TIGA.
Riana
terluka.
Ia
menangis siang dan malam. Namun ia selalu mengatakan bahwa tangisnya bukan
karena kehilangan Romi. Hanya saja ia merasa begitu bodoh karena bisa tertipu
laki-laki itu. Kini ia hanya berjalan seperti robot. Tanpa senyuman dan air
mata. Tatapannya kosong. Dan membuatku semakin tersiksa. Kini pikiranku hanya
terisi oleh sensasi hatinya yang megharu biru.
“Ri,
ada yang ingin bertemu dengan Liana…” ujar mom suatu hari. Namun Riana tidak
bergeming. “Ri…mom tau kamu masih sedih, namun kamu tidak bisa menyiksa Liana
seperti ini…” ujar mom lagi.
“Apa!
menyiksa?” bentak Riana tiba-tiba. Aku sendiri sampai terkejut mendengar suaranya
yang begitu keras. “Mom pikir aku menyiksa Liana, begitu?” tanya Riana geram.
“Mom, it’s my body…right? Then let me manage it by my self…” tuturnya tajam.
Andai bisa menangis aku pasti sudah menangis sedari tadi. Tapi toh, yang ia
katakan memang benar.
“Ri…
mom minta maaf…”
“Mom,
aku minta maaf… tapi aku tidak bisa terus-terusan seperti ini. Aku ingin
menjadi diriku sendiri. Aku tidak ingin memiliki dua kepribadian… aku ga ingin
memiliki dua jiwa…” tangisnya pecah. Mom memeluknya erat. Aku sendiri merasa
begitu sedih.
“Ri,
mom minta maaf…tapi saat itu memang tidak ada pilihan lain, mom tidak siap bila
harus kehilangan kalian berdua,” tangis mom pun pecah.
“Mom,
maafkan aku. Aku
memang egois… aku terlalu memikirkan diriku sendiri. Aku harusnya sadar, kalau
bukan karena Liana mungkin aku sendiri sudah mati…” tutur Riana. “Baiklah mom,
sebaiknya kita segera bersiap, nanti orang yang menunggunya pergi karena
bosan,” mom menatapnya tak percaya, kemudian mengaguk senang.
Riana
mencoba beberapa baju koleksinya. Namun sama sekai tidak meminta pendapatku. Ia
sengaja tidak bertanya kepada mom siapa yang sedang menungguku. Tentu saja agar
aku penasaran setengah mati. Ia tersenyum senang saat mendengar pikiranku yang
akan membunuhnya dengan tangannya sendiri.
“Bagaimana
mom?” tanya Riana saat mengenakan sebuah dress cantik selutut. Warnanya putih
dengan aksen renda besar di sekitar lehernya. Bahannya sehalus sutra, dan
beberapa hiasan bunga kecil berwarna merah menyala tampak menghidupkan gaun itu.
Namun tetap saja aku tidak setuju. Karena selama ini aku lebih suka dengan gaun
sederhana yang tidak memiliki aksen apapun.
Riana
membiarkan rambutnya tergerai, namun memberikan sepasang jepit kupu-kupu cantik
di sisi kanannya. Aku meringis pelan saat ia menyentuh koleksi perhiasannya.
Aku memang tidak suka memakai aksesoris apapun. Dan itulah yang membuatku tampak
seperti putri yang sangat sederhana.
Saat
Riana mengarahkan tubuhnya ke cermin, aku bisa melihat sosok diriku dan dirinya
menyatu. Gaun itu tampak melukiskan kepribadianku yang lembut sedangkan
warna-warna lainnya melukiskan pribadi Riana yang begitu bersemangat.
Wajah
cantiknya hanya berhias beberapa warna lembut seperti coklat dan sedikit peach.
Membuat kecantikan memancar begitu saja. Aku merasa begitu cantik. Meski tentu
saja bukan kecantikanku seutuhnya.
“Ayo
turun...” ujar mom.
“Hm,
Li…aku serahkan semuanya…” ujarnya seraya memejamkan metanya. Dan saat ku
membuka mata ia seakan menghilang. Itulah keajaiban kami. Meskipun dalam satu
raga namun kami memiliki dua jiwa.
Betapa
terkejutnya aku saat melihat Are dengan berjuta pesonannya tengah menungguku di
ruang tamu. Seakan terpana, ia menatapku tanpa berkedip. Wajahku langsung
merona merah.
“Hai…”
sapaku pelan. Are langsung tersadar dari lamunannya. Dan tersenyum lebar.
