Rabu, 05 Maret 2014

RAINY TEARS 3


“Aku tidak bisa meninggalkannya.” Gumamku ditengah-tengah tiupan lembut angin petang hari itu. Minggu kedua di bulan Desember yang berhujan. Langit di hadapan kami masih tampak gelap tertutup awan mendung. Baru saja setengah jam yang lalu hujan berhenti menyerbu bumi, namun sepertinya sekarang langit sudah siap memuntahkannya lagi. Seakan tidak pernah puas.

Untuk beberapa saat tidak ada jawaban apapun dari gadis di sampingku. Mungkin dia marah, dan aku tidak bisa menyalahkannya jika dia sampai tidak ingin lagi berbicara padaku. Mungkin cukup sampai di sini perjalanan berliku cinta itu.

Aku tidak pernah mendapatkan gelar playboy dimanapun. Di SMA aku lebih pendiam, bergemul dengan berbagai organisasi, dan mencintai basket dan musik sepenuhnya, tidak ada waktu sedikitpun untuk memikirkan masalah wanita yang bertele-tele dengan sejuta dramanya. Masa kuliah? Tidak berubah terlalu banyak. Aku lebih senang berada di jalanan, berdemo dengan komunitas kemanusiaan alih-alih duduk mengencani gadis-gadis kampus yang mati-matian berusaha tampil cantik di balik make up tebal mereka. Bagiku itu menjijikan, seakan kepala mereka hanya dipenuhi oleh tumpukan kosmetik dan cowok yang mereka sukai.

Menjelang kelulusan dari universitas, akhirnya untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tau apa yang mereka sebut dengan cinta, atau kurang lebih seperti itu.

Hari itu, minggu terakhir di bulan desember, rintik-rintik hujan jatuh tepat menjelang malam pergantian tahun baru. Sebagai seorang senior di komunitas seni yang ku ikuti setengah hati, aku terpaksa hadir dalam acara pentas seni yang diadakan di kampus untuk mengisi malam pergantian tahun baru yang basah. Aku memang menyukai musik, tapi belakangan ini aku terlalu risih dengan teriakan-teriakan gadis-gadis yang tampak gila itu ketika aku berdiri di atas panggung dengan mikrofon dan gitarku. Jadi aku memutuskan untuk berhenti, lagi pula aku harus memberikan kesempatan untuk bintang yang baru, dan mulai memfokuskan diriku pada tugas akhir skripsi yang sudah tertunda setengah tahun dari jadwal yang ku targetkan.

Pukul 14.30, tahun 2009. Jika mereka mengatakan cinta itu dari mata turun ke hati, maka itu tidak berlaku padaku. Karena bagiku, cinta itu menghampiri telingaku terlebih dahulu baru mengetuk mata dan hatiku.

Suasana bising orang-orang yang tengah mempersiapkan pentas malam itu membuatku jengah. Terlebih hujan di luar sana belum juga mereda sejak satu jam yang lalu. Untungnya panitia mengusulkan untuk mengadakan acara itu di dalam aula utama, jadi penonton yang hadir tidak perlu membawa payung kalau-kalau hujan tidak berhenti sampai malam tiba. Sambil memasukan tanganku ke dalam saku jeans, aku berdiri dari kursiku yang terletak di pojok aula, dekat sound system yang sudah terpasang sempurna. Beberapa juniorku memasangkan kain hitam yang menutupi seluruh dinding aula sebagai latar, lalu menambahkan kain-kain berwarna lebih mencolok bergambarkan graffiti-grafiti kreasi mereka. Aula itu cukup besar, mampu menampung 800 orang jika duduk lesehan di lantai.

“Gue cabut dulu,” kataku pada Hendra, salah satu teman seperjuanganku di komunitas itu. Hendra yang tengah menyeting gitarnya menoleh kepadaku.

“Lo nggak mau liat anak-anak cek sound dulu?” tanyanya. Aku melirik ke atas panggung di dalam aula dengan malas.

“Ntar sore aja. Males gue. Lagian yang tampil masih dia-dia juga kan?” cibirku sarkastis. Hendra menghela nafas panjang. Namun tidak berkomentar.

