Aku mengernyitkan hidungku ketika mencium aroma
yang sangat tajam, seperti aroma cairan alkohol, namun dengan kadar yang sangat
tinggi. Ketika sudah bisa sedikit menyesuaikan diri, aku bisa mencium aroma
lain, lebih manis dan lembut. Mungkin aroma bunga, tapi aku belum pernah
mencium bunga ini sebelumnya. Namun aroma yang kini menarik perhatianku adalah
aroma tanah yang terguyur hujan. Begitu menenangkan, begitu kaya. Suara tetesan
hujan yang mengenai berbagai benda di bawahnya terasa seperti alunan music
konstan yang membuatku merasa begitu nyaman, merasa aman dari ancaman kesepian.
Aku ingin tersenyum ketika mendengar suara
tetesan hujan yang semakin deras, namun wajahku terasa sangat kaku. Aku
mengernyit, mencoba meraih kontrol akan diriku sendiri. Tapi semuanya di luar
kendaliku. Selain suara-suara hujan yang ku dengar, dan aroma-aroma itu, aku
tidak bisa meraskan hal lain. Aku bahkan tidak bisa merasakan jemariku.
Semuanya tampak hilang, tampak tak tersentuh.
Tiba-tiba hujan mendadak berhenti, aku ingin
meneriakinya untuk terus menetes, namun suaraku pun menghilang. Tidak ada yang
keluar dari kerongkonganku, kecuali erangan-erangan aneh yang tidak bisa
dimengerti.
“Zahra… Zahra… bertahanlah!!!” suara itu
terdengar samar-samar di telingaku. Aku ingin menjawabnya, memintanya untuk
berbicara pada hujan agar terus turun menemaniku. Tapi aku tidak bisa melakukan
apapun.
“Kau harus kuat!!!” kini suara seorang wanita.
Aku tidak ingin apapun! Aku hanya ingin hujan!
Katakan pada langit untuk terus membiarkan hujan itu turun!!! Ku mohon…
Jiwaku meronta-ronta mengharapkan hujan, namun
sedetik kemudian aku meraskaan sesuatu meraup seluruh kesadaranku. Tiba-tiba
aku merasa sangat mengantuk, merasa begitu lelah. Aku ingin terus terjaga, tapi
kabut itu menyelimutiku sedemikian tebalnya, membuatku menyerah pada ketidak
sadaran, tepat ketika aku mendengar tetesan hujan itu kembali hadir.
***
“Kau sudah koma selama satu minggu,” ujar gadis cantik berpakaian putih yang kini
tengah sibuk membereskan barang-barang di meja kecil samping ranjangku. Aku
memandang langit yang sedikit mendung dari balik jendela kamar rawat inapku
tanpa berkata apapun. “Semua orang sangat mengkhawatirkanmu. Aku senang kau
akhirnya sadar…” ia menoleh dan tersenyum ramah kepadaku. “Yang lainnya sedang
dalam perjalanan ke sini. Apa kau butuh sesuatu?” tanyanya lembut.
Aku menatap wajahnya yang cantik dengan
pandangan nanar. Aku masih harus menyesuaikan mataku dengan cahaya yang terasa
sangat menyilaukan di sekelilingku. Otakku masih terlalu lemah untuk sekedar
memikirkan apa yang ku inginkan saat ini. Aku masih bingung dengan apa yang
sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berada di tempat ini? dengan tangan yang
dibalut perban, terpasang infus, bahkan elektrokardiograf. Aku ingin terus
terjaga, namun aku merasakan lelah itu kembali menghampiriku.
“Zahra!” panggilan itu sedikit mengejutkanku,
dengan lemah aku menolehkan kepalaku keasal suara itu, kemudian tersenyum pada
mereka yang berdiri di ambang pintu, meski aku sama sekali tidak tau kepada
siapa seharusnya senyuman itu ditujukan.
