Rabu, 05 Maret 2014

INNOCENT LOVE - Karena Cinta tidak pernah salah…



“Iya sayang… besok aku akan langsung pulang.” Ujarku dengan senyuman mengembang. Aku bisa merasakan senyuman lebar sosok di sebrang telepon itu. “Love you too.” Balasku ketika ia mengucapkan kata I love You, kemudian aku mematikan teleponku. Mulai merasa rileks setelah seharian bersiteru dengan berkas-berkas kantor dan seluruh pekerjaan kecil lainnya yang menumpuk bagai gunung merapi yang mematikan.

Aku mengernyit ketika merasakan ponselku kembali bergetar. Telepon dari nomor baru. Dengan perlahan aku kembali memakai earphoneku. Mataku terfokus pada jalanan dan kemudi yang tengah ku kendalikan, jalanan Jakarta sore itu –dan sore-sore lainnya- memang tidak pernah sepi.

“Halo.”

“Emily, apa ini kamu?” aku mengernyit mendengar kecemasan dari suara itu.

“Ya, saya sendiri.” Jawabku ragu.

“Ya Tuhan, syukurlah… aku Stela, aku ingin mengabarimu tentang Safira.” Kerutan di keningku semakin mendalam. Stela? Safira? Tubuhku mendadak kaku ketika akhirnya otakku menemukan dimana aku menyimpan folder-folder usang tentang memori beberapa tahun yang lalu, ketika seragam putih abu-abu masih menjadi sahabatku.

“Ada apa dengan Safira?” tanyaku mulai merasa cemas.

“Safira koma, sekarang dia ada di rumah sakit. Bisakah kau datang?”

DEG.

Kedua tanganku mencengkram erat kemudi di hadapanku, mataku nanar menatap jalanan berdebu kota Jakarta petang itu.

“Aku tau, dari kabar yang ku dengar sekarang kau tinggal di Bali. Tapi ku mohon, bisakah kau menyempatkan dirimu untuk datang menemuinya sebentar…” Gadis itu menghentikan perkataannya sejenak, ia berdeham pelan, mencoba mengatur kembali nada suaranya yang sempat hilang ditelan serak tangis. “Aku baru saja menemukan diarinya, dan namamu-lah yang banyak tertulis di sana. Aku tau kalian bersahabat. Dan dokter mengatakan bahwa dia tidak lagi memiliki waktu banyak…”

Aku tercekat mendengar penuturan sepupu sahabatku yang juga satu SMA dengan kami. Namun kenyataan bahwa sahabatku, Safira Anatasya, terbujur koma membuatku mulai merasa sesak. Kami bersahabat lama, bahkan terlampau lama, hingga rasanya kami berdua sudah menyatu. Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain. Ketika lulus SMA, Safira terpaksa ikut ibunya ke Australia untuk menghindari ayah kandungnya. Sedangkan aku tetap memilih berkuliah di Jakarta.

3 bulan pertama kami masih berhubungan secara intensif, memanfaatkan berbagai media komunikasi yang sudah sangat maju. Whatsapp, skype, facebook, twitter, email, dan berbagai social media lainnya. Kami selalu bertukar kabar, mengobrol panjang lebar sepanjang waktu, bertukar foto, bertukar cerita, dan ketika memungkinkan kami akan bertatap wajah menggunakan skype.

Banyak hal yang kadang membuatku iri kepadanya. Seumur hidupku aku tidak pernah pergi ke luar negeri, dan melihatnya tengah asyik bermain bola salju membuatku iri setengah mati, meski ia sudah berjanji untuk mengajakku berkunjung ke rumah indahnya suatu saat nanti.

Sebuah janji yang indah bukan?

Tapi seiring berjalannya waktu, 6 bulan setelah kepergiaannya, kami semakin disibukan oleh masalah-masalah kampus yang seakan menyita seluruh perhatian kami. Dari kabar terakhir yang ku dengar ia diterima di universitas Harvard, sebuah prestasi yang sangat membanggakan, sedang aku hanya berkuliah di sebuah universitas swasta, karena ternyata keberuntukan tidak memihakku ketika ujian masuk diadakan kala itu.

Setahun berlalu, saat itu hanya tinggal email yang ku terima darinya, itupun dibalas dengan rentan waktu yang cukup panjang. Kadang satu minggu, satu bulan, bahkan emailku yang terkahir baru mendapat balasan 3 bulan kemudian.

