“Aku
menyerah…” bisikku. Aku bisa mendengar nada terkejut dari sebrang sana. Namun
diriku mengabaikannya.
“Kau
hampir sampai,” desis suara itu, sedikit perih ku rasa. Namun lagi-lagi aku
mengabaikannya.
“Aku
tidak akan pernah sampai Le. Aku sudah mencoba beribu kali dan yang ku temui
hanya jalan buntu.” Tuturku berusaha seriang mungkin. Hujan di luar sana membaurkan
getar suaraku.
“Kau
masih bisa mencoba lagi,”
“Mencoba
untuk gagal kembali?” ujarku sarkastis. Lena tercekat. Aku tertegun perih.
“Maaf Le, pesawatku akan berangkat sebentar lagi. Aku akan pergi, entah
sementara atau selamanya.” Lena tidak menjawab. Namun aku bisa mengdenagr
isakannya yang begitu perlahan. “Satu hal yang harus kau tau, aku
menyayangimu.”
Dan
telepon itu terputus. Seperti benang tipis yang menghubungkan aku dengan Lena.
Semuanya terputus begitu saja. Begitu mudahnya. Begitu singkatnya, dan begitu
menyakitkannya.
Sesaat
kemudian aku menatap layar handphoneku yang sudah mati sejak dua hari yang lalu.
Hembusan angin menerpa wajahku yang membeku.
***
Hujan
Kemarin…
0 komentar:
Posting Komentar