“Alhamdulillah Zahra…”
Alhamdulillah…
untuk apa… Batinku sebelum kembali tenggelam dalam
kegelapan.
***
“Dia akan baik-baik saja, dia sudah stabil.” Aku
mengernyit ketika mendengar penuturan suara asing itu.
“Tapi mengapa dia berkali-kali pingsan seperti
ini dok?”
“Ia kelelahan,” jawab orang yang mungkin mereka
panggil dokter.
“Kelelahan?! Yang benar saja. Dia sudah hampir
dua minggu tidak sadar, dan sekarang dia kelelahan?!” omel suara yang cukup
familiar ditelingaku. Suara sahabatku, Andhini.
“Banyak yang harus ia sesuaikan setelah kejadian
itu. Kita benar-benar harus bersyukur karena ledakan itu tidak sampai
menyebabkan kerusakan fatal pada organ-organ tubuhnya.”
Ledakan?
Aku kembali mengernyit bingung, mulai merasa
sesak karena rasa ingin tahuku. Tapi aku masih tidak ingin membuka mataku, aku
masih ingin tertidur, seakan yang dikatakan dokter itu memang benar adanya,
bahwa aku memang lelah, sangat lelah.
Seseorang menyentuh ujung kaki kiriku, kemudian
memijitnya dengan lembut. “Ia memberikan sedikit waktu lebih pada polisi untuk
menjinakan beberapa bomnya. Tapi sayangnya, bom yang di kakinya terlalu sulit
untuk diraih.”
Bom?! Apa-apaan
ini?? mengapa aku harus berhubungan dengan bom dan ledakan?!
“Ya, itu menyebabkan sebuah kejutan untuk
tendon-tendon kaki kanannya. Kami masih melakukan beberapa uji coba untuk
melihat tingkat kerusakannya. Tapi selama ia masih belum sadar, kita masih
belum bisa menentukan dengan pasti.”
Kakiku
mati rasa….
Aku
tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa merasakannya!!!
Tiba-tiba ketakutan menyelimuti jiwaku. Aku
mulai kebingungan mencari kontrol atas kakiku, mencoba merasakannya. Namun
nihil, aku sama sekali tidak bisa merasakan kakiku. Ya Allah….
“Aku harap kalian bisa menyembunyikan prilah
Raihan dulu darinya.”
Deg.
Ketakutanku akan kakiku mendadak sirna,
tergantikan oleh seluruh kepingan memori tentang nama yang baru saja ku dengar
entah dari mulut siapa. Raihan… Raihan…
Raihan… berkali-kali otakku mengulang-ngulang itu. Mencoba meraih seluruh
lembaran kenangan tentang nama itu.
Raihan…. Jantungku tersentak ketika akhirnya
menemukan buku besar dalam otaku yang berisi penuh dengan namanya. Raihan,
dimana dia? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Mengapa mereka ingin
menyembunyikannya dariku?? Dimana dia??!! Dimana Raihanku?!!!
Tubuhku mengejang hebat begitu saja, membuat
semua orang di ruangan itu mendadak panik. Aku mulai bisa mengenali seluruh
suara penuh cemas mereka satu persatu. Bibi, Raka, Anna, Arya, Amy, Andhini,
Risa, kakek Darmawan, dan bahkan tante Luna. Tapi lagi-lagi kegelapan itu
menarikku, menyeretku masuk ke bagian yang lebih pekat dari pada sebelumnya.
Kemudian mengunciku di sana selama beberapa saat. Memastikanku mati dengan
sendirinya.
***
“Dimana Raihan?” tanyaku suatu hari. Namun tidak
ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Belakangan aku mulai sadar,
pertanyaan itu adalah pertanyaan yang tidak akan pernah mendapatkan jawaban,
sekeras apapun aku meneriakinya.