Ia sibuk, aku tau, ia selalu mengatakannya. Dan aku mulai merasa lelah menunggu kabarnya, menunggu balasan emailnya. Meski ketika akhirnya ia membalas emailku aku akan tetap tersenyum lebar penuh kebahagiaan.

Hari-hari berlalu, email itu tidak pernah berbalas lagi. Sudah lebih dari 2 tahun sejak terkahir kali ia membalas emailku. Sampai saat ini aku masih rutin memberikan ucapan selamat ulang tahun kepadanya, meski aku sadar, mungkin ia sudah melupakanku, semudah ia melupakan password email lamanya.

Setetes air mata mengalir perlahan dari pelupuk mataku. Suara di sebrang sana masih memanggil-manggil namaku. Memastikan apakah aku masih mendengarkan ia berbicara. Aku mengerjap beberapa kali untuk membersihkan air mataku. “Aku sedang di Jakarta. Dimana ia dirawat?” tanyaku dingin.

“Syukurlah, dia ada di rumah sakit Harapan Kita. Aku benar-benar menanti kedatanganmu, dan kurasa Safira juga…”

“Baik.” Jawabku singkat seraya memutus sambungan teleponku dengannya. Aku memutar kemudiku ke kiri, menepikan mobilku tepat di bawah sebuah pohon rindang yang sejuk. Ku matikan mesin mobilku, kemudian menundukan kepalaku hingga kehingku menempel dengan kemudi. Aku hanya butuh sedikit waktu, untuk sekedar menangis sendiri.

***

“Aku tidak bisa pulang sekarang.” Bisikku serak.

“Kenapa? Bukankah pekerjaanmu sudah selesai?” Tanya suara di sebrang sana heran.

“Masih ada beberapa urusan yang harus ku tangani…” ujarku pelan. Mengingat urusan itu adalah sahabatku yang terbujur koma, dadaku mulai kembali terasa sesak.

“Sayang, apa kau baik-baik saja?” aku menggigit bibir bawahku untuk menyembunyikan getaran suaraku.

“Aku baik-baik saja.” Dustaku setenang mungkin. Sosok di sebrang sana terdiam lama, tampak sibuk dengan pemikirannya sendiri.
“Perlu ku jemput?”
“Tidak!” jawabku cepat. “Aku baik-baik saja dan akan segera pulang setelah semuanya selesai. Kau baik-baiklah di sana.”

“Baiklah, tapi ingatlah untuk terus menghubungiku. Aku menyayangimu.”

“Aku juga menyayangimu.” Balasku sebelum menutup ponselku, kemudian berbalik menatap rumah sakit yang ditunjukan oleh Stela.

6 tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya, 6 tahun sudah. Aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri saat ini. Aku sangat merindukannya, namun menemukan dirinya yang terbujur koma seperti ini tidak pernah terpikirkan olehku. Aku masih belum mengantisipasi untuk kenyataan buruk apapun. Di benakku, aku memang meyakini bahwa suatu hari nanti kami akan kembali bertemu, tapi bukan di rumah sakit, bukan dengan keadaannya yang tidak sadarkan diri. Di mimpiku kami akan bertemu dengan predikat sukses yang sudah kami kantongi, dan dengan keluarga baru kami, saling mengenalkan suami kami masing-masing, dan kalau memungkinkan kami bisa menjodohkan putra-putri kami.

Kenyataan bahwa mimpiku takkan pernah menjadi nyata mulai kembali menampar diriku. Menarikku pada sebuah jurang gelap yang dibuat oleh takdir.

Aku menguatkan hatiku, dan setelah menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, akhirnya aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah sakit. Seorang perawat di balik meja resepsionis menyapaku dengan ramah, aku melihatnya, namun otakku terlalu sibuk untuk mempersiapkan diriku menghadapi berbagai kemungkinan yang ada… kemungkinan terburuk.

“Emily!” pertahananku hampir saja roboh ketika mendengar teriakan Stela dari ujung lorong panjang rumah sakit itu. Ia tengah berdiri dengan kantung obat di tangannya. Aku berusaha menunjukan sebuah senyuman simpul, tapi gagal, tentu saja. Ketika melihat tatapan sendunya, aku merasa perutku mulai melilit perih, tubuhku dingin dan kaku, mataku perih karena tidak ingin berkedip sama sekali.

