Sabtu, 07 September 2013

MR. RIGHT -01-

BAB SATU –SLOW MOTION-


“APA?! SEKARANG?? BAIK!!!”
Brak!!
Jika kau pernah melihat adegan slow motion di film-film aksi, yang membuat seluruh gerakan tokohnya mendadak menjadi begitu lambat, bahkan benda-benda yang terjatuh atau terlempar itupun bergerak sangat lambat, seakan gravitasi bumi sudah tidak lagi berfungsi – maka saat ini, hal itulah yang terjadi pada lima menit terakhir di dalam hidupku.
Semenit yang lalu teleponku berdering, seperti biasa tidak ada yang terusik, keempat sahabatku yang lain masih terlalu asyik dengan kesibukan mereka masing-masing di rumah kontrakan yang di sewa dua orang dari mereka. Kontrakan itu hanya terdiri dari 5 ruangan. Ruangan depan yang berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang tv, dan ruangan serba guna lainnya Sebuah tv plasma 19 inchi menjadi satu-satunya benda berharga di sana (disamping laptop-laptop yang terbuka lebar). Kipas angin ukuran tanggung berada di sampingnya, berputar dalam diam, sedikit banyak tertutup debu, namun tetap berfungsi. Di depannya, sebuah pintu coklat dengan bagian bawah yang sudah mulai keropos dimakan waktu dan gerombolan rayap, mengarah keruangan yang mereka sebut dengan kamar pertama. Sebuah kasur lantai, lemari kecil, meja kecil, dan segala sesuatu berukuran kecil itu mejadi barang-barang yang mengisi kamar itu, dindingnya berwarna biru muda, meski tidak mewah namun jelas nyaman dan bersih. Harum lavender akan langsung menyeruak setiap kali pintu tua itu terbuka. Di sebelahnya, pintu lain yang mengarah ke kamar kedua, kamar yang lebih berwarna, dindingnya bercat gading dan orange, kasur lantai yang sama, lemari kecil yang sama, meja kecil yang sama, di tambah sebuah rak buku kecil yang berisi buku-buku besar milik sahabat pemilik kamar itu. kamar itu berhadapan tepat dengan ruangan lain yang mereka sebut dapur – atau apalah itu, dan bersebelahan dengan kamar mandi yang cukup besar. Tidak ada kesan mewah di sana, namun jelas terdapat kenyamanan di tempat itu, hingga membuat sahabat-sahabat penyewa kontrakan itu (termasuk aku) senang menghabiskan waktu di sana.
 Vian masih berbaring tengkurap dengan laptop di depan bantalnya, memeriksa online shop yang ia kelola sejak tiga bulan terakhir ini; Ketlia bersandar pada dinding beberapa inci dari pintu kontrakan, dipangkuannya, juga sebuah leptop yang terbuka, dengan page facebook menjadi sahabat matanya beberapa jam terakhir ini; Marisa satu-satunya orang yang tengah bersiteru dengan kertas-kertas kosong dan pengggaris serta alat tulis yang lainnya. Ia duduk dengan punggung sedikit membungkuk di dekat kipas angin, matanya akan sedikit menyipit ketika melihat buku besar di depannya, kemudian ia akan kembali beralih ke kertasnya, menggambar sebuah garis-garis panjang dan pendek, menyisipkan beberapa angka, kemudian menghitungnya kembali tanpa bantuan kalkulator sama sekali, benar-benar mahasiswi matematika yang handal, aku selalu berpikir mungkin otaknya sudah beralih fungsi sebagai kalkulator juga. Tidak lama kemudian Liska berjalan dari balik dapur dengan nampan berisi dua mangkuk besar mie instan yang masih mengepul.
Aku langsung meletakan buku yang tengah ku baca dengan terbalik agar tidak kehilangan tanda sampai mana aku sudah membacanya. Kemudian mengambil sendok terdekat yang bisa ku raih. Vian meninggalkan laptopnya, begitu pula dengan Ketlia, Marisa menjadi yang terakhir bergabung dengan kami. Tangan kirinya masih menggenggam penggaris, sedangkan tangan kanannya sibuk menyendoki mie yang masih mengeluarkan asap panas itu. Tepat saat itulah, ketika aku baru akan memasukan sendokan kedua mie buatan Liska ke mulutku, ponselku berdering. Aku mengernyit, sejenak tidak peduli. Seharian berada di kampus membuat perutku benar-benar lapar, dan aku tidak ingin mengambil resiko untuk meninggalkan mie instan itu dengan orang-orang yang sama laparnya denganku hanya untuk mengangkat telepon dari siapapun itu. Toh, kalau memang penting ia akan kembali menelepon.
