Aku
membanting piring yang tengah ku cuci dengan kesal, kemudian membalikan
tubuhku, bersidekap dengan wajah super cemberut, tidak peduli pada tetesan air
dan busa di tanganku.
“Loh,
kenapa nggak diterusin cuci piringnya Tiara?” Tanya ibuku. Aku memutar bola
mataku padanya, dan mendengus.
“Ibu,
aku belum selesai cuci piring sudah suruh sapu halaman, jemur pakaian, terus
apa lagi? Kenapa aku terus yang di suruh-suruh? Itu kak Rangga dari tadi
bengong nggak disuruh!” pekikku kesal. Ibu menatapku dengan kerutan di dahinya,
seakan tidka mengerti bahwa baru saja putrinya marah-marah.
“Sudah
sana, lanjutkan cuci piringmu, masa ditinggal seperti itu! Lalu kalau sudah
menjemur pakaiannya, kamu antarkan pesanan bu Maya yah, sepedanya sudah di keluarkan,”
“Ibu!!!!”
geramku sambil membelakakan mataku lebar-lebar. Bagaimana mungkin ibu tidak
menyadari bahwa baru saja aku marah-marah kepadanya. Ya Tuhan…
Aku
tidak mendramatisir keadan, tapi ibu memang sangat teramat kejam padaku. Ia selalu
menyuruhku melakukan ini-itu-itu-ini. Semuanya! Dan membiarkan kak Rangga
bersantai-santai dengan buku-bukunya. Apa jangan-jangan aku ini anak tiri?!
Bruk!
Karena
terus melamun, tanpa sengaja aku menabrakan sepedaku ke mobil di hadapanku. Aku
meringis ngeri. Aku tidak terluka, bahkan terjatuh pun tidak. Tapi bagian depan
sepedaku sudah menggores bagian belakang mobil putih cantik itu. Ya Tuhan… coba
ibu mengizinkan aku mengendarai motor!!!! Pasti aku tidak akan sampai melamun
seperti ini! Makiku dalam hati.
Dan
tentu saja, semuanya tampak begitu berantakan setelah itu, berantakan dan kacau
hingga aku enggan untuk mengingatnya.
Sampai
hari ini…
“Melamun
lagi?” aku tersentak dan menoleh, tersenyum malu-malu pada sosok tampan yang
kini merangkul bahuku penuh kasih.
“Itu…”
ujarku sambil menunjuk goresan cukup panjang di bagian belakang mobil putih
yang cantik.
“Ah…”
ia mendesah dan menyapukan jemarinya ke rambutnya. “Itu adalah tanda perkenalan
kita.” Ujarnya sambil tersenyum. “Aku senang hari itu kau mengunakan sepeda,
bukan motor.” Ujarnya lagi. Aku mencibir sarkastis.
“Tentu
saja! Karena kalau aku menggunakan motor dan menabrakmu, maka mobil ini akan
langsung masuk bengkel!” tuturku. Ia tertawa dan mempererat rangkulannya.
“Bukan
sayang, kalau kau mengendarai motor, kau mungkin tidak akan menghabiskan waktumu
untuk melamun bodoh seperti itu, dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu.” Ujarnya
dengan tatapan penuh kasih. Aku merona dan tersenyum.
Ya…
hal kecil itu memang terasa indah saat ini. Aku masih ingat bagaimana ibu
selalu ‘membully’ku dengan semua pekerjaan rumah itu. Siapa yang tau jika ibu
sedang mempersiapkanku untuk menjadi wanita yang mudah di cintai, istri yang
sempurna, dan ibu yang baik.
Ah
ibu… terima kasih, andai aku menyadari maksudmu, tentu aku akan dengan senang
hati mempelajari semua hal kecil yang kau ajarkan padaku selama ini. J
0 komentar:
Posting Komentar