Stela tampak lebih kurus dengan stelan jas dan rok mini hitamnya. Ia menggunakan stiletto  berwarna merah sesuai dengan blusnya. Wajahnya yang tirus tampak sedikit lelah, meskipun sudah tersamarkan oleh make up tebal yang ia kenakan. Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku padanya, menjabat tangan kurusnya. Sekilas aku membaca papan nama berwarna emas di dada kirinya dan tersenyum tipis, Stela Maharani, CEO.

“Ayo ku antar. Kebetulan aku juga baru saja menebus obatnya.”  Ujar Stela seraya mengangkat bungkusan plastik putih di tangannya. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum tipis dan berjalan dalam diam di sampingnya. Beberapa kali Stela mencoba mengajakku berbicara, namun sikap bungkamku akhirnya membuat gadis itu menyerah. Aku terlalu lelah untuk sekedar berbasa basi, dan pertemuanku dengan Safira kali ini sepertinya mampu membius tubuhku hingga menjadi sangat kaku. Aku merasa tidak memiliki perasaan apapun, tidak sedih atau bahagia. Semuanya terasa kosong, kebas, hatiku tidak tersentuh sama sekali. Mataku memang terbelalak lebar, tapi hanya itu, otakku kosong, dan semua yang ku lihat hanya seperti gambaran tv berwarna yang tak bersuara.

Stela berjalan satu langkah di hadapanku, rambut hitamnya menari-nari perlahan seiring dengan langkah gemulainya. Beberapa kali aku melihat pundaknya tampak naik turun, menunjukan bahwa pemilik tubuh itu tengah menghela nafas panjang, entah untuk alasan apa. Akhirnya kami berbelok masuk ketika sampai di sebuah ruangan berpintu ganda dengan tulisan ruang isolasi. Aku mengerutkan keningku dengan bingung, tapi otakku terlalu lelah hingga tidak tau apa yang seharusnya aku tanyakan.

Langkah Stela melambat, ia melirik ke sembarang arah kemudian berjalan mendekati meja resepsionis di tengah ruangan bercat ungu itu. Ada empat perawat jaga di sana, yang seluruhnya tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, tertunduk tenggelam dalam pekerjaan mereka. Aku menunggu sebentar di belakang tubuh Stela, hingga gadis itu berbalik dan mengangguk padaku, memintaku untuk kembali mengikutinya.

Aku menurut, bagai bocah lima tahun uang berjalan di tengah pasar bersama ibunya, memasuki sebuah ruangan yang berdindingkan kaca tembus pandang setelah sebelumnya mengenakan baju khusus berwarna biru langit. Safira berbaring tenang di hadapan kami, terbatasi oleh kaca untuk menjaga ruangannya tetap steril. Dada kurusnya bergerak naik turun dengan lemah, di sekelilingnya terpasang alat-alat yang tidak pernah ku lihat kecuali di dalam film- film yang mengambil setting rumah sakit. Wajah cantiknya terlihat sangat pucat, rambut panjangnya terurai tak bercahaya.

“Ia sakit, komplikasi penyumbatan jantung.” Ujar Stela, matanya menatap sosok Safira penuh kasih. “Tapi dia tidak pernah ingin kau melihatnya seperti ini. Dan mungkin kalau dia bisa membuka mata serta mulutnya lagi, dia pasti akan memaki aku, tapi sejujurnya itulah yang ku harapkan.” Stela menyeka air matanya dengan perlahan, ia menghela nafas panjang lelah.

“Sejak kapan?” hanya itu yang mampu ku katakan, tenggorokanku terlalu perih menahan tangis. Mengharapkan sebuah mukjijat yang rasanya sangat jauh dari gapaianku.

“Sejak ia berangkat ke Australia.”

Aku tak lagi mampu membendung air mataku, selama itu… selama itu ia menyembunyikannya dariku.

“Ini…” Stela mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepadaku. “Buku harian Safira,” katanya dengan perlahan. Aku mengambil buku itu, mencoba mengenang sosok sahabatku lebih dalam lagi. meskipun tentu saja semuanya hanya meninggalkan perih yang semakin dalam. Namun setidaknya, aku tau apa yang ia ingin kan saat ini, di saat-saat terakhirnya.