Ketika teleponku kembali berdering untuk yang kedua kalinya, aku mulai meliriknya, mempertimbangakan untuk mengangkatnya atau membiarkannya tetap begitu. Ketlia mengikuti pandanganku, kemudian memintaku mengangkatnya dengan gerakan kepalanya. Aku mendesah dan akhirnya meraih ponsel itu. Sophia? Keningku kembali berkerut ketika membaca nama yang tertera di sana. Bukan, bukan nama Sophia yang muncul di layar ponselku, tapi Damar, suaminya.
“Halo.”
“Rey, Sophia melahirkan!”
“APA?! SEKARANG?? BAIK!!!” teriakku kalut. Wajahku pasti sudah sangat pucat ketika berbalik, membuat keempat sahabatku langsung membulatkan mata mereka, menunda sendok-sendok itu memasuki mulut mereka. Dan saat itulah adegan slow motion di dalam hidupku di mulai.
Brak!
Tanpa sengaja aku menyenggol laptop Ketlia yang diletakan di atas bantal hingga terjatuh, mata Ketlia langsung membulat marah, namun aku tidak memiliki waktu untuk mengatakan maaf. “So-phi-a-me-la-hir-kan!” teriakku dengan suara yang begitu lamban. Gerakan selanjutnya pun tampak lebih lamban lagi, padahal yang ingin segera kami lakukan adalah berada di rumah sakit secepat mungkin. Menemani salah satu sahabat kami yang tengah berjuang di antara hidup dan matinya untuk memberikan pembuktian bahwa ia adalah wanita sejati!
Ketlia membanting sendoknya, hilang sudah amarahnya kepadaku, wajahnya langsung memucat. Dengan linglung ia berlari masuk ke kamarnya, kamar kedua di depan dapur. Ia meraih tas selempang berwarna pink pucat, dan handphonenya, sepenuhnya tidak peduli pada penampilannya, lima detik kemudian ia sudah siap pergi. Vian meletakan sendoknya lebih pelan lagi, kemudian meraup seluruh barangnya yang berserakan, memasukannya dengan asal ke dalam tas. Tanpa mematikannya lagi, ia langsung menutup laptopnya, memasukannya dengan tergesa kedalam tas laptop berwarna biru tua, dan ia pun siap. Liska yang juga syok langsung berdiri untuk mengambil celana jeans di kamarnya, ia memakainya dengan terburu-buru (tapi tetap saja saat itu semuanya terlihat sangat lambat), tanpa sengaja kaki kirinya menendang mangkuk yang masih berisi setengah mie instan, tapi tidak ada satupun dari kami yang peduli. Satu-satunya yang diam tak bergerak adalah Marisa. Ia duduk menatapku, namun pandangannya kosong, tangan kirinya masih menggenggam penggaris, dan sendok masih berada di tangan kanannya. Air mata sudah mengalir di pipinya. Ia terisak, syok berat. Kalau bukan sedang berada dalam keadaan segenting itu, aku pasti akan memarahinya habis-habisan, sepenuhnya kesal karena sikap cengengnya, kemudian tentu saja menertawakannya!
Tapi saat ini semuanya sangat rentan. Kemarahan langsung memenuhi dadaku, tidak bisakan gadis itu lebih fleksibel sesekali. Menempatkan segala sesuatunya dengan baik?! Untuk sejenak, hilang sudah kesan mahasiswi matimatika jenius yang selalu kami banggakan, tinggalah sosok aslinya yang akan membuat kami pusing tujuh keliling. Tanpa berbicara lagi, Vian menarik lengan Marisa, memaksanya berdiri.
Ketlia yang berwatak keras langsung mengumpat, “Ris bukan waktunya buat nangis! Kita harus ke rumah sakit sekarang, lo mau kita terlambat datang kesana, dan akhirnya nggak bisa bisa ketemu Sophia lagi?!!” bentaknya keras. Kemudian keadaan mendadak hening. Kini bukan hanya slow motion, tapi sepertinya seseorang sudah menekan tombol pause, hingga semua gerakan berhenti dalam sekejap, bahkan jarum jam-pun berhenti berdetak. Setengah detik kemudian, kami baru terlepas dari kebekuan itu. Seakan baru tersadar dengan apa yang telah ia katakan, Ketlia langsung menunduk lemas. Tangisan Marisa semakin keras, Vian merangkulnya untuk menguatkan. Liska menegurnya dengan pandangan marah, sedang aku hanya bisa diam di ambang pintu, mencoba memasukan kakiku ke dalam sepatu. Namun air di mataku membuat semuanya buram, hingga memasukan salah satu kakiku ke dalam sepatu-pun memerlukan waktu lebih lama 10 kali lipat dari biasanya.