Aku menghela nafas panjang, mencoba mengusir
rasa perih yang mendadak menyelimuti hatiku. Ada begitu banyak pertanyaan yang
ingin ku utarakan pada mereka semua yang hadir mengelilingiku, namun pada
akhirnya aku hanya terdiam. Menjawab pertanyaan seperlunya dari dokter paruh
baya itu. Mencoba menerka sejauh mana Tuhan mengujiku.
Sudah seminggu sejak kesadaran totalku, kini aku
sudah bisa berbincang dengan lebih normal. Beberapa alat berat bahkan sudah
dilepaskan. Namun dokter masih belum mau membiarkanku pulang. Meskipun aku
sudah benar-benar bosan berada di rumah sakit itu.
“Kata dokter kalau hasil test nya sudah keluar
sore ini kau bisa pulang.” Ujar bibi dengan sangat lembut. Ia membelai kepalaku
penuh kasih, membuatku merasa sangat bersalah.
“Bibi… maafkan aku…” bisikku tulus. Bibi
merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangannya, memberikan kehangatan yang
begitu nyaman. “Aku sudah melukai perasaan bibi. Aku sudah berbuat jahat pada
bibi…”
“Sstt… tidak, kau tidak boleh menangis. Tidak
boleh lagi ada air mata. Kau harus tersenyum anakku. Kau harus tersenyum,” bibi mengusap air
mataku dengan perlahan, “Dengarkan bibi, sampai kapanpun bibi adalah
keluargamu. Ingat itu! Bibi sangat menyayangimu Zahra… kau tidak pernah tau
betapa takutnya bibi kehilanganmu…”
Aku memeluk bibi dengan sangat erat, menangis
tersedu di balik pundaknya, membiarkan air mataku membuat bulatan-bulatan kecil
pada kerudung biru tuanya. Ia membelai-belai lembut punggungku, menenangkanku.
Ya Allah… hamba benar-benar minta maaf…
bagaimana mungkin hamba bisa menutup mata dari seluruh kasih sayang yang Kau
tunjukan selama ini, melalui tangan-tangan lembut mereka… melalui hati-hati
tulus mereka…
Pintu kamarku perlahan terbuka. Anna, Aisyah dan
Anisa langsung berjalan mendekati ranjangku, disusul oleh Raka tepat di
belakang mereka. Anna menggenggam tanganku dengan lembut, membuatku tak bisa
menahan senyuman haru yang muncul tulus dari dalam dadaku. Raka menggendong
Anisa dan Aisah hingga bisa duduk di atas ranjang. Aku bahkan sangat merindukan
celoteh kedua mahluk kecil yang teramat manis ini.
“Ini untuk kak Zahra.” kata Aisyah sambil
menyerahkan setangkai bunga lavender. Aku mengernyit dan melirik vas Kristal di
atas meja kecil di sampingku. Bunga-bunga lavender di sana masih begitu segar,
namun kini Aisyah membawakanku setangkai lagi.
“Terima kasih…” balasku dengan lembut.
“Kak Zahra tau apa arti bunga lavender?” tanya
Anisa dengan wajah lugunya. Aku mengernyit dan menggeleng.
“Bunga Lavender itu artinya penantian cinta.”
Kini Aisyah yang berkata. Aku tersenyum geli menatap mereka, kemudian melirik
Anna yang juga menatap bingung putrinya.
“Sejak kapan kalian mengenal masalah cinta?”
tanya Anna lembut. Kedua gadis itu saling berpandangan sambil tersenyum geli
penuh rahasia. Raka terkekeh dan menggeleng-geleng melihat tingkah putri-putri
kecil itu.
Raka merangkul Anisa dan Aisyah secara
bersamaan, “Kalian memang harus mengenal masalah cinta itu. Tapi yang harus
kalian ingat adalah, Cinta pertama kalian harus-hanya-kepada Allah.” Ujar Raka
dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. Kedua gadis itu mengangguk penuh
semangat.