***

“Sayang? Astaga, apa kau sakit?” Sebuah pelukan erat langsung menenggelamkanku dalam lautan haru dan perih yang tak tertahankan. Tangisku langsung pecah begitu saja. Dan lagi pula memangnya aku punya pilihan apa, selain menangis dan menangis? “Ada apa Emily, apa yang kau lakukan di rumah sakit? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya penuh rasa cemas. Aku tidak bisa menjawabnya, mulutku terlalu sibuk mengeluarkan isak tangis. “Emily, ku mohon, tenanglah, bicaralah.” Pintanya sungguh-sungguh.

Alih-alih berbicara aku malah mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jasku. Ia tertegun, menatap foto mesra dirinya dengan gadis lain.  Foto yang tersimpan di dalam buku harian sahabatku. Selama ini Safira tidak pernah mengatakan apapun padaku, padahal ia paling tidak bisa menyembunyikan apapun dariku. Mungkin untuk kali ini ia memilih menyembunyikannya dari pada menyakitiku. Tapi toh pada akhirnya takdir memutuskan untuk memperlihatkan foto yang bermakna lebih itu kepadaku.

“Em…” sosok itu menatapku dengan pandangan bingung yang serba salah. Lalu ia hanya terdiam, tampak tidak berniat untuk memberikan penjelasan apapun.

Kami masih berdiri berhadapan di lorong rumah sakit, orang-orang berjalan berlalu lalang di sekeliling kami. Namun tidak ada satupun yang memperdulikan kebekuan kami. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Aku menghela nafas panjang, menyerah.

“Kau menghianatiku.” Itu sebuah pernyataan, dan aku tidak membutuhkan jawaban apapun untuk membenarkannya. Foto itu sudah menjelaskannya dengan sangat gamblang. Senyuman mereka tidak akan seindah itu jika mereka tidak sedang dimabuk cinta. “Kau penghianat.” Tambahku dengan suara bergetar.

“Tidak, aku tidak menghianatimu.” Jawabnya dengan wajah tertunduk. Kaca matanya sedikit berembun, sedang bibirnya membentuk sebuah senyuman samar yang menahan perih.

Bukti itu sudah sangat jelas. Meski Safira tidak menuliskan apapun pada buku diarinya, kecuali namaku dan selembar foto itu, tapi itu sudah menjelaskan semuanya. Jadi mengapa ia masih mengelak?!

“Aku tidak pernah menghianatimu,” ulangnya lagi, kali ini dengan menatap kedua mataku. Dan aku tau dia sungguh-sungguh. “Aku tidak pernah menghianatimu dengan siapapun, aku menghianati Safira dengan mencintaimu.”

Deg.

Duniaku hancur. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dan air mata itu seakan menjadi lautan tsunami yang langsung membobol pertahananku sejak pertama kali aku melihat foto suamiku dengan sahabatku kemarin petang. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat, kehilangan aksara untuk mengutarakan rasa yang memenuhi asa kami masing-masing.

“Maafkan aku…”

“Sejak kapan?” tanyaku dengan suara terbata.

“Sejak ia pergi ke Autralia.”

“Aku mengerti.” Aku mengangguk pelan, membuat air mataku kembali menetes.

“Tapi aku tulus mencintaimu Em…” katanya seraya meraih tanganku. Aku ingin mengangguk, tapi dadaku terlalu perih. Aku yang melukai Safira, aku yang membuatnya menjadi seperti ini. lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?! memohon maaf pun tak lagi bermakna, semuanya sudah terlambat. Aku lah yang salah…

“Al, aku ingin kau menemuinya.”

“Tidak Em, aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak ingin…”

Tapi aku sudah menyakitinya. Sahabat macam apa aku?!

“Ku mohon, demi keluarga kecil kita. Temuilah ia,” Alex menggeleng perlahan, “Dia sakit Al, komplikasi Jantung, dan sekarang tengah koma.” Bisikku lirih.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa melihat kedua mata suamiku kehilangan cahayanya. Satu kedipan saja, dan aku bisa melihat sebesar apa cintanya pada sahabatku.

Mengapa harus aku yang berada ditengah-tengah mereka? mengapa harus aku yang menyakiti mereka? mengapa harus cinta yang hadir di antara kami?!

***

                                                                                                                        13 Januari 2009

Untuk sahabat baikku, Emily Diana

Aku sebenarnya tidak terlalu yakin dengan apa kegunaan surat ini. Tapi Stella memaksaku untuk membuatnya. Kau tau, seperti surat terakhir, semacam itulah. Hahaha

Jangan marah padaku, kumohon. Semuanya sudah takdir. Kau sendiri yang selalu mengatakan takdir Tuhan selalu lebih indah dari pada yang kita bayangkan. Kalaupun sekarang terasa pahit, pasti membawa makna yang besar.

