Hujan… Hujan turunlah… pinta katak itu di samping
danau yang mengering.
Anna masih mengingat kisah katak dan hujan yang
memilukan itu. Ia tidak terlalu yakin di usia berapa tepatnya sang ibu
mengisahkan cerita katak dan hujan itu. Namun hingga saat ini ia masih bisa
mengingat seluruh detailnya. Bagaimana katak itu tidak pernah berhenti berdoa
akan turunnya hujan di kala kemarau panjang yang mematikan. Hingga akhirnya
katak itu sakit. Ia tau dia akan mati, meski saat itu juga hujan turun
membasahi raya. Namun ia tetap berdoa dan meminta hujan pada sang kuasa.
Katak-katak lain mencemoohnya yang tidak pernah berhenti berdoa. Dan ketika
hujan itu turun tepat di hari kepergian sang katak malang, katak-katak yang
lainnya baru tersadar, jika doanya selama ini bukan diperuntukan bagi dirinya
sendiri. Namun bagi saudara-saudaranya yang lain.
Anna kecil akan menangis tersedu jika mendengar kisah
itu, dan mempertanyakan mengapa katak malang itu tidak hidup saja? Mengapa
begini dan mengapa begitu? Namun dengan lembut ibunya akan mengatakan bahwa
semua itu adalah takdir Illahi. Tidak ada yang mampu mengubahnya, tidak ada
yang mampu mengubah takdir yang sudah di gariskan sang Khalik untuk makhluknya.
Isakan tangis Zahra begitu pelan dan samar, namun bisa
mengeruk seluruh isi hati Anna hingga berdarah. Ia sendiri tidak tau apa yang
kini ada di dalam hatinya, apa yang tengah ia rasakan. Ia mencintai Raka,
sangat mencintainya, namun ia tidak pernah ingin menyakiti hati lain. Bukan hal
itu yang ia inginkan. Anna sudah lama memahami semua itu, sebesar apapun
cintanya pada pemuda tampan berbudi baik itu jika ia memang bukan jodoh yang
ditakdirkan Allah untuknya, maka semuanya akan sia-sia belaka. Menghilang dan
tenggelam.
Remasan tangan Aminah pada jemarinya kembali
membangunkan Anna dari lamunan semunya. Mata tua itu berbinar penuh harap.
Senyumannya mengembang, dan hati kecil Anna mulai ragu, mampukah ia menyakiti
wanita yang begitu disayanginya itu. Tapi hatinya benar-benar terpilin
mendengar isakan Zahra yang begitu samar, ia pernah merasakan bagaimana
perihnya semua kekecewaan dan ketakutan itu, dan sejujurnya ia pun masih
merasakannya hingga saat ini. Dan ia tidak ingin membiarkan wanita lain
merasakannya. Meski harus ia akui, sebagian kecil dirinya merasa begitu
tersanjung ketika wanita tua di hadapannya menyebutkan namanya.
Dengan perlahan namun pasti Anna menggelengkan
kepalanya pada Aminah, wajahnya menyiratkan kepedihan yang teramat sangat
ketika mata tua di hadapannya mendadak sayu.
“Aku bersedia.”
Ruangan yang hanya berisikan lima jantung manusia yang
berdetak itu langsung hening seketika. Aisah menatap keponakannya dengan
pandangan yang menyiratkan kecemasan.
“Aku bersedia jika Raka akan menikahi Anna. Aku
bersedia.” Jawabnya sambil meremas roknya semakin keras, membuat
kerutan-kerutan di sekeliling genggamannya semakin jelas terlihat.
“Zahra?” bisik Raka, matanya menatap tajam sosok gadis
itu.
“Aku tau kalian saling mencintai. Bagaimanapun aku
berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi pengganti Anna. Aku hanya akan menjadi
bayangan di antara kalian. Dan aku lelah. Aku sangat lelah. Tapi aku juga
mencintaimu…” ia memandang Raka dengan wajahnya yang dipenuhi air mata luka.
“Aku tidak bisa hidup tanpamu. Maafkan aku, aku tidak bisa membiarkanmu pergi.
Namun aku bersedia menjadi yang kedua. Aku bersedia menjadi bayangan kalian…”
Anna menatap gadis itu penuh kepedihan. Betapa
kejamnya ia hingga membuat gadis secantik Zahra merasa tidak aman dengan
perasaannya sendiri. Betapa jahatnya ia…
“Aku tau, aku sangat egois. Aku ingin melihat kalian
bahagia, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi… maafkan aku…”
“Zahra hentikan.” Tegur Raka begitu dingin.
