Minggu, 11 Agustus 2013

INVISIBLE LOVE




Pelangi itu berwarna cantik, melengkung sempurna di atas atap-atap rumah yang mulai memenuhi setiap sudut kota kelahiranku. Warnanya yang cantik sejenak tampak begitu kontras dengan warna langit senja kala itu. aku tersenyum tipis, mencoba menghitung warna yang bisa ku lihat, merah, jingga, kuning, sedikit hijau, biru, nila, seberkas magenta…

Magenta…

Kuraba permukaan gaunku yang berwarna magenta, namun terlalu tua untuk disamakan dengan salah satu warna pelangi itu. Gaun off shoulder itu membungkus tubuhku dengan apik, bahannya yang lembut dan nyaman membuatku dengan begitu mudah jatuh cinta padanya. Semudah aku jatuh cinta pada pelangi itu, dan pada pemuda yang membawa pelangi itu masuk ke kehidupanku.

“Cinta itu indah…” bisik gadis di sampingku dengan senyuman yang mengembang. Mata indahnya turut menatap biasan warna pelangi di langit senja. Kedua tangannya saling bertautan di depan pinggangnya yang ramping, seakan tengah menggenggam sesuatu yang tidak bisa ku lihat.

Aku menghela nafas panjang kemudian tersenyum tipis, “Cinta itu menyakitkan.”

“Itu karena kau belum pernah menemukan cinta yang sebenarnya.” Pembelaannya akan cinta mau tidak mau membuatku ingin tersenyum geli, mencibir pada kenyataan yang tak tersirat. “Suatu saat nanti, ketika akhirnya kau menemukan cinta itu, kau pasti akan sangat bahagia.” Ujarnya begitu tulus.

Aku mengangkat bahu tak yakin, “Aku pernah merasakan indahnya cinta itu, tapi saat ini aku hanya ingin melupakannya…” ujarku santai. Saat itu, semilir angin menerpa wajah kami, menerbangkan helaian rambut hitamku.

“Sebenarnya ku rasa kau terlalu kejam pada dirimu sendiri. Sering kali kau mengerjakan sesuatu yang diluar kemampuanmu, aku tau kau gadis yang penuh ambisi, tapi terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan, dan meninggalkannya adalah hal terbaik,”

Aku terkekeh geli, “Aku sudah mengerti hal itu, dan itulah yang sekarang tengah ku lakukan pada kata bernama cinta di dalam kehidupanku.”

“Bukan begitu maksudku…” ujarnya tampak serba salah. Aku menatap wajah cantiknya dengan penuh kasih.

“Aku mengerti. Tapi untuk saat ini aku tidak bisa bertahan,”

“Tapi kau bilang kau sangat mencintainya, kalau begitu mengapa kau tidak mempertahankannya,”

“Mungkin cintaku kepadanya tidak sebesar itu.”

“Jangan bergurau, aku sahabatmu, sahabatmu sejak kecil. Aku mengenalmu dengan sangat baik, dan meski hanya membaca dari email-emailmu selama ini, aku tau kau sangat mencintai pria itu. Aku sangat yakin…”

“Mungkin iya, tapi dia tercipta bukan untukku. Sebesar apapun usahaku untuk mendapatkannya, aku pasti akan gagal. Dia bukan jodohku…”

“Persetan dengan pemikiran konyolmu itu. Memang kau ini Tuhan?! Sampai sampai kau bisa menentukan siapa jodohmu, dan siapa jodohnya. Berhenti bergurau, kalau kau mencintainya kau harus mempertahankannya!”

Lagi-lagi perkataannya membuatku ingin tersenyum geli, “Tapi masalah terbesarnya di sini adalah kenyataan bahwa pria itu tidak mencintaiku.” Ujarku tegas. Gadis di hadapanku melongo, kedua matanya membulat dengan kemarahan yang tampak jelas.

“Kalau begitu mengapa kau masih saja mencintainya?! Kau seperti bukan dirimu yang ku kenal!”

“Mungkin itu karena cinta.” Bisikku datar. Tiba-tiba gadis itu merangkulku dengan sangat erat.

“Kau pasti akan menemukan kebahagiaan itu,” ujarnya lembut.

“Aku tau.” Ujarku tenang. “Sudahlah, jangan bersedih lagi, aku tidak ingin menjadi pengiring pendamping pengantin yang jelek sehabis menangis. Ayo tersenyum, tunjukan padaku kecantikanmu, yakinkan aku bahwa kau memang pantas untuknya. Agar kelak aku tidak menyesal karena tidak mempertahankan cintaku kepadanya.”

Semilir angin lagi-lagi menerpa wajah kami, namun kini lebih keras, menghantarkan sebuah keheningan yang membekukan suasana. Wajah gadis di hadapanku sedikit memucat, matanya menyiratkan ketidak percayaan akan kata-kataku, kemudian aku bisa melihat genangan air matanya.

“Dia…” bisiknya pelan, aku tidak yakin apakah itu sebuah pertanyaan atau bukan.

“Aku tidak ingin menyembunyikan apapun darimu. Kau sahabatku, sahabat terbaikku. Ingat ketika kita mencintai pria yang sama ketika SMP dan SMA? Selalu begitu, bukan? Tapi pada akhirnya, selalu kau yang dipilih mereka… selalu begitu…”



2 komentar:

Unknown mengatakan...

ziii ko sedih critanyaaaaa

Unknown mengatakan...

Sbagian critany mirip ak bgt
Sdih bgt, miris