Sabtu, 25 Mei 2013

PELANGI HITAM PUTIH -08-


ZAHRA  

Bukankah seharusnya aku berbahagia, bukankah seharusnya aku tersenyum, bukankah seharusnya aku bersyukur ketika melihatnya masih bernafas??!!! Tapi mengapa justru perih itu yang kini terasa… ketika sosok wanita lain lah yang berada di pelukannya, menangis haru penuh rasa lega di pelukannya. Sosok lain yang bukan diriku…
Untuk beberapa saat aku hanya mampu berdiri mematung di depan kamar rawat inap Raka. Mataku nanar menatap pemandangan haru di hadapanku. Setelah menangis setengah jam aku memang langsung menghubungi bibi dan menyusul mereka semua ke rumah sakit. Raka sudah ditemukan, dan lagi-lagi Allah menunjukan kuasanya. Ia selamat, bersama beberapa orang yang beruntung lainnya, menimbulkan sedikit rasa iri bagi keluarga lain yang kini tengah menangisi korban-korban yang tidak dapat di selamatkan lagi.
Untuk lima menit pertama kedatanganku ke rumah sakit ini, aku sempat merasa lega karena bukan kamar mayatlah yang ditunjukan oleh perawat itu, melainkan sebuah kamar rawat inap biasa. Namun lima menit kemudian, hatiku mulai terasa kembali perih. Aku ingin bahagia dan mensyukuri keselamatannya. Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa berpura-pura bahagia melihat wanita lain di pelukannya. Aku tidak bisa… aku bukan wanita seperti itu…
“Zahra…” aku tersentak ketika mendengar panggilan itu, dengan cepat ku seka air mataku dan berusaha sekuat mungkin untuk kembali memasang topeng itu, menunjukan mimic wajah yang sama sekali tidak memiliki emosi apapun, datar dan hampa.
Anna menatap kikuk ke arahku, tubuhnya masih bergetar karena sisa-sisa tangis yang baru saja berhenti. Aku sama sekali tidak ingin menangis, namun entah mengapa, ketika aku melihat Raka menggenggam tangan Anna, hatiku kembali perih. Dan aku mulai benar-benar merasa muak pada diriku sendiri yang tidak pernah bisa menghilangkan semua rasa itu. mulai merasa sangat teramat bodoh karena mencintai orang yang sama sekali tidak pernah memandangku. Mungkin tidak separah itu, Raka bukanlah sosok yang kejam. Ia begitu baik hati dan penyayang.
Tapi dia tidak mencintaiku.
Tidak sama sekali. Tapi mengapa, seakan buta dan tuli, aku sama sekali tidak bisa membuat otakku mengerti tentang hal itu. mengapa aku tidak bisa berhenti mencintainya? Mengapa aku terus mengharapkan jika suatu saat nanti tanganku lah yang akan berada dalam genggamannya??
Aku tau ini salah.
Semua orang pun tau. Tapi aku sendiri tidak bisa menyadarkan hatiku. Seakan sudah membeku dalam cinta yang hanya akan menjemput tangis itu.
Dan air mata itupun menetes perlahan ketika tangan kiri raka mempererat genggamannya, membuat benda keperakan yang melingkari jemari manis mereka semakin berkilau indah di mataku. Aku tersenyum tipis penuh kegetiran. Toh, pada akhirnya aku juga yang mendukung pernikahan mereka kala itu. pantaskah aku menyesalinya saat ini??
“Aku senang kau baik-baik saja…” bisikku setelah diam entah berapa lama. Raka tersenyum lembut dan mengangguk perlahan.
“Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan untukku. Dan ini juga berkat do’a kalian semua. Maaf telah membuat kalian khawatir.” Tuturnya tanpa sekali pun melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Dan, sampaikan terima kasihku pada Raihan,” ujarnya seraya menatap Anna. Aku terkesiap ketika mendengar nama itu. ingatanku kembali berputar ke saat di mana aku meminta ia pergi dan membawa kematian bersamanya.
“Dia masih di ruang ICU,” bisik Anna pelan. Untuk sejenak aku bisa merasakan sorak sorai dari dalam kepalaku. Seakan pada akhirnya Tuhan mendengar doaku. Namun sedetik kemudian, aku mulai merasa takut. Merasa khawatir jika semua yang terjadi padanya itu disebabkan oleh perkataannku.
“Kasihan Raihan. Karena kegigihan kelompok yang dipimpinnyalah, kami pada akhirnya bisa ditemukan. Namun ketika akan kembali, ia malah sengaja memisahkan diri dari kelompoknya dan menulusuri jalan yang berbeda.” Tutur Raka sambil memandang keluar jendela. Tiba-tiba tubuhku menggigil, hatiku mulai diliputi perasaan takut yang aneh, perasaan khawatir jika semua kisah itu diakibatkan oleh ku. Aku tau itu konyol, tapi aku tetap tidak bisa menghentikan kecemasan itu.
“Assalamualaikum…” salam bibi ketika berdiri di sampingku, dengan perlahan aku beringsut menyingkir untuk memberikan ruang agar bibi bisa lewat. Bibi tersenyum tipis dan menyentuh pundak Anna dengan perlahan.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya Raka dengan kecemasan yang tidak dibuat-buat.
Bibi meletakan tas jinjingnya di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang rawat inap Raka, ia mendesah lelah kemudian melirik sosok kakek Darmawan yang entah sejak kapan berada di sampingku.
“Masih sama, masih sulit diajak berkomunikasi. Mungkin ia masih belum bisa menerima dengan prediksi dokter yang mengatakan bahwa ia mengalami kelumpuhan.”
Deg…