“Maafkan aku…” bisik Zahra sambil terus
menggeleng-geleng hingg tetesan air matanya jatuh ke sembarang arah. Saat itu
juga Anna langsung memeluknya, mendekapnya dengan penuh kasih.
“Tidak Zahra, kau tidak perlu meminta maaf. Kau tidak
salah, rasa cintamu sama sekali tidak bersalah. Aku yang telah mengacaukan
semuanya. Aku yang salah karena berdiri diantara kalian berdua. Aku yang telah
melukaimu, jadi ku mohon terimalah maafku ini,” Anna menangis sesenggukan di
balik pundak Zahra. “Dan kau tidak perlu takut lagi… aku akan pergi…” bisiknya
seraya melepaskan pelukannya pada gadis itu. “Aku akan pergi jauh, entah untuk
sementara atau selamanya dan aku ingin kau kembali merasa tenang. Raka sangat
mencintaimu, dia akan menjagamu.” Suara Anna terdengar seperti bisikan yang
begitu lirih.
“Kalian akan menjadi pasangan yang sangat menawan. Kau
akan menjadi mempelai yang paling cantik, jadi lupakanlah ketakutanmu akan
wanita bodoh yang tidak tahu diri ini. Aku akan pergi—“
“Tapi kau mencintai Raka.” Bisik Zahra.
Anna tersenyum manis dan menoleh pada sosok Raka yang
masih membeku menatap perih kepadanya. “Dia adalah sahabat terbaikku. Dan akan
selalu begitu. Mungkin sampai nanti, sampai kami akhirnya menutup mata.”
Setetes air mata menghiasi pelupuknya ketika mengatakan semua itu. “Sudahlah,
hapus air matamu, bersiaplah untuk menjadi pengantin tercantik. Aku akan
mendoakan kebahagiaan kalian.” Anna menyeka air mata yang menghiasi wajah
cantik Zahra dengan jemarinya kemudian menghela nafas panjang. “Sudah waktunya
aku pergi, Assalamu’alaikum ummi, ibu maafkan aku…” bisiknya ketika mencium
punggung tangan wanita itu. “Selamat tinggal Raka, jaga ia baik-baik.”
Tambahnya.
“Biarkan aku mengantarmu,”
“Tidak!” seluruh wajah di tempat itu langsung menoleh ke
arah pintu. Seorang pria jangkung dengan jas abu-abu tampak berdiri di sana.
Wajahnya menyiratkan kemarahan yang teramat sangat.
“Raihan?” bisik Anna.
“Aku yang akan membawanya pulang.” Ujar Raihan dingin,
kata-katanya tampak jelas ditunjukan pada Raka, namun tatapannya tidak pernah
terlepas dari sosok Zahra yang kini tengah mematung menatapnya.
Anna berjalan perlahan menuju pintu. “Aku akan
memanggil Aisah dulu.” Ujarnya ketika melewati sosok Raihan.
“Dia sudah di mobil.” Jawab Raihan tanpa memandangnya,
suaranya terdengar begitu lirih, namun wajahnya tetap menunjukan sisi tegas dan
liciknya yang jelas sangat berbahaya. Anna mengangguk, dan untuk yang terakhir
kalinya ia menoleh sambil mengucapkan salam sebelum akhirnya berlalu pergi
dengan Raihan yang berjalan tepat di belakangnya.
Ketika melihat sosok mungil Aisah tengah tertidur di
kursi belakang, Anna hanya tersenyum tipis dan duduk di samping kursi kemudi.
Ia menyandarkan kepalanya yang terasa berat dan kosong, mata indahnya terus
memandang jalanan yang padat dari jendela mobil Raihan.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Raihan memecah keheningan.
Anna mengangguk sangat pelan, kemudian air mata itu mengalir perlahan. “Bisakah
kau tetap tinggal di sini?” Anna menoleh dengan pandangan penuh Tanya pada
sosok tampan di sampingnya. “Aku ingin melihatmu bahagia, tapi jika kau berada
sejauh itu… akan sangat sulit rasanya untuk menjagamu.”
“Kau tidak perlu menjagaku Raihan,” bisik Anna. “Aku
sudah memikirkannya matang-matang, kakek dan ibu sudah menyetujui. Kami juga
sudah mempersiapkan rumah sakit untuk kak Alan.”
“Anna…”
“Aku tau ini sangat buruk, ini seperti aku tidak bisa
menerima kenyataan, menerima takdir yang sudah dituliskan Tuhan untuk kita
semua. Tapi aku hanya ingin memulai hidupku kembali, sudah terlalu lama aku
terpuruk dalam kepedihan itu. kini aku memiliki Aisah, aku harus tegar
untuknya, untuk menjaganya.”
