Sosok cantik itu terluka… dan semua orang melihatnya,
hingga semua orang turut menangis untuknya. Meskipun tentu saja tidak ada yang
bisa menyelami kesedihan sosok itu. Ia terluka sedemikian dalamnya, hingga
rasanya tubuhnya sudah lelah untuk bertahan.
Sekali lagi Anna memejamkan kedua mata indahnya,
mencoba menahan getaran dari isak tangis yang seakan berniat mengoyak tubuhnya.
Ia menetapkan hatinya dan menghela nafas panjang. Menatap lurus pada sajadahnya
yang tampak buyar di pandangan matanya yang penuh air mata. Ia mengucapkan dua
kalimat syahadat untuk menenangkan gemuruh hatinya, dan memulai shalat
tahajudnya malam itu.
“Ya Allah, hamba sepenuhnya berserah padamu… hamba
hanya seorang manusia penuh dosa. Hamba mohon ampunanmu Ya Allah, atas kedua
orang tua hamba yang begitu hamba cintai, dan seluruh umat muslimin dan
muslimat di dunia ini…
“Ya Allah, hamba hanya seorang wanita penuh nista,
hamba melakukan banyak kesalahan. Hamba melakukan banyak kebodohan. Tapi hamba
tidak memiliki tujuan lain di kehidupan ini selain berserah diri pada Mu.
Ampunilah dosa-dosa hambamu ini ya Allah. Ampuni hamba…
“Hamba berserah diri pada semua takdir Mu, hamba
ikhlas ya Allah… hamba Ikhlas… hamba ikhlas…”
Isakan Anna terdengar begitu memilukan, memecah
keheningan malam yang dingin dan kelam, membuat seorang gadis kecil yang tengah
tertidur di ranjangnya terbangun dan menghampiri sosok yang tengah berdoa di
atas sajadahnya itu.
“Bunda…” bisiknya pelan. Buru-buru Anna menghapus air
matanya, dan menoleh pada sosok Aisah. “Ada apa?” tanyanya.
“Tidak apa-apa sayang, kembali tidur lah. Besok kita
akan segera berangkat setelah pemakaman ayah…” ujarnya lembut seraya membelai
kepala gadis kecil yang langsung menegang di hadapannya, kemudian tangis itu
pun pecah.
Air mata Aisah menetes perlahan, meski sang bunda
terus mengatkan jangan menangis. Tapi gadis itu tetap menangis tergugu, kedua
punggung tangannya menutupi matanya yang terus meneteskan air mata. Ia terus
menangis pilu hingga akhirnya Anna menariknya dalam dekapannya, mencium
keningnya, menghujani wajahnya dengan air matanya sendiri.
“Ayah akan baik-baik saja. Dia akan menanti kita di
sana dengan sangat sabar. Ayah adalah sosok penyabar yang baik hati, sudahkah
bunda bercerita tentang itu? Ia akan segera membangun sebuah istana indah di
surga dan menanti kita dengan damai. Ia berbudi baik, ia akan mendapatkan
tempat terindah di sisi Allah. Ia akan bahagia putriku… ia akan bahagia…”
Tangisan Aisah tidak kunjung mereda. Ia terus terisak
di balik mukena yang di kenakan ibunya.
“Tapi Aisah mencintai ayah…” isaknya pilu.
“Kita semua mencintai ayah… kita semua…” Anna mencium
kening putrinya penuh sayang, kemudian meletakan pipinya di kening gadis kecil
itu. “Ayah juga pasti sangat mencintaimu. Bunda tau itu, tapi ini sudah
jalannya sayang. Ini sudah takdirnya. Kita harus mengikhlaskannya…”
“Aisah ikhlas bunda… Aisah ikhlas…” suara gadis itu
begitu pelan, tertutup isakan perihnya. Baru beberapa hari yang lalu ia
merasakan kebahagiaan itu. merasakan kebahagian memiliki keluarga yang utuh dan
mencintainya sepenuhnya. Ia memang tidak pernah menemukan mata itu terbuka, ia
bahkan tidak tau bagaimana suaranya, namun ia mencintainya, ia mencintai ayahnya
sejak ia melihat cinta indah itu di mata bundanya.