“Iya… yang pertama itu Allah… lalu bunda Anna,
lalu ummi Aisyah, lalu kak Zahra, ayah Raka, Kak Amy, Kak Arya, Ayah Alan,
eyang, nenek Luna dan kak Raihan!” ujar Aisyah seraya menghitung dengan jemari
kecilnya. Ada sentakan aneh di dadaku ketika mendengar nama itu, namun sebisa
mungkin aku menyembunyikannya, mencoba tetap bersikap normal. Bibi membelai
lembut buku-buku jemariku, dan tersenyum menenangkan.
“Bibi akan menemui dokter dulu,”
“Biar aku temani ummi,” ujar Anna. Namun bibi
menggeleng, membuat Anna kembali duduk di kursinya, di sampingku.
Hanya berselang lima menit dari kepergian bibi,
pintu kamarku kembali terbuka. Kakek Darmawan mendorong kursi roda tante Luna
masuk, mereka tampak sehat, dan aku bersyukur karenanya. Kakek Darmawan mencium
puncak kepalaku dengan penuh kasih, sedangkan tante Luna mencium kedua pipiku.
Mata indahnya tampak sedikit berkaca-kaca ketika memandangku, dan entah
bagaimana itu membuatku merasa begitu nyaman, begitu dicintai.
Aku mengernyit ketika tidak lama kemudian Arya
dan Amy memasuki kamarku. Seorang pria seumuran kakek tampak berjalan mengikuti
mereka. Aku tidak tau bagaimana harus bersikap kepada Amy, ada banyak hal yang
ingin ku jelaskan kepadanya, namun aku masih belum memiliki kesempatan untuk
berbicara empat mata dengannya. Bahkan kini rasanya kamarku mulai penuh sesak
oleh orang-orang yang datang mengunjungiku.
Amy tersenyum tipis seraya menggenggam jemariku.
Begitu banyak hal yang ingin ku katakan padanya, begitu banyak ungkapan maaf
yang perlu ku sampaikan.
“Maafkan aku…” bisikku tulus. Gadis itu
menggeleng perlahan.
“Aku yang seharusnya mengatakan itu. Maafkan aku
Zahra, aku tidak tau jika kau dan Raihan saling mencintai. Hampir saja aku
menghancurkan cinta itu.”
“Kau tidak salah sama sekali…” ujarku perih.
Amy menyeka air mataku dengan lembut, “Tapi
semuanya bukan masalah lagi sekarang, kau bisa tenang karena kami sudah
menikah.” bisik Amy ditelingaku. Mataku langsung terbelalak lebar mendengarnya.
“Aku memang mencintai Raihan, tapi bukan ia pria yang ku yakini akan menjadi
imam terbaikku. Pria inilah orangnya.” Amy tersenyum manis penuh kebahagiaan
seraya melirik sosok Arya yang berdiri di sampingnya. Aku sama sekali tidak
bisa menahan air mata haru yang perlahan membanjiri pelupuk mataku.
“Tapi bagaimana dengan masalah ibunya?” tanyaku
ngeri.
“Masalah wanita itu, hanya sebuah kesalah
pahaman.” Ujar Arya menambahkan.
“Wanita itu?” tanyaku bingung. Arya mendesah lelah
kemudian melirik bapak tua yang berdiri di sampingnya.
“Hahahaha… maaf sudah membuat keributan
sebelumnya.” Ujar bapak itu, nada suaranya yang ramah benar-benar
mengingatkanku pada sosok Arya. “Aku ayah Arya. Wanita yang datang menemuimu
dan menantuku adalah istri ketigaku.” Ujarnya tanpa malu-malu, membuatku
spontan ternganga mendengarnya. “Aku juga ingin meminta maaf sekali lagi
padamu,” ia memandang Amy dengan penuh kasih. “Ayah tidak tau kalau kau banyak
terluka karena Keke,”
“Aku baik-baik saja ayah.”