***
“Rey pelan-pelan…” bisik Vian dari kursi belakang ketika aku terus menginjak gas tanpa memperdulikan apapun lagi. Seakan baru tersadar dengan kecepatan itu, aku langsung memlambatkan laju mobilku, mencoba berpikir sejernih mungkin. Semua wajah di sekitarku sudah tampak sangat tegang, jelas ketakutan dengan apa yang akan terjadi beberapa menit, jam, atau beberapa hari kemudian. Tidak ada yang berbicara lagi setelah kata-kata peringatan Vian kepadaku. Semuanya terlalu sibuk dengan ketakutan dan pemikiran kami masing-masing.
Aku menekan klakson dua kali ketika sebuah bus menghalangi jalanku. Aku sudah berusaha untuk tetap tenang, namun ketakutanku seakan memaksaku untuk terus bergerak lebih cepat dan cepat lagi. 150… tekanan darahnya 150… tapi darahnya rendah, anemia… kata-kata itu kembali terngiang di otakku, mengisi seluruh relung di kepalaku. Mengingatkanku pada suara serak yang menelepon kami beberapa hari kemarin, mengabari dengan suara penuh rasa takut tentang keadaannya.
Kalau aku nggak selamat waktu melahirkan nanti… aku titip anakku yah…
Air mataku mulai kembali menetes, jalanan sepenuhnya kabur di depanku. Aku ingin menangis terisak, mengeluarkan seluruhnya dari dalam diriku, lelah tersiksa karena menahan gemuruh isakan di dalam dadaku. Tapi aku hanya menangis dalam diam, berusaha menjaga emosiku sebisa mungkin. Ketika melihat air mataku, Marisa yang masih berada di pelukan Vian di kursi belakang bersama Liska, langsung terisak semakin keras. Kemudian isakan Liska mulai terdengar, ia menangis sesenggukan sambil menempelkan pelipisnya di kaca mobil. Vian membelai lembut Liska dan Marisa secara bergantian, mencoba menenangkan mereka, meski air matanya sendiri juga sudah mengalir.
“Bego! Gue bilang kan juga di Caesar aja!! Kenapa sih tuh orang stubborn banget, kenapa dia bisa sebego itu!!!” teriak Ketlia tidak tahan. Aku bisa melihat emosi di wajah cantiknya, diantara kami berlima ia memang yang lebih lama bersahabat dengan Sophia, hingga tidak heran melihat ketakutan yang teramat sangat di kedua mata dibalik kaca itu. “Awas aja kalau dia sampai kenapa-kenapa, gue tendang tuh anaknya!” runtuknya frustasi. Kalau dalam keadaan biasa mungkin aku akan mengikuti leluconnya, mengatakan untuk ikut menyakiti putri pertama dari sahabat kami itu, tapi saat ini, semuanya benar-benar tidak biasa, bukan berada pada waktu dan tempatnya, bahkan tanggal kelahiran itu pun…
Dokter sudah memprediksikan bahwa Sophia akan melahirkan pada tanggal belasan di bulan September ini, tapi saat ini baru tanggal 31 agustus, tidakkah ini sedikit keterlaluan, kelahirannya jauh dari tanggal prediksi, terlalu jauh… hingga membuat kami merasa semakin sengsara karena merasa belum mempersiapkan diri dengan matang.
Setelah trisemester yang melelahkan, kehamilan Sophia sama sekali tidak mengalami masalah yang berarti, membuat kami diam-diam memuji bayi yang berada di dalam kandungannya. Sophia adalah salah satu dari sekian orang yang sangat rentan bersentuhan dengan rumah sakit. Ia bisa dengan mudah jatuh pingsan karena kelelahan, atau masuk angin ketika berbelanja bersama kami lewat pukul 7 malam! Dua minggu yang lalu tiba-tiba ia menelepon Ketlia ketika kami sedang berada di kantin kampus, mengabari tentang kemunduran tanggal kelahiran yang diprediksikan dokter, sekaligus dengan keadaan tekanan darahnya yang TIDAK BAIK!
“Minggu kemarin mba Rini yang hamil seminggu setelah kehamilanku sudah melahirkan, tapi kenapa aku masih belum?!” isaknya penuh ketakutan.
Aku mendengus, “Kan dokter sudah menetapkan tanggal prediksinya! Kalau lewat tanggal itu dan masih belum lahir, baru kamu cemas! Sekarang bukan saatnya cemas!” gerutuku kesal.