Aku membelakakan mataku lebar-lebar, dadaku terasa begitu nyeri setiap kali aku menghembuskan nafas, semuanya terasa begitu menusuk kepalaku. Sekelebat penyesalan itu melintasi benakku, menari-nari dengan senyuman mengejek.
Ku putar langkahku, ketika suara bibi kembali membekukan tubuhku. “Dia tidak ingin menemuimu Zahra…” bisik bibi getir. Aku tidak menoleh, tidak juga membantah, aku hanya menundukan kepalaku lebih dalam lagi, kemudian berlalu pergi tanpa sepatah katapun.
***
Hari sudah menjelang fajar, namun mataku masih terbelalak lebar. Tidak sedikit pun rasa kantuk itu menghampiriku, semua yang kurasakan memaksaku untuk tetap terjaga, memaksaku untuk merasakan semua ketakutan itu. Aku memandang lorong rumah sakit yang sepi itu dengan nanar. Hanya ada dua pintu di setiap sisinya. Semuanya terasa begitu sunyi dan sepi, membuatku mampu merasakan seluruh luka itu lebih dalam lagi.
Dengan perlahan ku langkahkan kakiku, menapaki garis yang sebelumnya tidak pernah ingin ku sentuh, membuka lembaran yang sebenarnya ingin segera ku bakar habis. aku tau, semua kejadian ini sudah ditakdirkan oleh sang khalik, dan aku tidak berhak untuk mengingkarinya. Tapi entah mengapa aku merasa sedikit bersalah dengan apa yang kini menimpah Raihan, dan sialnya aku tidak bisa melakukan apapun untuk mengembalikan waktu.
Prang!!
Langkahku tercekat ketika mendengar suara barang pecah dari ujung lorong. dengan segera aku langsung berlari menuju asal suara itu.
“Raihan!” pekikku ketika sampai di kamar ujung lorong sunyi itu. Mataku terbelalak lebar ketika melihat ceceran darah di mana-mana, entah bagaimana ia sudah melepaskan alat-alat yang menempel di tubuhnya.
Ruangan itu cukup besar, dengan alat-alat untuk memonitori secara intensif keadaan sang pasien. Dan kini semuanya tampak berantakan; pecahan vas Kristal berserakan di tengah-tengah ruangan, bunga-bunga lily yang masih cukup segar jatuh berantakan bersamanya, di tambah dengan ceceran darah yang menetes dari tangan Raihan yang tak lagi terpasang selang infus. Aku berteriak histeris dan langsung menghampiri tubuhnya yang sudah terjatuh terduduk di depan pecahan vas itu.
“Ada apa denganmu?!!!!” teriakku penuh ketakutan. Air mataku menetes sambil berusaha membalut tangannya yang masih mengeluarkan darah dengan ujung kerudungku.
“Hentikan.” Bisiknya pelan. Namun saat itu aku sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya. Suasana dini hari kala itu benar-benar membuatku bertambah kalut. Aku menangis sesenggukan sambil terus melakukan hal yang tidak ku sadari.
“Mengapa kau melakukan ini?! Apa kau sudah gila??!!”
“Berhenti mengasihaniku.” Geramnya.
“Aku akan memanggilkan suster,” ujarku seraya beranjak untuk meraih tombol merah di samping ranjangnya. Namun lengannya menahan pundakku.
“Pergi,” desisnya sinis. “Jangan lakukan apapun!” aku menatapnya tidak mengerti.
“Kau butuh perawatan!!” teriakku.
“Aku tidak butuh apapun! Aku tidak butuh siapapun!” balasnya berteriak. Tubuhku bergeming, air mataku kini menetes dalam kesunyian, namun perih yang ditimbulkan terasa semakin dalam. Dengan perlahan aku kembali duduk di hadapannya, meraih tangannya dan membalutnya dengan kasa yang ku temukan di atas meja kecil di samping ranjangnya. “Kau tidak perlu mengasihaniku…” bisiknya, namun tanpa pemberontakan kali ini. Aku hanya terdiam sambil terus membalutkan lukanya, meski kini gulungan kasa itu hampir sepenuhnya menutupi tangannya. “Kau terluka…” bisiknya sambil meraih tangan kananku. Nada cemas dalam suaranya membuatku terbelalak menatapnya.
Pria tampan itu, pria dengan baju rumah sakit dan balutan perban di mana-mana yang jelas tampak kesakitan itu malah mengkhawatirkan luka kecilku. Ia meraih tanganku dan menatap luka kecil akibat tergores pecahan vas itu dengan seksama. Ibu jarinya meraba luka itu, kemudian dengan lugu ia menatap mataku. “Apa sakit?” tanyanya hati-hati. Aku ingin menggeleng, tapi perih dalam hatiku membekukan tubuhku.
Pria macam apa dia?! Mengapa ia bisa bersikap begitu baik padaku?? Mengapa ia tidak memakiku dan menyalahkanku atas apa yang kini terjadi padanya?! Mengapa dia tidak membentakku?! Mengapa dia malah menghkhawatirkan luka kecilku?? Apa dia tidak memiliki hati?? Apa dia tidak bisa merasakan rasa sakit??! Apa dia tidak tau seberapa besar rasa benciku padanya?!! Tidakkah ia bisa melihat semua itu dari mataku??!
Sedetik kemudian aku sudah menghambur memeluk tubuhnya. Menangis sesenggukan di balik dada bidangnya. Mencoba menumpahkan seluruh asa dan luka yang selama ini ku rasakan, menumpahkan seluruh rasa benciku padanya. Untuk sesaat ia tampak terkejut. Tubuhnya membeku dalam pelukanku, kemudian dengan perlahan aku merasakan ia mulai kembali tenang. Raihan menundukan kepalanya hingga menyentuh bagian samping kepalaku, dan aku bisa merasakan tetesan air matanya membasahi bahuku.
“Maaf… aku tidak bisa membawa kematian itu bersamaku…”