Sebenarnya menulis surat ini seperti membunuh diriku sendiri, seakan aku sudah menyerah pada takdir.

Aku sakit, ku rasa jika kau sudah memegang surat ini, itu tandanya Stela sudah mengatakannya kepadamu. Aku tidak tau apa kau akan membaca surat ini ketika aku sekarat, atau ketika aku sudah di dalam kuburku.

Stela bersikeras untuk memberitahumu tentang semuanya, namun aku tidak bisa. Entahlah, anggap saja aku pengecut. Tapi akhirnya ia berjanji padaku untuk memberitahumu ketika semuanya sudah berakhir, jadi aku tidak perlu melihat air matamu karena ketidak berdayaanku.

Aku sakit, sudahkah aku mengatakan hal itu?

Mungkin tidak akan lama lagi, tapi dokter selalu mengatakan aku memiliki semangat hidup yang sangat kuat, ia bahkan selalu memujiku karena semangat hidupku. Mungkin aku ingin tetap bersama kalian, menikmati cinta.

Ah cinta, jangan salahkan cinta.

Kau tau, cinta tidak akan pernah salah. Jadi ketika aku mengetahui kekasihku mencintai sahabat baikku, aku tidak marah sama sekali. Aku justru bersyukur kepada Tuhan, itu berarti aku tidak perlu khawatir ketika akhrinya harus meninggalkan Alex.

Begitu banyak hal yang ingin aku tuliskan di sini, tapi setiap menuliskan satu kata, hatiku akan teriris perih. aku tidak tau harus bagaimana menyikapi semuanya. Ini seperti menghitung detik-detik sebelum kematian. Terancam setiap saat.

Aku mencintaimu dan Alex. Dan aku tau kalian pun saling mencintai. Perih, luar biasa perih! ku mohon, sebagai wanita kau harus memaklumi perasaanku. Tapi pada akhirnya ini adalah jalan terbaik. Jangan pernah salahkan dirimu dan Alex. Ini adalah jalan Tuhan Em, jalan untuk kita. Hanya saja, aku tau terlebih dahulu dibandingkan kalian.

Cintailah cinta Em…

Mungkin kau melihat sedikit penghianatan cinta di sini, tapi sekali lagi ku katakan padamu, cinta tidak pernah salah. Cinta selalu hadir tanpa terprediksi. Tak bisa dipaksakan, dan tak terelakan.
Maafkan aku karena sudah menyembunyikan seluruh kisah semu itu darimu dan Alex. Maafkan aku…

Aku menyayangimu Sahabatku, dan aku juga sangat menyayangi Alex. Aku bahagia akhirnya kalian bersama. tetaplah berbahagia Em, Aku tidak akan rela jika takdir merebut kebahagian itu darimu. Biar, cukup aku yang menyerah di sini. Kalian harus tetap berjalan. Kenang aku, dan cintai aku sebagai sahabat kalian. Ku mohon…

Ini bukan akhir Em, hidupmu masih sangat panjang. Dan aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. Tetaplah tegar dan menjadi wanita yang hebat. Aku menyayangi kalian semua. Sampaikan maafku pada Alex, aku selalu menyayanginya.
                                                                                                            

                                                                                                             Dengan cinta sepenuh hati
                                                                                                            Sahabatmu, Safira Anatasya

***

“Seperti biasa, dia selalu satu langkah di depan kita.”

Aku melipat surat yang diberikan Stela ketika pemakaman pagi itu dengan perlahan, lalu menyeka air mataku dengan tisu yang diberikan Alex di sampingku. Ia menggenggam tanganku dengan sangat erat.

Cinta tidak pernah salah…

Aku membisu dalam isak tangisku. “Tapi cinta itu berhutang berjuta maaf kepadanya.”

Alex mengangguk perlahan, lalu menarikku ke pelukannya. Tidak membenarkan atau menyangkal perkataanku. Untuk beberapa saat kami hanya berdiri diam di sana, merasakan sepoi angin siang di kota Jakarta. Menatap langit yang mendung jauh di balik kaca hotel yang kami tempati.

“Aku juga mencintaimu Safira, berbahagialah kau selalu di sana. Doa kami selalu menyertaimu…” bisikku sungguh-sungguh.



 the end


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Wowww..