Dunia akan selalu berputar, Anna meyakini hal itu. Ia
sudah mempelajarinya sejak duduk di sekolah dasar dari setiap orang yang
ditemuinya, bersabar dan bertawakal, niscaya Allah memberikan jalan. Bertahun-tahun
lamanya ia meyakini hal itu, dan saat ini, ketika rasanya semua kisah itu
terlalu perih untuk dijalaninya Anna merasakan mendapat sebuah cahaya lain di
tengah keterpurukannya.
Sosok kecil itu, sosok Aisah yang tengah tidur di atas
ranjang kecilnya, membuat hati Anna kembali mendesir. Ia tidak lagi sendiri, ia
memang tidak tau apakah Alan akan sadar kembali atau tidak. Tapi ia tidak
sendiri lagi, ada seorang gadis kecil yang berada di bawah tanggung jawabnya,
gadis kecil yang begitu disayanginya.
Anna berjalan perlahan menuju ranjang Aisah yang
berbalut seprai berwarna pink dengan motif bunga berwarna-warni, kemudian ia
merebahkan tubuhnya sendiri di samping Aisah, mendekapnya erat-erat, menangis
terisak di balik rambut hitamnya, menghujani kening gadis itu dengan air
matanya.
“Sayang… kakak akan menjagamu, apapun yang terjadi.”
Bisik Anna di telinga Aisah sebelum terlelap dalam kelelahannya.
***
Hujan itu turun dengan sangat deras, dengan petir yang
saling bersahut-sahutan membuat malam semakin mencekam. Seorang gadis
berkerudung abu-abu muda tampak berdiri sendiri di samping jendela kamarnya di
lantai dua. Matanya terfokus menatap jalanan yang gelap dan basah, kedua
tangannya terlipat di dadanya, tidak ada setetes air mata pun yang mengalir di
wajahnya, begitu datar dan dingin. Tubuhnya yang kaku menghadap lurus pada
lemarinya yang terbuka, menampakan kebaya cantik yang membisu dalam keheningan
malam. Tidak ada suara lain yang terdengar kecuali suara hujan, petir dan
detakan jarum jam yang menunjukan kesunyian di sekitar sosok cantik itu.
Mata indahnya sedikit menyipit ketika melihat sebuah
mobil bergerak masuk ke pekarangan panti. Ia tidak mengenali mobil itu, namun
sekilas ia bisa melihat sosok tampan yang duduk di balik kemudinya. Dengan
kemeja krem dan rambut hitam yang berantakan, kedua tangannya mencengkram
kemudi, matanya terpaku pada setir di hadapannya. Tampak begitu sibuk dengan
segala pemikirannya.
Zahra mulai merasa perutnya melilit karena perasaan
bahagianya. Raka kembali! Dan Raka kembali untuknya! Untuknya seorang!!
Dengan cepat Zahra berlari menuruni tangga, mencoba
mengejar semua mimpi yang ada di hadapannya, mencoba meraih cintanya. Namun
lagi-lagi ia terlambat, lima detik sebelum ia membuka pintu ganda gedung tua
itu, mobil yang dikendarai Raka sudah melaju dengan sangat cepat. Meninggalkan
Zahra yang mematung di ambang pintu dengan tatapan tidak percaya. Tangannya
masih menggenggam handle pintu, kerudung abu-abunya masih berkibar karena udara
malam yang di sertai hujan itu, bahkan dadanya masih terasa sesak karena
berlari. Namun ia tetap saja terlambat. Atau mungkin ia memang tidak pernah
memiliki kesempatan itu? Kesempatan untuk mendapatkan cinta yang mereka katakan
indah itu?
***
“Bunda…”
Anna mengernyitkan keningnya ketika merasakan sentuhan
lembut di pipinya. Dengan perlahan ia membuka kedua matanya, dan mendapati
senyuman indah dari wajah polos di hadapannya. Anna tersenyum lembut dan
mengecup kening gadis itu.
“Bolehkah aku memanggil kak Anna dengan sebutan itu?”
tanyanya lugu. Anna melepaskan dekapannya sedikit agar bisa menatap kedua mata
jernih milik Aisah.