7 komentar:

Fathy mengatakan...

Ziaaaaaaaaaaaaa (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)
Kasihan Raihan and Zahranya. Kalo mereka ƍäªk bs bersatu, aku jitak Zia...
º°˚˚°º♏:)ª:)K:)ª:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya cantik. Aku tunggu kelanjutannya ♏ùάçĥº°:*<3<3 º°º♏ùάçĥ:*<3<3

Unknown mengatakan...

aduh lihat Raihan ko co cwit ya :-*.
plis deh Zahra kau tega banget, jangan pernah mengasihi akang Raihan ya huhuhu

aradhya fatimah mengatakan...

Coba komen akh hihi ...

Kasihan itu cherry itu Raihan kok baik banget ya ...

Unknown mengatakan...

sbnrny sya agk kcwa....kok zahra ma reihan pelukan???bknya mreka blm halal???

Thought to Told mengatakan...

kasihan Raihan :'(

Unknown mengatakan...

Makasiii mba tri komennya...
Hehehe di tulisan ini sbnernya aku g mau terlalu menuliskan kisah klise..
Aku pngn nulis yg apa adanya.. Dan meninjau sifat zahra yg... *aduh apa yh bahasanya* pokoknya seperti itu...
Jd seperti ini dh hasilnya.
Istilah kasarnya.. Zahra mah bukan muslimah yg terlalu agamis.. Dia masih labil dan butuh bimbingan.. :) :)

Nunaalia mengatakan...

aduh cherry, hampir aja mau protes kalo smpe raka mati, tp utg aja ga jadi hehe...

cinta raihan ke zahra bener2 tulus, moga aja zahra bs membuka hatinya buat raihan..