“Terima kasih sayang.” Bisik Anna pelan.
***
Suasana rumah sakit pagi itu terasa begitu hening bagi
Anna, meski ia bisa melihat puluhan orang-orang berlalu lalang di hadapannya.
Namun di benaknya, semua itu tidak lebih dari sebuah gambar pada layar tv hitam
putih yang tidak bersuara. Semuanya begitu sunyi dan mencekam. Ia mengenakan
gamis tercantiknya, ia juga mengenakan sedikit make up yang sebelumnya tidak
pernah tersentuh. Semua orang yang melihat sosoknya akan tercengang karena
beranggapan melihat patung yang biasa di pajang di etalase-etalase toko mahal
menjadi hidup.
Namun wajah itu tampak begitu kosong. Ia berjalan
perlahan di samping Luna dan Aisah. Darmawan berjalan selangkah di hadapan
mereka. Dan setegap apapun langkah pria itu, baik Anna maupun Luna bisa melihat
getaran-getaran di punggung tuanya yang menahan isakan tangisnya.
Akhirnya itu lah saatnya. Ketika akhirnya Anna harus
kembali mengantar suaminya yang tidak pernah membuka matanya itu kembali ke
rumah sakit. Pada akhirnya ia harus kembali mengenakan baju operasi lagi untuk
menemui suaminya di ruang oprasi. Pada akhirnya ia harus menahan isaknya lagi
saat yang sebenarnya ia inginkan adalah menangis kencang di ruangan steril itu.
Anna tidak menghentikan langkahnya ketika melewati
orang-orang yang tengah menunggu Raka di depan ruang operasi itu. Ia terus
melangkahkan kakinya, melewati pintu ganda yang beberapa tahun yang lalu pernah
di lewatinya juga. Ia mengganti sendalnya dengan sandal khusus rumah sakit.
“Anak itu tidak boleh masuk.” Ujar seorang perawat
sambil menunjuk sosok Aisah yang masih sesenggukan di samping Anna. Aisah
meremas tangan Anna ketakutan.
“Ia ingin melihat ayahnya untuk yang terakhir
kalinya.” Ujar Anna begitu dingin, perawat itu melirik dokter yang berdiri di
meja lebar di depan ruang ganti dan mengangguk.
Seorang perawat menyerahkan pakaian steril berwarna
hijau pada Darmawan, Luna, Anna dan Aisah. Anna berlutut di hadapan gadis kecil
itu ketika membantu menggulung tangan bajunya yang terlalu panjang. Sebisa
mungkin ia menghindari kontak mata dengan sosok Aisah di hadapannya, hingga
kedua telapak tangan gadis itu merengkuh wajah bundanya. Matanya yang berwarna
coklat indah menatap mata ibunya. Mencoba mengatakan bahwa bukan hanya ia yang
ketakutan di sini. Tapi gadis kecil itu juga ketakutan. Mereka semua ketakutan.
“Anna…” Luna menyentuh pundak Anna perlahan,
memintanya segera bergerak. Anna mengangguk dan mengikuti kakeknya yang sudah
terlebih dahulu melewati pintu ganda berkaca buram sebagai batas steril di
ruang operasi itu.
Anna meremas kencang tangan kecil di genggamannya,
namun tampaknya sosok itu sama sekali tidak merasa sakit. Karena yang kini
hatinya terasa lebih sakit dari pada kulitnya tersayat-sayat pisau sekalipun.
Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya. Dada dan tenggorokannya
terasa begitu sakit karena menahan tangis.
Setelah Darmawan dan Luna, akhirnya Anna dan Aisah
melangkah mendekati sosok yang terbaring lemah di ranjang kamar operasi untuk
yang terakhir kalinya.
“Assalamu’alaikum kak Alan.” Anna mencium punggung
tangan suaminya, begitu pula Aisah. Dan ketika mulutnya terbuka, bersiap
mengatakan sesuatu, tangisnya pun pecah. Aisah menatap perih ibunya dan
berjalan ke samping wajah Alan, mengecup kening ayahnya dengan penuh kasih.