“Tentu sayang, tentu saja…” bisiknya lembut penuh
kasih, kemudian kembali mendekap sosok mungil di hadapannya. “Ayo kita shalat
subuh, lalu nanti kita akan menjenguk ayah.” Ujar Anna dengan senyuman
mengembang. Aisah tersenyum tipis dan mengangguk, betapa indahnya senyuman itu,
tampak sangat berbeda dengan air mata yang mengalir ketika sosok cantik itu
memejamkan matanya.
***
“Kau tidak bisa melakukan itu!”
“Melakukan apa ibu?”
“Menyakiti Zahra.”
Lalu hening cukup lama.
Raka yang tengah membereskan berkas-berkasnya di ruang
tamu langsung tertegun. Ia meletakan kembali lembaran terakhir yang ia pegang
ke atas meja, membiarkannya membaur dengan kertas-kertas polos lainnya. Kemudian
menyandarkan tubuhnya ke sofa, memejamkan matanya dan memijit pangkal
hidungnya. Mencoba menenangkan kerutan di antara kedua matanya.
“Ibu, aku tidak bermaksud—“
“Tapi kau sangat melukainya. Zahra mencintaimu Raka,
ia sangat mencintaimu, tidakkah kau melihat itu? Tidak kah kau menyadarinya?
Bagaimana mungkin kau tega melukainya. Ia sangat rentan jatuh Raka.”
“Ibu—“
“Kau harus memutuskannya Raka. Ibu sudah tau tentang
kehidupan Anna. Ibu sudah tau semuanya dari Amy, dan sejujurnya ibu pun merasa
kasihan kepadanya. Tapi kau sudah mengkhitbah Zahra. Kalian akan segera menikah
sebulan lagi. Tidakkah kau mengerti?
“Aku—“
“Ibu tidak pernah mengharapkan kau menjadi anak yang
sempurna Raka. Ibu menyayangimu dengan sepenuh hati ibu. Ibu hanya ingin yang
terbaik untukmu. Hidup ini selalu memiliki pilihan, kau pun tentu mengerti hal
itu. Dan terkadang pilihan yang diberikan tidaklah selalu sesuai dengan hati
kita. Tapi itu jalannya Raka. Tidak selalu ada cahaya di hadapanmu, terkadang
kau harus berusaha terbangun dari mimpi indahmu, meninggalkan seluruh imajinasi
semumu, dan akhirnya menemukan cahaya indah yang sebenarnya.”
“Aku mengerti ibu,” ujar Raka pelan, wajahnya masih
tertunduk menatap huruf-huruf yang tertulis di lembaran putih di hadapannya.
***
Aisah mencium punggung tangan pria
yang masih terbujur lemah itu dengan perlahan. Ia tidak mengenalnya, belum,
namun hatinya terasa begitu pedih ketika melihat tatapan sendu Anna yang kini
duduk di samping ranjangnya.
“Assalamua’alaikum papa…” bisiknya pelan. Segores senyuman
manis terukir di wajahnya yang mungil. Luna yang berdiri di belakang Anna
tampak terhanyut oleh pemandangan itu. Kini ia baru menyadari betapa semunya
kehidupan mereka di rumah itu, betapa kelamnya. Dan kehadiran sosok mungil
Aisah seakan menjadi lentera untuk mereka semua.
Anna tersenyum tipis pada putri kecilnya, mata
indahnya tampak basah oleh air mata haru, dengan perlahan ia melirik sosok
mertuanya yang juga turut tersenyum menatap sosok Aisah.
“Ayah, hari ini Aisah dan bunda memetik beberapa bunga
mawar. Ayah pasti suka, warnanya putih dan pink. Aisah tidak pernah memetik
bunga itu sebelumnya, di panti semua bunga dibiarkan melayu sendiri di
pohonnya. Tapi di sini begitu banyak bunga yang indah. Aisah juga suka bunga
yang berwarna ungu dari kebun nenek, semuanya harum.” Tutur Aisah sambil terus
tersenyum. Air mata Luna perlahan menetes ketika mendengar kisah dari mulut
mungil gadis itu. Direngkuhnya wajah Aisah secara tiba-tiba, membuat gadis
kecil itu langsung menghentikan ceritanya dan menatap Luna penuh Tanya.
