ZAHRA
Bukankah seharusnya aku berbahagia, bukankah
seharusnya aku tersenyum, bukankah seharusnya aku bersyukur ketika melihatnya
masih bernafas??!!! Tapi mengapa justru perih itu yang kini terasa… ketika
sosok wanita lain lah yang berada di pelukannya, menangis haru penuh rasa lega
di pelukannya. Sosok lain yang bukan diriku…
Untuk beberapa saat aku hanya mampu berdiri
mematung di depan kamar rawat inap Raka. Mataku nanar menatap pemandangan haru
di hadapanku. Setelah menangis setengah jam aku memang langsung menghubungi
bibi dan menyusul mereka semua ke rumah sakit. Raka sudah ditemukan, dan
lagi-lagi Allah menunjukan kuasanya. Ia selamat, bersama beberapa orang yang
beruntung lainnya, menimbulkan sedikit rasa iri bagi keluarga lain yang kini
tengah menangisi korban-korban yang tidak dapat di selamatkan lagi.
Untuk lima menit pertama kedatanganku ke rumah
sakit ini, aku sempat merasa lega karena bukan kamar mayatlah yang ditunjukan
oleh perawat itu, melainkan sebuah kamar rawat inap biasa. Namun lima menit
kemudian, hatiku mulai terasa kembali perih. Aku ingin bahagia dan mensyukuri
keselamatannya. Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa
berpura-pura bahagia melihat wanita lain di pelukannya. Aku tidak bisa… aku
bukan wanita seperti itu…
“Zahra…” aku tersentak ketika mendengar
panggilan itu, dengan cepat ku seka air mataku dan berusaha sekuat mungkin
untuk kembali memasang topeng itu, menunjukan mimic wajah yang sama sekali
tidak memiliki emosi apapun, datar dan hampa.
Anna menatap kikuk ke arahku, tubuhnya masih
bergetar karena sisa-sisa tangis yang baru saja berhenti. Aku sama sekali tidak
ingin menangis, namun entah mengapa, ketika aku melihat Raka menggenggam tangan
Anna, hatiku kembali perih. Dan aku mulai benar-benar merasa muak pada diriku
sendiri yang tidak pernah bisa menghilangkan semua rasa itu. mulai merasa
sangat teramat bodoh karena mencintai orang yang sama sekali tidak pernah
memandangku. Mungkin tidak separah itu, Raka bukanlah sosok yang kejam. Ia
begitu baik hati dan penyayang.
Tapi dia tidak mencintaiku.
Tidak sama sekali. Tapi mengapa, seakan buta dan
tuli, aku sama sekali tidak bisa membuat otakku mengerti tentang hal itu.
mengapa aku tidak bisa berhenti mencintainya? Mengapa aku terus mengharapkan
jika suatu saat nanti tanganku lah yang akan berada dalam genggamannya??
Aku tau ini salah.
Semua orang pun tau. Tapi aku sendiri tidak bisa
menyadarkan hatiku. Seakan sudah membeku dalam cinta yang hanya akan menjemput
tangis itu.
Dan air mata itupun menetes perlahan ketika
tangan kiri raka mempererat genggamannya, membuat benda keperakan yang
melingkari jemari manis mereka semakin berkilau indah di mataku. Aku tersenyum
tipis penuh kegetiran. Toh, pada akhirnya aku juga yang mendukung pernikahan
mereka kala itu. pantaskah aku menyesalinya saat ini??
“Aku senang kau baik-baik saja…” bisikku setelah
diam entah berapa lama. Raka tersenyum lembut dan mengangguk perlahan.
“Alhamdulillah, Allah masih memberikan
kesempatan untukku. Dan ini juga berkat do’a kalian semua. Maaf telah membuat
kalian khawatir.” Tuturnya tanpa sekali pun melepaskan genggamannya dari tangan
Anna. “Dan, sampaikan terima kasihku pada Raihan,” ujarnya seraya menatap Anna.
Aku terkesiap ketika mendengar nama itu. ingatanku kembali berputar ke saat di
mana aku meminta ia pergi dan membawa kematian bersamanya.
“Dia masih di ruang ICU,” bisik Anna pelan.
Untuk sejenak aku bisa merasakan sorak sorai dari dalam kepalaku. Seakan pada
akhirnya Tuhan mendengar doaku. Namun sedetik kemudian, aku mulai merasa takut.
Merasa khawatir jika semua yang terjadi padanya itu disebabkan oleh
perkataannku.