“Jangan salah bung An, sekarang kita punya bintang baru.” Tiba-tiba saja Dimas merangkul bahuku. Ia menyeringai lebar penuh antusias. “Garapan si bung Hendra tuh,” ujarnya sambil menunjuk Hendra dengan tatapannnya. “Lo nggak cerita Hen?”

“Percuma aja cerita,” gumam Hendra sebagai jawaban. “Sekarang kan tuh bocah udah sibuk sama kerjaannya.” Tambahnya seakan-akan aku tidak berada di sana. Aku tertawa pelan, lalu dengan asal mendorong bahunya.

“Ya udah lah gue cabut dulu. Kalau sore nggak datang, berarti gue datang malem.”

“Sial. Nggak adil banget bung Hen, masa lo biarin si kunyuk pergi sih?!” gerutu Dimas ketika Hendra tidak mencegahku berjalan keluar aula. Aku hanya melambaikan tanganku tanpa menoleh lagi. mengabaikan kekesalan Dimas yang terus memanggilku untuk kembali.

Tapi baru saja satu langkah aku melewati pintu ganda aula kampusku yang megah, jantungku langsung berhenti berdetak ketika mendengar suara dari speaker yang juga sudah terpasang sempurna di setiap sudut strategis. Suara itu mengalun merdu, begitu lembut dan menyejukan. Dan entah bagaimana, aku merasa suara itu sangat harum. Seakan aku bisa bernafas dengan oksigen dari alunan lembut suaranya.

Aku berbalik. Dan meski Hendra tidak menoleh sama sekali kepadaku, masih terfokus pada gitarnya, aku tetap bisa melihat sebuah senyuman khas terukir di wajahnya. Seakan dia sudah tau dengan apa yang akan terjadi. Lalu sekarang tersenyum penuh kebanggaan pada dirinya sendiri.

Gadis itu mengenakan gaun selutut berwarna ungu muda, dengan jaket atau apapun nama sejenisnya yang berbahan lebih lembut, berwarna pink pudar. Rambutnya hitam sedikit kecoklatan, bergelombang, dan panjang, dijepit seadanya di kedua sisinya, membuat anting-anting giwang berbentuk hati terlihat samar-samar di telinganya. Kulitnya tidak seputih orang-orang keturunan cina, bahkan hampir berwarna coklat muda, tapi begitu halus. Ia memejamkan matanya ketika bibirnya bergerak di depan mikrofon. Sedang jemarinya dengan anggun menari di atas nuts hitam putih piano yang ada di hadapannya.

Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, dan suaranya yang sudah membuat jiwaku jatuh sedemikian dalamnya ke kubah cinta.

Berdiri diambang pintu, aku melipat kedua tanganku ke dada, sedikit bersandar, dan tersenyum pada apa yang ku lihat di atas panggung. Akhirnya di sepanjang hari itu, aku tidak pernah sekalipun melangkahkan kakiku dari aula, tidak pernah selama aku bisa melihat sosok cantik nan anggun itu tetap berada di sana. Melakukan tes vocal, dan menerima beberapa pengarahan dari seniornya, Hendrawan Firman.

***

“Gimana menurut lo?” kami tengah duduk berdua ketika jam tanganku menunjukan pukul 7 malam. Beberapa juniorku masih sibuk dengan persiapan-persiapan akhir-menyulap aula itu. sedangkan yang lainnya tengah beristirahat dan mempersiapkan diri mereka untuk penampilan nanti malam. Acaranya dimulai satu jam lagi, namun aku bisa melihat lapangan kampus sudah mulai dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang siap menonton acara malam itu.

Aku menyesap kopi yang dibuatkan juniorku dengan perlahan. Mengabaikan hawa panas yang terlihat dari kepulan asapnya. Kami duduk tepat di bagian belakang aula, menatap lurus kearah panggung. “Soal apa?” tanyaku berpura-pura tak acuh.

“Yang tadi sore.” Jawab Hendra, ikut menyesap kopinya juga.

