Minggu, 07 September 2014

CHERISH

Itu bukan pertama kali aku melihatnya, cukup sering, mungkin beribu kali. Sesosok pria muda sebayaku, tampan dengan caranya sendiri. Tapi aku tidak yakin sejak kapan tepatnya rasa itu tiba-tiba saja muncul. Sebuah rasa yang membuatku selalu ingin pergi ke sekolah lebih pagi hanya agar bisa melihatnya lebih puas ketika berlatih basket dengan seragam yang ia gulung lengannya. Entah sejak kapan pula aku memiliki hobi-hobi aneh lainnya. Dari suka melamun sendirian, hingga berkali-kali pergi ke kantin hanya agar bisa melewati pinggiran lapangan basket, tempat biasanya ia dengan teman-temannya berkumpul untuk membincangkan segala sesuatu tentang basket yang tidak aku mengerti.
Ia menawan.
Entah sejak kapan aku berpikiran seperti itu. Namun rasanya, hanya sedetik yang lalu, pertama kalinya aku beradu pandang dengannya, dan tiba-tiba saja aku tau, aku menyukainya. Aku merindukan senyumannya, aku menyukai caranya tertawa, aku menyukai caranya berbicara, caranya mengangguk, bahkan caranya mengedipkan kedua kelopak matanya.
Ia istimewa.
Pria yang membuatku tidak bisa berkutik; yang membuatku ingin terus menatap kedua matanya, menguncinya agar hanya terpaku menatapku. Agar ia tetap hanya tersenyum kepadaku. untukku.
Berdekatan dengannya, membuatku merasakan suatu rasa nyaman yang luar biasa. Seperti zat adiktif, seperti magnet berlawanan arah, saling menarik.
Bersamanya, meski hanya dalam diam, aku takkan pernah merasa bosan, bahkan jika sampai seribu tahun berlalu pun, rasa nyaman itu selalu ada. Ia membuatku merasa aman dengan caranya sendiri. membuatku merasa tidak perlu berlari untuk mencari pundak lain ketika aku lelah.
Satu detik yang sangat berharga, yang mengubah seluruh hidupku dalam sekali kedipan.
Andai saja ia tau hal itu.
***
“Aku minta maaf…”
Aku tidak mengerti. “Untuk apa?” tanyaku dengan polos. Kami hanya duduk berselang satu meja di kantin. Aku menatap kedua matanya, seperti biasa, namun ia menghindari tatapanku. Tangannya bergerak dengan gelisah, seakan menyembunyikan sesuatu.
“Aku nggak mau terjadi kesalah pahaman di sini. Antara kita berdua.”
Aku mulai gelisah. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Aku tidak mengerti. Tapi aku hafal seluruh raut wajahnya. Terutama saat ia mulai lelah. Ketika semua yang ada di benaknya mulai membuatnya ingin menghilang di telan bumi. Ketika mungkin tidur seribu tahun tidak akan mengubah seluruh masalahnya.
Tapi aku tidak ingin mendengar. Aku tidak ingin mendengar sama sekali!!
“Sepertinya kamu sedikit salah paham. Selama ini, aku menganggapmu hanya sekedar teman biasa. Seperti aku dengan yang lain, atau kamu dengan yang lain. Ku mohon jangan berpikiran lain. Aku hanya mencoba untuk berbuat baik kepada semua orang.”
“Jangan mengharapkan lebih.” Katanya sungguh-sungguh, membuatku sejenak tertegun. Apa aku sekarang sedang terlihat tertawa di matanya? hingga ia bisa dengan santai mengatakan seluruh kata itu dengan sangat lugas dan mudah. “Aku hanya ingin bersahabat dengan semua orang.” tambahnya. “Lagi pula, kamu pasti sudah mendengar kabar mengenai aku dan Raihana. Ya, itu benar. Aku menyukai Raihana.”
***
Hujan petang itu, menghapus jejak mimpi yang sempat tersulam. Terisolasi dengan segenggam nyata yang tak terelak.
Aku menatap hujan dari balik jendela, mencoba menghapus bayang-bayang punggung bidangnya ketika akhirnya berjalan menjauh setelah mengatakan apa yang mungkin ia pikir perlu ia katakan untuk kebaikannya, untuk menyakitiku.
Mungkin pada akhirnya dia benar. Aku terlalu berharap lebih. Cinta itu selalu membuat seseorang menjadi lebih bodoh. Menjadi lebih dramatis. Selalu melebih-lebihkan seluruh rasa yang ada. Mungkin selama ini, rasa itu yang membuatku sedikit buta, bahwa yang ia lihat bukan hanya kedua bola mataku. Bukan kepada pandanganku, kedua matanya terkunci. pada gadis lain, mungkin.
Mungkin aku yang salah mengartikan senyumannya. Mungkin seluruh hormon di dalam jiwa remajaku yang sudah membuat otakku tumpul untuk lebih bijaksana dalam berpikir. Atau mungkin aku memang benar-benar bodoh karena mempercayai bahwa dia juga cukup menyukaiku?
Mungkin aku terlalu bodoh, atau cinta itu yang membuatku bodoh.  
Hujan petang itu, akan menjadi hujan terindah. Ketika kamu hanyaberbicara kepadaku, ketika pandangan itu memang ditujukan hanya kepadaku, meski akhirnya hanya untuk menuai luka yang lebih dalam. Tapi siapa peduli? Toh, gadis itu juga sudah tidak memiliki hati. lalu bagian mana yang tersakiti?
Mungkin ia akan menangis sejenak, menangisi kebodohannya, karena mempercayai, bahwa cinta itu ada. Tapi lalu ia akan segera lupa, seperti biasanya. 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jleb!
Kejadian sama persis waktu gw kelas satu smp.
Nancep bangggg!
Tks for the nice story little sissy!

^o^