“Assalamualaikum ayah. Ini Aisah…” ujarnya pelan, ia
terus menggenggam erat gamisnya untuk membantunya menahan genangan air itu.
“Ayah tenang saja. Eyang, nenek dan bunda baik-baik saja. Semuanya baik-baik
saja, jadi ayah tidak perlu khawatir. Aisah akan menjaga semuanya. Aisah
berjanji, jadi ayah tidak perlu cemas.” Aisah menyeka air matanya dengan
punggung tangannya. Kemudian mengecup pipi pria itu. terasa dingin di bibirnya.
“Aisah sayang ayah. Tapi kata bunda Aisah harus mengikhlaskan ayah pergi
ketempat yang jauh. Bunda juga bilang, ayah akan menunggu kami di sana sambil
membuatkan istana untuk kami. Tapi Aisah tidak ingin istana… Aisah hanya ingin
ayah baik-baik saja di sana. Aisah akan mengirimkan doa-doa untuk ayah. Kata
ummi itu adalah kado terindah untuk orang-orang yang akan pergi ke surga…
“Dan Aisah akan terus mengirimkan kado terindah itu
untuk ayah. Aisah harap dengan itu ayah tau bahwa Aisah sangat mencintai ayah…”
Aisah kembali mencium pipi ayahnya lebih lama, kemudian mengusap air matanya
yang menempel di pipi ayahnya dengan ibu jarinya yang mungil. “Aisah sayang
Ayah…”
Anna berhambur memeluk putrinya. Ia menangis penuh
haru di balik pundak gadis itu. “Ayah… kami semua mengikhlaskan kepergian ayah…
Eyang, nenek… aku dan bunda…” bisiknya lebih tenang. Anna mengangguk perlahan,
dan melepaskan pelukannya.
“Iya kak, tenanglah di sana. Kami semua
mengikhlaskanmu. Kami akan baik-baik saja di sini. Kami mencintaimu.” Anna
mencium kening suaminya penuh kasih. “Aku mencintaimu kak. Alan…” bisiknya di
telinga pria itu sebelum membacakan dua kalimat syahadat di telinganya.
“Assalamualaikum kak, selamat tinggal.” Bisik Anna sebelum berlalu dengan
keluarga kecilnya yang kini menunjukan setitik senyuman indah di wajah mereka.
“Kau tidak ingin menemui Raka dulu Ann?” Tanya Luna.
Anna tersenyum dan menggeleng.
“Tidak ibu, aku harus segera pergi. Raka akan
baik-baik saja, lagi pula… sudah ada gadis lain yang mengkhawatirkannya, dan
akan menjaganya. Aku tidak perlu cemas akan sahabatku.” jawab Anna pelan.
Sekali lagi ia menoleh pada sosok kaku di balik pintu
kaca ganda itu, dan tersenyum tipis sebelum berlalu pergi. Tanpa di sadarinya,
setetes air mata tampak mengalir di kedua sisi mata yang sudah dua tahun lebih
itu tidak pernah terbuka.
“Selamat tinggal suamiku, do’aku menyertaimu.”
Bisiknya sebelum keluar dari ruangan operasi itu.
“Anna…” tubuh lunglai Anna langsung
mundur beberapa langkah ketika seorang wanita tua memeluknya dengan begitu erat.
Beribu kali Aminah mengucapkan kata terima kasih dan maaf tanpa kata-kata lain
yang menyertai kedua kata itu. Namun Anna sendiri tidak berharap mendengarkan
kata lain. Toh kini hatinya mulai terasa kebas.
“Mana Zahra?” Tanya Anna susah payah.
“Zahra berada di panti bersama Ummi dan Amy,” jawab
Arya yang berdiri tidak jauh darinya. Anna mengangguk pelan, kemudian
melepaskan pelukan wanita itu.
“Ibu… sudahlah, aku ikhlas. Dan semoga Raka akan
segera sadar. Aku harus segera pulang, ada banyak hal yang harus aku
persiapkan.”