“Ah… kau begitu lembut… kau sangat mirip dengan
almarhumah ibu Arya…”
“Ayah! Dia istriku,” tegur Arya kesal. Bapak itu
tertawa lebar sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Tapi aku masih tidak
mengerti dengan apa yang terjadi. Aku melirik Amy meminta penjelasan lebih. Dan
bagaimana mungkin mereka bisa tega-teganya menikah tanpa menungguku?!
Beberapa hari kemudian saat aku akhirnya
memiliki kesempatan berbincang berdua dengan Amy, barulah ia menjelaskan
segalanya. Tentang almarhumah ibunda Arya yang dikuburkan di Mekah, tentang
ayahnya yang kesepian, tentang ibu mertuanya yang pencemburu, yang ternyata
istri ketiga dari ayah mertuanya, tentang kebenciannya akan poligami yang
dilakukan suaminya sendiri hingga tega-teganya berkata demikian kepada Amy,
menolaknya dengan menggunakan masa lalunya sebagai senjata.
“Aku tidak pernah bermasalah dengan poligami.
Tidak sama sekali, dan masalah anakmu. Kau tenang saja, aku bahkan tidak ingat
menemukan Arya dimana…” seloroh bapak tua itu. spontan kami semua tertawa
mendengarnya. Namun aku mengerti maksudnya, aku mengerti betapa ia berjiwa
besar dan penyayang, sama seperti putranya. Betapa ia mencintai istri
pertamanya, bahkan meski kini ia sudah tidak ada. “Bagaimana dengan keadaanmu,
nak?” tanya bapak itu seraya memandangku. Aku tersenyum santun dan mengucapkan
Alhamdulillah atas keadaanku saat ini. “Ah… kau sangat cantik, sangat mirip
dengan almarhumah ibunda Arya, mungkin kau bisa…”
“Ayah!” potong Arya gemas. Aku terkekeh geli
ketika menyadari maksud perkataan bapak yang begitu ramah itu.
“Maaf pak, tapi gadis itu sudah memiliki
kekasih.”
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara itu.
Kami semua langsung menoleh ke arah asal suara itu. Jantungku terasa berhenti
begitu saja ketika melihatnya berdiri disana, begitu tampan dan mempesona.
Sosok itu tersenyum angkuh seperti biasa, namun aku bisa merasakan tatapan
penuh cintanya yang mampu membuatku terbuai sedemikian rupa.
Aku tidak tau sudah berapa lama aku tidak pernah
melihatnya, namun rasanya rindu itu sudah menggunung di dadaku. Membuatku ingin
menangis karena kebahagiaan yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia berjalan
perlahan tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. Ditangannya sebuket bunga
lavender tampak berseri indah.
“Selamat pagi cantik,” bisiknya di telingaku.
“Assalamualaikum…” tambahnya. Dan aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan
tangis bahagiaku.
“Kemana saja kau?” tanyaku terbata-bata.
“Mencari penghulu.” Ujarnya dengan tatapan geli.
Aku mengernyit bingung ketika ia berbalik, memanggil seorang pria berjas hitam.
“Apa-apaan ini?” tanyaku bingung. Bahkan
tiba-tiba saja Hanna, Andhini, Risa berserta Damar sudah berada di kamarku.
Ummi datang bersama dokter dan beberapa suster, membuat kamar rawat inapku
benar-benar penuh oleh semua orang. Raka menggendong Aisyah, sedang Arya
menggendong Anisa dari ranjangku, memberikan akses yang lebih luas pada Raihan
dan orang yang ia sebut sebagai penghulu.
“Kita akan menikah,” ujar Raihan, kini suaranya
terdengar sedikit gugup. Aku membulatkan mataku tidak percaya. Dengan kikuk aku
menatap satu persatu wajah di sekeliling kami. Semuanya, tanpa terkecuali,
tampak memasang satu senyuman yang sama, satu jenis tatapan yang sama pula.
Tatapan kebahagiaan.
Jadi ini adalah rencana kejutan mereka???
Rasanya aku ingin memeluk semua orang saat itu juga. Aku ingin mengucapkan
seluruh kata terima kasih atas air mata haru penuh keindahan itu.
