Senin, 04 Maret 2013

LOVE RAIN part 1



“Ku pikir kau menyukai hujan.”
Aku tersentak mendengar suara merdu yang menyejukan itu, dan tersesat sejenak di kelamnya mata indah miliknya. Kemudian ketika otakku kembali menampar jiwaku yang lemah, aku menundukkan kepalaku lagi. Menatap genangan hitam dalam hatiku yang terasa semakin akrab dan jelas menyakitkan. Pemuda di hadapanku menghela nafas pelan, wajah tampannya menatap hujan dari balik jendela besar yang memisahkan kami dengan dunia luar. Tetesan-tetesan hujan itu terus membesar, menyerbu daratan Jakarta yang penuh debu.
 “Aku selalu berpikir kau menyukai hujan,” aku bisa mendengar senyuman simpul dari suaranya. Ia menyesap kopinya sekali, kemudian kembali menatap hujan. Seakan hanyut dalam setiap tetesannya yang indah. “Aku ingat kau selalu berteriak kegirangan ketika bertemu hujan, dan aku selalu menggodamu dengan memanggilmu katak.” Ia terkekeh pelan. “Wajahmu akan langsung tersenyum sumingrah ketika mencium aroma tanah yang di guyur hujan, bahkan saat tetesan pertama kali itu muncul kau sudah tersenyum.”
Aku masih terdiam, dengan susah payah aku menjaga air mataku agar tidak kembali mengalir di pipiku.
“Lalu ketika kelas usai, kau akan segera berlari ke luar kelas. Mengulurkan tanganmu untuk menyentuh tetesan hujan itu. Matamu akan terpejam dan senyummu akan merekah indah. Kau akan berdiri disana untuk beberapa saat, seakan menikmati hujan, seakan berbicara pada hujan,” Ia terdiam sejenak, kemudian kembali melanjutkan. “Kau bahkan membeli payung transparan agar bisa melihat hujan dengan sesuka hati. Saat itu, aku selalu berpikir jika kau adalah putri katak atau mungkin dewi air.” Guraunya.
Aku bukan seorang putri, batinku.
Seakan bisa membaca pikiranku, Ia tampak tersentak, dan diam untuk sejenak. Menyesap kopinya namun sama sekali tidak menatapku. Matanya masih terfokus memandang hujan yang semakin besar.
“Kau benar,” bisiknya pelan seraya meletakan cangkir kopinya di meja. “Sudah Lima tahun… sepertinya kau banyak berubah.” Lanjutnya lagi. Aku mengerutkan keningku.
Berubah katanya? Aku? Aku tidak pernah berubah. Dia yang berubah.
“Kau adalah gadis yang paling unik yang pernah ku temui selama ini. Kau tersenyum bahagia dalam kesendirianmu, ketika gadis-gadis lain menangis karena cinta monyet mereka. Kau benar-benar menakjubkan.”
Lagi-lagi aku terdiam, mulai merasa jengah dengan semua yang ku dengar dari mulutnya. Mulai merasa muak pada diriku sendiri yang tidak bisa menahan gemuruh hatiku yang semakin tak menentu.
“Kau gadis yang tidak bisa disentuh,” ujarnya sambil tersenyum. “Kau begitu jauh dari raihan semua tangan di sekelilingmu. Kau seakan memiliki duniamu sendiri, kau tersenyum bahagia di setiap harinya. Seakan kau tidak pernah memiliki rasa perih dalam jiwamu. Atau mungkin kata kesedihan bukanlah kata yang terdapat di dalam kamus kehidupanmu?” nadanya terdengar seperti pertanyaan. Namun aku sama sekali tidak ingin menjawabnya. Karena ia pun tidak menunggu jawabanku.
