BAB ENAM BELAS
Aku berjalan cepat di
koridor kampusku. Beberapa buku terdiam manis di dekapanku. Aku sudah memulai
kuliah untuk mengusir semua tekanan yang ku alami beberapa hari belakangan ini.
Ini memang sedikit membantu.
“Rachel,” tegur
seseorang. Aku menoleh. “Aku memanggilmu berkali-kali,” pemuda itu berlari
menghampiriku. Wajahnya yang tampan tampak berpeluh. Ia membetulkan letak kaca mata
tak berbingkainya. Jas putih labnya masih ia kenakan. “Aku hampir tidak percaya
kau ada di sini,”
Aku pun tidak percaya.
“Bagaimana keadaanmu?
Dan kakek mu? Maaf aku tidak ikut dengan yang lainnya menjenguk kakekmu. Aku
ada sebuah proyek. Tapi semuanya sudah hampir selesai sekarang, aku yakin akan
sukses,” ia nyengir menunjukan wajah jenakanya. Entah mengapa bibirku pun turut
tertarik, menyerupai garis lengkung yang pernah ku kenal sebagai senyuman. “Kau
tenang saja,” ia meletakan kedua tangannya di bahuku. “Setelah semua ini
selesai, aku akan bersamamu untuk melihat kesembuhan kakek,” ujarnya optimis.
Aku terharu menatapnya. “Tidak, tidak jangan menangis,” ia menyeka air mataku.
“Trims Re,” bisikku
sesaat sebelum ia menarikku ke dalam pelukannya.
Aku sudah lupa
bagaimana baiknya teman-temanku di sini. Betapa menyenangkannya berkemul dengan
waktu perkuliahan, buku dan para dosen. Kesibukanku di rumah sakit seakan
menarikku ke dasar dunia lain, hingga menutup diriku dari sisi dunia yang
lainnya, yang tanpa ku sadari, sangat ku rindukan.
Are menggenggam erat
tanganku ketika kami berjalan dan tertawa di dalam kelas. Aku merasakan
perlahan semua himpitan itu mulai menghilang.
“Kau pasti menyesal
karena tidak bisa melihat bagaimana bodohnya Are membelah tubuh katak waktu
itu,” gurau Kana. Teman satu kelasku. Aku melirik Are yang langsung mengelak
atas tuduhan Kana.
“Aku punya bukti!”
teriak Desi seraya mengangkat handphonenya. “Aku merekamnya!!” tambahnya.
Sontak wajah tampan Are langsung memucat. “Tapi bohong...” tambah Desi. “Tapi
lihat wajahmu sudah seperti mayat hidup! Pucat pasi!” aku terkekeh menyadari kebenaran
kata-kata Desi. Are menatap garang padaku.
“Ada apa?” tanya Are
ketika tiba-tiba wajahku membeku.
“Aku memikirkan kakek,”
“Jangan bodoh! Kakekmu
adalah salah satu direktur rumah sakit Siloam, kau pikir mereka tidak akan
menjaganya?!” aku menatap are. Ia benar, namun tetap saja aku khawatir akan
dirinya. “Tenanglah,” Are menarikku, memeluk bahuku erat. “Ia akan segera
sembuh, aku janji,” bisiknya. entah mendapat kepercayaan dari mana aku
mengaguki kata-katanya.
“Aku senang melihatmu
kembali,” ujar Kana ketika kami duduk di kantin kampus yang cukup ramai. Baru
kali ini Are membiarkanku sendirian, setelah sekian lama ia mendampingiku di
kampus hari ini. Panggilan di lab apoteker tampaknya membuat ia begitu ketakutan.
“Kami semua ikut prihatin akan apa yang terjadi pada kakekmu,” ujarnya. Aku
mengaguk berterima kasih. “Are juga tampaknya sangat khawatir,” tambahnya,
pandangannya menerawang jauh kedepan. “Namun dia memiliki cara tersendiri untuk
menunjukannya padamu,” Kana kembali ke sisiku. Ia tersenyum manis.
“Rachel!!” teriak Are.
Aku dan Kana sampai terkejut karenanya. “Ayo pulang, aku sudah selesai di
sini,” teriaknya lagi. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Kana tersenyum
kecil.
“Dasar, bocah itu!”
bisiknya. Are masih tertawa lebar. Ia memang bisa menenangkan gemuruh hatiku,
seperti Raka menenangkanku, namun tentu saja dengan caranya sendiri.
***
“Maaf membuat kakek
menunggu,” aku mendelik ketika mendengar bisikan Are di telinga kiri kakek.
Namun aku tidak menanyakan apa maksudnya. Ia nyegir menatapku. Selalu
kekanak-kanakan. Mengingatkanku pada sosok seseorang, sosok sahabat kecilku
yang kini telah berubah menjadi sosok pria tampan, yang dingin dan begitu
dewasa.