“Oh,
hai…” katanya kikuk. “Well, tante kami pergi dulu…” ujar Are. Mom mengaguk
senang.
***
Semilir
angin menemani kesunyian yang tercipta di antara kami. Aku dan Are. Kami
berjalan beriringan di dekat danau tidak jauh dari rumahku. Suasananya sunyi
dan sangat tenang.
Aku
tidak berani melirik ke arahnya. Takut ia memergokiku sedang memandangnya. Ia
menghentikan langkahnya tepat di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi.
“Hm…”
Are memejamkan matanya. Aku menghela nafas lega. Dengan begitu aku bisa sedikit
memandangi wajahnya yang begitu tampan.
Tiba-tiba
ia membuka matanya. Aku terhenyak. Dan ia menatapku heran. Aku memalingkan
wajahku ke sisi yang lain. Mencoba berpura-pura terfokus pada sesuatu di
depanku.
“Sudah
lama rasanya kita tidak berjalan seperti ini,”
“Well,
sudah lebih dari 4 tahun ku rasa,” tambahku. Ia tersenyum tipis.
“Kau
keberatan bila aku mengajakmu berjalan lebih jauh lagi ?” tanyanya ragu. Aku
menggeleng pelan. Tentu saja aku akan dengan senang hati. bahkan mungkin aku
akan bersedia berjalan berkilo-kilo meter jauhnya asalkan tetap berada di sampingnya.
“Kau
masih suka es krim coklat ?” aku memandangnya sesaat. Tatapan kamu beradu. Dan
aku bisa melihat sosoknya yang rupawan lebih dalam lagi.
“Entahlah,
banyak hal berubah dalam hidupku,” termasuk selera makanku. Sejak kecil Riana
sangat tidak menyukai rasa manis yang terdapat dalam setiap gigitan coklat. Dan
tentu saja ia akan membunuhku,-well membunuh pikiranku, lebih tepatnya- jika
aku sampai memasukan cairan manis itu ke dalam tubuhnya.
“Ya aku
bisa lihat…” ia memandangi dressku.
Sudah ku bilang ini sangat berlebihan. Kemudian memandang jepit kupu-kupu di
rambutku. Refleks aku menyentuhnya dengan jemariku. “Seleramu membaik
sepertinya…” ujarnya. Aku melotot kepadanya. Astaga kata-kata yang cukup
menyakitkan jika ku tela’ah lebih dalam.
“Hah,
lucu!!” desisku. Ia terkekeh. Tampan dan selalu begitu. Aku terpesona.
“Well,
aku tidak pandai berbohong kau tau… meski itu mungkin akan membuatmu lebih
nyaman, tapi ku rasa selera Riana lebih baik dari pada seleramu,” aku
menggeram. Taruhan pasti wajahku memerah. Ia semakin bersemangat menggodaku.
“Oke.
Cukup!! kau harusnya tau, kau sudah menyakiti egoku,” tuturku dingin. Ia
menghentikan tawanya namun masih tetap tersenyum.
“Sorry
ma’am,” ujarnya pelan. Namun tanpa rasa bersalah. “Baik untuk menebus rasa
bersalahku, aku akan mentraktirmu makan cake coklat terlezat di sini,” aku
mengerang. “Hm, aku kira Riana hanya mengacaukan seleramu dalam hal fasion,
tapi ternyata juga dalam hal makanan,” ujarnya sok dramatis.
“Tapi
aku tidak akan menolak jika kau memaksaku
untuk memakan sepotong atau dua potong cake, mungkin…” aku bergumam pelan.
–sudahlah, urusan Riana toh bisa di selesaikan nanti-. Are tertawa keras.
“Ternyata
kau masih tetap dirimu, syukurlah,” aku mengerutkan kening. “Aku kira Riana
benar-benar sudah mengacaukan dirimu, mengendalikan dirimu,” aku terhenyak. Ia
kurang lebih benar.
“He
eh,” aku memalingkan wajahku sesaat.
“Oke,
ayo kita pergi,” Are menyentuh pergelangan tanganku dan berlalu pergi. Aku
menatap tangan kami yang saling bertautan. Aku bisa merasakan genggaman Are
semakin kuat setiap detiknya. Dan sejujurnya itu membuatku sedikit kesakitan.
Aku
menatapnya masih dengan tidak percaya. Ini seakan mimpi. Dan parahnya aku
khawatir ia tidak nyata. Tapi aku tau, warnanya terlalu terang untuk di katakan
sekedar mimpi. Bahkan perasaan bahagia ini terlalu indah untuk di biaskan menjadi
ketidak nyataan.