Seorang gadis bertubuh langsing menyelinap melewati pintu aula ketika aku menatap kesekeliling aula itu. Ia tersenyum, tersipu malu-malu ketika menyadari aku tidak sengaja menatap kearahnya. Tapi aku langsung memalingkan wajahku lagi, jengah melihat usahanya untuk menarik perhatianku pada tubuhnya dengan membusungkan dadanya yang hanya terbalut kaos putih berbelahan rendah. “Lumayan.” Jawabku asal.

Hendra menyunggingkan senyum tipis lalu mengangguk-ngangguk. “Dia pandai main musik. Pertama kali gue liat, langsung gue tarik.” Ujarnya membanggakan diri.

“Siapa namanya?” tanyaku berusaha sebisa mungkin tidak tampak mencolok.

“Winda. Winda Aldena Clarisa.” Aku mendengus dongkol ketika tiba-tiba Dimas sudah berada di antara kami. Menyomot pisang goreng dengan seenak jidatnya. juniorku yang satu ini sepertinya memiliki kekuatan jin iprit hingga bisa muncul di manapun dengan sekedipan mata.

Nama itu terus terngiang-ngiang di telingaku sampai dipenghujung malam itu. “Boleh juga.” jawabku cuek. Dan Hendra terkekeh pelan. “Lumayan.”

“Bukan lumayan, tapi produk super. Apa kata gue. Bung An ini pasti langsung bertekut lutut di hadapan Winda!” ujar Dimas menggebu-gebu. “Bung Hendra ini awalnya meragukan teori gue!” ujarnya, membusungkan dadanya dengan angkuh. Hendra yang paling tidak suka mendengar tambahan kata ‘Bung’ di depan namanya langsung mengalihkan pandangannya, mengabaikan Dimas. Sang cowok metroseksual.  

Aku bangkit dari kursiku, malas meladeni kedatangan Dimas yang sebenarnya satu tahun dibawah kami namun berlagak seperti senior yang merasa tau segala sesuatu. “Gue cabut dulu.” Kataku pada Hendra yang langsung dijawab dengan anggukannya.

Oke, sepertinya aku berhutang maaf pada Hendra dan tepukan kagum atas acara malam ini. Pentas seni menyambut malam tahun baru berjalan sangat meriah. Sebuah opera musical yang dimainkan oleh anak-anak drama benar-benar menakjubkan. Dan dari selentingan yang ku dengar, tangan dingin Hendra juga yang mengaransemen musiknya hingga menjadi spektakuler seperti itu. Penampilan Winda lebih mempesona lagi.

Ia masuk di bagian akhir drama musikal, menyanyikan lagu penutup dengan suaranya yang luar biasa lembut. Lampu tembak langsung menyorotnya ketika pertama kali ia menekan nuts-nuts piano di atas panggung. Aku tidak yakin kapan ia naik ke sana, mungkin tadi, ketika semua penonton tengah sibuk memperhatikan lakon para pemain drama. Ia mengenakan gaun putih yang cukup panjang sampai menutupi kakinya. Rambutnya lagi-lagi hanya digerai, namun berhiaskan sebuah jepit bunga lili yang cukup besar. Silau lampu membuat aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hingga akhirnya tanpa sadar aku terus berjalan mendekati panggung. Melewati beberapa penonton yang terusik karena langkah-langkah besarku, mengabaikan pandangan cemas bercampur heran dari Hendra. Gadis cantik itu sudah benar-benar menyihirku.

Riuh tepuk tangan dari penonton menyadarkanku dari keterpesonaan akan kecantikan Winda. Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku. Apa yang sebenarnya sudah ku lakukan?!

“Tunggu!” teriakku tiba-tiba ketika gadis cantik itu hampir saja menghilang di balik panggung bersama dua orang pemuda berpakaian hitam, keduanya dikalungi papan nama yang bertuliskan panitia. Gadis cantik itu menoleh. Dan aku bisa melihat keindahan wajahnya lebih nyata lagi. benar-benar cantik. “Maaf, aku perlu bicara sebentar.” Kataku tanpa basa-basi. Aku memberikan lirikan ‘mengusir’ kepada kedua panitia yang tentu mengenaliku itu, dan meski bingung akhirnya keduanya pergi meninggalkan kami di belakang panggung. Winda mengerutkan keningnya, matanya menunjukan sedikit kecemasan ketika melihat kedua panitia itu menghilang di balik panggung. Tapi aku tidak peduli. “Kamu Winda?” tanyaku.