“Aku selalu bertanya-tanya apa hubunganmu dengan hujan. Mengapa kau tampak begitu bahagia ketika melihatnya,” suaranya terdengar ragu dan mengambang di sekeliling ruangan itu. “Tapi aku tidak berani menanyakannya padamu, sudah ku katakan bukan jika kau adalah sosok yang sangat sulit di sentuh. Aku selalu merasa takut setiap kali ingin berjalan mendekatimu, aku tidak tau mengapa. Namun hati kecilku khawatir jika kehadiranku hanya akan menghapus senyuman indahmu.”
Ya Tuhan… kumohon… jagalah hatiku. Bantulah aku untuk terus menjaga air mata itu. Aku sudah lelah menangis, aku sudah lelah…
“Setiap hujan itu datang, secara diam-diam aku akan mengintipmu dari balik jendela kelas kita. Aku akan berdiri di sana selama kau berbincang dengan hujan. Aku senang melihat senyumanmu. Wajahmu yang tenang akan langsung mendamaikan hatiku. Hembusan angin yang menemani hujan kala itu akan mengantarkan aroma harum tubuhmu sampai ke tempatku berdiri. Dan saat itu aku akan menghirupnya dalam-dalam, menyimpannya di memori khusus dalam otakku.”
Aku merasa tubuhku mulai menegang, dadaku benar-benar perih menahan isak tangis yang menumpuk hingga ke tenggorokan.
“Kau terlihat sangat cantik ketika tersenyum bersama hujan, langkahmu tampak seperti tarian di bawah hujan. Kau sama sekali tidak peduli dengan lumpur yang menciprati sepatu hitammu. Kau akan tersenyum lebar ketika gadis-gadis lainnya mengeluh karena hujan. Kau akan dengan tenang berjalan di bawah serbuan hujan.”
Aku tersentak ketika mendengar kegetiran dalam kata-katanya.
“Kau ingat ketika kita bertemu di perpustakaan hari itu? kau tidak akan pernah tau betapa aku bahagia melihatmu berdiri dengan tumpukan buku di tanganmu. Matamu yang indah membulat ketika melihatku datang, keningmu sedikit berkerut dan salah satu alismu naik. Tampak jelas jika kau heran melihatku di sana.” Ia mengusap peluhnya dengan punggung tangannya. “Dan sejujurnya aku juga merasa sangat heran dengan kedatanganku ke tempat itu. Aku adalah kapten basket, orang yang mereka panggil sebagai pangeran lapangan,” ia mendengus pelan. “Tempatku bukan di perpustakaan, tapi tepat di hadapannya, di lapangan basket yang tidak pernah sepi penonton ketika aku bermain.”
“Tapi aku sama sekali tidak menyesali kedatanganku hari itu ke perpustakaan. Aku bahkan tidak merasa malu. Aku justru merasa sangat bahagia ketika tau kau selalu duduk di tempat yang sama, di dalam perpustakaan. Di kursi yang terletak di sudut ruangan, tepat di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke lapangan basket. Kau tau apa yang ku harapkan saat itu? konyol memang, namun aku berharap selama ini permainanku sedikit menarik perhatianmu, dan setidaknya kau menontonku dari dalam sana.”
