BAB EMPAT BELAS
Hujan masih mengguyur
raya ketika aku keluar dari toko makanan terdekat. Aku membeli beberapa roti
dan selai kesukaan Luna. Aku mendesah, menyesali kata-kata Kirana yang
menyarankanku untuk membawa payung. Entah mengapa perasaanku kali ini begitu
getir sekaligus hambar. Aku seakan tidak memiliki perasaan di permukaan, dengan
mudahnya aku bisa membuat wajahku sedatar mungkin. Membuat orang lain percaya
kalau aku baik-baik saja.
“Aku sudah menyuruhmu
membawa payung,” ujar Kirana. Aku mencari asal suaranya dan melihat ia berdiri
tepat di hadapanku. Aku menyeringai. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya ketika kami
berjalan beriringan. Aku menatapnya bingung. “Kau terlihat seperti memendam
sesuatu,” suaranya tampak samar di tengah derasnya hujan.
“Aku oke,” jawabku
singkat.
“Hel,” Kirana menangkap
lenganku sebelum kami masuk kedalam rumah sakit. “Kita di sini bukan untuk
saling menyakiti,” ujarnya. Aku mendesah dan mengaguk.
“Aku hanya
menghawatirkan kakek,” jawabku atas pandanganya.
Luna tersenyum senang
ketika melihat aku dan Kirana memasuki kamar rawat inapnya. Raka masih
menggenggam jemari Luna, membuatku –yang entah mengapa- langsung mengalihkan
pandanganku kesisi lain ruangan ini.
“Aku membelikan selai
strawberi kesukaanmu,” ujarku. Luna tersenyum manis dan mengaguk. Aku duduk di
samping ranjangnya. Beserbangan dengan Raka. “Terima kasih,” bisiknya lemah.
“Aku senang bisa bertemu kalian di sini,” ujarnya. Aku terdiam. “Aku tidak tau
sampai kapan bisa tetap membuka mata seperti ini, berbicara pada kalian,
tersenyum...” ia menyentuh wajah tampan Raka dengan jemarinya. “Aku minta
maaf,” bisikknya. Kirana menatap hujan dari balik jendela besar. Air matanya
mengalir perlahan.
“Kau tau Hel, sekarang
aku merasa sangat tenang melihat kalian semua dalam keadaan yang baik,” ia
menatap kami satu persatu. “Jika suatu hari aku pergi...”
“Tidak,” potong Raka
cepat. Dan saat itulah aku bisa kembali melihat wajahnya yang penuh ketakutan
dan kesedihan, begitu kontras dengan keseharian Raka yang begitu santai. Dadaku
mendadak sakit. “Kau tidak bisa pergi kemanapun. Kau harus di sini, tetap di sini,”
Raka menggenggam erat jemari Luna, seakan dengan begitu Luna akan tetap berada
di hadapan kami. Luna tersenyum dan mengaguk, memuntahkan genangan air di
matanya yang indah.
“Aku juga tidak pernah
ingin meninggalkan mu,” bisiknya tulus. Entah mengapa air mataku mengalir
perlahan.
Krek.
Tiba-tiba pintu
terbuka.
“Kak Luna,” sapa gadis
cantik dengan blazer kuning yang begitu cocok dengan kulit putihnya. Aku
tersentak. Veronica. Vero menatap kami semua bingung. Wajahnya mendadak pucat.
“Hai Vero, masuklah.
Kenalkan ini sahabat yang selalu kakak ceritakan. Rachel dan Kirana,” terang
Luna. Vero masih tertegun di ambang pintu. namun sedetik kemudian ia mengaguk
dan berjalan mendekati kami. Menjabat tanganku dan Kirana. Ia mengucapkan kata
hai yang tidak bersuara padaku. Kemudian
menatap Raka, menuntut penjelasan. Luna tersenyum lebar. Aku mundur
beberapa langkah untuk menenangkan gemuruh hatiku.
Kami semua hampir
terlonjak kaget ketika mendengar ponselku berdering. Aku langsung
mengangkatnya. Tante Lia.
“Ya tante,” bisikku.
Keempat pasang mata itu menatapku cemas. “Aku mengerti,” ujarku lirih. Dan air
mata itu mengalir di sana. Mendobrak segala pertahananku. “Aku mengerti,”
ujarku sekali lagi. Kemudian menutup teleponku.
“Ada apa?” tanya Kirana
khawatir.
“Kakek masuk ICCU
lagi,” bisikku tercekat. Kirana memelukku erat. Luna menatapku sedih. Aku bisa
melihat wajah Raka mengeras, bahkan Vero tampak terpaku menatap sepatu ketsnya,
menangis. “Aku harus pulang,”
“Biar aku mengantarmu,”
itu suara Raka. Aku menoleh kearahnya cepat. Aku ingin mengaguk. Tentu saja,
aku membutuhkannya saat ini. Namun pandanganku beralih pada gadis yang
terbaring di hadapnnya. Dia lebih
membutuhkanmu. Batinku berteriak kepadanya.
“Aku bisa pulang
sendiri,” jawabku. Kirana menggeleng. “Kalian tenanglah di sini. Aku akan
baik-baik saja sungguh.” Ujarku. “Kau harus menjaganya,” tambahku ketika Kirana
menangis di pundakku.
“Biar aku yang
mengantarmu,” bisik Vero setelah diam cukup lama. Kami semua menoleh kepadanya
bingung. Luna dan Kirana bingung karena menganggapnya orang asing untukku,
sedangkan aku dan Raka menatapnya ngeri akan keadaan. “Kebetulan aku juga harus
pergi ke Indonesia. Kak Luna kalau kakak tidak keberatan aku akan pergi dulu,
dan segera kembali lagi,” ujarnya, tampak begitu menyayangi Luna.
“Terima kasih sayang,”
Luna meremas jemari Vero. “Tolong jaga ia untukku,” bisiknya. aku melirik Raka
yang masih mengejang diam. Ia melirik Vero dalam satu lirikan cepat dan Vero
mengaguk.
“Kau tidak perlu
melakukannya,” bisikku ketika kami sampai di bandara. Sepanjang perjalanan kami
hanya terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Vero tidak menjawab. Ia
berjalan cepat di hadapanku.
“Aku minta maaf,”
bisiknya. aku tertawa pelan. “Aku tidak pernah tau kalau kau adalah
sahabatnya,” tambahnya. “Aku selalu mendengar cerita kalian darinya, tapi
bodohnya aku karena tidak pernah menyadari kalau kau adalah Rachelnya,” aku
menggeleng.
“Sudahlah itu tidak
lagi penting,” bisikku perih. Kini semuanya mulai tampak jelas. Ketakutan Raka,
maksud permintaan maafnya dan kata-kata terlambatnya. Semuanya sudah sangat
jelas.
2 komentar:
makin ikutan sedih untuk Kimi...hiks hiks
makin ikutan sedih untuk Kimi...hiks hiks
Posting Komentar