Jumat, 13 September 2013

MR. RIGHT -04-



–PROFESOR PEDOFILIA-




Aku masih sesekali terkikik ketika mengingat kata-kata Vian dan ekspresi kedua sahabatku ketika mendengarnya. Wajah mual mereka, wajah sayu mereka. Semua harapan tentang sang professor tampan itu pun menghilang dalam sekejap.
Wusss…
Dan tergantikan oleh desahan frustasi mereka.
“AW!” pekikku ketika merasakan sengatan nyeri di lenganku ketika Ketlia mencubitnya. Aku menatapnya galak, namun ia balas menatapku lebih galak lagi. “Apaan sih?!” gerutuku kesal. Sore itu kami masih berada di kampus, mendengarkan kuliah bu. Dian yang superrr membosankan.
Ketlia menyipitkan matanya, dan mencondongkan tubuhnya kearahku agar bisa membisikan kata-katanya dengan jelas, “Sekali lagi lo ngetawain gue, gue cincang-cincang lo jadi makanan si Cemong.” desisnya kejam. Cemong adalah kuskus milik Liska, binatang malam yang diberi nama George oleh pemiliknya, namun dipanggil Cemong oleh sahabat pemiliknya, termasuk aku. :D
“Ge er! Siapa juga yang ngetawain lo?!” balasku berbisik, mencoba untuk tidak menarik perhatian bu Dian yang masih membicarakan tentang tokoh-tokoh penting di jaman dulu. Kalau bukan karena kehadiran berperan penting untuk kelulusan mata kuliah ini, aku akan dengan senang hati memberikan kursiku ke mahasiswa lain untuk mempelajarinya. Sejujurnya aku tidak menyukai pelajaran-pelajaran sejarah, entah itu sejarah Negara, sejarah orang-orang penting, atau apapun itu, toh semuanya kan masa lalu. Buat apa sih mengingat masa lalu, hanya akan membuat sakit hati.
Pletak!
Aku kembali meringis ketika merasakan sesuatu mengenai kepalaku. Namun aku tidak sempat mengaduh kesakitan seperti tadi. Karena teriakan bu Dian sudah menggema, besarr seperti badannya. Seluruh mata mahasiswa di kelas itu langsung menoleh kepadaku. Satu dua menertawakan, sebagian lain meringis prihatin, dan sisanya menggeleng-geleng tidak peduli.
“KETLIA! RENATA! KELUAR SEKARANG!!!” bentaknya marah. Tubuh besarnya berguncang-guncang ketika berteriak kepada kami. Aku melirik sosok Ketlia yang mendengus di sampingku, kemudian dengan santainya berjalan dengan wajah terangkat, sama sekali tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun. Dan aku mencoba mengikuti apa yang ia lakukan. Lagipula aku juga sudah mulai mual kok mendengarkan kuliahnya.
Ketlia mendengus kesal ketika aku menutup pintu kelas kami di belakang punggungku. Ia menyandarkan tubuhnya ke jendela besar sepanjang koridor. Matanya terpejam, tangannya terkepal erat. “Dia pikir siapa dia?! Seenaknya membentak-bentak orang!” degusnya marah.
“Dia dosen Ket, ini kesalahan kita.” Bisikku kikuk, mengakui kesalahan kami. Ketlia menendang angin di depan sepatu ketsnya, kemudian berbalik menatap lapangan sepak bola yang berdebu dari jendela lantai empat fakultas sastra.
“Ini semua kesalahan professor itu, kenapa dia harus pedofilia sih??!!!” ujarnya frustasi. Aku terkikik pelan dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Yah, mau gimana lagi.” ujarku seraya mengangkat bahu.
“Tapi dia ganteng banget Re, nggak cocok banget jadi pedofilia…” runtuk sahabatku yang satu itu. Ia mengacak rambutnya dengan gemas.