Wajah cantiknya sedikit memucat, ia menggigit bibir bawahnya, membuatku semakin dimabuk kepayang oleh kecantikannya. “Maaf,” katanya ragu-ragu. “Saya…”

“Lily?” tiba-tiba saja Hendra sudah berada di belakang punggungku. Aku mendengus kesal. kenapa pula dia harus muncul di saat-saat seperti ini?!

“Mas Hendra,” katanya dengan nada lega.

“Yang lain sudah menunggumu,” ujar Hendra sebelum aku bisa memotong kata-katanya. Dua orang panitia yang tadi ku usir kembali muncul, sedikit menunduk lalu menghampiri Winda dan membawanya pergi begitu saja. Aku menggeram pada Hendra. “Apa?” tanyanya tanpa rasa bersalah. “Katanya lo mau ketemu Winda, ayo!”

“Lho, tadi?”

“Yang tadi sepupu jauh gue, Lylianne. Dia sahabat Winda, tinggal di Bandung.” Terang Hendra. Aku terkekeh pelan. Jadi aku salah? Pantas saja tadi dia terlihat cemas. “Gue minta maaf karena nggak ngabarin lo sebelumnya. Yah, gue pikir nggak ada yang akan sadar juga kalau dia bukan anak kampus kita. Toh dia Cuma muncul di penutupan. Ternyata mata lo cukup jeli. Sori men.” Hendra meninju lenganku dengan pelan. Dalam komunitas kami memang ada satu aturan mutlak, tidak boleh mengambil orang lain untuk tampil dari luar komunitas. Tapi siapa peduli?!

Aku mengernyit, “Buat apa lo minta maaf sama gue?!” tanyaku bingung.

“Loh, tadi bukannya lo?”

“Gue pikir dia yang namanya Winda.” Jawabku asal. Kini giliran kening Hendra yang berkerut. “Gue ke sini karena gue mau ngedeketin dia, eh elo malah nongol kampret!”

“Bukannya lo naksir Winda?”

“Ya mana gue tau yang namanya Winda itu yang mana.”

Hendra mengacak rambutnya frustasi. “Itu Winda, yang tadi main biola di samping sepupu gue,” katanya sambil menunjuk seorang gadis yang masih berada di atas panggung. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat sosok yang ditunjuk Hendra itu dengan cukup jelas. Ia tinggi semampai, mengenakan gaun berwarna hitam, menutup sampai kakinya juga, rambutnya di kuncir, lurus, mungkin itu yang mereka sebut kuncir ekor kuda. Tak berkelok sama sekali. Ia memiliki paras yang cantik, dan sesuatu di dalam matanya menunjukan sebuah nuansa tegas yang mempesona. Seorang wanita mandiri. Tapi aku hanya mengangkat bahu tak acuh ketika Hendra menanyakanya sekali lagi.

“Jadi lo bener-bener naksir Lily?” tanyanya, suaranya terdengar masih sangat tidak percaya. Aku tidak mengangguk, tapi aku yakin dia bisa melihat keseriusan di mataku. “Hm, lo liat kan dia pakai…”

“Kursi roda?” potongku. Hendra mengangguk, matanya menerawang jauh ke kerumunan penonton yang antusias menunggu penampilan band selanjutnya.

“Dia lumpuh, kecelakaan sejak umur 11 tahun. Orang tuanya meninggal.”

Aku tidak tau harus berkata apa, jadi kami hanya terdiam. Tapi lagi-lagi aku yakin Hendra bisa melihat keseriusan itu di mataku.