Raihan mencengkram erat kemudinya, mata elangnya
menatap jalanan tanpa berkedip. “Apa kau akan kembali?” tanyanya. Anna kembali
menyandarkan kepalanya pada kursi penumpang itu, ia tidak mengangguk atau
menggeleng, karena sebesar apapun keinginannya untuk kembali, ia tetap tidak
akan pernah bisa melangkah lagi.
***
Zahra tersenyum malu-malu ketika mendengar pujian
beberapa ibu-ibu yang datang untuk membantunya menyiapkan pesta pernikahan yang
di percepat dua minggu itu. Wajah cantiknya tidak pernah berhenti tersenyum,
membuat suasana panti yang ramai itu kian semarak dengan canda tawa. Sudah satu
minggu ia tidak bertemu Raka dengan alasan sedang dipingit, dan sejujurnya itu
benar-benar membuat hatinya resah karena merindu.
Pesta pernikahan itu akan diadakan sangat sederhana.
Namun kebahagiaan Zahra adalah kebahagian yang tiada tara. Ia berdiri mematung
di balik jendela, menatap halaman panti yang sudah berhiaskan tenda putih dengan
warna emas di setiap pusatnya, kursi-kursi plastik yang di tutupi sarung yang
senada dengan warna tendanya di buat melingkari meja bundar yang juga
bertamplakkan kain putih dengan renda berwarna emas yang begitu romantis dan
elegan. Pelaminannya sendiri sudah di atur sedemikian rupa hingga bisa terlihat
dari berbagai sudut tenda itu. Ada taman buatan di hadapannya, lengkap dengan
air mancur mini yang begitu manis, pot-pot untuk potongan bunga hidup sudah
diletakan di kedua sisi pelaminan, meski masih kosong namun rasanya Zahra bisa
merasakan semerbak aromanya, mawar, melati, krisan, sedap malam dan lainnya.
Meja untuk makanan pun sudah di persiapkan, semuanya
bernuansa putih dan emas, begitu sederhana namun jelas istimewa. Seperti
cintanya pada pemuda tampan itu. Ia kembali merasakan mual karena gugup ketika
mengingat bahwa sebentar lagi ia sudah akan menjadi istri sah dari pangeran
impiannya. Pemuda tampan yang sudah membuatnya menghabiskan sebagian besar stok
air matanya.
“Zahra, di sini kau rupanya,”ujar Amy. “Ada telepon
untukmu, aku tidak tau dari siapa. Segeralah.” Tambah gadis berkerudung hijau
itu. Zahra mengerutkan keningnya, kemudian berjalan perlahan ke ruang tamu yang
kini pun telah berhiaskan kain-kain putih yang mengkilap di setiap sisinya.
“Hallo, Asalamu’alaikum,”
“Batalkan pernikahan itu sekarang juga!”
Suara di sebrang sana begitu dingin penuh dengan nada
ancaman yang mampu membuat tubuh Zahra merinding meski ia masih belum paham
dengan apa yang didengarnya.
“Apa?” tanyanya bingung.
“Batalkan pernikahanmu!” bentak suara itu.
Zahra mendengus.
Siapa dia? Apa-apaan ini? Mengapa ia harus membatalkan pernikahannya sendiri? “Siapa
ini?” Tanya Zahra.
“Dengar. Batalakan semuanya, atau aku akan membuat
semuanya batal dengan caraku.” Suara itu begitu kejam, penuh ancaman. Namun
Zahra tidak bergeming, hati kecilnya malah memaki siapapun yang berada di
sebrang telepon itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dan sampaik kapanpun ia
tidak akan membatalkan pernikahannya. Terlebih karena penelepon asing yang aneh
itu.
“Aku tidak akan pernah membatalkannya!” Zahra
menekankan setiap kata-katanya.
“Kau akan menyesalinya…” bisik suara itu lebih kejam.
Dan teleponnya terputus begitu saja sesaat sebelum Zahra ingin menumpahkan
amarahnya. Ia menghela nafas panjang sambil menatap pesawat telepon di
genggamannya. Kemudian mendengus jijik sebelum berlalu pergi ke kamarnya untuk
menenangkan hatinya dengan melihat kebaya cantik yang kini masih tersimpan
rapih di dalam lemarinya.