Aku kembali tertawa mendengar keluhannya, “Memang ada muka yang cocok dan nggak cocok buat jadi seorang pedofilia yah?” selorohku sambil menahan tawaku semakin lebar.
“Tapi setidaknya… muka dia nggak serem-serem banget. Dia nggak mungkin tega ngebunuh anak-anak kecil,” ujarnya dengan pandangan merana. Aku mengernyit bingung. Membunuh, katanya?
“Heh, apaan sih maksud lo? Siapa yang bunuh siapa?!”
“Lho itu, professor ganteng itu pedofilia berarti dia ngebunuh anak-anak kan?!” tanya Ketlia dengan wajah polos. Aku mendengus menatapnya, kemudian menggeleng-geleng kesal sendiri.
“Pedofilia itu kelainan seks, dimana sang penderita menyukai anak-anak prapuber.” Terangku secara singkat. Ketlia mengerucutkan bibirnya, berpikir sejenak.
“Tapi itu di berita ada kok, mereka ngebunuh anak-anak yang sudah selesai mereka pakai,” gumamnya. Aku terdiam sejenak, mengingat-ngingat berita yang selama ini ku dengar atau baca. Namun otakku kembali bertumpu pada buku yang ku baca. Novel Lolita, salah satu novel yang menceritakan kisah penderita pedofilia dan gadis pujaannya yang bernama Lolita. Untuk satu dua hal, orang-orang dengan kelainan seperti itu memang memiliki keberanian lebih untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Di novel itu juga diceritakan bagaimana teganya sang penderita mengkamuflase kematian istrinya untuk mendapatkan anak tirinya. Aku menggeleng-geleng pelan ketika mengaitkan kemungkinan itu dengan dosen baru di fakultasku ini.
“Ket denger yah, kalau dia memang pembunuh, kampus juga nggak akan sebodoh itu kali sampai mau nerima dia di sini.” Ujarku mencoba beralibi. Ketlia mendesah pelan, argumenku memang masuk akal.
“Iya, lagian dia juga ganteng banget.” Desah gadis berambut ikal itu pelan.
Nah balik ke ganteng lagi kan
***
Menjelang pukul 4 sore aku dan Ketlia baru terbebas dari ceramah panjang lebar bu Dian tentang kelakuan kami yang menurutnya sangat mengganggu (padahal kan kami Cuma mengobrol biasa), mengingat semester kami yang mulai menginjak kata ‘semester atas’.
Sejak kepulangannya dari rumah sakit, aku dan keempat sahabatku rutin mengunjungi Sophia dan putri kecilnya yang sedang mencari nama. Sudah barang tentu aku dan keempat sahabatku bersiteru sengit untuk memberikan masukan nama cantik untuk keponakan baru kami. Dari nama yang memiliki arti cantik, sampai nama yang tidak memiliki arti sama sekali, cukup yang cantik didengar saja.
Liska sang pecinta sejati mengusulkan nama CINTA. Aku sampai sakit leher karena menggeleng tidak setuju dengan pilihan namanya; Viandra sang kepop lovers mengusung nama Min Yong Wa, yang ditelingaku langsung terdengar Yong Ma, dan di otakku langsung terpikirkan penanak nasi. Untung Sophia sudah menyilangkan tangannya sendiri tanda tidak setuju, kalau tidak leherku bisa patah karena terus menggeleng, lagi pula nanti bagaimana panggilannya? Min?? Yong??? Atau Uwa??
Yang lebih ekstrim lagi adalah pilihan nama Ketlia, dengan tampang sok tahunya ia mengusulkan nama Aurelia, dan sontak saja langsung ditertawakan oleh sang mahasiswi MIPA, Marisa, karena Aurelia berarti ubur-ubur. Dan meskipun Sophia sangat menyayangi Ketlia, ia tidak ingin menamai anaknya dengan ubur-ubur, jadilah perang sengit selama beberapa jam diantara mereka semua. Oya, Marisa sendiri mengusulkan nama yang paling membuatku merinding, Chibi Putri. Entah dari mana ia memungut kata-kata itu. Alibinya sederhanya, chibi itu terdengar lucu untuk seorang bayi, dan putri menjelaskan kelaminnya. Well, tapi masalahnya bayi itu tidak akan selamanya jadi bayi, bukan? Bagaimana ketika ia dewasa nanti, ketika misalnya nanti ia menjadi seorang dosen, panggilan dosen chibi ku rasa bukan sesuatu yang enak didengar.