Tapi
aku masih tidak bisa berkutik. Aku takut mengedip. Takut saat membuka mata lagi
ia sudah menghilang. Aku tau ini konyol. Tapi aku tidak ingin mengambil resiko.
Well, kalaupun ini hanya mimpi, aku ingin mimpi ini bisa berjalan lebih lama
lagi.
Aku
merasa dilema di dalam diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tersenyum bahagia,
sementara bagian tubuhku yang lain menderita. Riana masih belum sepenuhnya
sembuh dari keperihannya atas apa yang dilakukan pemuda brengsek itu.
“Li…”
Are mengibaskan tangannya di depan mataku. Aku terkesiap. “Ada apa ? apa yang
sedang kau pikirkan?” tanyanya sedikit cemas. Aku tersenyum tipis melihat
kecemasannya.
“Tidak
apa-apa, aku hanya sedang berpikir tentang masa lalu. Astaga aku sangat
merindukan yang lainnya. Padahal baru beberapa hari yang lalu kita mengadakan
reuni,” ujarku setenang mungkin. Are terlihat kikuk. Apa aku salah bicara ?
“Well,
kita bisa mengadakan reuni lagi kapan-kapan,” usulnya.
“Cukup
membantu,” jawabku pelan kemudian memasukan sesendok penuh cake coklat
kesukaanku.
“Are,
Liana ?” seseorang memanggil kami. Aku yang terlebih dahulu menoleh. Tiara dan
Citra. Aku tersenyum lebar dan langsung melambaikan tanganku yang bebas kepada
mereka.
“Wow,
jadi ada reuni lanjutan, hah ?” tanya Tiara. Aku melihat Are tersenyum tipis.
“Oya, trims atas undangannya. Aku dan Dian pasti akan datang,” tutur Tiara. Aku
menatapnya tidak mengerti.
“Li,
kelihatannya enak, apa ini ?” tanya Citra. Aku mengerutkan kening. Ia terlalu
bodoh bila beranggapan bisa mengalihkan perhatianku. Lagi pula hanya orang
tolol yang tidak mengenali cake coklat yang sedang ku makan. Memang bentuknya
seperti apa hah ? bola bisbol ?
“Hm,”
aku berdehem pelan. Tau tidak akan bisa mengalihkan perhatianku, Citra menegakan
lagi tubuhnya yang sempat membungkuk. Kemudian menatap Are dan Tiara secara
bergantian.
***
“Jadi
bisa tolong dijelaskan?” tanyaku saat kami berdua lagi. Are menatap jauh
keluar sana. Kemudian menoleh kepadaku. Aku menunggu.
“Tentang?” tanyanya pelan. Aku menggeram.
“Astaga,
aku juga tidak tau minta penjelasan atas apa,” sindirku. Ia menyerah,
sepertinya. Ia membungkuk menatap cakenya yang sudah tinggal setengah. Ia
menggerakan jemarinya di bawah meja. Aku tidak tau apa persisnya yang ia
lakukan.
“Eh Li,
ada yang mau aku bicarakan,” ujar Citra tiba-tiba. Bahkan terlalu tiba-tiba
kurasa. Dan terkesan tidak alami. Well, walaupun kami bersahabat, tapi bukan
berarti kami bisa mengusik privasi satu sama lain secara tiba-tiba, bukan?
Aku
menatapnya meminta penjelasan. Kemudian melirik ke arah pintu keluar.
“Tiara
sudah pulang,” ujarnya seakan menjawab pertanyaanku yang tak terlontar.
“Duduklah,”
titahku. Ia melirik sekilas kearah Are.
“Ini
hal yang sedikit sensitif,” ujarnya pelan. Aku mendesah. Sejak kapan Citra bisa
begitu tidak sopan. Hingga menyela pertemuan seseorang dan mementingkan
kepentingan pribadinya.
Aku
masih menatapnya. Kemudian berpaling kepada Are yang membisu.
“Aku
tidak ingin menyakitimu, sungguh. Tapi saat ini aku sedang bersama Are,”
tuturku pelan. Are tersentak ketakutan.
“Tidak,
tidak apa-apa. Kau pergilah,” aku menatapnya tidak percaya. “Aku akan baik-baik
saja, sepertinya ia benar-benar membutuhkanmu,” ujar Are. Aku menggeram pelan.