Aku merasakan hatiku perlahan pecah. Bagai bongkahan es yang terlempar dari ketinggian, dan pecah berkeping ketika menyentuh daratan. Namun aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku tidak lagi menangis untuknya. Tidak akan pernah lagi.
Aku bisa mendengarnya mengehla nafas lelah. Kemudian tangannya tidak lagi menyeka peluhnya, tapi ia menyeka air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Aku meringis perih menyadari kenyataan itu.
“Aku tau, aku adalah sosok yang paling pengecut di muka bumi ini. Aku bahkan tidak pernah bisa menyapamu, meskipun setiap hari aku akan berjalan di belakangmu, secara diam-diam tentu saja. Kau pasti akan bertanya-tanya siapa yang menyelipkan permen gula-gula manis ke dalam lokermu setiap usai pelajaran olah raga. Ya, itu aku. Aku ingin kau memiliki energi lagi. Dan dari yang ku dengar gula-gula itu akan memberikanmu beberapa persen energy tambahan untuk harimu.
“Kau juga pasti bertanya-tanya siapa yang selalu mengirimkan bunga-bunga itu di hari valentine dan ketika hari ulang tahunmu. Ya, itu juga aku. Aku benar-benar seorang pecundang. Aku bahkan akan berpura-pura tidak melihatmu ketika tanpa sengaja kita berjalan berpapasan di lorong sekolah yang sunyi. Aku akan dengan angkuh mengangkat wajahku, berjalan santai tanpa mempedulikanmu ketika yang sebenarnya ku rasakan dalam hatiku adalah gemuruh yang tak menentu.
“Aku pikir aku sudah mulai gila saat itu. Bahkan ketika akhirnya aku mulai memimpikanmu, memimpikan wajah indahmu ketika tersenyum bersama hujan. Ketika tanganmu terulur untuk meraih hujan yang seakan ikut tersenyum bersamamu. Tapi sekali lagi, aku adalah pecundang. Sebesar apapun rasa itu, aku akan selalu mengelak. Menutup mataku dari kenyataan itu.
“Dan hari itu, ketika pertama kali aku melihat tetesan air mata di kedua sisi wajahmu, aku sangat ingin memelukmu, menenangkanmu, mengingatkanmu jika masih ada aku di sini. Ada aku yang akan selalu menemanimu. Ada aku…” ia terdiam sejenak, mengatur nafasnya yang terdengar tak menentu. “Tapi aku terlalu takut. Aku takut kau justru tidak membutuhkanku. Aku takut kau justru akan menghindariku, dan akhirnya meninggalkanku, menutup kemungkinan untukku duduk diam-diam menatapmu dari balik jendela kelas kita.”
Aku sudah tidak tahan. Hatiku terpilin perih ketika mendengar luka dari dalam kata-katanya.
“Aku tau, kau sangat terpuruk ketika kedua orang tuamu meninggal. Aku tidak pernah melihat tatapan menyakitkan itu sebelumnya, aku tidak pernah. Dan sejujurnya, itu juga menyakitiku. Tapi bodohnya aku karena terus menjunjung tinggi egoku. Bodohnya aku!”
Tidak… ku mohon…
“Aku hampir saja membunuh diriku karena muak ketika akhirnya pemuda itu merangkul pundakmu, mengangkat lukamu. Menemanimu meneruskan hari, menyongsong esok yang tidak pernah terprediksi. Aku sangat menyesali kebodohanku. Kau tidak pernah tau betapa aku ingin membunuhnya, betapa aku ingin merebutmu dari pelukannya, betapa aku ingin memilikimu, memilikimu secara ekslusif untukku seorang.
