“Biarkan
aku mati Tuhan! Biarkan aku mati!!!” teriakku menantang maut, hembusan angin
petang itu sangat kencang hingga terkadang aku berpikiran bisa saja angin-angin
tak bernyawa itu menerbangkanku, menghempaskan tubuhku hingga ke awan, kemudian
menjatuhkanku tepat di atas bebatuan runcing.
Itu
akan mempermudah semuanya, aku tidak akan merasakan semua rasa sakit itu. Well,
mungkin aku akan merasakannya, namun tidak akan lama. Batu runcing itu akan
menghantam bagian belakang tubuhku, dan kepalaku. Memecahkannya dalam sekali
benturan, mengoyak seluruh serabut syaraf dalam kepalaku, mematahkan tulang
belulangku. Dan semuanya hanya akan terjadi dalam waktu sekejap.
Atau tidak?
Tapi
bagiku sakit itu tidak lah menjadi hal yang terlalu penting lagi. Sakit dalam
hatiku sudah membuat tubuhku mati rasa untuk menerima rasa sakit yang lain. Jadi,
peduli setan dengan seluruh kesakitan sebelum kematian itu!
Klise
memang, atau kau bisa menyebutku sebagai gadis yang terlampau berlebihan. Tapi kau
juga akan merasakannya nanti, ketika kau jatuh cinta untuk yang pertama
kalinya, pada sosok yang langsung memegang predikat istimewa di hatimu, pada
sosok yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh beribu pangeran tampan
berkuda putih lainnya.
Ia
bukan seorang pangeran, ia tidak membawa kuda putih, tidak ada kelopak mawar
indah yang bertebaran di sekeliling kami ketika pertama kali kami bertemu. Kala
itu hujan, dan ia tampak lusuh dengan wajah kesalnya karena hujan yang mengenai
beberapa bagian pakaiannya. Ia tampak sibuk dengan upaya ‘pengeringan’ nya yang
tentu saja tidak berguna. Namun, aku jatuh cinta padanya, pada pria jangkung
berkemeja abu-abu itu.
Semudah
itu.
Tapi
jika kenyataannya cintaku hanya akan menyakitinya, aku menyerah. Dia tidak
menyukaiku, aku tau. Dia membenciku, aku tau. Tapi aku yang mencintainya, itu
yang tidak pernah ia tau.
Kini,
ketika akhirnya aku menyerah untuk menghilangkan rasa cintaku padanya, yang
sudah terlampau tumbuh berakar dalam diriku. Ku rasa hanya ada satu jalan,
membunuh diriku sendiri. Memusnahkan seluruh rasa itu dari bagian terdasarnya…
tubuhku… lalu jiwaku… dan rasa cinta itu pun akan memudar begitu saja…
“Tuhan…
biarkan aku mati!!! Biarkan aku mati!!!!!!” teriakku pada langit. Namun bukannya
menjawab do’aku, Tuhan malah menurunkan hujan yang sangat lebat. Sontak aku
langsung berlari menghindar sambil mengeong.
Astaga… apa Tuhan lupa kalau
kucing tidak suka hujan? Batinku
menggerutu, namun Tuhan tidak pernah lupa. Inikah jawabannya atas doaku??
“Apakah
kau lupa jika dia alergi kucing?” Tanya seekor kucing di belakangku. Aku memalingkan
wajahku darinya, berharap semudah itu juga memalingkan wajahku dari kenyataan
itu. dan lalu mati seketika.
5 komentar:
aih.. Awal't udh sedi2 T.T
Ending'y bkin ngakak :D
hahahah bgus cher..!
Sila ( '⌣')人('⌣' )
Pdhl dh berkali2 baca tetep aja ngakak baca ini...
Sila ( '⌣')人('⌣' )
Pdhl dh berkali2 baca tetep aja ngakak baca ini...
hahahahaaaa...lagi-lagi ketipu sm kucingnya cherry!
Posting Komentar