BAB SEMBILAN BELAS
Suasana tegang langsung
menyelimuti ruangan besar di hotel itu. dua orang dokter yang sengaja datang
untuk merawat Luna langsung sibuk memeriksanya. Namun mereka mengatakan Luna
hanya syok.
Aku sendiri masih
terpaku dalam diamku. Berharap dalam cemas akan keadaan yang mungkin saja
terjadi. Tubuhku menggigil membayangkan hal terburuk yang bisa dialami Raka.
Tante Lia menangis dalam dekapan om Arya. Aku dan Kirana duduk terpaku di sudut
ruang pertemuan itu. semuanya masih dalam ketakutan yang nyata. Sesaat kemudian
Luna siuman. Ia menangis histeris. Aku tidak bisa menenangkannya, aku sendiri
ketakutan hingga tidak mmapu bergerak. Are merangkul pundakku erat. Memastikan
kalau semuanya akan baik-baik saja. Meski iapun sedikit ragu.
Tiba-tiba pintu aula
itu terbuka.
“Maaf sudah membuat
kalian menunggu,” ujar sosok jangkung itu santai. Spontan beberapa orang
langsung memeluknya. Ia menatap kami heran. “Ada apa?” tanyanya panik, dan
kembali menghela nafas lega ketika melihat Luna baik-baik saja di hadapannya.
“Kami dengar pesawatmu
kecelakaan,” jawab tante Lia.
“ya, tapi hanya
tergelincir sedikit. Kemudian kami di pindahkan kepesawat yang lain,” ujarnya
tenang. Aku menatapnya kesal. Sangat teramat kesal. Bagaimana mungkin ia bisa
bersikap setenang itu. tanpa sadar aku berjalan menghampirinya.
Plak!
Sebuah tamparan kencang
mendarat di pipi kirinya. Semua orang menatapku terkejut. “Berani-beraninya kau
membuat Luna seperti ini,” desisku. Tubuh Raka mengejang mendengar kata-kataku.
“Rachel...” bisik
Kirana. Aku menatapnya sesaat sebelum berlalu pergi. Lelah akan semua drama
konyol ini.
***
Hari ini adalah hari
besar sahabatku. Namun aku sama sekali tidak bisa menghapus air mata ini. aku
muak pada diriku sendiri yang tampak tidak berdaya dalam perih ini. aku ingin
mendampinginya, tersenyum tulus dan mendoakannya dengan sungguh-sungguh. Namun
aku mendapati tubuhku hanya bisa mengeluarkan air mata.
Aku menatap pantulan
wajah itu di cermin. Tatapannya kosong, matanya sembab karena menangis
semalaman.
Ku kenakan gaun satin
berwarna hitam dengan perlahan. Gaun itu begitu indah membungkus pas tubuhku. Begitu
lembut dan ringan. Membuatku merasa seperti kapas. Aku membiarkan rambut
hitamku tergerai, memberikannya jepit berbentuk bunga kecil untuk memberikan
aksen natural. Kamudian memasangkan dua bunga lili terjepit indah 5 cm diatas
telingaku. Aku besyukur karena Luna meminta kami menggunakan topeng, karena
setidaknya dengan begitu aku bisa menutupi sembab ini.
Aku terhenyak menatap
sosok Luna yang begitu cantik dengan gaun pengantinnya. Minimalis namun bisa
menunjukan seluruh kecantikannya. Ia membingkai sisa-sisa rambutnya hingga
menjadi helaian indah yang jatuh di sisi kiri bahunya. Ia mengenakan topeng
putih berbulu yang begitu cantik. Tubuhnya terlihat begitu rapuh. Namun ia bahagia… ya
ia sangat bahagia. Dan tentu saja itu membuatku tersenyum penuh kebahagiaan
juga. Tuhan… ia begitu indah.
Luna menatapku
dari pantulan cermin di hadapannya. Ia tersenyum kepadaku, dan aku mendekat.
“Kau sangat cantik,” bisiknya. Aku menggeleng. Akulah yang seharusnya
mengatakan hal ini pada Luna, bukan sebaliknya. Tapi aku menemukan diriku
tercekat dalam kebekuan.
“Ini adalah
harimu. Kaulah yang akan menjadi pusat perhatian di hari ini. Semua mata akan
tertuju padamu, mengagumi kecantikanmu.”
“Apakah kau
pikir aku terlihat cantik?” Tanya Luna. Aku tercekat kemudian membalikan
tubuhnya hingga berhadapan denganku.
“Kau lebih
dari cantik.” Bisikku.
“Tapi aku
merasa tidak cantik.” Aku bisa melihat mata indahnya diliputi ketakutan. Aku
meraih sebuah lipstick dari meja rias di hadapannya.
