan semakin mendekat, kemudian dengan perlahan menoleh pada sosok tua yang kini tampak begitu pucat.
“Kakek…” bisiknya teramat pelan.


Senin, 15 Juli 2013

MY LOVE IS YOU -01-



#12 Tahun yang Lalu

"Diiiiiaannnn...." Teriak seorang laki-laki dari belakang, membuat Dian yang sedang berjalan berhenti sebentar. Dian melirik sesaat lalu mulai berjalan lagi.

'Uhh kenapa sih makhluk satu ini ngikutin gw terus. Gw kan bukan babysitternya apalagi emaknya' sungut Dian dalam hati sambil berlari kecil menghindarinya.

"Dian!!! Kenapa sih daritadi gw panggilin lo diem aja sekarang malah lari lagi. Gw kan bukan debt collector yang mesti lo takutin." Sekarang laki-laki itu sudah ada di depan Dian seraya berkacak pinggang dan muka merah karena lelah. Mulut laki-laki itupun  dikerucutkan, kesal. Dian hanya tersenyum lalu berjalan lagi.

"Dian bisa gak sih tungguin gw?"  Sekarang laki-laki tersebut menarik tangan Dian keras. Dian tersentak.

"Lo tuh apaan sih Van? Kenapa harus ngikutin gw terus. Mangnya ada apa sama gw? Gw kan bukan baby sitter apalagi emak lo, Van." Teriak Dian tak kalah kesalnya.

"Dian kok lo gitu? Gw kan janji sama emak lo bakal jagain lo." Jawab laki-laki itu dengan wajah memelas.

"Itu kan janji lo sama emak gw bukan sama gw, Ivan. Lagi lo dah kaya hansip aja mau-mauan disuruh jagain gw." Kali ini Dian tak membiarkan dirinya tertipu dengan wajah memelas laki-laki yang ternyata bernama Ivan. "Gw tuh sebel sama lo, lo dah kaya semut yang ngikutin kemanapun gula. Lo tuh lebih kecil dari gw. Jadi stop bertingkah kaya gitu." Lanjut Dian sambil melangkah pergi.

"Diiiiaaannn... Berenti!!!!!" Teriak Ivan lagi saat Dian telah melangkah sejauh beberapa meter darinya.

"Apa lagi sekarang Ivan?" Kemarahan Dian sudah sampai puncaknya. Sementara Ivan hanya tersenyum melihat wajah Dian.

"Muka lo lucu kalo lagi marah gini," Ujar Ivan seraya menghampiri dan mencubit pipi Dian.

"Ivan!!!!" Bentak Dian yang semakin kesal.

"Dah yuk ah kita pulang. Kasihan nyokap kita berdua nunguin kita," ajak Ivan seraya mengenggam jemari Dian dengan kuat. Dian berusaha melepaskan diri namun seberapa kuat usaha Dian tak membuat Ivan melepaskan genggamannya. Dengan terpaksa Dian pun akhirnya mengikuti Ivan dengan wajah ditekuk persis seperti cucian baju yang belom digosok.

*****

Ivan dan Dian, sepasang remaja yang dipertemukan karena takdir yang begitu sederhana. Ivan seorang siswa yang berumur 14 tahun namun telah duduk di kelas 3 SMA. Karena kepintarannya dia mampu melewati beberapa tingkat sekaligus tanpa kesulitan berarti.  Ivan yang mempunyai sifat pendiam, disiplin, tegas, sulit bergaul dan percaya kepada orang lain, suka olahraga renang dan catur.

Sedangkan Dian bukanlah siswi yang bodoh, hanya karena salah pergaulan Dian menjadi anak yang pemalas dan kurang disiplin. Hal ini dikarenakan Dian terlahir sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara yang mana kedua kakaknya adalah laki-laki. Dian sangat dimanja oleh keluarganya, apapun keinginana Dian akan dituruti. Namun saat Dian sudah menginjak kelas 3 SMA peraturan di rumahnya diperketat bahkan di sekolah juga. Setiap hari Dian harus berangkat dan pulang bersama Ivan. Setelah pulangpun Dian masih harus belajar bersama Ivan. Jika Dian tidak mau menurut dengan semuanya maka semua fasilitas yang diberikan kedua orang tuanya harus ditinggalkannya, tanpa terkecuali. Dian pun harus mau hidup di sebuah panti asuhan yang dikelola oleh keluarga besarnya. Ancaman yang sukses membuat Dian ngambek berbulan-bulan dan mau tak mau harus dipatuhi.