Tiba-tiba mataku menyipit ketika melihat sosok
di sampingku tersenyum lebar penuh kebanggaan. “Tapi aku belum mengatakan iya
kepadamu.” tudingku kesal. Raihan menyisir rambutnya dengan jemarinya, wajahnya
tampak gemas pada sikapku.
“Dengar nona Zahra, aku tidak pernah menanyakan
apakah kau mau atau tidak menikah denganku, jadi aku tidak perlu menunggu
jawabanmu.” Ujarnya sombong. Aku menatapnya tidak percaya. Apa-apaan dia?!!
“Bagaimana kalau aku tidak mau menikah
denganmu.”
“Aku tidak peduli.” Ujarnya. “Mau ataupun tidak,
kau akan tetap menikah denganku!” ujarnya tegas. Aku melirik Ummi meminta
bantuan, namun tampaknya saat ini semua orang lebih mendukung sosok angkuh di
sampingku. “Ayo pak, segera dimulai.” Ujarnya tak sabar.
“Tunggu.” Potongku cepat. Raihan mendengus kesal
kemudian menoleh kepadaku. “Apa kau benar-benar ingin menikahi seorang wanita
yang lumpuh sepertiku?” tanyaku pelan. Wajah angkuhnya perlahan mencair,
melembut dan penuh kasih.
“Kau akan sembuh.” Bisiknya begitu lembut. “Dan
kalaupun kau kehilangan sebagian organ tubuhmu, kalaupun kau lumpuh selamanya,
aku akan tetap mencintaimu. Aku akan tetap menikahimu. Karena aku sadar, hanya
denganmu lah aku bisa menemukan kebahagiaan itu. Kau yang sudah membawaku kembali
untuk menemukan cahaya kebenaran itu, kaulah wanita yang ku cari selama ini,
jodoh yang dituliskan Tuhan untukku.” Air mataku menetes perlahan ketika
mendengar kata-kata indahnya.
Subhanallah,
aku sangat mencintainya ya Allah… sangat mencintainya…
Ummi dan tante Luna menyeka air mata haru mereka
secara bersamaan. Amy tersenyum lembut kepadaku, Anna bahkan menangis haru di
pundak suaminya. Sedang ketiga sahabatku tidak bisa lagi menyembunyikan rona
kebahagiaan mereka.
“Raihan, Raihan Reynaldi Al-Farizi… aku
mencintaimu karena Allah. Karena agama yang ada pada dirimu. Jangan lepaskan
lagi, jangan biarkan agama itu pergi. Karena jika kau hilangkan agama itu dari
dirimu, maka hilanglah cintaku padamu.” Bisikku sungguh-sungguh. Raihan
menatapku dengan sangat tulus. Kemudian ia mengangguk.
“Insya Allah, untuk kali ini, aku akan
menjaganya. Takkan ku biarkan lepas lagi.” ujarnya seraya tersenyum lembut,
kemudian ia berbalik, menjabat uluran tangan penghulu dengan keyakinan
sepenuhnya. Dan ketika ia mengucapkan kalimat dua syahadat itu, aku tau dia
mencintaiku. Sangat mencintaiku…
Terima kasih ya Allah… terima kasih atas semua
cinta yang telah Engkau berikan kepada kami… terima kasih banyak…
Ayah, bunda… akhirnya aku menemukan pelangi itu.
Tidak berwarna memang, hanya hitam dan putih. Namun itu saja sudah cukup… aku
merasa sangat bahagia karenanya. Aku sangat mencintai pria ini. Ku mohon,
restuilah kami…
***
4
bulan kemudian
“Aku yakin ayah sangat bahagia bertemu dengan
kakek,” bisikku pelan. Raihan meremas jemariku dengan lembut, mengiyakan
perkataanku tanpa mengalihkan pandangannya dari tiga pusaran di hadapan kami.