“Kau hanya
sedikit pucat,” suaraku bergetar. Dengan perlahan kupakaikan lipstick itu di
bibir indahnya. “Lihat,” aku membalikan kembali tubuhnya menghadap cermin. “Kau
sangat teramat cantik.” Ujarku. Luna mengaguk.
“Terima
kasih,” ujarnya tiba-tiba. Memelukku erat. “Terima kasih untuk semuanya, kau
selalu baik kepadaku. Aku tidak tau, akankah aku bisa melakukan hal yang sama
kepadamu.” Ia menangis di pundakku.
“Cukup jaga
dirimu baik-baik. Itu lebih dari segalanya untukku.” Luna mengaguk. “Aku ingin
kau hadir di acara pernikahanku juga,” bisikku perih. Lagi-lagi Luna mengaguk.
Namun kini terasa begitu menyakitkan.
“Begitu
juga dengan pernikahanku,” Kirana berdiri di ambang pintu. Kemudian berjalan
mendekati kami. Memelukku dan Luna secara bersamaan. “Hey, sebenarnya aku
kesini untuk menjemput kalian, acaranya sudah akan di mulai,” aku melepas
pelukanku dan merapihkan gaun Luna. Ia tersenyum, mengaguk. Untuk kali itu aku
merasa senyumanku mengembang tulus. Memperlihatkan betapa bahagianya aku
bersama kedua sahabatku di sini.. Pernikahan ini akan menjadi pernikahan
terindah yang akan ku hadiri sepanjang kehidupanku.
“Aku harap
aku tidak mengganggu, tapi kau benar-benar harus segera keluar,” ujar Vero di
ambang pintu. Kami bertiga refleks mengaguk bersama. Aku membiarkan Vero
membawa Luna dengan kursi rodanya, dan berjalan di belakangnya bersama Kirana.
Tiba-tiba Kirana memelukku erat.
“Terima
kasih,” bisiknya di telingaku. “Aku tau kau sangat terluka.” Tambahnya. Aku
menatapnya tidak mengerti. “Aku benar-benar minta maaf karena selama ini tidak
pernah memikirkan perasaanmu.” Aku tersenyum dalam diam. “Kau sangat baik
karena mau merelakan Raka untuk Luna. Aku tau sejak awal bertemu Raka. Tapi aku
selalu menutupinya. Aku selalu menghindari kenyataan ini. Kenyataan bahwa kau
dan Luna mencintai pria yang sama,”
“Sudahlah.”
Kataku dingin. Walaupun sebenarnya aku tidak pernah bermaksud begitu. “Aku
baik-baik saja, dan lagi pula aku selalu baik-baik saja,” tambahku. Kirana
mengaguk dan melepaskan pelukannya. “Aku hanya berharap satu hal, tolong jaga
Luna.” Meskipun tampak heran mendengar kata-kataku, Kirana tetap mengaguk.
Kemudian kami kembali berjalan ke luar hotel.
Acara sudah
hampir dimulai. Semua tamu sudah duduk di tempatnya. Luna sudah siap dengan
seluruh pengiring pengantinnya. Dan ia pun begitu. Ia sudah siap di sana.
Berdiri menatap sosok mempelai pengantinnya. Begitu tampan seperti biasa.
Bahkan mungkin lebih tampan. Tegap dan bijaksana. Aku merasa jantungku
terhimpit. Sesak menderu diriku. Tuhan… ku mohon…
Aku
merasakan tatapan kakek menghujam diriku. Wajahku memucat seiring berjalannya
Luna dengan pengiringnya. Sepelan mungkin aku bergerak. Namun bukan
mengiringinya. Aku bergerak mundur, menunduk. Membiarkan air mataku menetes
perlahan. Hatiku benar-benar sakit menahan tangis.
Tuhan, ku
mohon, kuatkanlah diriku untuk kali ini saja… kuatkanlah diriku….
Cintaku
untuk pangeran itu harus segera musnah. aku tidak akan pernah bisa membiarkan
cinta memuakan ini menghancurkan hati sang putri. Tidak!! Tidak akan pernah!!!
Are
menangkap pergelangan tanganku ketika aku berlari di parkiran. Aku terkejut dan
menangis di pelukannya. Aku menangis keras, tergoncang sepenuhnya. “Please,
bawa aku pergi…” bisikku terisak. Are mengaguk dalam diamnya. Kemudian
menuntunku ke mobilnya. Kakek sudah ada di sana.
1 komentar:
oh...utglah raka tidak bnran kecelakaan.
kalo jd kimi, gw pasti dari awal ga akan sangup ada d tempat itu. ada baiknya kimi memang pergi...
cherry, nyesek bgt siy liat kesedihan kimi.. hikss
Posting Komentar