Dalam hati Dian tahu semua yang dilakukan kedua orangtuanya tak lebih untuk masa depannya kelak. Maka dari itu Dian pun mau melakukan semuanya dengan senang hati. Kebersamaan yang terjalin dengan Ivan selama satu tahun menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dian. Cinta yang tak pernah dia sadari hingga perpisahan itu terjadi.

****

"I.. Van... lo kok ... tega sih sama gw? Kenapa lo pergi? Kenapa lo mesti kuliah jauh-jauh? Terus nanti gw belajar sama siapa? Katanya... katanya lo selalu ada untuk gw. Tapi apa buktinya? Lo malah pergi ninggalin gw. Terus nanti yang jadi kacung dan algojo untuk gw siapa??” rengek Dian manja saat mengantarkan Ivan di bandara Soetta. Ivan yang sedari tadi memperhatikan Dian hanya bisa tersenyum. Dibelainya rambut Dian pelan, penuh kasih sayang.

“Lo itu udah gede non masa masih nangis gini sih malu tuh diliatin sama anak kecil daritadi. Jaman sekarang kan banyak cara untuk tetap berhubungan bisa lewat telpon, internet bahkan kalo lo mau lo bisa nyusul gw hehehehe. Lagian yang mau ngajari lo, yang mau jadi  algojo dan kacung lo banyak kok dah pada antri tuh temen-temen cowok kita,” jelas Ivan dengan sedikit candaan yang bahkan tidak mampu memubuat Dian tersenyum.

“Bodo!!! Gak sama tau!!!” bentak Dian dengan suara serak membuat Ivan tertawa.

“Udah ah... Gw janji bakal cepet balik kesini, okey.” Janji Ivan seraya mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Dian.

"Janji jangan lama-lama disana, kalo perlu besok lo udah disini lagi." Ujar Dian yang sukses membuat Ivan terbahak-bahak. "Ivan... Kok ketawa, gw kan lagi marah." Ujar Dian dengan mulutnya yang dikerucutkan dan juga muka yang memerah. Dian tak lupa mendaratkan sebuah cubitan ke pinggang Ivan.

"AAAAWWWWWW!!!" Teriak Ivan kesakitan. "Sakit tau," gerutu Ivan sambil terus memegang tempat dimana Dian menyubitnya yang sekarang berwarna merah. Sementara Dian hanya menjulurkan lidahnya, kepuasan tampak di wajahnya karena berhasil menyubit Ivan.

Ivan yang tak dapat menahan lagi perasaannya kepada Dian tanpa izin daria Dian, Ivan merengkuh Dian ke dalam pelukannya. Dian tak dapat menyembunyikan keterkejutan di wajahnya namun ia bingung apa yang harus diperbuatnya. Sehingga ia hanya membalas pelukan Ivan dengan ragu.

“Sally Ardiani Zalika, gw cinta lo. Lo satu-satunya wanita yang pengen gw nikahin kelak...” bisik Ivan di telinga Dian. Lagi, Ivan membuatnya terkejut dengan pernyataan cintanya yang tak pernah Dian sangka-sangka. Lama mereka berpelukan hingga Ivan yang melepaskan pelukannya terlebih dahulu.

Ivan memandang Dian yang hanya menatap kosong kearahnya, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ivan mendekatkan wajahnya, hidungnya bertemu hidung Dian, keningnya bertemu dengan kening Dian. Satu langkah lagi, Ivan akan mencuri first kiss Dian. Dengan sabar Ivan memperhatikan reaksi Dian namun Dian hanya diam, tak menolak dan tidak juga menerima. Hanya keheningan yang tercipta diantara mereka berdua.

Keheningan yang mampu membuat keduanya dapat mendengarkan debar jantung masing-masing. Debar jantung yang sekarang entah memainkan irama apa yang jelas irama jantung mereka tak beraturan. Merekapun seperti sedang berebutan oksigen yang ada. Hingga akhirnya lagi-lagi Ivan yang memecah keheningan dengan satu hembusan nafas pelan lalu....

Ya Ivan mendekatkan mulut keduanya pelan dan lembut namun mampu membuat Dian terkejut lagi. Mata Dian terbelalak melihat apa yang Ivan lakukan. Senang, bingung, terkejut, kesal, semua rasa terkumpul menjadi satu seperti nano-nano. Lidah Ivan kian lama kian memaksa mulut Dian untuk terbuka. Ketika akhirnya mulut Dian terbuka, Ivan mengaitkan lidahnya dengan lidah Dian. Terkadang bibir bawah Dian digigitnya hingga membuat Dian mengerang. Inilah ciuman pertama Dian, sensasi baru yang ia rasakan bersama seorang pria. Dian tak hanya menerima ciuman Ivan, beberapa kali ia melakukan hal yang sama kepada Ivan. Walau dengan kemampuannya yang terbatas, Dian mampu membuat Ivan mengerang juga.