“Kasihan Raihan. Karena kegigihan kelompok yang
dipimpinnyalah, kami pada akhirnya bisa ditemukan. Namun ketika akan kembali,
ia malah sengaja memisahkan diri dari kelompoknya dan menulusuri jalan yang
berbeda.” Tutur Raka sambil memandang keluar jendela. Tiba-tiba tubuhku
menggigil, hatiku mulai diliputi perasaan takut yang aneh, perasaan khawatir
jika semua kisah itu diakibatkan oleh ku. Aku tau itu konyol, tapi aku tetap
tidak bisa menghentikan kecemasan itu.
“Assalamualaikum…” salam bibi ketika berdiri di
sampingku, dengan perlahan aku beringsut menyingkir untuk memberikan ruang agar
bibi bisa lewat. Bibi tersenyum tipis dan menyentuh pundak Anna dengan
perlahan.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Raka dengan
kecemasan yang tidak dibuat-buat.
Bibi meletakan tas jinjingnya di sofa yang
berada tidak jauh dari ranjang rawat inap Raka, ia mendesah lelah kemudian
melirik sosok kakek Darmawan yang entah sejak kapan berada di sampingku.
“Masih sama, masih sulit diajak berkomunikasi.
Mungkin ia masih belum bisa menerima dengan prediksi dokter yang mengatakan
bahwa ia mengalami kelumpuhan.”
Deg…
Aku membelakakan mataku lebar-lebar, dadaku
terasa begitu nyeri setiap kali aku menghembuskan nafas, semuanya terasa begitu
menusuk kepalaku. Sekelebat penyesalan itu melintasi benakku, menari-nari
dengan senyuman mengejek.
Ku putar langkahku, ketika suara bibi kembali
membekukan tubuhku. “Dia tidak ingin menemuimu Zahra…” bisik bibi getir. Aku
tidak menoleh, tidak juga membantah, aku hanya menundukan kepalaku lebih dalam
lagi, kemudian berlalu pergi tanpa sepatah katapun.
***
Hari sudah menjelang fajar, namun mataku masih
terbelalak lebar. Tidak sedikit pun rasa kantuk itu menghampiriku, semua yang
kurasakan memaksaku untuk tetap terjaga, memaksaku untuk merasakan semua
ketakutan itu. Aku memandang lorong rumah sakit yang sepi itu dengan nanar.
Hanya ada dua pintu di setiap sisinya. Semuanya terasa begitu sunyi dan sepi,
membuatku mampu merasakan seluruh luka itu lebih dalam lagi.
Dengan perlahan ku langkahkan kakiku, menapaki
garis yang sebelumnya tidak pernah ingin ku sentuh, membuka lembaran yang
sebenarnya ingin segera ku bakar habis. aku tau, semua kejadian ini sudah
ditakdirkan oleh sang khalik, dan aku tidak berhak untuk mengingkarinya. Tapi
entah mengapa aku merasa sedikit bersalah dengan apa yang kini menimpah Raihan,
dan sialnya aku tidak bisa melakukan apapun untuk mengembalikan waktu.
Prang!!
Langkahku tercekat ketika mendengar suara barang
pecah dari ujung lorong. dengan segera aku langsung berlari menuju asal suara
itu.
“Raihan!” pekikku ketika sampai di kamar ujung
lorong sunyi itu. Mataku terbelalak lebar ketika melihat ceceran darah di
mana-mana, entah bagaimana ia sudah melepaskan alat-alat yang menempel di
tubuhnya.
Ruangan itu cukup besar, dengan alat-alat untuk
memonitori secara intensif keadaan sang pasien. Dan kini semuanya tampak
berantakan; pecahan vas Kristal berserakan di tengah-tengah ruangan,
bunga-bunga lily yang masih cukup segar jatuh berantakan bersamanya, di tambah
dengan ceceran darah yang menetes dari tangan Raihan yang tak lagi terpasang
selang infus. Aku berteriak histeris dan langsung menghampiri tubuhnya yang
sudah terjatuh terduduk di depan pecahan vas itu.
“Ada apa denganmu?!!!!” teriakku penuh
ketakutan. Air mataku menetes sambil berusaha membalut tangannya yang masih
mengeluarkan darah dengan ujung kerudungku.
“Hentikan.” Bisiknya pelan. Namun saat itu aku
sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya. Suasana dini hari kala itu
benar-benar membuatku bertambah kalut. Aku menangis sesenggukan sambil terus
melakukan hal yang tidak ku sadari.
