LIMA
THE SECRET...
Riana menyeka air matanya perlahan kemudian menatap wajahnya di
cermin.
‘Maaf, gara-gara aku kita jadi terlihat jelek,’ ujarnya pelan.
Aku tersenyum tipis. Walaupun benar, aku merasa ini yang terbaik. Aku lebih
senang Riana mengetahui kebusukan Romi sebelum mereka menikah. Namun aku tau,
semua angan yang sudah terlanjur tercipta tentu akan sangat menyakitkan terasa.
‘Kau tetap cantik,’ ujarku pelan. Ia mencoba tersenyum. ‘Tapi ku
rasa sebaiknya kau segera keluar kamar, mom pasti sangat khawatir,’ ujarku
lagi. Riana mengaguk perlahan kemudian berjalan keluar.
“Akhirnya kalian keluar kamar,” ujar mom seraya memeluk kami.
Aku bisa merasakan kekhawatirannya dari debaran jantungnya. “Sayang, bagaimana
keadaanmu sekarang?” tanya mom.
“Kami baik-baik saja mom, tapi mungkin aku butuh sedikit udara
segar,” ujar Riana dan aku tidak menolak.
“Hm, sebenarnya tadi Citra menelepon, ia meminta Liana untuk
mencoba gaunnya sekali lagi,” ujar mom ragu. Aku langsung terkejut. Aku tidak
mau membuat Riana tertekan karena diriku.
“Kebetulan kalau begitu, aku sedang ingin keluar,”
‘Bohong,’ desisku. ‘sudahlah Ri, lebih baik kita ke taman atau
cari tempat lain,’
‘Hey, aku tidak akan merepotkanmu,’ balas Riana. Aku mendesis.
Tentu saja ia takan merepotkanku tapi akulah yang akan merepotkannya. ‘lagi
pula aku bisa membantumu untuk memilih gaun cantik nanti,’ tambahnya. Aku melotot
kemudian mencibir. Tiba-tiba Riana terkekeh pelan. Mom masih mematung menunggu
kami berbincang dengan sabar. Dan ia selalu begitu. Andai aku menjadi dia
mungkin aku bisa gila karena melihat putri satu-satunya sering bertingkah aneh.
“Jadi bagaimana? Kalian akan pergi?”
“Ya, tentu...” ujar Riana riang. Meski rasanya aku senang
melihat senyumannya tapi aku merasa sedikit merasa risih.
***
“Akhirnya kau datang,” ujar Citra. Aku tersenyum begitu pula
Riana. Citra terlihat begitu cantik dengan gaun putih panjang semata kaki
dengan aksen renda yang begitu manis. Ia benar-benar cantik.
“Apa kau akan memakai gaun ini di pertunanganmu nanti?” tanya
Riana tiba-tiba. Citra tersenyum dan mengaguk.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Citra.
‘Ri stop!!!’ desisku.
“Hm, ini terlalu polos untuk gaun pertunangan, bagaimana kalau
renda ini di berikan sedikit warna peach atau mungkin ungu muda agar sedikit
lebih hidup,”
‘astaga Ri stop!!’ ujarku keras. Citra menatap kami tidak
percaya. Meneliti kami dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Well, tapi kalau
kau suka, kurasa ini cukup cantik...” ujarku mencoba mengusir rasa penasaran
yang tampak dimatanya. Citra mengerutkan keningnya. “Lihat, kamu tetap cantik
menggunakan gaun manapun,” aku membalikan wakahnya ke cermin.
“Oke cukup!!” bentaknya. Aku langsung tersentak. “Ri, mana
Liana?” tanyanya ketus. Aku dan Riana langsung terdiam seribu bahasa. Jantung
kami berdetak kencang, keringat dingin mulai membanjiri kening kami. “Ri, aku
tau ini kau,” ujarnya. Riana membalikan wajahnya. “Aku bisa mengenali kalian
berdua dengan mudah,” ujarnya lagi. Tiba-tiba Riana langsung menyeringai lebar.
“Sorry,” ujarnya pelan. “Well, Liana tidak bisa datang, jadi aku
yang menggantikan, lagi pula, dia pikir mungkin aku lebih bisa membantu dalam hal
fashion,” ujarnya lagi. Aku menatapnya tidak percaya. Kebohongan yang manis.
Citra meghela nafas panjang.
“Ok, mungkin ia benar,” bisiknya. Aku tau dia tentu sangat
kecewa. Dan aku merasa sangat bersalah. Namun berkali-kali Riana mengingatkanku
bahwa ini adalah yang terbaik.
“Jadi bagaimana dengan usulanku tadi?” tanya Riana. Citra
mengangkat wajahnya yang lesu.