Entah berapa lama ciuman itu terjadi, sedetik, semenit, sejam entahlah. Mereka berdua tak ada yang menyadarinya hingga Ivan melepaskan ciuman tersebut. Namun dahi dan hidung mereka masih menempel satu sama lain, tangan Ivan masih menggenggam bahu Dian. Seakan mereka saling berpegangan untuk mencari keseimbangan, menenangkan debar jantung mereka. Menemukan kembali irama jantung yang dapat menentramkan jiwa mereka.

“Maaf... “ kata Ivan singkat. Dian menggeleng.
“Tak ada yang perlu dimaafkan.” Jawab Dian masih dengan menyembunyikan wajahnya, rona merah masih jelas terlihat di wajahnya. Senyum malu terukir di kedua wajah insan tersebut.

“Love you always my princess...” suara Ivan terdengar sangat merdu di telinga Dian yang memang sedang dimabuk asmara. Dian mengangguk. Ivan menunggu jawaban Dian dengan penuh ketidaksabaran. Tapi Dian hanya diam saja, Dian bingung mesti menjawab apa. Karena Dian sendiri bingung dengan perasaannya, ia tidak bisa mendefinisikan perasaannya sendiri.

“Dian...” panggil Ivan lembut sambil tangannya mengangkat dagu Dian. Memaksa Dian untuk menatapnya, mencari jawaban di mata Dian yang hijau. “Apa jawaban lo?” tanya Ivan yang merasa sudah tidak sabar lagi.

Dian yang merasa canggung segera melepaskan genggaman Ivan, tangannya dikaitkan di depannya. “Harus dijawab sekarang ya, Van?” tanya Dian polos.

“Ya iyalah Dian masa nunggu tahun depan sih.” Jawab Ivan kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Dian tersenyum melihat tingkah Ivan.

“Ng... mmm... Gak boleh besok atau gak kapan gitu...” Dian masih berusaha untuk mengulur waktu agar tidak menjawab pertanyaan Ivan. Ivan menggeleng, Dian mendengus pasrah.

“Perhatian-perhatian... Kepada para penumpang tujuan Belanda segera.....” tiba-tiba suara pengumuman terdengar. Dian benar-benar merasa diselamatkan oleh suara itu. Dian membuang nafasnya, bahunya diturunkan sedikit, perasaan lega menghinggapinya. Ivan yang melihat reaksi Dian makin frustasi.

“Ya udahlah percuma juga gw nunggu disini, lo gak mau jawab juga. Mending gw masuk ke dalam.” Ujar Ivan seraya bangkit dari tempat duduknya berniat untuk melangkah masuk ke dalam.

Tapi sebuah tangan menariknya, membuatnya berputar menghadapi sang empunya tangan tersebut. Belum sempat Ivan mengeluarkan kata-kata sebuah ciuman mendarat di bibirnya, lembut. Ivan secara refleks mendekatkan tubuhnya, tangannya merengkuh tubuh mungil di depannya. Tangan yang tadi berada di lengannya mulai naik ke atas, berada di rambutnya.  Keduanyapun akhirnya melepaskan ciuman tersebut. Mereka saling memandang tanpa ada yang bersuara.

“Jadi?” tanya Ivan.

“Jawabannya nanti pas lo balik kesini.” Jawab Dian dengan sebuah senyum rahasia untuk Ivan.

“Kenapa gak sekarang sih Di?” tanya Ivan kesal yang merasa dipermainkan oleh Dian. Dian menggeleng, senyum rahasiapun masih menghiasi bibir indahnya.

“Jadiin motivasi lo supaya cepet selesai kuliah dan supaya lo cepet balik kesini.” Kata Dian seraya melepaskan pelukannya. Tanpa sadar mendorong Ivan untuk segera berangkat.

“Okey gw bakal cepet nyelesein kuliah. Gw tagih janji lo pas gw balik kesini.” Ivan menyerah, dia tau akan sia-sia jika berdebat dengan Dian. Yang ada bukan jawaban yang diinginkannya justru ia akan mendapatkan jawaban yang tidak diinginkannya. Dian mengangguk.


Ivanpun melangkah masuk namun sebelumnya Ivan telah berhasil mencium bibir, pipi dan kening Dian. Dian hanya tertawa melihat semuanya. Entah kapan cinta telah hadir di hati keduanya. Yang pasti perpisahan ini teramat menyakitkan untuk keduanya. Airmata tak berhenti mengalir di pipi Dian. Rona kesedihan tampak di wajah keduanya. Cinta yang baru disadari Dian kini harus diuji kekuatannya oleh rentang jarak dan waktu.