Tentu ia akan baik-baik saja, tapi bagaiman denganku ? baru saja aku merasakan
sedikit kebahagiaan. Ah Citra, ku harap masalahmu bisa membayar semua ini
dengan setimpal.
Aku
mendesah. Berpaling sejenak. Kemudian berdiri.
“Well,
maaf kalau begitu,” ujarku pelan. Are menatap kami bergantian.
“Kau
berhutang padaku,” bisik Citra sinis. Aku menatapnya tidak mengerti. Tau aku
memperhatikan, Citra langsung menatapku. “Kau berhutang membantuku…” ujarnya
kikuk. Nadanya berbeda dengan yang tadi. Jelas tadi dia seakan membenciku.
Namun sekarang terkesan memohon. Uh… aku hampir sinting. Dan aku tidak ingin
benar-benar menjadi sinting saat ini. Riana masih membutuhkan diriku.
“Oke
kita pergi,” ujarku setelah berpikir cukup lama.
***
Aku menatap
Citra sedikit kesal. Namun tidak menolak saat lengan jenjangnya meraihku ke
dalam kamar pas.
“Hm…”
ia berpikir sejenak. Kemudian mengambil pilihan gaun yang lain. “Bagaimana
dengan yang ini ?” Citra berpikir lagi sejenak. Ia sama sekali tidak memperdulikan
keluh kesah serta protesku. Ia tetap asyik memjejalkan berbagai gaun aneh di
tubuhku.
Aku
melirik jam tanganku. Sudah hampir malam rupanya. Mom pasti mengkhawatirkan ku.
“Well,
yang ini…” bisik Citra membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap melihat gaun cantik
yang di pegangnya. Gaun itu berwarna ungu muda dengan aksen renda selembut
sutra di sekeliling pundaknya. Aku tau pengetahuanku tentang fashion sangatlah
dangkal, namun aku bisa membedakan mana gaun yang cantik dan tidak. Toh aku
masih waras.
“I…
ini… ?” aku menatap Citra tidak percaya.
“Kau
lihat, gaun ini sangat cocok untuk mu, well… cukup manis dan anggun bila kau
yang memakainya,” hah, bila aku yang memakainya. Lalu apa dia tidak cukup manis
bila memakainya ? tentu tidak cukup manis. Karena pasti jawabannya sangatlah
manis, atau mungkin sempurna. Ku pikir-pikir mungkin yang cocok menjadi sahabat
Citra adalah Riana, bukan aku. Mereka mungkin bisa saling berdiskusi tentang
baju apa yang akan mereka pakai dua jam mendatang.
“Kau
suka ?” Citra menegurku lagi. Aku menatapnya lelah. “Kau pasti suka. Kau sangat
cantik dengan ini,” ia menatap gaun pilihannya dengan puas. Aku hanya terdiam.
Toh sama saja aku menerima atau menolaknya. Ia akan tetap bersikeras dengan
keputusannya. Tapi aku ingin mencoba.
“Ra, ini
berlebihan,” ujarku pelan. Ia menatapku tidak percaya.
“Berlebihan
?” pekiknya. “Hei, ini adalah hari pertunanganku dengan Arya. Dan kau bilang
aku berlebihan ?!! aku hanya ingin membuatmu terlihat cantik. Well, jangan
tersinggung,” ia terlambat. Aku sudah tersinggung.
“Kau
selalu terlihat cantik sebenarnya, hanya saja aku tidak ingin melihatmu tampil
sederhana di salah satu hari besarku. Kau sahabatku. Dan aku ingin yang terbaik
untukmu…” tutur Citra. Aku tertegun. Terharu atas semua yang ia katakan. Ah
Citra kau terlalu mengagungkanku. Kau tidak tau seburuk apa diriku. Maaf, andai
bisa ingin ku beberkan semua rahasia memuakan ini kepadanya.
Air
mataku menetes.
“Aku
selalu bahagia untuk kalian,” ujarku pelan. Citra merangkulku.
“Dan
akupun akan membantumu untuk menemukan kebahagiaanmu,” tidak, ini semua sudah
terlambat citra…
“Well,
sudah. Jangan mengharu biru lagi. Ayo kita bersenang-senang. Menurutmu dasi
warna apa yang cocok di pakai Arya?” aku tersenyum tipis dan mulai turut
mencari dasi yang cocok. Stidaknya mungkin ini hal terakhir yang bisa aku
lakukan untuknya.
***
0 komentar:
Posting Komentar