“Bagaimana pendapatmu tentang pinangan ayah Arya
pada bibi?” tanya Raihan. Aku mendesah dan memutar bola mataku.
“Aku tidak yakin.”
“Tapi mereka saling mencintai.”
“Tapi ayah Arya itu mata keranjang!”
“Tapi sekarang kelihatannya serius.”
“Sejak kapan kau jadi sok tau begitu?!”
“Aku memang selalu tau.”
“Kau benar-benar besar kepala!”
“Ini kenyataan, kau tidak bisa memisahkan
mereka.”
“Aku tidak sedang memisahkan siapapun. Aku hanya
ragu!”
“Keraguanmu itu menyakiti mereka.”
“Kalau begitu biar saja mereka mengurus masalah
mereka sendiri. Mereka sudah sama-sama dewasa, kita tidak perlu ikut campur!”
“Aku hanya sedang memikirkan.”
Lalu tiba-tiba hujan turun begitu saja,
mengguyur kami tanpa peringatan.
“Ya Allah.. hujan, ayo cepat ke mobil,” ujarnya
seraya berbalik pergi.
“Tunggu!”
“Apa lagi? ayo cepat, atau kau akan basah
kuyup.”
“Tapi aku tidak bisa berlari!” teriakku
ditengah-tengah guyuran hujan. Raihan memicingkan matanya sambil menatap kedua
kakiku.
“Jangan banyak alasan, kau sudah sembuh total
sejak dua bulan yang lalu!” ujarnya gemas.
“Iya, tapi dokter bilang aku tidak boleh
berlari!”
“Zahra?” ia menghentikan langkahnya dan berbalik
memandangku yang masih belum beranjak dari samping makam orang tua dan kakekku.
Matanya menyiratkan sebuah kecemasan yang entah bagaimana membuatku begitu
bahagia.
“Karena aku sedang hamil.” Kataku tak acuh.
Sedetik kemudian aku merasa tubuhku melayang, dan ketika tersadar aku sudah
berada di dalam dekapan pria yang paling ku cintai. “Turunkan aku!” pekikku
ngeri.
“Diam. Aku sedang menggendong istri dan calon
jagoanku.” Ujarnya angkuh. Aku terkikik geli di balik dadanya. Lagi pula siapa
juga yang mau turun dari dekapannya?!
Aku membenamkan kepalaku di balik dadanya yang
bidang, merasakan kehangatan yang terpancar dari dalam dirinya, mendengarkan
detak jantungnya yang menenangkan. Kini aku bebas menghirup dalam-dalam aroma
maskulin priaku, dan aku tidak pernah menyia-nyiakannya.
Aku
sangat mencintainya, aku mencintai amarahnya, aku mencintai gumaman kesalnya,
aku mencintai wajahnya ketika tengah terlelap, aku mencintai gurauannya yang
kadang tidak mengundang tawa, aku mencintai usaha gigihnya ketika belajar memasak,
aku mencintainya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya, aku mencintainya mimik
seriusnya ketika berhadapan dengan kertas dan laptopnya, aku mencintai suaranya
ketika menjadi imam di setiap shalatku, aku mencintai dekapannya, aku mencintai
kejahilannya ketika menggangguku tidur, aku mencintai kecupan lembutnya di
setiap pagi, aku mencintai senyuman miringnya yang sangat mempesona, aku
mencintai belaian menenangkannya ketika aku merasa lelah dan terluka, aku
mencintainya yang mencintaiku apa adanya, aku mencintai ia
yang telah membawa pelangi hitam putih dengan berjuta kehangatan ke dalam
duniaku.
Begitu banyak yang ku cintai dari pria ini, hingga meski aku menghabiskan
hidupku untuk menuliskannya, itu takkan pernah selesai tertulis. Aku
mencintainya yang mencintai Allah dengan sangat tulus.
“Turunkan aku,” ujarku ketika kami sudah sampai
di parkiran pemakaman umum tempat ayah bunda dan kakekku dimakamkan.