Sedangkan aku sendiri, sampai saat ini tidak memiliki nama untuk diberikan. Aku bingung harus mengusulkan kata apa. Nama di dalam benakku kebanyakan ku ambil dari novel-novel yang ku baca selama ini. dan kebanyakan novel itu bersetting luar negri, yang menurut Damar, sangat tidak nasionalis. Jadilah dengan nyinyir aku mengusulkan nama Siti merah putih saja kepada mereka, cukup nasionalis bukan?!
Aku terkikik geli ketika mengingat perdebatan Damar dan Sophia setelah itu, Damar yang sangat setuju dengan usulan asalku, dan Sophia yang sangat menentang. Aku tentu saja hanya bercanda dengan nama yang ku sebutkan, lagi pula siapa juga yang mau memberikan nama itu kepada anak mereka. Eh.. maksudku…
Tapi kemudian tiba-tiba saja salah satu di antara kami mengusulkan sebuah nama lain, ICHA. Yep, itu usulan Ketlia. Pada awalnya Sophia sudah mulai sedikit luluh dengan nama itu. Well, cukup cantik memang… sebelum kau mendengar nama panjangnya. ‘Ichabulin saja!!’
Aku tidak bisa berhenti tertawa ketika mendengar Ketlia menyebutkan nama pilihannya. Lalu Liska menambahkan, ‘Ichabullin aku dong!’; Vian ikut terkikik, dan mengusulkan ‘Ichabulinista’; sedangkan aku meneriaki ‘Ichabuli lagi sih’. Satu-satunya orang yang hanya terdiam, tanpa tertawa sama sekali (selain Sophia yang sudah marah besar) adalah Marisa, dengan wajah polos ia menatap kami yang masih tertawa.
“Kalian pada ngetawain apa sih? Ichabuli bagus kok… ntar kan bisa dipanggil Chibi juga kalau bosen di panggil Icha.” Tuturnya dengan wajah superrr lugu. Dan tawa kami langsung kembali meledak.



“Heh, ngelamun yah lo?” bentak Ketlia sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku, aku meringis mendengar suaranya. Apapun maksudnya, suara gadis itu selalu berupa bentakan. Ia memang gadis pantai, di mana kau harus berbicara sekeras mungkin agar bisa terdengar di antara deburan kencang sang ombak.
Aku memasukan kunci mobilku tanpa menoleh kearahnya, “Kita langsung ke rumah Sophia?” tanyaku sambil memarkirkan mobil.
Ketlia berdehem pelan, kemudian menggeleng, “Kita makan dulu yah, gue laper banget.”
***
Menjelang malam sabtu terakhir di bulan September, aku berencana pulang ke rumahku di kawasan Bogor. Sudah dua bulan lebih aku tidak pulang, dan ibuku sudah banyak menghabiskan pulsanya untuk membujukku agar segera pulang. Seakan ia sudah tidak melihatmu selama dua tahun lamanya, bukan dua bulan. Marisa yang juga tinggal satu kota denganku memutuskan untuk ikut pulang. Sedangkan Liska dan Ketlia tetap tinggal di Jakarta.
Aku mendesah pelan ketika mendapati jalanan macet di depanku tidak juga terurai sejak sejam yang lalu. Marisa mengerucutkan bibirnya, mulai gemas pada pengendara motor yang dengan mudahnya bisa berlalu lalang di samping kami.
