DUA.
Reuni…
Gedung
aula sekolah SMA ku terlihat begitu indah. Berhias pita-pita cantik
berwarna-warni dengan lampu-lampu kecil yang juga beraneka warna. Aroma bunga
mawar, krisan, melati, kenanga dan lavender langsung menusuk hidungku saat
tubuhku melewati pintu utama.
Rasanya
seperti kembali ke beberapa tahun yang lalu. Saat rok abu-abu masih menjadi
sahabat setiaku. Namun saat menyadari wajah-wajah baru yang familier itu aku
kembali tersadar. Lagu Christina Agullera terdengar sahdu diantara kami.
Beberapa anak tengan berdansa di tengah aula yang sudah disulap menjadi dance
floor mini yang manis. Sekelompok
yang lain tengah berdiri disamping meja berisikan berbagai macam makanan dan
minuman. Aku sendiri masih mematung di ambang pintu. Rasanya begitu
menyenangkan berada di tempat indah yang begitu familiar bagiku.
“Liana…is
it you?” tanya seorang gadis bergaun biru selutut ragu-ragu. Aku menatapnya dan
tersenyum manis. “Oh my God, Li… benarkah ini dirimu?” tanya Fathia ragu.
Sekali lagi aku hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba Fathia memelukku erat. “Kau
berhutang penjelasan kepada kami Li…” ujarnya. Aku hanya mengaguk sekali.
“Hei…
please, aku ga mau orang-orang beranggapan kalau aku membuatmu menangis…”
candaku. Fathia melepas pelukannya dan menarikku ke suatu tempat.
“Hm…”
Fathia berdehem pelan saat kami sampai di depan sekerumunan orang. Karena ini
adalah pesta topeng aku jadi tidak bisa mengenali siapa saja yang ada di hadapanku.
Namun nampaknya mereka cukup mengenali diriku yang hanya berbalut gaun putih
sederhana namun tentu saja bermerk -karena setau ku, Riana tidak memiliki gaun
murahan-. Dan gaun ini adalah gaun yang paling sesuai dengan seleraku.
“Liana…?”
tanya seorang gadis cantik bergaun merah menyala. Ia menggeleng tak percaya,
kemudian memelukku erat. Astaga separah inikah kerinduan mereka kepadaku?
Perlahan-lahan
aku mulai menyadari siapa saja yang ada di
hadapanku saat ini.
Fathia,
gadis pintar yang ambisius dan Fatan kekasihnya. Wine, gadis cantik yang
mengenakan gaun merah menyala, sesuai dengan kepribadiannya yang begitu berani.
Gilang, pemuda tampan mantan ketua osis kami. Hollie, sahabat indo kami yang
meski berbadan besar namun memiliki wawasan yang begitu luas. Qia gadis bodoh
namun menyenangkan. Dan yang terakhir Citra serta tunanggannya -yang dulunya
akulah yang memperkenalkan mereka-.
Setelah
melepas rindu dengan berpelukan, mereka benar-benar mengintrogasiku. Dan entah
mengapa kebohongan itu terasa nyata. Dan mereka bisa percaya begitu saja. Puas
mengintrogasiku mereka bercerita pengalaman masing-masing.
“Li, Riana
mana?” tanya Citra. Aku tersenyum dan menggeleg. “Oya, aku dengar dia akan
segera bertunangan dengan Romi?” aku mengaguk pelan.
“So,
how about you ?” goda Gilang. Aku hanya mengangkat bahu.
***
Pesta
ini benar-benar menyenangkan. Namun aku tidak terbiasa berada di tengah orang
banyak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke belakang aula. Seingatku
di sana ada sebuah kolam renang yang dulu sering aku datangi kala bosan.
Tiba-tiba
langkahku terhenti saat mendapati sebuah alunan piano dari atas panggung di
sebelah kiri aula. Aku memalingkan wajahku sesaat. Dan dunia seakan berhenti
berputar. Kebahagiaan merasuki seluruh relung hatiku. Rasanya seperti mimpiku
menjadi kenyataan. Air mataku menetes perlahan. Dan itu adalah tanda
kebahagiaanku yang begitu mendalam.
Sosok
pemuda jangkung yang kerap menemaniku di saat gundah. Seorang sahabat yang rela
memikul beban sahabatnya. Seorang pria yang tanpa ku sadari kerap menghiasi
lembaran buku diaryku. Astaga, akhirnya aku bisa kembali melihat sosok tampan
yang memiliki tatapan tajam namun menyejukan. Dengan senyuman manis yang selalu
terlukis di balik bingkai wajahnya yang begitu sempurna.