Aku tercekat ketika
melihat Raka memasuki kamar kakek. Ia mengenakan setelan rapihnya seperti
biasa. Aroma maskulin tubuhnya langsung menyeruak. Raka menatap Are, menilai. Are
berjalan santai kearahnya. “Hai, aku Are,” ujarnya. Raka masih terdiam. Baru
kali ini aku melihatnya tampak tegang ketika berhadapan dengan orang lain. “Apa
kau bisa berbicara bahasa indonesia?” tanya Are setelah Raka terus diam.
“Ya, maaf. Aku Raka,”
balasnya, menjabat tangan Are. Kemudian Are berbalik kearahku.
“Hai,” sapaku pada
Raka, kikuk. “Dia teman kampusku,” entah mengapa aku langsung memberikan sebuah
penjelasan singkat tentang sosok berkaos abu-abu ini padanya. Ia mengaguk dan
berjalan mendekati ranjang kakek, kini terlihat lebih tenang.
“Bagaimana keadaan
kakek?” tanyanya, masih menatapku dengan tajam.
“Stabil,” bisikku. Ia
mengaguk sekali, kemudian melirik Are yang masih duduk di sofa. “Aku harus ke
kantor sekarang,” ujarnya kembali dingin dan menusuk. Aku mengaguk pelan. Raka
berbalik tiba-tiba dan menarikku kedalam pelukannya. Aku tersentak. Sedetik
kemudian ia sudah berlalu pergi. Aku melongo dibuatnya. Apa-apaan tadi??
***
“Rachel!” teriak Are di
depanku. Aku tersadarkan dari lamunanku. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya
khawatir. Aku menatapnya bingung. Terlebih saat ia sibuk memeriksa tubuhku. Aku
mendelikan mataku menyadari betapa silaunya matahari pagi ini. Astaga, di mana
aku??
“Rachel, bicaralah!”
perintah Are. Aku menatap wajahnya kosong. Ia tampak begitu khawatir.
“Aku... ba... baik
saja,” bisikku terpatah-patah. Are mendesah lega kemudian memelukku erat. Wajah
jenakanya kembali muncul, meski masih dengan raut cemas.
“Syukurlah,” bisiknya
lega. Aku merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang. Calon dokter anak ini benar-benar
tengah ketakutan. Membuatku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya
baik-baik saja.
“Apa yang terjadi?”
tanyaku lugu. Ia menatapku tidak percaya. Ketakutan itu perlahan mencair,
kemudian aku bisa melihat senyumannya kembali menghiasi wajah tampannya. Ia
menggeleng perlahan.
“Tidak ada yang
penting,” bisiknya seraya mengangkat tubuhku dari jalanan. Apa?? Aku memutar
mataku menyadari keberadaanku. Kami berada di lapangan parkir kampus 2, dan aku
baru saja tergeletak di jalan itu, di tengah-tengah kerumunan orang-orang.
Sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku??
Are mendekapku di dalam
gendongannya. Aku bisa mencium aroma tubuh Are yang bercampur cologne
kesukaannya, begitu fresh dan menyenangkan. Berbeda dengan aroma Raka yang
maskulin dan memabukan. Astaga, kenapa sekarang aku mulai membanding-bandingkan
mereka?
“Kau baik-baik saja?”
tanya Mario, anak Lab yang menyukai Kana. Aku melongo.
“Dia baik-baik saja,”
Are yang menjawab dengan cengirannya. Ia mendudukanku di sofa lab. “Dia hanya
syok,” Are mengambilkan segelas air untukku. Mario dan yang lainnya langsung
berlutut di hadapanku.
“Astaga kau mengagetkan
kami. Kau pikir kau bisa menghindari pengendara motor itu, hah??!” tuding
Mario. Aku terkesiap dan mulai teringat akan kejadian beberapa saat yang lalu.
Ketika aku tanpa sadar menyebrang tanpa melihat ke kanan dan kiri. “Sebenarnya
apa yang sedang kau pikirkan??!! Kau hampir mati, tau??!!!”
Aku menatap Are yang
masih menyeringai. Namun kali ini senyuman itu tidak menyentuh matanya. Senyuman
palsu.
“Sudahlah guys, dia
harus beristirahat sekarang,” ujar Are ringan. Mario masih menggerutu atas
sikapku yang dianggap sangat berbahaya. Aku melihat tubuh Are perlahan rileks
di sampingku. Ia memejamkan matanya kemudian memijit pangkal hidungnya. Aku membisikan
kata maaf. Ia menoleh dan menatapku tanpa berkata apapun. “Jangan pernah
mengulanginya lagi,” ujarnya setelah diam beberapa saat. Aku bergeming.
Bagaimana mungkin aku bisa menghilangkan lamunan tentang Raka?
1 komentar:
Ditengah kesedihannya kimi ternyata msh py teman-teman yg baik n perhatian, jadi sdkit terhibur jdnya.
Are ini suka sm rachel ya cher??
btw kimi knp sering pingsan ya???
Posting Komentar