Senin, 10 Maret 2014

HUJAN DAN MASA LALU.


 Plak!

Sebuah tamparan keras jatuh telak di pipi kiriku, meninggalkan rasa menyengat yang membuat dadaku langsung mendidih, marah. Aku meraba pipiku yang mungkin memerah itu, lalu membulatkan mataku pada wanita yang masih berdiri kaku di hadapanku. Matanya juga memerah, nyalang diamuk amarah. Bibirnya berkedut, terlalu murka untuk melontarkan makian, atau mungkin sedang mempersiapkan sebuah semburan yang bisa langsung menenggelamkanku pada kata-kata tajamnya.

Suasana di kamar kontrakanku mendadak hening, semuanya sunyi senyap, bahkan detakan jarum jam dinding pun tampak terdengar sembunyi-sembunyi di balik dinding yang membisu. Mulutku bungkam, lagi pula apa yang bisa ku katakan?

“Jalang.” Hanya itu yang terdengar. Berupa bisikan, tipis dan telak menusuk jantung. Tubuh angkuh wanita di hadapanku bergetar hebat, mungkin sedang berdebat dengan keinginannya untuk menamparku lagi, atau bahkan sekarang dia ingin membunuhku? Tapi apa peduliku?

Hujan di luar sana mulai turun rintik-rintik, menambah dramatis keadaan saat ini. Tidak ada petir, hanya sekedar hujan berskala rendah, yang mungkin akan bertahan sampai esok hari, atau esok lusa, atau selamanya. Tapi siapa yang peduli?

Aku duduk di atas ranjang, menghadap kearahnya, sedang wanita itu berdiri di depanku, begitu mudah jika ia ingin menamparku lagi. Mungkin ingin menjejaki pipiku yang lain dengan jemari tangannya yang panjang. Aku sudah tidak mau ambil pusing.

“Wanita jalang!” desisnya lagi. kali ini dibarengi tetesan air mata. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, mengapa dia yang menangis, bukankah dia baru saja menamparku? Seharusnya aku yang menangis, kan? ah, semakin membingungkan.

Lalu tiba-tiba saja ia menarik tangannya, menarik tubuhnya, menjauh, mundur dan bertumpu pada meja kayu tempatku meletakan tumpukan buku-bukuku.

“Kamu pikir permainan apa yang sedang kamu ikuti?” tanyanya, nada suaranya terdengar lemah, mungkin lelah. Aku tidak yakin. “Demi Tuhan De, kamu sudah dewasa! Sudah 21 tahun, kamu seharusnya mengerti semuanya. Bukannya malah bermain-main seenaknya seperti ini!” aku masih membulatkan mataku padanya, enggan berkomentar. Lalu ia berkata lagi, lebih frustasi, “kamu cantik. Kamu sudah mapan, tapi mengapa kamu melakukan hal sekeji itu?! apa itu impian masa kecilmu? Menjadi pelacur?!”

Nah. Aku merasakan sebuah potongan kayu tumpul merobek dadaku dengan paksa. Sisi-sisinya yang kasar mengoyak lapisan demi lapisan dagingku dengan kasar, memutus semua aliran darah di sana, lalu menghujam jantungku.

“Apa yang akan dikatakan ibu dan bapak kalau tau putrinya melacur di Jakarta?! Apa yang akan mereka tanyakan kepada mbak?! Harus menjawab apa mbak ketika bertemu di akhirat nanti?!” ia menangis sendiri, di kamar kontrakanku yang sepi.

Di luar masih hujan, mungkin sampai esok, tapi siapa yang peduli?!

“Ibu selalu berkata bahwa kelak kamu akan menjadi seorang wanita yang cantik, dan ibu benar. Kamu lebih cantik dari mbak. Kamu lebih pintar, kamu lebih sukses… tapi kenapa De? Kenapa harus begini?” matanya sembab, kini ia berbicara sendiri. “Karirmu masih panjang De, kamu masih bisa meraih cita-cita mu lebih tinggi lagi. Tapi sekarang kamu merusak semuanya!” lalu terdiam, menghela nafas panjang, melanjutkannya lagi, “dia bahkan hampir setua ibu, 48 tahun. Apa ini yang sebenarnya kamu harapkan De? Menikahi pria kaya yang sudah tua, lalu menikmati hartanya ketika ia mati?! Begitukah?! Jawab De!!!!” ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan keras. Menunggu tubuh lunglaiku melakukan hal lain, selain melengos tak bertenaga di atas ranjangku.

Lalu ia melangkah mundur lagi, menangis sesenggukan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Aku masih menatapnya, menunggu hujan di luar sana menetes lebih deras, membuat riak kecil di kobangan air di jalan-jalan.