“Because
tonight will be the night that I will fall for you
Over
again don’t make me changes my mind…
I want
live to see you in another day, I swear it true…
Because
the girl like you is imposible to find…”
Aku
tersentak kaget saat tatapannya mengarah padaku ketika menyanyikan sebait
lagunya yang indah. Aku langsung memalingkan wajahku. Entah mengapa air mata
yang kini mengalir terasa begitu pedih. Apakah karena aku sadar akan apa yang
tersirat dari balik semua lagunya. Bahkan di balik tatapan matanya.
Kini
aku benar-benar tidak bisa menahan tangis. Dan instingku memintaku untuk segera
pergi.
Aku
berdiri sendiri di samping kolam renang yang sunyi. Rembulan tampak bersinar
enggan di balik rimbunan awan. Ku tatap pantulan wajah cantik yang terukir di
balik jernihnya air. Setetes air mata membuat bayangan itu memudar karena
gelombang-gelombang kecil yang tercipta.
“Hai!”
aku tersentak kaget dan langsung menoleh. Ia disana. Dengan tuksedo yang begitu
pas membalut tubuh jangkungnya.
“Mm…hai…”
balasku kikuk. Wajah tampannya tampak bercahaya. Seakan kebahagiaan terbesar
berada di genggaman tangannya.
“Bulannya
indah…” ujarnya tanpa memalingkan wajahnya dari rembulan. Aku menatapnya ragu.
Kemudian turut menatap rembulan. “Aku tau…” ujarnya pelan. Aku menatapnya tidak
mengerti. “Can I have this dance with you ?” tanyanya saat sebuah lagu merdu
mengalun dari dalam aula. “Can I have this dance?” ulangnya lagi. Aku tersentak
kaget dan langsung mengaguk. Tentu saja aku akan mengatakan iya. Setidaknya,
mungkin ini akan menjadi yang terakhir bagiku untuk menikmati kesempurnaan
ciptaan Tuhan.
Ku
sandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, dan membiaran air mata ini mengalir
membasahi bagian depan kemejanya. Ia tidak berkomentar. Hanya mengayunkan
tubuhku maju mundur sesuai irama. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang
seirama. Andai waktu berhenti saat ini…
Musik
telah berhenti, namun Are nasih tetap mengayunkan tubuhku. Dan aku tidak
menolak. Ini mungkin akan jadi sesuatu yang takkan pernah ku rasakan lagi di
lain waktu dalam hidupku.
“Jangan
berhenti…” rengekku saat ia menghentikan langkahnya. Ku cengkram kemejanya
kuat-kuat. Dan sesaat kemudian aku bisa merakan tetesan air mengenai tubuhku.
“Hujan…”
bisiknya di telingaku. Aku melepaskan pelukannya dan menatap hujan yang mulai
membesar. “kita harus pergi…” ujarnya lembut.
“Aku
ingin tetap disini…” ujarku pelan. Are tersenyum manis dan menggeleng.
“Terkadang
ada satu hal yang tidak bisa kita lakukan meskipun kita ingin…” ujarnya. Aku
tersentak kaget saat mendengar kata-katanya. Ia menatapku heran saat aku mundur
beberapa langkah. “Li, ada apa?” tanyanya panik. Aku tau, saat ini pasti
wajahku tampak ketakutan dan sulit dibaca. “Well, aku tidak bermaksud
meninggalkanmu, aku Cuma mau kita pindah kesuatu tempat, karena hujannya
semakin membesar…” teriaknya mencoba menandingi suara hujan yang menggema. Aku
menggeleng pelan. Aku tau, dia tidak akan pernah bisa menginggalkanku,
sebagaimana aku terhadapnya. Namun ia benar, terkadang ada hal yang tidak bisa
kita lakukan meskipun kita ingin…
“I have
to go…” ujarku seraya berpaling dan tidak pernah menoleh lagi.
***
Akhirnya
aku menyesali kedatanganku ke tempat ini. Akhirnya aku mengangisi keputusanku
sendiri. Dan akhirnya aku kembali
terpuruk dalam kenyataan yang pahit.
Ku
tatap pantulan wajah itu di cermin. Hm, aku tau…walau bagaimana pun inilah
jalan yang ku pilih. Dan tidak seharusnya aku menyesali semua yang sudah
terjadi.
Di luar
hujan masih turun dengan derasnya. Namun sepertinya tidak mampu mengusik kebahagiaan
yang tercipta dalam ruangan besar itu. Beberapa anak kecil berlarian ke sana
kemari. Aku tersenyum tipis. Andai bisa, dulu aku slalu berharap langsung
menikah setelah SMA. Agar aku bisa menjadi ibu muda. Tapi toh, mimpi hanyalah
mimpi…
Tiba-tiba
aku mendengar suara Romi di luar toilet. Aku tersentak kaget. Bukankah ia
mengatakan kepada Riana bahwa ia takkan datang? Baru saja ingin ku buka pintu,
namun ku urungkan saat mendengar suara lain di luar sana. Suara seorang gadis
yang tampaknya cukup ku kenal.