“Patut di coba kurasa,” ujarnya pelan. Namun seiring berjalannya
waktu aku bisa melihat ia mulai menikmati diskusi fashion bersama Riana. Sudah
ku katakan, Riana memang lebih cocok menjadi sahabatnya di bandingkan dengan
ku.
Aku menghentikan langkah Riana tiba-tiba. Riana mengerutkan
keningnya saat melihat gaun pengantin di balik salah satu lemari kaca. Gaun itu
sangat manis, elegan dan anggun.
“Cantik bukan?” tanya seorang wanita paruh baya.
“Ya sangat cantik,” ujarku. Riana tak sepenuhnya setuju. “Ini dipesan
langsung oleh sang mempelai pria, namun sayangnya kekasihnya tidak begitu
menyukai gaun ini,” ujar wanita yang ku duga sebagai designer di toko itu
lemah.
“Bagaimana mungkin ada wanita yang tidak menyukai gaun ini?” tanyaku
pelan. Wanita itu mengangkat bahunya.
“Padahal pemesannya adalah seorang pengusaha muda yang sangat
mengerti fashion. Tapi yah mau bagaimana lagi,” ujarnya lemah. Aku tersenyum
tipis menguatkan. “Lihat, ini adalah koleksi gambar gaun pengantinnya,” wanita
itu menunjukan setumpuk kertas yang ia bawa.
Deg...
Aku terdiam. Senyumanku menghilang seketika. Kertas-kertas buram
itu terlihat kabur dimataku. Riana menatap gambar-gambar itu tidak percaya. Tujuh
lembar sketsa gaun pengantin manis yang selalu ku damba sejak kecil. Tujuh
sketsa gaun pengantin yang selalu ku bawa kemanapun ku pergi. Tujuh sketsa gaun
pengantin yang beberapa tahun silam ku cari dan akhirnya menyerah... karena
kupikir mereka hilang dan takkan kembali.
Tapi ternyata aku salah menerka, gaun yang selalu hadir
dimimpiku, kini ada di hadapanku. Bahkan satu diantaranya sudah menjadi nyata.
Mimpi itu...
“Siapa yang memesan gaun ini?” tanyaku kikuk.
“Mereka berdua,” tunjuk wanita paruh baya itu kepada sepasang
kekasih yang tengah berdiri di ambang pintu masuk.
Nafasku tercekat. Wajahku mulai memanas. Dan kurasa Riana
merasakan itu. Ia mencoba terlihat sewajar mungkin. Menutupi gemuruh besar di
hatiku. Dari ujung pandanganku aku bisa melihat sosok Citra yang memucat di
ujung ruangan. Ia menatap kami dan pasangan itu bergantian.
‘bisa kita pergi?’ tanyaku perih. Riana tidak menjawab. Namun
kemudian ia berbalik.
“Ri,” Citra menggenggam lengan Riana. “Please jangan katakan hal
ini padanya,” ujar Citra pelan. Aku mengginggit bibir bawahku menahan tangis.
“No, I’ll never tell her,” ujar Riana tercekat. Aku terdiam.
Perih mulai menghantam dada kami karena tangis yang tertahan.
“Citra,” panggil seorang gadis. Kami menoleh. Dan mereka disana.
Gadis dengan rambut panjang sebahu. Ia terlihat cantik hanya sedikit manja.
“Astaga kita bertemu lagi disini,” ujar gadis itu riang.
Deg...
Aku melihatnya. Ia disana. Berdiri terpaku melihat kami. Sedikit
terkejut. Ia memalingkan wajahnya kepada Citra yang masih tersenyum palsu.
“Kenalkan ini Riana,” ujar Citra refleks, yang kurasa lebih
ditujukan kepada pemuda di hadapannya. Are terlihat sedikit lega.
“Hai, aku Sylvia, dan ini tunanganku, Are,” tutur gadis cantik
itu. Aku tersentak dan lengsung membalas uluran tangannya. Riana mencoba
tersenyum sewajar mungkin. Meski akhirya ia menyerah.
“Senang bertemu denganmu, ya aku sudah mengenal tunanganmu, kami pernah satu
sekolah dulu,” tutur Riana. “Tapi kurasa sudah saatnya aku pergi sekarang,
senang bertemu kalian, bye...” ujar Riana semanis mungkin. Wajah Are dan Citra
sedikit menegang. Sekali lagi Riana tersenyum kemudian berlalu pergi.
***
2 komentar:
cherry..
ini bakal dilanjutin ga?
hhehe
iya mba, nti klo udh dapet feelnya lagi, hehehe.
ih ternyata warnanya aneh yah??? jadi ga kebaca dehhh
Posting Komentar