“Apa Aisah tidak boleh memetik bunga itu nek?”
tanyanya takut.
“Tidak sayang. Kau boleh memetiknya sesukamu. Kau boleh
melakukan apapun yang kau inginkan. Semua itu milikmu.” Ujarnya dengan senyuman
dan air mata di saat yang sama. Wajah mungil Aisah kembali tersenyum, hilang
sudah kerutan ketakutan yang sempat terukir di wajahnya.
“Kalau begitu Aisah akan memetikan beberapa bunga lagi
untuk ayah.” Katanya riang sambil turun dari ranjang Alan. Tangan kecilnya
merapihkan gamis putih yang sedikit kusut di bagian pahanya.
“Boleh eyang ikut denganmu?” Tanya Darmawan yang
tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar putranya. “Eyang bisa membantumu
membersihkan duri-duri mawarnya, kalau tidak keberatan.” Tambah Darmawan
sedikit kikuk. Anna menatap sedih lelaki tua itu. baru kali ini ia melihat
sosoknya yang tegas tampak lebih hidup. Mata tuanya tampak berbinar indah.
“Hm, sebenarnya Aisah tidak ingin memetik mawar,” ujar
Aisah sambil mengangkat bahu kecilnya. “Aisah ingin memetik bunga lily,”
tambahnya membuat sosok tua Darmawan tersenyum tipis dan mengangguk. “Tapi
kalau eyang mau, eyang bisa membantu Aisah membawanya.” Ujar Aisah dengan
senyuman yang mampu membius siapapun yang melihatnya untuk turut tersenyum.
“Eyang mau.” Ujar Darmawan cepat.
“Kalau begitu ayo! Siang nanti Aisah masih memiliki
banyak janji,” ia meraih jemari tua Darmawan dengan penuh sayang.
“Janji?” Tanya Darmawan geli.
“Iya, Aisah akan menemui Anisa dip anti. Iya kan bun?”
wajah kecilnya kembali menoleh pada Anna yang langsung menangguk sambil
tersenyum.
“Iya sayang…” jawabnya lembut.
Kemudian dengan senyum yang masih mengembang Aisah
menarik tangan tua Darmawan keluar kamar yang bernuansa biru itu. Ia berjalan
satu langkah di hadapan Darmawan, sebisa mungkin menyembunyikan air mata yang
perlahan menetes dari mata indahnya.
***
“Aisah!!!” teriak Anisa ketika melihat sosok gadis
kecil bergamis putih itu berlari-lari kecil di pekarangan panti. Hari itu
adalah hari jum’at, waktunya seluruh sahabat panti libur sekolah dan melakukan
kerja bakti bersama untuk membersihkan panti. Ummi Aisah yang tengah menyapu
halaman dengan beberapa gadis lain langsung menoleh dan tersenyum pada Anna
yang berjalan di belakang sosok mungil Aisah.
“Assalamua’alaikum Ummi, mana Amy dan Arya?” Tanya Anna
sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling panti.
“Walaikum salam Anna. Arya sedang mengantarkan Amy ke
kampus. Ada yang harus diselesaikan lagi.” Jawab ummi seraya meletakan sapunya
di samping pohon belimbing yang cukup besar. “Bagaimana kabar suamimu?”
Anna tersenyum tipis kemudian menatap sosok Aisah yang
tampak tengah berbincang seru dengan sahabatnya. “Apa Anisa benar-benar tidak
bisa pergi dari sini Ummi?” tanyanya pelan.
“Ibunya berjanji akan kembali mengambil Anisa di
usianya yang ke sepuluh.” Jawab Ummi seraya turut menatap kedua gadis itu. Anna
menghela nafas perlahan dan mengangguk.
“Kak Alan masih baik-baik saja Ummi, tapi saat ini aku
tidak lagi memikirkan tentang hal itu. Bukan berarti aku tidak lagi memikirkan
suamiku, bukan seperti itu. Hanya saja, sekarang aku memiliki Aisah yang harus
ku jaga baik-baik. Aku berencana membawanya pergi ke Kairo. Aku ingin
meneruskan studiku, dan aku tidak ingin meninggalkannya sendiri.”
Ummi tersenyum tipis penuh pengertian. “Ummi mengerti
Anna.” Bisiknya begitu lembut dan keibuan.