“Tidak.”
“Bagaimana jika ada yang melihat.”
“Aku tidak peduli!” ujarnya tak acuh, kemudian mempererat
dekapannya, seakan aku tidak memiliki bobot sama sekali. “Lagi pula kita sedang
di pemakaman, dan hujan sangat deras. Mana mungkin ada orang yang sengaja
berolah raga di sini.” Guraunya. Aku tidak ingin tersenyum mendengarnya, namun
nyatanya pria ini selalu bisa mengukir pelangi dihatiku. Bahkan meski hujan itu
belum berhenti menetes, seperti hari ini.
“Ada yang melihat kita!” ujarku bersikukuh,
sebisa mungkin menunjukan wajah kesalku.
“Siapa?!” tantang Raihan seraya mengedarkan
pandangannya. Aku melirik kebalik lengan kekarnya.
“Ayah, bunda dan kakek…” bisikku penuh kasih.
Raihan menghela nafas panjang, kemudian aku bisa melihat senyuman indahnya
kembali terukir. Ya Allah, bagaimana mungkin wajahnya bisa berubah semakin
tampan setiap kali aku melihatnya.
“Biar saja mereka melihat. Aku yakin mereka
semua akan senang melihatku menggendong ratu dan calon jagoan kecilku.” Ujarnya
santai. Aku terkekeh pelan dan kembali menyembunyikan wajahku di dadanya.
Tapi tunggu dulu, jagoan katanya?! Aku menginginkan
seorang putri untuk anak pertama kami, seperti Anna yang memiliki Aisyah dan
Amy yang memilik Anisa!
“Dia perempuan.” desisku dalam dekapannya.
“Jangan bergurau, dia pasti jagoan kecilku!” aku
mendongkakkan kepalaku, berusaha menatap wajahnya, namun gagal.
“Dia perempuan! Aku ibunya, aku bisa
merasakannya!”
“Dia putraku. Tidak perlu diperdebatkan lagi.”
“Tapi dia perempuan,”
“Dia seorang jagoan Zahra!”
“Pokoknya perempuan!”
“Jangan pernah kau dandani jagoanku dengan
pakaian perempuan!”
“Dia memang perempuan kok!” ujarku tak mau
kalah. Dan perdebatan kami tidak pernah berhenti di sana. Seperti yang ku
katakan, hidup bersama Raihan tidak pernah menjanjikan pelangi berwarna-warni
pada umumnya. Hanya ada pelangi hitam putih, namun di balik itu semua, aku bisa
merasakan berjuta warna yang lebih indah, yang dengan sekuat tenaga ia coba
hadirkan diantara kami.
Raihan tidak pernah mengalah padaku, namun aku
tidak pernah bisa marah akan hal itu, karena pada akhirnya, aku akan kembali
luluh ketika ia mencium keningku dengan penuh kasih di tengah-tengah
argumennya, menunjukan apapun yang kami perdebatkan tidak akan mengurangi
sedikitpun rasa cintanya padaku. Tepat seperti rasa cintaku kepadanya. Kepada
pria pemilik pelangi terindah dalam hidupku itu.
Terima kasih ya Allah,
Terima kasih atas semua senyuman ini, terima
kasih banyak.
“Dengar.” ujarnya seraya mendudukanku di kursi
penumpang, ia membungkuk sejenak di depan pintu mobilnya, menatap wajahku
lekat-lekat. “Apapun itu, entah seorang putri atau jagoan kecil, asalkan itu
lahir dari rahimmu, aku akan mencintainya.” Ujarnya sungguh-sungguh, kemudian
dengan cepat ia mengecup keningku, membuatku melongo menatapnya. Aku memandang
sosok yang tengah berjalan menuju kursi kemudi itu dengan senyuman mengembang.
Lihatkan, betapa mudahnya ia membuatku jatuh cinta kepadanya.
The End
Tangerang.
12 July 2013
21:57 PM