***

Desember 2013

Jika masih hidup Hendra pasti akan membunuhku kalau tau apa yang terjadi saat ini. Tiga atau empat tahun yang lalu, Dimas mati-matian bersikeras kalau aku sebenarnya mencintai Winda, bukan Lily, dan meskipun tidak berkomentar apa-apa, aku bisa melihat kerutan cemas di antara kedua mata Hendra. Tapi setidaknya, hingga sosok hebat itu menghembuskan nafas terakhirnya karena DBD akut di tahun 2011, ia masih mengenal aku yang mencintai Lily dengan sepenuh hati.

Aku sendiri tidak tau kapan tepatnya aku pertama kali jatuh hati kepada Winda. Mungkin ketika aku, Lily dan Winda pergi bersama, ke Bandung, lalu setelah mengantar Lily pulang, kami berduaan di mobil; atau ketika hari-hariku banyak dihabiskan bersamanya, karena ketika lulus kuliah, aku lah yang membantu Winda mendapatkan pekerjaannya sekarang sebagai sekretaris di sebuah perusahaan yang berkantorkan pada sebuah gedung yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari kantorku sendiri; atau mungkin sejak aku tau dia mencintaiku.

Ini sebuah kesalahan, aku tau itu. Tapi apa yang bisa ku lakukan ketika gadis cantik itu tiba-tiba saja mengutarakan perasaannya kepadaku. Ia tidak memintaku untuk membalas cintanya, namun aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Sampai akhir tahun 2012, aku tidak pernah membalas cintanya, bahkan aku seakan-akan menganggap itu tidak pernah terjadi. Mengabaikan perasaannya begitu saja. Menikmati cintaku dan Lily tanpa memperdulikannya. Toh meskipun aku tidak pernah membalas cintanya, ia tetap berada dekat denganku. Dia adalah sahabat baik Lily. Dan itu membuatku mudah untuk memantau gerak-geriknya.

Winda sosok yang mandiri. Ia tidak pernah merengek. Selalu tampak tegar dan santai. Aku menyukainya dalam hal itu. Membuatku tidak perlu merasa khawatir ketika harus meninggalkannya untuk menemui Lily. Dia hampir tidak pernah menangis di hadapanku. Lalu semuanya berjalan begitu saja. Entah bagaimana, aku pun mencintainya. Sesederhana itu.

“Apa aku harus melumpuhkan kakiku juga?”

Aku terkesiap ketika mendengar suaranya yang sedikit bergetar. Kami masih duduk diam di dalam mobil seperti setengah jam yang lalu. Di depan kami sebuah danau buatan yang hampir dipenuhi sampah beriak tenang. Beberapa bocah kecil berlarian kesana kemari, lalu jatuh, sengaja menggulingkan tubuhnya di rerumputan, tidak peduli pada teriakan ibu-ibu mereka di dekat pedangan makanan. Anak yang lebih dewasa mengayuh sepedahnya kuat-kuat, seakan bisa membelah angin. Mengabaikan langit mendung yang menutupi sebagian cahaya matahari.

“Apa aku harus lumpuh juga seperti Lily untuk membuatmu tetap di sisiku?” tanyanya lagi. Aku tidak tau harus berkata apa.

“Sebaiknya kita pulang.” Kataku sambil menyalakan mesin mobil. Lalu mundur untuk kembali ke jalan raya. Meninggalkan taman kota yang semakin ramai petang itu.

Gadis di sampingku menatap keluar jendela, merenungkan sendiri kata-katanya. “Awalnya aku pikir aku bisa mengikhlaskan kalian. Kamu dan Lily,” gumamnya pelan. Aku terdiam, aku tidak pernah mendengar nada suaranya yang selirih ini. atau aku memang belum benar-benar mengenalnya? “Tapi ternyata tidak bisa. Terlalu menyakitkan.”

“Win, aku sudah bilang, aku nggak akan meninggalkan kamu. Tapi aku juga nggak bisa meninggalkan Lily.” Kataku sungguh-sungguh. Dan itu memang benar. Aku membutuhkan mereka berdua.

“Tapi kamu akan menikahinya…” Winda menyeka air matanya dengan perlahan. “Cepat atau lambat kamu akan benar-benar meninggalkanku.” Aku mendesah lelah. Aku sudah menegaskan berkali-kali kepadanya, kalau aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya. Aku mencintainya. “Mungkin kalau aku juga lumpuh seperti Lily, kamu nggak akan pernah tega meninggalkan aku. Kamu pasti akan kasihan kepadaku seperti kepada Lily.”