“Tidakkah kau menunggu hingga operasinya selesai?”
Tanya Aminah sambil mengusap air matanya.
Gadis itu menggeleng perlahan. “Tidak bu, aku akan
menunggu jenazah kak Alan di rumah, Assalamu’alaikum.” Air mata Anna kembali
menetes ketika mengucapkan kata-kata itu, Luna merangkul pundaknya, sedangkan
Darmawan memutuskan untuk pulang bersama Alan setelah operasi Raka selesai.
***
Raihan membanting pintu rumahnya dengan kasar. Wajah
tampannya tampak memerah karena marah dan tangis yang tertahan. Dulu ketika
umurnya lima tahun, ketika senyumannya selalu mengembang indah di wajahnya yang
selalu mereka bilang lebih tampan dari Alan, ia pernah masuk dengan wajah
seperti ini juga, sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak dianggap cengeng
oleh bocah-bocah lain yang tengah mengoloknya. Ban sepeda barunya bocor karena
ulah anak-anak kampung itu, dan Raihan kecil tidak berani membalas mereka.
Tubuh mereka terlampau besar, dan mereka berjumlah 4 orang, sedangkan ia hanya
sendiri.
Raihan kecil begitu marah, ia meninggalkan sepedanya
sambil berlari, namun ia tidak menangis, tidak sama sekali karena ia menahan
air mata itu sekuat tenaga. Hingga Alan menghampirinya.
“Ada apa?” Tanya Alan.
“Mereka merusak sepeda baruku.” Ujar Raihan sambil
menggigit bibir bawahnya. Alan mendesis kesal dan melirik kearah gerbang dengan
marah. “Kakak mau kemana?” Tanya Raihan cemas ketika Alan keluar dari rumahnya.
“Mereka berbadan besar dan mereka berempat, kakak pasti kalah.”
“Kau diamlah di rumah. Jangan katakan pada ibu aku
pergi kemana. Aku akan segera kembali.” Jawab Alan sungguh-sungguh. Raihan
mengangguk kecil, matanya menyiratkan ketakutan dan harapan pada sosok Alan.
Raihan menepati janjinya, ia tidak pernah mengatakan
pada siapapun jika Alan berkelahi dengan bocah-bocah itu. Meski tentu saja Luna
sudah mengetahuinya ketika melihat memar-memar di wajah putra sulungnya ketika
ia pulang dengan menuntun sepeda baru adiknya yang sudah diperbaiki. Raihan
bersorak riang dan langsung menaiki sepedanya mengitari halaman rumahnya yang
luas, sejenak melupakan sosok kakaknya yang terluka di beberapa bagian wajah
dan tubuhnya.
Dan selalu begitu, selalu Alan yang menjadi
pelindungnya, selalu Alan yang menjadi kambing hitam dalam setiap kelakuan
buruknya. Bahkan Alan pernah mengakui jika ia lah yang mencuri uang di dompet
ibunya, padahal tentu saja semua orang tau Alan adalah sosok yang sangat
penurut dan tidak pernah melakukan hal buruk seperti itu. Bahkan mungkin sosok
Alan tidak pernah memikirkan hal seperti itu sedikitpun, dan itu membuat Raihan
jengah. Menuntutnya untuk melakukan hal-hal buruk agar bisa menarik perhatian
ibu dan kakeknya. Namun siapapun tau itu tidak berhasil.
Selalu Alan yang menjadi pahlawan, dan ia pencundang, selalu begitu.
“ANNA!!” teriak Raihan, suaranya begitu lantang hingga
rasanya mampu meruntuhkan rumah itu dengan hanya sekali teriakan lagi. Sosok
kecil Aisah mengintip dari balik tangga. “Mana Anna?!” Tanya Raihan pada gadis
itu, namun Aisah hanya terdiam, menatap takut kepadanya.
“Tuan muda, tidak baik berbicara membentak seperti itu
pada anak kecil,” ujar bik Sumi pembantu rumah tangga mereka.
“Ah, persetan! Mana Anna?!” geramnya marah.