“Tapi mungkin Aisah akan sangat sedih jika harus berpisah
dengan sahabatnya.” Pandangan Anna kembali menerawang jauh.
“Anna…”
Anna menolehkan kepalanya ketika mendengar panggilan
itu. Matanya menyipit dengan pandangan tidak percaya. Namun dengan perlahan senyumannya
mulai mengembang. “Ibu…” bisiknya pelan seraya berlari memeluk sosok tua Aminah
yang datang bersama putranya.
Aminah mencium puncak kepala gadis itu berkali-kali,
memeluk erat tubuhnya dan menangis di balik pundaknya, membuat sepasang mata
lain tampak basah penuh air mata kecewa.
Anna duduk di samping Aminah, dengan kedua tangan
wanita tua itu terus menggenggam tangannya. Mereka tidak lagi berkata-kata,
hanya saling memandang, menumpahkan seluruh kerinduannya selama ini. Raka duduk
tidak jauh dari tempat duduk Anna dengan ibunya. Berkali-kali ia memalingkan
wajahnya dengan perih, merasa hatinya mulai kembali luluh melihat pemandangan
itu. Di hadapannya, sosok Zahra tampak tegang dengan mata yang sedikit sembab.
“Maaf, mungkin sebaiknya aku pergi.” Ujar Anna.
“Tidak sayang, tidak. Kau tidak harus pergi. Ini juga
tentangmu.” Ujar Aminah. Baik Raka, Zahra maupun Anna sendiri langsung
menatapnya penuh Tanya. Ummi yang sedari tadi hanya terdiam ikut menghela nafas
panjang.
“Ibu…” tegur Raka pelan.
“Raka, ibu sudah memutuskan. Kalau nak Zahra tidak
keberatan ibu ingin Raka menikahi Anna juga.” Ujarnya.
Deg…
Mata indah Zahra langsung terbelalak. Kedua tangannya
jatuh begitu saja di sisi tubuhnya, mulutnya ternyanga lebar dengan pandangan
yang menyiratkan ketidak percayaannya.
“Ibu!” Raka menatap ibunya tak berkedip.
“Maafkan ibu,” bisiknya pada putranya sambil meremas
jemari Anna yang membeku di sampingnya.
Dengan perlahan Zahra menyandarkan punggungnya yang
tegang ke sandaran sofa. Ia memalingkan wajahnya ketika tetesan air mata itu
mengalir di pipinya. Hatinya hancur berkeping, penuh kekecewaan dan luka. Ia menggeleng-geleng
perlahan sambil meremas rok panjangnya. Ia sudah memperkirakan kemungkinan ini
akan terjadi, ia hanya kurang menyiapkan dirinya sendiri ketika akhirnya jatuh
terhantam pada kepahitan itu.
Aku tau…. Aku tau akan seperti ini jadinya, aku hanya
merasa belum bisa menahan sakitnya.
Ya Allah… mereka bilang kau penguasa segala hati di
dunia ini, ku mohon, ku mohon… butakan lah hatiku untuk kali ini saja, karena
rasanya aku sudah tidak bisa menahan luka itu. ku mohon…
6 komentar:
Sdih bgt..:'(
Ksian..
Jgn dong..:'(
Anna sma alan aj
Raka n zahra..:'(
Mbak.. Ak mnta ijin bwt ambil kata2 yg "if u r not the one" boleh?
Bwt iseng2 ak truh d blog..:D
Kata2ny pas bgt sma prasaanku.. Hiks..:'(
wahh... mba lagi galau yah... hehehehe
if u are not the one... hm.. aku lupa deh yg mana, hihihihi atau yg lagu itu yah,
silakan mba, ambil aja yang di suka... :) *serasa jualan, hehehehehe
@mbak cherry : mksih..:D.. Iya nih.. Lgi galau bgt..:p
ziaaaaa,,,,kasian Zahra,,,
Hmm,,tapi smuanya t'gantung Authorny sih,,,
Hehhheheee
Zia sayang º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º Ɣª CC nya dh di post ampe 3, aku belom baca, baru sempet baca...
Good story dear,,,
Rangkaian indah dr kata2,,
Keep writing Ɣª cantik....
Posting Komentar