“Win, aku mencintai Lily dengan tulus. Bukan karena kasihan pada keadaannya yang lumpuh!” ujarku tegas, mulai lelah pada semua kekhawatiran dan tuduhan-tuduhannya yang tidak masuk akal. Mengapa sekarang ia ikut bersikap dramatis seperti wanita-wanita picisan yang murahan itu?! Winda yang ku kenal adalah Winda yang tegas dan tegar. Bukan gadis yang suka merengek seperti ini.

“Kalau begitu, jangan-jangan kamu justru akan meninggalkanku ketika aku lumpuh?! Kamu sudah direpotkan dengan Lily yang lumpuh, jika aku juga lumpuh, tentu semuanya akan semakin berantakan!”
Berantakan? Ya! Tapi tidak seperti yang ia asumsikan.

“Kamu pasti akan meninggalkanku.” Katanya lebih dramatis lagi. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Winda!” kami sudah berada di jalan tol ketika aku membentaknya. Ia menangis sesenggukan di kursinya, benar-benar bukan Winda yang selama ini ku kenali. Entah dimana ia menyembunyikan seluruh sisi itu dariku selama ini. “Dengar, apapun yang terjadi aku nggak akan meninggalkamu. Bahkan walau kamu lumpuh sekalipun.” Aku harap dia mengerti. Karena aku benar-benar tulus dengan apa yang ku katakan.

Winda mengangkat wajahnya, matanya kembali menunjukan sisi tegasnya yang selalu mempesona di mataku. “Baik.” Katanya dengan tegas. “Kalau begitu, mari buktikan!”

Aku mengernyit bingung, dan terlalu syok dengan apa yang terjadi setelah itu. Dengan cepat Winda melepas sabuk pengamannya, lalu memutar kemudi yang ada di tanganku. Aku terlalu bingung dengan apa yang ia lakukan, dan kejadiannya terlalu cepat. hingga ketika tersadar, aku sudah terlambat. Kami sudah berada di arah berlawanan, berhadapan langsung dengan sebuah bis yang melaju cepat. Tepat beberapa meter di depan kami.

Lily akan menangis lebih kencang jika kehilangan sahabat terbaiknya, itulah yang kupikirkan ketika menarik tubuh Winda yang terlihat siap menantang maut, melindunginya dengan tubuhku sendiri. Tapi aku tidak bisa membiarkannya, aku tidak ingin gadis yang paling ku cintai menangis. Aku terlalu mencintai Lily, aku terlalu mencintainya hingga tidak ingin mengecewakannya.

***

Sentuhan lembut diwajahku mengusik ketenanganku. Aku tersadar, namun masih didalam kegelapan. Hanya bisa mendengar suara orang-orang yang berada di sekelilingku. Jemariku mati rasa, tapi samar-samar aku bisa merasakan seseorang mengecup punggung tanganku. Ia membelai lagi tanganku, membersihkan dari tetesan air yang membasahinya.

“Sayang…” katanya dengan sangat pelan. Aku tau itu Lily. Aku mengenali suaranya seperti aku mengenali diriku sendiri. Gadis pertama yang ku cintai dengan sepenuh hatiku. “Kenapa…” kata-katanya terpotong isakan lirih yang membuatku merasa seperti pengecut. Tercambuk rasa sakit pada tubuhku yang mati rasa. Sesuatu di dalam diriku terasa seperti tertarik. Membuat nafasku tersenggal kehabisan udara, tapi aku masih bisa mendengar pertanyaan terakhir dari bibir manisnya, sebelum teriakan namaku memeuhi ruangan itu, tepat ketika aku hilang dalam kegelapan, selamanya.

“Kenapa harus Winda?”


The end


1 komentar:

Fathy mengatakan...

Zi sumpah gak rela cm segini aja... Lanjutin, tanggung jawab, gak mau nanggung begini crtanya (˘̯˘ )