“Bibi tidak tau, mungkin ada di kamarnya.” Ujar bik
Sumi seraya melirik pada sosok Aisah dan menyuruhnya pergi dengan gerakan
tangannya. Namun gadis itu tidak bergeming, ia tetap berdiri di sana sambil mencengkram
pembatas tangga. Matanya membulat penuh ketakutan, namun jelas tidak ingin
berpaling. Beberapa orang yang tengah mempersiapkan kedatangan Alan tampak
melirik iba pada sosok Raihan.
“Anna!!!” panggilnya lebih kencang.
“Raihan…” Luna berdiri di depan pintu kamarnya di
lantai satu. Mata tuanya menyiratkan luka yang amat mendalam. “Ada apa? Mengapa
kau mencari Anna? Ibu ada di sini jika kau perlu bicara.”
“Aku tidak perlu bicara pada ibu! Tidak ada gunanya!! Tidak
ada gunanya berbicara pada seorang ibu yang membiarkan anaknya mati!!” pekiknya
kesal. Wajahnya semakin memerah.
“Astagfirullah Raihan…” Luna menutup mulutnya yang
terbuka dengan kedua tangannya. Hatinya begitu perih mendengar perkataan putra
bungsunya itu. “Raihan, ibu—“
“Jangan menyangkal!!! Kalau bukan karena Anna yang
menangis siang malam di sisi kak Alan, ibu pasti sudah membiarkan kakek
menyuruh dokter untuk memberikannya suntikan mati kan?!”
“Raihan!!!” pekik Luna tidak percaya dengan apa yang
ia dengar.
“Kalian semua mengharapkan kak Alan pergi. Kalian semua!!
Bahkan si kakek busuk itu!!!” Raihan menendang salah satu guci porselen yang
terdapat di sisi ruang tamu hingga pecah berantakan. Kemudian dengan masih
menggenggam kemarahan itu ia naik ke lantai atas. Ia sudah muak dengan segala
kisah klise di hadapannya. Ia sudah muak dengan scenario busuk yang di buat
orang-orang sekelilingnya.
Aisah menatap sosok jangkung Raihan sambil mencengkram
mukenanya ketika pemuda itu berjalan tergesa melewatinya. “Bunda sedang shalat,”
bisik Aisah. Namun Raihan tidak peduli, dengan keras di bantingnya pintu kamar
Anna.
Gadis itu duduk di atas sajadahnya, dengan dua tangan
mengadah ke atas, wajahnya yang cantik tersembunyi di balik mukenanya yang
sedikit basah. Samar-samar terdengar tasbih yang tiada putusnya ia lafalkan. Begitu
pelan, begitu lembut, dan menyayat hati. Ketika mendengar pintu kamarnya di
buka dengan sangat keras, ia menoleh perlahan. Matanya yang indah tampak basah.
“Apa jenazah suamiku sudah datang?” tanyanya pelan.
Bruk.
Raihan menjatuhkan tubuhnya di ambang pintu, duduk
berlutut, kehilangan seluruh kekuatannya. Dengan perlahan ia menunduk,
membiarkan tetesan air matanya mengalir. “Mengapa selalu ia yang menjadi
pahlawan di setiap kesalahanku? Mengapa selalu dia?! Dia tidak bersalah. Aku yang
bersalah, aku yang bersalah. Namun kenapa dia yang berkorban. Kenapa dia yang
memilih mati?!”
Anna menatap adik iparnya penuh kesedihan, namun yang
ia khawatirkan adalah sosok Aisah yang tampak terguncang di belakang pemuda
itu. “Harusnya aku yang bertanggung jawab atas semua kesalahanku. Harusnya aku!
Harusnya aku yang di rumah sakit, bukan kak Alan. Tapi kenapa lagi-lagi dia?!”