***
Hingga menjelang malam Zahra masih tidak bisa berhenti
tersenyum, lupa sudah kisah penelepon asing siang itu. Ia merasa begitu gugup
selayaknya calon mempelai lain pada umumnya. Ia berjalan mondar-mandir ke
seluruh arah, namun tidak ada satu hal pun yang benar-benar ia lakukan.
Sosoknya akan menjadi resah sendiri dalam duduknya, kemudian ia akan tersenyum
dan meletakan apa yang di sentuhnya begitu saja, lalu berlalu pergi. Amy
terkikik pelan ketika melihat Zahra berjalan di hadapannya untuk yang kesekian
kalinya. Ia menggeleng-geleng mewajarkan, karena dulu, dulu sekali… ia pun
pernah merasakan hal yang sama… bahagia-gugup-tidak sabar-takut-bahagia-tidak
sabar- gugup- dan gugup… meski akhirnya kisahnya tidak seindah itu. Tanpa sadar
Amy membelai perutnya perlahan, kemudian memejamkan matanya sambil menghela
nafas panjang. Sebuah kebiasaan baru yang selalu ia lakukan ketika kenangan
pahit itu menghampirinya.
“Melamun lagi,” tegur Arya dari belakang. Kemeja hijaunya
di gulung sampai siku dengan telapak tangan yang kotor setelah membereskan
jalanan untuk tamu yang datang esok hari.
“Aku tidak melamun.” Jawab Amy sambil terus melipat
tisu untuk diletakan di meja tambahan.
“Arya!” baik Arya maupun Amy langsung menoleh ke asal
suara itu. Zahra tampak berdiri dengan wajah yang sedikit memerah. Kerudung birunya
berkibar karena sepoi angin dari kipas yang berada tepat di sampingnya. “Aku
ingin berbicara padamu sebentar.” Ujarnya sedikit kikuk dan gugup. Amy yang
duduk bersama beberapa gadis kecil langsung menaikan sebelah alisnya penuh Tanya.
“Tapi tidak di sini.” Bisik Zahra seraya melirik sosok Amy dari balik punggung
bidang Arya.
Amy terkekeh dan melambaikan tangannya, mempersilahkan
mereka pergi. “Pergilah.” Katanya sambil tersenyum.
“Kami pergi dulu Amy, mungkin gadis ini ingin
menanyakan keberadaan calon suaminya untuk kesekian kalinya.” Ujar Arya santai,
yang langsung mendapatkan tatapan geram dari Zahra. Amy tertawa lebar.
“Aku kan sudah bilang jangan beritahu pada siapapun!” geram
Zahra.
“Sudahlah Zahra, kau tidak perlu malu karena
merindukan calon mempelaimu di hari sebelum pernikahan kalian.” Ujar Amy gemas
sambil menjawil hidung indah Zahra dan berlalu ke dapur dengan sekardus tisu
yang sudah rapih. Meninggalkan sosok Zahra yang masih melongo – malu.
“Kurasa Amy benar.” Gumam Arya sambil menatap
kepergian Amy dengan pandangan terpesona. Zahra menggeram pelan dan memutar
bola matanya pada pria itu.
“Apapun yang dikatakan Amy kau akan selalu
membenarkannya!” sergah Zahra jengah. Kemudian seakan beru tersadar akan
sesuatu, ia langsung menatap tajam sosok yang masih terpaku menatap kepergian
Amy, meskipun tentu saja gadis itu sudah menghilang di balik dapur. “Kau
menyukai Amy?” tuding Zahra.
“Apa?? Aku??? Tidak mungkin!!” Arya menggerak-gerakan
tangannya di depan dadanya, menegaskan penyangkalannya, matanya sedikit menyipit
ketika ia mengatakan semua kata-kata sangkalannya sambil tersenyum kikuk.
“Oh,” bisik Zahra santai. “Tadinya ku pikir jika kau
mencintai Amy, aku akan mengambilkan sebuah melatiku ketika acara ijab qabul
besok. Kau tau mitosnya? Mereka bilang gadis yang mendapatkan melati itu akan
segera menyusul menikah.” Zahra mengangkat bahunya tak acuh, kemudian memutar
tubuhnya bersiap pergi.
“Benarkah?” Tanya Arya antusias dengan mata yang
berbinar penuh harapan. Zahra sampai tidak bisa menahan tawanya. Ia tertawa
terpingkal di hadapan pria itu, hingga membuat beberapa orang yang berllau
lalang menatap heran padanya.
