Satu.
Prolog…
Aku pernah bermimpi menjadi seorang
putri; Dan rasanya mimpi itu belum juga terwujud; Dan aku ragu akankah semua
mimpi itu terwujud??
5 tahun
yang lalu aku baru saja resmi menjadi alumni sebuah sekolah menengah atas
ternama di Bandung. Namun, karena suatu alasan aku terpaksa pergi ke luar
negri, meninggalkan separuh hidupku di kota permai ini.
Tidak
seperti orang lain, aku tidak pernah berambisi untuk tinggal dan sekolah di
luar negri. Cukup berada di sekeliling orang –orang yang kusayangi… sudah
cukup.
Namun
apa boleh buat… kami sekeluarga harus pindah dan tinggal hingga 4 tahun lamanya
di Australia. Terkadang aku melihat tatapan sedih Mom karena harus rela
meninggalkan pekerjaannya. Namun aku sendiri tak kuasa menahan keputusan yang
sudah dibuatnya sendiri.
Beberapa
tahun yang lalu aku masih sering beranggapan bahwa kami adalah keluarga yang
sangat sempurna. Dad adalah seorang perngacara kondang. Dan mom adalah seorang
dokter spesialis jantung yang ternama. Sedangkan aku dan Riana adalah sepasang
saudari kembar identik yang kerap memerankan tokoh putri ketika drama sekolah
diadakan.
Namun
seiring berjalannya waktu, seluruh kerapuhan dalam keluargaku mulai
bermunculan. Hingga kini mom masih sering merasa malu bila mengatakan apa yang
sudah terjadi kepada keluarga yang dulu selalu menjadi kebanggaannya.
Berkali-kali Riana menerangkan kepadaku jika perasaan mom itu bukan malu tapi
sedih. Itu lah sebabnya hingga saat ini hanya keluarga terdekat kami yang
mengetahui apa yang sudah terjadi.
Dan aku
sendiri tidak terlalu menuntut. Hanya saja… aku sedikit lelah…
***
Aku
menatap pantulan wajah Riana di cermin. Ia terlihat cantik dengan kebaya khas
Jawa yang akan ia gunakan di hari pertunangannya dengam Romi bulan Mei depan.
Meski
kami kembar identik, aku selalu merasa begitu berbeda dengan dirinya. Dan
memang berbeda adanya.
Dulu,
eyang slalu mengatakan bahwa kami adalah dua putri yang berbeda. Seakan-akan ia
adalah putri yang bermandikan cahaya mentari sedangkan aku adalah putri yang
bermandikan cahaya rembulan. Kami mempunyai rambut pirang warisan eyang. Mata
kami coklat keemasan khas orang-orang ber-IQ tinggi. Tubuh kami tinggi
semampai, warisan dad. Dan tentu saja wajah kami cantik seperti mom.
Namun
terlepas dari semua keindahan itu, terdapat kerapuhan pada diri kami berdua.
Layaknya sebuah telur kecil yang harus terbelah, maka tidak cukup bahan untuk
menciptakan sebuah karya yang sempurna.
Begitu
pula kami dengan segala kerapuhan kami…
“Gimana
Li, kau suka?” tanya Riana tiba-tiba. Aku langsung kembai terjaga. Tentu saja
aku suka. Ia terlihat cantik. Dan aku ragu apakan Romi pantas mendapatkan gadis
secantik saudariku.
Aku tau
Riana sudah berhubungan dengan pria asli Bandung itu sejak beberapa tahun yang
lalu. Namun rasanya aku masih tidak siap memikirkan tentang semua hal yang
bersangkutan dengan pernikahan. Umur kami baru 23 tahun saat ini. Dan rasanya
masih terlalu muda untuk mengurung diri sebagai seorang istri. Namun aku tidak
bisa berbuat banyak. Ini adalah keputusan Riana dari hatinya yang terdalam.
Aku
hanya bisa turut berbahagia, dan berjanji untuk berfikir dengan sebaik-baiknya.
Hari
ini, ada sebuah pesta reuni. Dan dengan rendah diri Riana meminjamkan segalamya
kepadaku. Aku bersorak kegirangan. Dan ku lihat Riana tersenyum lebar.
Akhirnya
aku akan pergi sebagai diriku…
***
0 komentar:
Posting Komentar