“Karena Alan tau… ibu tidak akan pernah bisa
kehilanganmu.” Bisik Luna pelan. “Alan tau betapa besarnya cinta ibu untukmu,
hingga ia selalu ingin melindungimu, ia ingin selalu membahagiaakan ibu dengan
menjagamu, meski itu artinya dia akan mempertaruhkan dirinya sendiri…”
“Ibu tidak pernah mencintaiku! Ibu selalu mengatakan
kalau ibu mencintai satu-satunya putra ibu, dan itu kak Alan!”
“Alan bukan putra kandung ibu, kaulah satu-satunya
putra ibu.” Raihan terpaku menatap sosok ibunya. “Tapi ibu tidak pernah tau
bagaimana caranya untuk menjelaskan semua itu padamu. Ibu mencintai kalian
berdua. Kalian adalah harta ibu yang paling berharga, kalian adalah semesta
dalam kehidupan ibu. Ibu sangat menyayangi kalian, ibu mencintaimu. Tapi kau
selalu menghindar, kau selalu menutup mata akan kenyataan itu, kau selalu
beranggapan jika Alan adalah segalanya, padahal kau salah. Kau dan Alan adalah
satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Dan demi Allah putraku, ibu tidak
pernah menginginkan kepergian Alan. Ibu juga mencintainya… ibu sangat
mencintainya, namun ketika Allah ingin mengambil lagi apa yang telah Dia
titipkan pada kita makhluknya, apa yang bisa kita lakukan lagi selain
mengikhlaskannya?
“Raihan… hidup dan kematian seseorang itu sepenuhnya
ada di tangan Allah. Bagaimanapun caranya, kapanpun… dan bahkan di manapun,
semuanya sudah digariskan. Kita hanya makhlukNya yang buta, yang bisa saja
diambil kembali oleh-Nya sewaktu-waktu. Yang bisa kita lakukan hanya bertawakal
dan berserah diri, melakukan kebaikan selagi kita sempat, menyiapkan bekal
hingga akhirnya waktu kita tiba…
“Begitu pula dengan Alan. Ibu juga merasakan kepedihan
yang sama dengan kalian semua, tapi apa lagi yang bisa ibu lakukan? Apa nak? Ibu
hanya bisa mendoakan putra ibu, hanya itu yang bisa dilakukan seorang ibu.”
Luna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya ketika tangis itu pecah. Hatinya
begitu perih. Ia mencintai Alan, namun ia tidak bisa melakukan apapun untuk
mempertahankan putranya ketika sang pencipta memutuskan untuk mengambilnya
kembali.
“Ibu… maafkan aku…” bisik Raihan seraya memeluk
ibunya.
11 komentar:
zia kau bwtq galau
Wah cerita yang sangat bagus dan mengharukan...thanks Gan...
cup cup mba shima,
*sstt entah mengapa pas nulis bab ini aku pun sampai menitikan air mata.. serasa ga terima. wkwkwkw
makassi om (eh apa mba yah.. hehe)
:) :)
cher tanggung jawab! Aq nangis tengah mlem T.T
Hiks hiks.. Alan mati??? G' ikhlas... :'(
aduh sedih lagi, nangis lagi Kasihan Alan Mksh Cherry :-)
aku ngga tau awalnya huhu dulu antara Anna Alan Raka .
sebenarnya Anna cintanya sama Raka apa Alan ?
apa duaduanya ?
Ziaaaaaaaaa...kw m'buatku menangis dikantor,,,
Tanggung Tanya !
Lanjutanny pliiis Ziaaaa....
Zia cantik,,,,
º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º Ɣª sayang....
Msh boleh berharap ƍäªk kl Alan hidup?
Biar aja Raka y∂n6 mati. Zahra nikah sama Raihan. Cos kaya'a Raihan suka ma Zahra #sotoy....
Kata2'a indah sayang,,, jd mau bs bikin crta kaya Zia...
Once again keep writting cantik...
Slm kenal cherry... Cerita Πγª bagus ngt dn sedih smpe nangis dsiang bolong..
@cherry; yg baca aja nangis, apalagi yg nulis
setelah bab ini ngeliat kesedihan raihan jadi berpikir gmn kalo anna sm raihan aja *emosi udh diaduk2 niy jadi berubah pikiran deh hehe...
Posting Komentar