Kamis, 27 September 2012

PUTRI KELABU -01-


BAB SATU


Senja kala itu begitu memikau. Aku berdiri menatap pantai yang tenang. Alunan musik khas pernikahan mengalun lembut di belakangku. Sebuah tenda kokoh berwarna perpaduan putih dan gold menambah indah suasana pernikahan outdoor senja itu. aku menggenggam buket bungaku erat-erat, berharap aku memang tidak harus memberikannya pada siapa pun, tidak akan pernah.
                                                            ***
Langkah-langkah kaki mulai terdengar ketika jam dinding menunjukan pukul 9 malam. Hujan diluar sana tidak menghentikan orang-orang berlangkah tergesa itu. beberapa dari mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Namun beberapa yang lain mendiskusikan banyak hal satu sama lain. Wajah kelimanya terlihat tegang.
“Dokter...” aku berdiri ketika mereka sampai didepan ruang ICCU. Seorang dokter tua berkacamata menghentikan langkahnya, menatapku penuh optimistis. Mungkin ia berharap dapat menghapus luka yang berada dimataku. Tanpa ia ketahui, semua luka ini terasa terlalu dalam dan membekas.
“Kakek akan baik-baik saja Nak...” bisiknya sebelum masuk kedalam ruangan putih itu. aku mencoba tersenyum. Namun gagal. Dia pikir aku masih seperti gadis 15 tahun yang lalu, yang langsung percaya ketika mereka mengatakan hal yang sama padaku tentang kedua orang tuaku sesaat sebelum mereka akhirnya dinyatakan tewas.
                                                            ***
Jakarta, 2009.
‘Perfect!!!” teriak seorang gadis yang begitu familiar di mataku. Ia Kirana Aghata Lubis, gadis yang kerap ku panggil Kubis ketika kesal. Kirana menatap pita cantik buatannya dengan puas. Pita itu berwarna biru laut dengan empat simpul. Aku dan Luna menepuk tangan.
‘Kau tau, aku rasa pitanya terlihat lebih indah dari pada isi kado itu sendiri,’ ujarku. Luna memelototiku. ‘Well, bukan berarti aku mengatakan kado pilihanmu itu jelek,’ ujaku, nyengir menatap sosok Luna. Ia menatapku sinis untuk beberapa saat, kemudian menyeringai. Aku bernafas lega.
‘Hm...’ Kirana berdehem pelan. Merebahkan tubuhnya disampingku, memandang langit-langit kamarnya. ‘Setelah ini kita akan lulus SMA,’ ujarnya. Aku dan Luna saling pandang. ‘Apa kita akan tetap bersahabat seperti ini. Duduk-duduk dikamarku, makan ice cream kesukaan kita, belanja bersama...’ kata-kata Kirana tergantung di antara keheningan kami.
‘Ya iyalah!’ jawabku setelah diam sebentar. Luna merebahkan tubuhnya hingga kami bertiga menatap langit-langit secara bersamaan.
‘Di masa nanti, aku mau menikah dengan seorang pengusaha kaya,’ ujar Kirana. Aku terkekeh.
‘Kurasa, bukan Cuma kau yang menginginkan hal itu,’ ujarku. ‘Ya kan, Na?’ aku melirik Luna yang masih terdiam.
‘Aku tidak terlalu menginginkan itu. bagiku, asal ia mencintaiku apa adanya, tulus, tak berbagi... itu sudah cukup,’ aku tersenyum tipis dalam diam. Kirana menghela nafas panjang.
‘Perfect,’ bisik Kirana sungguh-sungguh.

Jakarta, saat ini.
Aku terbangun oleh suara gaduh dari ranjang dorong dihadapnku. Nafasku tercekat ketika melihat seorang pasien tertidur diatasnya. Tidak... itu bukan kakek... dia wanita. Aku menyeka peluhku lega. Tersenyum tipis mengingat mimpiku barusan. Luna dan Kiran, sahabatku yang begitu manis. Andai aku bisa berbagi kembali dengan mereka. Mungkin saat ini aku masih memiliki sedikit gambaran ketenangan. Namun seiring berjalannya waktu semua jarak itu terlihat semakin luas.
Sejauh kabar yang kudapat, Kirana kini masih berada di Tokyo untuk meneruskan studinya dibidang Ekonomi. Sedangkan Luna, sudah tiga tahun aku kehilangan kontak dengannya. Ia seperti hilang ditelan bumi. Tapi aku tau dia masih hidup. Ya dia harus masih hidup, karena aku mempunyai sebuah hutang untuknya.
“Kimi,” panggil seorang wanita cantik. Aku menoleh cepat. Cukup terkejut atas panggilannya. Hanya Ayah. Ibu dan kakek yang memanggilku dengan sebutan itu. dan kalaupun ada orang lain, maka harusnya mereka adalah orang-orang terdekat ayah, ibu dan Kakek.
Aku mengenal pasangan itu sebagai om dan Tante Aryadinata. Mereka adalah sahabat mama dan ayah ketika tinggal di Australia. Aku berdiri menyambut mereka. Tante Lia langsung memelukku erat. Kemudian disusul oleh om Arya.
“Bagaimana keadaan kakek?” tanyanya. Aku melirik pintu ICCU yang masih tertutup. “Kami berusaha datang kesini secepat yang kami bisa,” ujar tante Lia dengan logat yang sedikit aneh. Aku mencoba tersenyum mengerti. “Astaga, kau pasti lelah. Kau bisa pulang, biar tante dan om yang akan menjaganya,” ujar tante Lia tulus. Aku menggeleng cepat.
“Aku akan disini sampai kakek baik-baik saja,” bisikku pahit. Om Arya menganguk dan merangkul pundakku menguatkan. “Terima kasih sudah datang,” bisikku tulus.



2 komentar:

Nunaalia mengatakan...

BAru mulai baca...

Nunaalia mengatakan...

BAru mulai baca...