“Tapi tekanan darahku naik, aku darah tinggi. Sedangkan waktu diperiksa aku justru anemia.” Tambahnya dengan suara terbata. Aku bisa merasakan ketakutan mulai menyelinap ke dalam hatiku, namun aku harus tetap berusaha sekuat mungkin, aku tidak boleh menunjukan rasa takutku kepadanya, seakan mengiyakan seluruh kemungkinan terburuk yang memenuhi otaknya.
“BEGO! Itu karena lo stress!!! Udah deh, lo tenang aja, kalau udah waktunya lahir juga tuh bayi pasti keluar. Jangan lebay deh!” teriak Ketlia di sampingku.
“Tapi Li…”
“Udah… udah… lebih baik sekarang lo persiapin aja semuanya, nggak usah mikir yang macem-macem!” bentak gadis itu lagi. Aku bisa merasakan isakan Sophia semakin pelan, namun semakin menyayat hati. Dan meski sejak tadi Ketlia terus berteriak kencang, siapapun bisa melihat ketakutan di matanya, bahkan air mata yang sedari tadi tergenang mulai mengalir perlahan.
“Kalau aku nggak selamat waktu melahirkan nanti… aku titip anakku yah…”
“SOPHIA!!!!!!!!!” teriak Ketlia keras, tidak peduli pada wajah-wajah yang menoleh ke meja kami. Aku sendiri sudah tidak kuasa menahan perihku. “Jangan lebay! Lebih baik lu makan sana, gue lagi makan! Jangan ganggu!!!!” teriaknya sebelum menutup ponselnya, kemudian menjatuhkan kepalanya di meja kantin, menangis. Meninggalkan rasa laparnya bersama kesunyian isakan tangisnya.
***
“Belok kanan Rey!” tegur Vian, aku terkesiap dari lamunanku dan buru-buru memutar stirku ke kanan. Kenangan tentang telepon Sophia sore itu memang tidak pernah bisa menghilang dari benakku selama beberapa hari belakangan ini. Semuanya terasa menghimpit, menyesakan dadaku setiap saat.
Ketika sampai di rumah sakit kami langsung berlari ke ruang oprasi, beberapa orang memandang kami berlima dengan kening berkerut, namun kami sudah tidak peduli. Sejak memasuki pintu ganda rumah sakit, aroma kematian itu semakin pekat tercium, membuat lututku sejenak mulai lemas. Ada enam atau tujuh orang yang sudah menunggu di depan ruang oprasi, dengan wajah sepucat mayat semua. Damar terduduk di samping pintu dengan tangan menutupi wajahnya, entah berdoa atau menangis. Nela, adik Sophia langsung menghampiri kami, air mata sudah menghilang dari wajahnya, menyisakan kerak-kerak kering di kedua sudut matanya yang bengap, wajahnya yang putih memerah karena terlalu banyak menangis.
“Bagaimana?!” tanyaku dan Ketlia secara bersamaan. Vian berdiri di sampingku, meninggalkan Marisa dipelukan Liska. Gadis bertubuh tambun itu menggeleng. Tiba-tiba saja tubuh Ketlia jatuh lemas, dengan sigap Vian dan Nela langsung menahan tubuhnya, mendudukannya di sebuah kursi panjang di depan ruang oprasi. Ketlia menangis terisak dengan mata yang hampir terpejam, ia kelelahan, dan ketakutan. Tidak usah ditanyakan lagi, Marisa yang melihat Ketlia terisak sesedih itu, langsung meronta-ronta, menangis bagai orang kesetanan, membuat ruangan itu sejenak dipenuhi oleh orang-orang yang merasa ingin tahu dengan apa yang tengah terjadi.
Andai saja aku masih memiliki sisa-sisa kekuatan, mungkin aku sudah menarik tangannya ke kamar mandi, menguyurnya untuk menyadarkannya, atau yang lebih kejam mungkin aku akan memasukannya ke dalam tong sampah terdekat, meredam suara tangisnya yang memekakan telinga di balik tutup tong sampah itu.
Tapi saat ini, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar iri kepadanya. Aku juga ingin bisa menumpahkan seluruh ketakutanku melalui tangis sekencang itu! dari pada menahan-nahan isak tangis yang semakin lama semakin membuatku sesak!!!
*********************************************************

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Good job, Zizi!!!

tutex_keyna mengatakan...

Keren zi,

sophia dr sophie martin piss JK zi hehe

Fathy mengatakan...

Ziziziziziii...
Masih ngambek ama ziziziii...

Another nice story sayang...

°·♡·♥τнänkчöü♥·♡·° ya (˘⌣˘)ε˘`)