BAB DUA BELAS.
Ku pendam erat-erat
semua luka itu. setidaknya ada hal lain yang harus ku khawatirkan saat ini. Sahabatku
Luna. Meski dalam hati aku tidak habis pikir, bagaimana bisa seluruh luka ini
terus menggerogoti kehidupanku.
“Luna...” bisik Kirana
ketika kami sampai di kamarnya. Aku menatapnya tidak percaya. Sosok cantik itu
benar-benar sahabatku. Luna Fayrish. Ia tampak tenang dalam tidurnya. Pucat dan
sedikit botak karena kemoterapinya. Tapi ia masih sahabatku. Sahabat terbaikku.
Aku berdiri disamping
tubuhnya. menggenggam tangannya hati-hati. Seakan ia adalah porselen antik yang
begitu rapuh. Kirana terisak di samping kepala Luna yang perlahan bergerak. Ia
membuka matanya perlahan. Dan menatap kami tidak percaya. Seulas senyuman
tersungging di wajah cantiknya. “Kalian...” bisiknya lemah. Aku mengaguk dan
mencoba tersenyum. Aku merindukannya, teramat sangat. Melihat kami menangis
seperti ini Luna menggeleng perlahan. “Tenanglah, aku baik-baik saja,” bisiknya
tercekat. Aku menatapnya perih kemudian menangis terisak di atas tangannya.
Tampaknya aku dan rumah
sakit sudah bersahabat begitu erat. Hingga kini lagi-lagi aku harus menangis
terisak di sisi orang yang ku kasihi. Luna terlihat lebih segar ketika dokter
selesai memberikannya obat.
“Kau baik-baik saja?”
tanyaku. Pertanyaan bodoh! Tapi aku ingin mendengar bahwa ia baik-baik saja! Ia
tidak menjawab hanya mengaguk. Selama sepersekian detik kami hanya saling
terdiam. Kirana masih belum bisa menghilangkan isakan tangisnya. “Mengapa kau
tidak memberitahu kami?” tanyaku. Seharusnya marah namun terlebih pedih.
“Maaf,” hanya kata itu
yang terdengar. Aku tidak tau harus berkata apa lagi. Sepanjang malam itu kami
hanya saling menggenggam satu sama lain, dan terlelap dalam kerinduan dan
perih.
“Luna!!!” pekikku
ketika terbangun keesokan harinya dan mendapati ranjang Luna kosong. Hatiku
langsung diliputi ketakutan yang teramat sangat. Aku berlari keluar kamar. Dan
betapa leganya aku ketika ia berada di koridor bersama Kirana. “Kau
mengagetkanku,” ujarku seraya memeluknya takut. Ia tersenyum, tampaknya lebih
sehat dari kemarin.
“Kau terlihat sangat
lelah, jadi kami tidak membangunkanmu,” ujar Kirana. “Ayo waktunya sarapan. Aku
sudah membelikan kau sarapan juga, ayo makan,” aku berjalan disamping kursi
roda Luna. Kami duduk menghadap jendela besar yang memperlihatkan sebagian
besar gedung-gedung indah di daratan singapura.
“Aku tidak percaya bisa
bertemu dengan kalian lagi,” bisik Luna pelan. Kirana menggigit rotinya
perlahan. Luna menerawang jauh keluar jendela. “Aku pikir akan mati tanpa
melihat kalian,” aku tercekat. “Tapi aku senang kalian di sini,” ia menatap
kami bergantian.
“Jangan bicara begitu,
cepat habiskan makananmu,” ujar Kirana ketus. Aku tau ia sedang menyembunyikan
kesedihannya. Namun ia bukanlah pembohong ulung.
“Rachel, aku sudah
dengar tentang kakek dari Kirana,” ujarnya. Aku menatap Luna. “Aku turut
mendoakan kesembuhannya,” aku tersenyum tipis. “Kau harus kuat,” Kirana
menatapku pedih. “Terkadang, jalan kehidupan ini memang begitu terjal. Namun
untuk mencapai kebahagian itu kita harus bertahan...” Luna menghela nafas
panjang. “3 tahun yang lalu...” katanya lemah. “Saat aku tengah begitu
bersemangat memulai lembar kuliah seperti kalian, orang tuaku meninggal dunia
karena kecelakaan pesawat,
“Aku terjatuh
sedemikian dalamnya hingga ingin menghilangkan diri sendiri. Aku mencoba bunuh
diri, namun tidak pernah berhasil. Hingga aku memutuskan untuk menjatuhkan diri
dari apartemenku. Dari ketinggian 9 lantai mustahil aku masih tetap hidup.
Namun saat itu aku mengingatmu,” ia menoleh pada Kirana. “Betapa takutnya kau
pada ketinggian,” tambahnya. “Aku mengurungkan niatku. Aku tidak ingin tubuhku
hancur, hingga akhirnya aku memutuskan untuk meminum obat-obatan hingga over
dosis. Itu juga mengingatkanku padamu,” ia menoleh padaku.
“Namun aku tidak
memiliki pilihan lain. Hingga akhirnya seseorang menghentikanku, memarahiku
seperti kalian memarahiku. Membuatku merasa begitu berarti. Aku merasa kembali
hidup. Dan saat itulah aku sadar, bahwa kalian adalah alasan lain untukku tetap
hidup di dunia ini. Namun lagi-lagi aku mendapatkan sebuah kenyataan pahit. Aku
didiagnosa mengidap kanker payudara setahun yang lalu,” ia tersenyum getir. Aku
menangis. “Kalian tau, sesungguhnya aku sudah siap untuk mati. Bukankah itu
yang selama ini aku cari?? Namun aku khawatir ketika aku mati, bukan hanya aku
yang pergi... namun akupun akan merenggut kehidupannya.
“Aku mencoba bertahan
karenanya. Namun rasanya aku terlalu lemah,”
“Kau bisa bertahan...
tentu saja, dan kami di sini untuk mendukungmu,” ujar Kirana aku mengaguk
mengiyakan. “Dan anyway, pria itu pasti sangat beruntung karena dicintai
olehmu,”
“Tidak. Akulah yang
beruntung memilikinya. Kalian pikir, siapa lagi yang akan mencintai gadis tidak
sempurna sepertiku?” tanyanya lemah. Baru saja aku akan menyangkal
perkataannya, namun pintu yang mendadak terbuka mengalihkan perhatian kami
untuk sesaat.
1 komentar:
Kasihan Luna...
Tapi sp pria yg baik itu ya...?
Aduh, jgn sampai pria itu ternyata Raka! *gigit-gigit kuku
Posting Komentar