“Udah deh, gue naik ojek aja yah Re,” ujarnya sambil menatap keluar jendela, tangannya sibuk memasukan barang-barangnya ke dalam tas.
“Eh sialan! Enak aja lo! Nggak, pokoknya temenin gue!” bentakku sewot. Baru saja gadis berambut pendek sebahu itu akan kembali protes, namun mulutnya langsung bungkam ketika mobil di depan kami tiba-tiba maju semeter, tidak lebih. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi penumpang, mendesah lelah. Padahal kan yang harusnya merasa lelah itu aku!!
Kakiku sudah mulai keram ketika menjelang magrib, sedangkan Marisa dengan nyamannya tidur di kursi penumpang. Benar-benar sahabat yang baik. Tiba-tiba matanya sedikit terbuka ketika aku membunyikan klakson dengan sangat kencang, kesal pada pengendara motor yang seenaknya saja menyelinap dari sebelah kanan.
“Masih macet yah Re?” tanya Marisa sambil mengucek matanya. Aku berdehem sebagai jawaban. “Kebiasaan deh, kalau weekend pasti jalanan pulang macet begini. Lagian ngepain sih itu orang-orang kota pada ke bogor? Kaya ada apa aja di bogor!” runtuknya seraya menyalakan radio. Aku malas menanggapi kata-katanya, duduk kurang lebih empat jam di tengah kemacetan seperti ini benar-benar menyiksaku. “Eh, Re tumben lo nggak bawa oleh-oleh buat si Leo…”
“Aduh mampus!” pekikku baru sadar. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sosok adik pengeretanku yang satu itu. Setiap kepulanganku ke Bogor, Leo pasti sudah menungguku di depan pintu seperti bocah kecil (padahal ia sudah duduk di kursi SMP), bukan untuk menyambutku, tentu saja… tapi untuk menunggu oleh-oleh yang wajib siapapun bawakan jika datang ke rumah. Dan jika aku tidak membawakan apapun, dia akan merengek bagai harimau kelaparan, berisik dan menyebalkan, sampai akhirnya ibu akan memintaku untuk mengajaknya belanja, dan itu sama saja dengan menguras habis isi atm ku. Selalu ada yang ingin dibeli olehnya, apapun itu… dan selalu benda yang mahal. Tapi entah bagaimana aku tidak pernah sampai hati untuk menegurnya, aku terlalu menyayanginya.
Dan benar saja, setelah terbebas dari kemacetan, dan mengantarkan Marisa sampai ke rumahnya, langkahku langsung dihadang di depan pintu oleh sosok yang hampir setinggi diriku. Kedua tangannya terlipat di dada, rambut pendeknya tampak semakin pendek sejak terakhir kali aku melihatnya, matanya berkilat penuh antusias dan senyumnya tersungging lebar. Untuk beberapa saat, aku merasa ragu keluar dari mobil, rasanya lebih baik kembali ke Jakarta malam ini juga, tidak peduli pada kemacetan yang pasti akan kembali menghadangku di jalan.
“Siapa yang datang Le?” tanya ibu dari dalam rumah. Aku meringis, sedikit lega ketika mendengar suaranya. “Mbak mu yah?” tanyanya lagi, kini aku bisa melihat bayangan ibu berjalan mendekati pintu di belakang Leo yang terbuka lebar. “Kok nggak disuruh masuk Le?” baru saja ibu mau berjalan melewatinya, namun tangan panjang Leona langsung terulur, menghentikan langkahnya, senyumannya mendadak hilang, matanya menyipit tajam kepadaku.
“Mbak nggak bawa oleh-oleh buat Leo yah?!” teriaknya.
Demi Tuhan, saat itu aku masih berada di mobil, dan rasanya aku ingin langsung memutar balikkan mobilku, dan berpura-pura amnesia.
“Bu! Tuh mbak Renata nggak bawain oleh-oleh lagi buat Leo!!” rajuknya super manja.