Ragu-ragu
ku langkahkan kaki keluar toilet. Dan akhirnya aku terpaku di depan pintu yang
terbuka setengah. Aku menggigit bibirku keras-keras agar tidak berteriak.
Kepalaku sakit melihat segala sesuatu yang ada di hadapanku. Berbagai perasaan
langsung berkecamuk dalam benakku. Bagaiman ini semua terjadi. Romi dengan
Anes, teman sebangku Riana semana SMA, melakukan hal yang tidak sepatutnya
dilakukan. Terlepas dari semua anggapan Riana tentang Romi, aku semakin muak
akan semua ini. Dan sekarang aku ragu, haruskah aku memanggil Riana.
Brak…
Tanpa
sengaja Anes menjatuhkan sebuah pot bunga kecil karena keterkejutannya saat
melihatku. Romi sendiri tampak kalang kabut membetulkan pakaiannya.
“Liana…”
bisik Romi ragu. Aku menatap mereka dengan tatapan kosong. Ragu ingin melakukan
apa. Namun akhirnya aku menghela nafas panjang. Mereka berdiri menunduk di
hadapanku. Seakan mereka adalah murid bermasalah yang sedang berhadapan dengan
guru BP.
Aku
sendiri bingung hendak melakukan apa. Rasanya semua kenyataan ini membuatku
terlalu lelah. Namun aku tidak mungkin pergi begitu saja, berpura-pura tidak
tau kemudian merestui Romi untuk menjadi iparku.
“Hm…well…”
aku mencoba bersuara setenang mungkin. Meski rasanya terlalu besar sensasi
perasaan Riana disini. “Aku terkejut…” ujarku diplomatis. Anes sudah mulai
menangis.
“Aku
ingin bicara empat mata dengan mu…” ujar Romi. Yang sepertinya di tunjukan
kepada Anes. Aku mengangkat bahu tidak acuh. Kemudian berbalik.
“Tidak
ada yang perlu dikatakan kurasa…” tuturku tanpa menatap mereka berdua.
Tiba-tiba Anes berlari kearahku.
“Li,
maaf… aku tau ini semua kesalahanku, tapi sungguh aku tidak bisa melupakan Romi
begitu saja…
dia cinta pertamaku,” ujarnya parau. Romi tampak salah tingkah dengan pengakuan
Anes kepadaku. Aku berbalik menatapnya.
“Lalu
apa yang kau ingin aku lakukan sekarang, hah?” tanyaku, masih mencoba setenang
mungkin.
“Aku
tidak tau, tapi kalau boleh meminta. Tolong sampaikan padanya jangan merebut
Romi dari ku…” ujarnya. Aku terbelalak kaget, begitu pula Romi. Romi menarik
tubuh Anes menjauh dariku. Dan aku sendiri masih mematung dengan perasaan yang
semakin berbelit. “Katakan padanya, jangan merebut Romi dariku…” teriak Anes
histeris. Aku bisa melihat Romi menyeret Anes dengan paksa.
Tiba-tiba
air mataku mengalir. Namun aku sadar ini bukan air mataku. Tapi Riana.
Sedetik
kemudian aku mulai bisa merasakan sakit yang mendalam dari hatiku. Dan barulah
aku sadar betapa kerasnya Riana menahan sakitnya sedari tadi.
“Cukup…”
ujar Riana akhirnya. Aku sendiri mencoba berfikir sesuai dengan keadaannya.
Romi dan Anes langsung tertegun. Suara lembut Riana tampak terdengar begitu
berat.
“Liana…”
bisik Romi memastikan. Riana menggeleng. Kemudian dengan sigap menarik rambut
pirangnya ke belakang hingga membuat sebuah butut kuda yang indah. Selama ini,
perbedaan kami memag tipis. Aku paling tidak suka rambut panjang kami yang
lembut diikat. Namun berbeda dengannya yang tidak suka membiarkan rambutnya
tanpa ikatan sedikit saja.
“Riana…”
kini giliran Anes yang bersuara. Riana menatap mereka tajam.
“Well,
selamat malam…” ujar Riana pelan sebelum berbalik. Aku tak mengerti dengan sikapnya. Romi dan Anes
menatap kepergian kami dengan membisu.
‘Mengapa
kamu melakukan itu ?’ tanyaku pelan. Riana menggeleng perlahan. ‘Maafkan aku
Ri, aku tidak bermaksud menyakitimu…’
“Bukan
kau yang menyakitiku, lagi pula… seluruh hidupku toh memang berisikan rasa
sakit…” tuturnya pelan. Andai bisa tersenyum tentu aku akan tersenyum. Namun
bukan senyuman yang di penuhi kebahagiaan, hanya senyuman yang melukiskan betapa
perihnya hidup ini.
‘Ayo
pulang…aku lelah…’ ujarku. Ia mengaguk dan berlalu pergi.
***
0 komentar:
Posting Komentar