“Tapi kemudian aku sadar. Aku bukanlah sosok yang baik untukmu, aku bahkan tidak pernah membuatmu tersenyum. Aku selalu memalingkan wajahku darimu, aku selalu menghindarimu, aku selalu menyakitimu dengan kata-kata ketusku. Aku akan selalu meninggalkanmu, tidak peduli berapa kali kau memanggilku kala itu.”
“Aku mencintaimu Elena…”
Air mataku menetes perlahan, hancur sudah seluruh bendungan yang selama ini ku jaga rapat-rapat. Hancur sudah seluruh dinding yang menahan hatiku agar tetap kokoh dan membeku dalam kesunyian itu. hancur sudah semuanya…
Aku ingin merengkuh wajahnya, mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Namun kenyataan tentang kepergiaannya kala itu kembali menampar diriku.
Dia tidak akan pergi meninggalkanmu jika dia mencintaimu…. Teriak otakku dengan angkuh.
Aku ingin menggeleng dan menyangkal, namun sisi logisku tidak bisa di bohongi. Ia pergi tepat sebulan setelah kepergian orang tuaku. Ketika langkahku kian gontai di setiap harinya, ketika semua yang ku butuhkan adalah sebuah penopang lain agar aku tidak terjatuh dalam jurang duka yang semakin dalam. Namun pada kenyataannya ia pergi juga. Pergi meninggalkanku, meninggalkan sekolah kami, kenangan kami, meninggalkan hujan kami.
Ia tidak pernah tau betapa itu sangat menyakitkan hatiku. Dia salah jika selama ini beranggapan telah melukaiku dengan sikapnya yang dingin. Aku sama sekali tidak keberatan, aku tidak pernah terluka, asalkan bisa melihatnya, asalkan ia berada dalam jarak pandangku, aku akan selalu tersenyum, aku akan selalu tersenyum bahagia.
Tapi pada akhirnya ia tetap pergi meninggalkanku.
Dan hujan itu, semuanya terasa hambar ketika akhirnya ia berlalu pergi. Semuanya terasa semu, dan dingin. Hujan itu kembali menjadi hujan yang semua orang rasakan tanpa kehadirannya. Hujan itu akan sama menusuknya dengan hujan-hujan yang gadis lain rasakan!
Aku memang menyukai hujan, namun hanya ketika ia bersamaku. Karena senja berhujan kala itu lah aku pertama kali melihat sosok tampannya. Ketika ia berdiri mendengus sambil menutup pintu ruang kepala sekolah di belakang tubuhnya. Ia adalah orang asing yang langsung membuat hatiku terketuk. Orang asing yang mengubah senja berhujanku yang dingin terasa begitu hangat dan manis. Dan sejak saat itu aku tau, aku menyukainya.
Aku menyukai pemuda itu. Pemuda tampan yang menjadi murid baru di kelasku, duduk berselang tiga kursi di belakang kursiku. Sosok rupawan yang selalu menjadi pusat fokusku ketika duduk di dalam perpustakaan dengan buku terbuka di hadapanku.
Aku hanyalah gadis biasa, dan ketika merasakan hal aneh itu, aku hanya bisa terdiam seribu bahasa. Tersenyum diam-diam dalam setiap kedipan mataku. Mencuri pandang sosoknya dalam kesunyian ruang perpustakaan. Mengaguminya sepenuh hati tanpa sekalipun menyentuh sosoknya.
Tapi aku tau.
Aku mencintainya.
Sangat.