“Le, mbak mu kan baru pulang. Belum tau juga dia bawa apa atau nggak, wong kamu nggak ngajak dia masuk dulu,” ujar ibu mencoba membelaku dan menenangkannya. Tapi siapapun tau, kalau sudah masalah begini, pasti hanya ada satu cara untuk menghentikan rengekannya. Membawanya pergi belanja!
Dengan perlahan aku keluar dari mobilku, berjalan mendekati mereka dan mencium punggung tangan ibu. Mata Leona masih menyipit menatapku, “Iya, mbak lupa bawain kamu oleh-oleh. Sebagai gantinya…”
“KITA BELANJA!!! HOREE!!” potong gadis itu dengan keriangan yang luar biasa. Aku menatap ibu yang menepuk-nepuk punggungku dengan pelan, merasa kasihan dan sedikit geli, mungkin. Tanpa berkata apapun lagi, Leo langsung berlari masuk ke rumah, langsung bersiap-siap untuk berangkat belanja. Ya Tuhan, bahkan keram kakiku belum menghilang sejak terbebas dari kemacetan tadi, dan sekarang adik setanku sudah mengajak pergi lagi?!
“Makanya punya pacar lagi dong! Jadikan ada yang nyupirin…” selalu itu jawaban Leo setiap kali aku mengeluh lelah setelah perjalan panjang. “Orang mbak Gadis aja sudah punya kok, masa Mba Rena belom… nggak laku yah??!!” dan akhirnya pernyataan itu mulai berujung pada ejekannya kepadaku, yang sialnya tidak bisa ku elak lagi.
***
Sudah dua jam lebih gadis tomboy ini menarik lenganku mengitari pusat perbelanjaan di kawasan Bogor. Rasanya kakiku sudah benar-benar kaku tak bisa bergerak lagi, dan mataku sudah benar-benar lelah.
“Le, habis ini kita pulang yah… mbak ngantuk banget,” ujarku memohon ketika Leo menarik lenganku ke lantai dua, lantai tempat baju-baju anak-anak dan dewasa. Saat itu sudah hampir pukul 9 malam, beberapa karyawan yang berjaga hari itu sudah membereskan tugas mereka, bersiap untuk menutup toko. Aku berdiri termanggu sementara Leo sibuk memilih-milih tshirt dan celana pendek.
“Mbak, lucu yang abu-abu ini, atau yang biru?” tanyanya sambil mengangkat dua kaos di depanku. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Otakku sudah dipenuhi benih-benih kelelahan yang sudah mengakar.
“Le, kamu kan cewek… kenapa nggak yang pink aja sih?!” runtukku asal. Leo menyipitkan matanya, kemudian berbalik begitu saja. Tidak peduli lagi pada pendapatku. Sepuluh menit kemudian Leo masih belum bisa memutuskan untuk membeli yang mana, malah sekarang kandidat pilihannya bertambah satu, sebuah kaos lain berwarna hitam dengan gambar aneh berwarna putih.
Aku sudah hampir terjatuh karena kantukku ketika mataku tanpa sengaja menangkap bayangan sosok jangkung tidak jauh dari tempatku berdiri. Sekali pandang saja, dan aku sudah langsung terpikat. Sosok itu berbadan tegap, mungkin umurnya sekitar tiga puluh tahunan atau lebih, namun wajahnya yang ditumbuhi janggut tipis benar-benar membuat penampilannya fresh sekaligus matang, dan superrrrr tamppan! Ia mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka, lengannya tergulung sampai siku, membuat siapapun bisa melihat otot-otot tangannya yang kekar. Aku menelan ludahku susah payah ketika melihatnya sedikit tersenyum sambil menatap sepatu anak-anak. Mataku terus mengikutinya, melihat bagaimana tegapnya ia ketika berjalan, bagaimana dada bidangnya bergerak turun naik ketika ia bernafas, bagaimana keningnya berkerut ketika ia sedang berfikir. Hilang sudah rasa kantukku, tergantikan oleh detakan jantungku yang kian tidak menentu. Tanganku mulai terasa dingin dan wajahku terasa begitu panas.