“Mengapa kau melakukan ini?! Apa kau sudah
gila??!!”
“Berhenti mengasihaniku.” Geramnya.
“Aku akan memanggilkan suster,” ujarku seraya
beranjak untuk meraih tombol merah di samping ranjangnya. Namun lengannya
menahan pundakku.
“Pergi,” desisnya sinis. “Jangan lakukan
apapun!” aku menatapnya tidak mengerti.
“Kau butuh perawatan!!” teriakku.
“Aku tidak butuh apapun! Aku tidak butuh
siapapun!” balasnya berteriak. Tubuhku bergeming, air mataku kini menetes dalam
kesunyian, namun perih yang ditimbulkan terasa semakin dalam. Dengan perlahan
aku kembali duduk di hadapannya, meraih tangannya dan membalutnya dengan kasa
yang ku temukan di atas meja kecil di samping ranjangnya. “Kau tidak perlu
mengasihaniku…” bisiknya, namun tanpa pemberontakan kali ini. Aku hanya terdiam
sambil terus membalutkan lukanya, meski kini gulungan kasa itu hampir
sepenuhnya menutupi tangannya. “Kau terluka…” bisiknya sambil meraih tangan
kananku. Nada cemas dalam suaranya membuatku terbelalak menatapnya.
Pria tampan itu, pria dengan baju rumah sakit
dan balutan perban di mana-mana yang jelas tampak kesakitan itu malah
mengkhawatirkan luka kecilku. Ia meraih tanganku dan menatap luka kecil akibat
tergores pecahan vas itu dengan seksama. Ibu jarinya meraba luka itu, kemudian
dengan lugu ia menatap mataku. “Apa sakit?” tanyanya hati-hati. Aku ingin
menggeleng, tapi perih dalam hatiku membekukan tubuhku.
Pria macam apa dia?! Mengapa ia bisa bersikap
begitu baik padaku?? Mengapa ia tidak memakiku dan menyalahkanku atas apa yang
kini terjadi padanya?! Mengapa dia tidak membentakku?! Mengapa dia malah
menghkhawatirkan luka kecilku?? Apa dia tidak memiliki hati?? Apa dia tidak
bisa merasakan rasa sakit??! Apa dia tidak tau seberapa besar rasa benciku
padanya?!! Tidakkah ia bisa melihat semua itu dari mataku??!
Sedetik kemudian aku sudah menghambur memeluk
tubuhnya. Menangis sesenggukan di balik dada bidangnya. Mencoba menumpahkan
seluruh asa dan luka yang selama ini ku rasakan, menumpahkan seluruh rasa
benciku padanya. Untuk sesaat ia tampak terkejut. Tubuhnya membeku dalam
pelukanku, kemudian dengan perlahan aku merasakan ia mulai kembali tenang.
Raihan menundukan kepalanya hingga menyentuh bagian samping kepalaku, dan aku
bisa merasakan tetesan air matanya membasahi bahuku.
“Maaf… aku tidak bisa membawa kematian itu
bersamaku…”
7 komentar:
Ziaaaaaaaaaaaaa (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)
Kasihan Raihan and Zahranya. Kalo mereka ƍäªk bs bersatu, aku jitak Zia...
º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya cantik. Aku tunggu kelanjutannya ♏ùάçĥº°:*<3<3 º°º♏ùάçĥ:*<3<3
aduh lihat Raihan ko co cwit ya :-*.
plis deh Zahra kau tega banget, jangan pernah mengasihi akang Raihan ya huhuhu
Coba komen akh hihi ...
Kasihan itu cherry itu Raihan kok baik banget ya ...
sbnrny sya agk kcwa....kok zahra ma reihan pelukan???bknya mreka blm halal???
kasihan Raihan :'(
Makasiii mba tri komennya...
Hehehe di tulisan ini sbnernya aku g mau terlalu menuliskan kisah klise..
Aku pngn nulis yg apa adanya.. Dan meninjau sifat zahra yg... *aduh apa yh bahasanya* pokoknya seperti itu...
Jd seperti ini dh hasilnya.
Istilah kasarnya.. Zahra mah bukan muslimah yg terlalu agamis.. Dia masih labil dan butuh bimbingan.. :) :)
aduh cherry, hampir aja mau protes kalo smpe raka mati, tp utg aja ga jadi hehe...
cinta raihan ke zahra bener2 tulus, moga aja zahra bs membuka hatinya buat raihan..
Posting Komentar