“Ya Allah Arya, itu hanya mitos, aku tidak percaya. Dan
apakah kau percaya?” tanyanya di sela tawanya. Arya langsung menegakan tubuhnya
sambil mendesis. “Maaf… maaf…” bisiknya susah payah. “Tapi aku akan
mengambilkannya untuk Amy.” Ujarnya dengan mata jahil yang begitu hidup. Meski masih
kesal, namun akhirnya Arya mengangguk antusias, menepiskan rasa malunya.
“Terima kasih…”
“Eh, tapi itu tidak cukup dengan kata terima kasih. Sekarang
kau harus meneleponkan Raka untukku, aku ingin mendengar suaranya.”
“Tapi kalian akan bertemu besok…” desah Arya lelah. “Mengapa
kau tidak istirahat saja agar besok bisa bagung dengan keadaan segar bugar.” Tuturnya.
Zahra menatapnya dengan menaikan sebelah alisnya. Menunjukan kata ‘Mau tidak?’
dengan tatapannya. Akhirnya Arya menyerah dan meraih ponsel di saku celananya.
Tepat pada saat itu seorang bapak paruh baya yang
sedari sore menyiapkan keperluan-keperluan terakhir pesta pernikahannya besok,
memasuki ruang tamu dengan nafas terengah.
“Raka Kecelakaan!”
***
“Raka kecelakaan.”
Deg…
Setetes air mata jatuh begitu saja, meski sang pemilik
mata indah itu masih belum kembali ke bumi dari keterkejutannya. Dengan susah
payah ia menelan ludahnya, menghela nafas panjang, kemudian menutup matanya,
membuat air matanya semakin deras menetes.
“Astagfirullah… Inalillahi wa inailaihi rajiun…”
bisiknya perih.
“Ibu baru saja mengetahuinya dari kakek, sekarang
kakek sedang berada di rumah sakit. Mobil yang dikendarai Raka tertabrak truk
dan masuk ke jurang pukul setengah delapan. Bagian sisi mobilnya hancur. Tapi ia
masih selamat, hanya saja bagian kiri perutnya terluka, terluka parah, hingga
merusak sebagian ginjal dan hatinya. Dia harus segera melakukan transplantasi
Anna, atau dia tidak akan selamat…” wanita itu menangis terisak di sofa, di
depan sosok cantik yang kini tampak bagaikan mayat hidup, dengan wajah yang
pucat pasi, mata yang menatap kosong pada kegelapan malam dengan air mata yang
tidak pernah berhenti mengalir. Tubuhnya sudah lemas, ia sudah tidak bisa
bergerak, meski hanya untuk mengedipkan kelopak matanya, hatinya terlalu sakit.
“Anna… Raka membutuhkan persetujuanmu sayang…” Luna
meremas tangan menantunya dengan perlahan, Anna menoleh kaku padanya, matanya
menatapkan luka yang sangat mendalam. “Ibu sudah mengikhlaskan Alan—“
“Tidak…. Tidak bu… tidak… ku mohon…” Isakan Anna
langung pecah berkeping. Matanya kembali hidup dengan segala luka yang semakin
dalam dan dalam. Air matanya terus menetes, kepalanya menggeleng-geleng pelan
sambil terus mengatakan satu buah kata ‘tidak’ berulang kali. “Tidak bu… ku
mohon… tidak kak Alan… tidak…”
“Anna tapi mungkin inilah alasan Alan bertahan sampai
hari ini nak. Mungkin inilah takdir yang dituliskan Allah untuknya. Agar dia
tetap berguna bagi orang-orang di sekelilingnya.”
“Astagfirullah… ibu… ku mohon… jangan lakukan itu…
tidak… tidak suamiku… tidak suamiku ibu… tidak…” ujar Anna penuh ketakutan
sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.
***
5 komentar:
Cherry sedih bngt hiks.hiks tp tetep berharap kisah Raka & Ana bakal happy ending;-)
finally, akhr'y Raka muncul.. Cinta sgi bnyak yg mengaharukan...
Bnyak spekulasi ne di otak qu cher..
lanjut cher.. Lanjut! :D
Thanks ya..
mba renny... ini aku jualan tissue..
*plaakk!!
hehehe bentar lagi selesai kok mba... :)
Sila... ssttt... apa hayo spekulasi2 nya??? :) :) bentar lagi selesai looh..
hmm,,,,kayakny bakal ada twist nih,,,
Ziaaa.....
“Aku yang akan membawanya pulang.” Ujar Raihan dingin, kata-katanya tampak jelas ditunjukan pada Raka, namun tatapannya tidak pernah terlepas dari sosok Zahra yang kini tengah mematung menatapnya.
apa arti tatapan raihan pada zahra ya???
apakah yg nyelakain raka itu
raihan??
Posting Komentar