“Aku sudah melakukan banyak kesalahan Elena, aku sudah sering kali mengambil langkah yang salah. Aku sudah sering merasa terpuruk karena egoku sendiri. Dan saat ini, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi. Aku ingin bersamamu, aku bahkan akan memaksamu untuk tetap tinggal bersamaku, tidak peduli apakah kau suka atau tidak. Tapi aku akan tetap memaksa. Aku akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkanmu. Aku sungguh-sungguh.”
Tubuhku membeku mendengar pengakuannya. Tidak! Ia tidak perlu memaksaku, karena aku akan senang hati berjalan menghampirinya. Aku sangat mencintainya, dan tidak ada alasan untukku, untuk tetap berdiri dan akhirnya menjauh darinya. Tidak lagi.
“Jadi ku mohon Elena… sadarlah…”

DEG…
Kepalaku seakan terbentur begitu saja, membentur segala kenyataan yang sejenak terlupakan. Dadaku mulai terasa sesak karena tersesat dalam kegelapan itu. Aku ingin menggerakan tubuhku, atau mungkin sekedar menggerakan tanganku untuk dapat menyentuhnya, menggenggam tangannya dan merasakan keperihannya. Meringankannya, menyeka air matanya.
Tapi tubuhku kaku tak bisa bergerak. Kedua tanganku membeku di kedua sisi tubuhku yang terbalut selimut rumah sakit. Bibirku diam, terkunci rapat. Bahkan kelopak mataku tetap tertutup tak bergerak. Aku ingin berteriak, aku ingin memanggil namanya, dan mengatakan bahwa aku juga mencintainya!!! Aku ingin hidup bersamanya, selamanya.
“Ku mohon Elena… bangunlah…” bisiknya pelan. Aku bisa merasakan semburan ketakutan dari suaranya.
Ya, Danies… aku akan sadar untukmu…
“Berusahalah Elena, bertahanlah… ku mohon,”
Tidak. Kau tidak perlu memohon. Aku akan terus bertahan. Aku akan terus bertahan di sini untukmu dan untuk diriku sendiri.
“Aku mencintaimu Elena,” ia mengecup punggung tanganku dengan perlahan. Membuat hatiku jatuh begitu saja, meninggalkan tubuhku yang kaku tak bergerak karena kecelakaan dua atau tiga hari yang lalu.
Aku juga mencintaimu Danies melebihi apapun di dunia ini. Aku mencintaimu!
Tiba-tiba aku merasakan sentuhan hangat di keningku, lalu turun ke bibirku. Ia menciumku dengan sangat lembut, membuatku bisa merasakan seluruh duka yang tersembunyi di balik jiwanya.
“Tapi jika memang sudah waktunya, aku tidak akan menahanmu lagi. Sudah banyak kesalahan yang ku lakukan selama ini. Dan aku tidak ingin melakukanya lagi, tidak untuk menyakitimu.”
Apa?!?!
Dia pasti bercanda.
“Aku menyayangimu Elena, aku takkan bisa hidup tanpamu. Dan keputusanku untuk pergi saat itu adalah hal terburuk yang pernah ku lakukan. Aku minta maaf,”
Kalau begitu jangan biarkan aku pergi saat ini.
“Tapi aku tidak akan menahanmu sekarang.”
TIDAK!
“Kau berhak pergi sesukamu, aku pantas mendapatkan ganjarannya.”
TIDAK DAN TIDAK! Aku tidak ingin pergi kemanapun Danies, tidak sama sekali!!!!
“Kau hanya perlu tau, cintaku untukmu tidak akan pernah hilang. Sampai akhirnya aku pergi menyusulmu. Tapi kau tau, itu tidak akan memakan waktu lama. Aku akan terus memohon pada Tuhan agar segera menyabut nyawaku.”
Tidak Danies… ku mohon…
“Selamat tinggal Elena. Aku mencintaimu,” bisiknya pelan.
Dan air mataku menetes semakin dalam, bisa ku dengar suara hujan di luar sana semakin membesar, bahkan kini petir tampak saling bersahut-sahutan. Menemaniku yang terjerumus semakin dalam ke dalam lukaku. Jika sosok yang menjadi penyemangat hidupku sudah menyerah, apa lagi yang bisa ku lakukan? Apa lagi yang bisa ku lakukan selain ikut menyerahkan diri dan jiwaku untuk masuk semakin dalam pada kelamnya jurang kepedihan itu sendiri.
Danies mungkin benar, aku memang merasa lelah. Aku lelah menghitung hujan, dan mulai menyadari bahwa yang ku lakukan hanyalah sia-sia belaka. Aku tidak akan pernah bisa menghitung hujan sekeras apapun aku berusaha. Seperti cintaku pada sosok Danies, mungkin sudah waktunya aku berhenti berharap, dan menyerahkan jiwaku pada sisi kelam lain dalam dunia ini. Kematian…

***

4 komentar:

Unknown mengatakan...

tisu mana tisu? :')
Thanks cherry... Love this story... :D

lovelywoman1 mengatakan...

hiks hiks.. *tarik tisu :'(
Crta'y bagus.. Bkin air mata meleleh..

Cherry thanks ya.. ;)

Unknown mengatakan...

ini mba tisunya...

*mulai sekarang jadi penjual tisu juga* hihihihi

makasii juga mba nisa mba sila.. :*

Fathy mengatakan...

Cherry aku juga jualan tissu. Kalo cherry 5000 satu tissue, aku 10000 satu tissu :D ☺ Ђƺђƺ ☺ :D

Thanks Ɣª sayang 4 the story, lope it very much...