Langkah pria itu begitu mantap, berjalan melewati bak-bak tshirt, berbelok ke sisi kanan yang lebih sepi pengunjung, melewati etalase-etalase yang memajang dompet, dan ikat pinggang. Berjalan lebih jauh lagi, kemudian berhenti di sudut kanan, tangan karinya membawa kantung belanja, sedang tangan kanannya sibuk memilih benda di hadapannya. Tanpa sadar aku ikut tersenyum ketika melihat matanya tersenyum. Kemudian sedikit tersentak ketika melihat manekin yang hanya mengenakan bra dan celana dalam di belakangnya. Seakan baru tersadar, aku langsung menampar pipiku dengan pelan, mencoba meraih kesadaranku lebih banyak lagi. Di belakang pria itu, tidak salah lagi, gantungan-gantungan yang memajang berbagai macam underwear wanita dengan berbagai warna dan corak, untuk apa ia di bagian itu?! Hatiku mencelos ketika sebuah pemikiran menyelinap di benakku, secepat kilat ku lirik jari-jari tangannya, tidak, tidak ada cincin apapun di sana, itu berarti dia tidak atau belum menikah.
Kemudian mataku sedikit menyipit ketika melihat benda pink di sela-sela jarinya. Aku tidak tau itu apa karena ia meremasnya sedemikian rupa hingga menyembunyikan bentuk aslinya. Tapi yang jelas itu berwarna pink tua, dan memiliki renda-renda manis berwarna pink pucat, dan diambil dari bak-bak tempat pakaian dalam anak-anak. Tubuhku seperti tersengat listrik ketika tiba-tiba melihatnya menempelkan benda pink itu ke pipinya, diam sebentar, kemudian menggosok-gosokkannya ke janggut tipisnya, seakan tengah menikmati sesuatu. Matanya terpejam, dan wajahnya begitu tenang, kemudian ia mendekatkan benda itu ke hidungnya. Menciumnya!
Aku sudah hampir pingsan ketika melihat ia meletakan benda pink itu kembali ke tempatnya. Membuatku menyadari apa yang baru saja ia cium dan gosokkan ke wajahnya, sebuah celana dalam anak-anak berwarna pink tua dengan renda berwarna pink pucat. Ya Tuhan…
Aku merasakan mual mulai menghampiri perutku, “Am-bil se-mu-a-nya, lalu PULANG!” ujarku terbata-bata. Leo langsung mendelikkan matanya tidak percaya, kemudian bersorak girang, memelukku sekilas, dan memeluk tshirtnya lebih lama lagi. Tapi aku sudah tidak peduli lagi, aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Aku bahkan tidak peduli ketika tangan Leo menarik beberapa kaos lagi dari gantungan. Aku juga tidak peduli dengan pandangan heran sang kasir melihat banyaknya kaos yang dibawa adikku kehadapannya. Ah aku hanya ingin pulang! Peduli setan dengan apa yang ia beli!!!!!


NOTE
*untuk para reader yang baik hati... maaf, untuk selanjutnya cerita ini aku posting di wattpad dulu yah, karena sedikit ribet kalo di posting di dua tempat. :)))
ini linknya Wattpad Cherry
thanks for comin, xoxo Cherry Ashlyn. 

2 komentar:

lovelywoman1 mengatakan...

Ya ampun cher.. Itu 'ichabulin' bner2 bkn ngakak smp prut skit n nangis.. Itu g' bs lbh bego lg Marisa nya?

Unknown mengatakan...

Demi neptunus & bikini bottom,luarbinasah keren ni cerita..ga nyesel nguntit dr pornov mpe nyantol dimari..
oy btw yg Mr.Right 2 ada lanjutannya ga sih setelah bab Memory?sumprit bikin pinisirin dunia akherat.. -_-