“Seharusnya aku tau, sejak awal, ketika kamu mendekati internis itu, seharusnya aku tau! Seharusnya aku bisa mencegahmu sejak awal! Wanita macam apa kamu?! Semua orang membicarakanmu! Menyebutmu jalang!!”

Dan dia juga.

Semua orang.

Hujan di luar sana belum mereda, tapi tangisnya sudah menghilang, histerianya menyusut, menyisakan jejak-jejak kegalauan dalam gumaman-gumaman semunya. “Dea fayaditha, seorang manager real estate muda yang cantik, berumur awal 21 tahun, mengencani seorang internis tua berumur 48 tahun untuk mengincar hartanya.” Gumamnya sarkastis, seperti membaca sebuah headline surat kabar, namun dengan nada miris. Sebuah tawa hambar mengambang di dalam keheningan malam.

Hujan… hujan… kapan berhenti? siapa yang peduli?

Mungkin katak itu peduli. Siapa yang tahu?

“Katakan pada mbak, apa ada pria lain? Kepada siapa kamu menjajakan tubuh molekmu selain pada internis tua itu?! katakan pada mbak!!!” bentakan itu seperti meledak dikepalaku. Membuat semuanya berantakan, kosong. “Kepada siapa de??” tanyanya, lirih.

Tapi deringan ponsel yang ia simpan di saku celananya mengalihkan pandangannya untuk sesaat. Ia mengangkat telepon itu, entah telepon dari siapa. Lalu lima belas detik berlalu begitu saja. Wajahnya berubah-rubah warna, bukan pelangi, namun kekelaman. Seperti mendung yang terbiaskan malam, lalu gelap dirundung hitam.

Tidak ada kata-kata lain. Padahal di luar hujan masih sama derasnya, kapasitas sedang, merata ke semua penjuru daerah. Tamparan yang kupikir akan kembali datang tergantikan oleh sebuah pelukan erat.

Tidak ada kata-kata, tapi tangis itu pecah berantakan. Meledak. Dan hujan masih turun dengan kapasitasnya yang sama.

Suara katak menggema di bawah hujan, entah bernyanyi atau bersorak. Ramai memadati melodi malam. Dan aku tidak ingin diam, rindu untuk turut bernyanyi di bawah guyuran hujan, seperti masa lalu.

“Aku mencintai dia.” Itu sebuah pernyataan yang tulus, benar adanya. “Mungkin aku merindukan sosoknya, yang melindungiku seperti seorang ayah yang selalu melindungi putrinya, yang menyayangiku tanpa sebuah alasan yang berarti. Mencintaiku apa adanya.” wanita itu masih menangis, sama seperti hujan di luar sana, dan katak itu bersuara lebih keras lagi. entah bernyanyi atau bersorak.

“Ia mengajariku banyak hal, membimbingku menjadi sosok yang lebih bijak dalam menyikapi kehidupan, menjadi lebih dewasa, menjadi sosok yang seperti mbak lihat sekarang ini. Ia menjagaku, siang dan malam, menemani tidurku, memastikan bahwa tidak ada mimpi buruk yang menyergapku ketika terlelap, menungguku di pagi hari, menemaniku menikmati mentari pagi. Memastikan bahwa aku mendapatkan hal yang terbaik pada hari itu, begitupun untuk keesokan harinya. Jika masih memilikinya. ”

Hujan… hujan… turunlah lebih deras.

“Aku memiliki berjuta alasan untuk mencintainya. Tapi tak seorang pun peduli, bahkan diriku sendiri. Karena, bahkan jika katak itu bisa mengerti, mungkin ia akan mengatakan hal yang sama. Itu bukan cinta, melainkan sebuah kewajiban, untuk seorang internis bijak pada pasiennya yang sekarat.”

Di luar masih hujan, mungkin sampai esok, atau esok lusa, atau selamanya. Siapa yang peduli? Toh malam ini, hujan akan menjadi masa lalu dikeesokan harinya. Lalu menghilang, terkenang sejenak, dan menghilang lagi.


2 komentar:

Fathy mengatakan...

Zizi (⌣˛⌣")ƪ(˘-˘) thuk!!! Kebiasaan bikin orang penasaran... Ayo dilanjut, tanggung jawab...

Unknown mengatakan...

Sist huuuft percaya ga ni cerita seperti apa yg w alami, tp selain iya sebagai sosok ayah yg tak pernh ku dapat, dia jg membuatku nyaman itu yg terpenting, hingga membuat ku tuli bisu buta tntang omongan oranglain. Ego kah?