BAB TUJUH BELAS
Jalan itu tampak begitu
berdebu. Namun aku menikmati pemandangannya. Menikmati semua gerakan debu yang
terombang-ambing dalam buaian angin sore. Kirana duduk dihadapanku dengan
kopinya. Turut terhanyut dalam pemandangan berdebu sore itu. ia berdehem pelan, membersihkan
tenggorokannya. aku masih belum tau maksud kedatangannya hari ini ke rumah
sakit. Namun wajah itu terlihat berbeda. Tidak ada tanda-tanda keceriaan
disana. Aku bersyukur karena ia bukan membawa berita mengerikan tentang Luna.
“Raka dijodohkan dengan
gadis lain,” aku membeku mendengar kata-katanya. “Luna benar-benar kalut
mendengar berita itu. dia sempat drop,” aku menggenggam cangkirku erat-erat.
“Aku sangat khawatir karenanya. Luna takut Raka akan berpaling pada gadis yang
tentunya lebih sempurna itu darinya. Ia sangat mencintai Raka, dan aku rasa
begitu pula sebaliknya. Tapi dari yang aku dengar, ibunya adalah orang yang
sangat keras kepala. Aku khawatir Luna tidak akan bisa meraih impian
terbesarnya. Menikah dengan pria yang mencintainya tulus. Klise bukan?” Kirana
menatap kopinya. “Hm, aku harus segera kembali,” bisiknya. aku menatap beberapa
anak yang tengah berlari riang.
“Ki, katakan pada Luna,
ia tidak perlu khawatir. Aku akan memastikan gadis itu akan mendapatkan
cintanya, impiannya,” aku terdiam mengatur nafasku.
“Hidupnya tidak akan
lama lagi. Ku harap kau mengerti apa yang ku maksudkan. Kau tau, ini sangat
berarti untuknya,”
“Aku mengerti,
pergilah,” bisikku tanpa menoleh. Kirana mendesah panjang sebelum berlalu tanpa
menyentuh kopinya sekalipun. Bahkan rasanya semua ini sudah dapat ku tebak
sejak awal.
Tidak, tentu saja bukan
hanya mereka yang peduli pada Luna. Akupun peduli padanya. Aku menyayanginya
sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri. Namun entah mengapa aku merasakan
berbagai penghianatan di dalam jiwaku. Betapa mudahnya orang-orang membenciku
karena hal ini. Betapa mudahnya orang-orang memandang rendahku karena mau
merebut Raka dari sosok sahabatku yang sekarat.
Tante Lia duduk diam
menatap langit dari jendela kamar kakek. “Kalau tante memang ingin aku bersama
Raka. Aku harap tante mengizinkan ia menikahi Luna,” bisikku lagi. Om Arya
memejamkan matanya, terduduk di sofa. “Tante... Om, kami sudah dewasa. Kami
bisa menentukan jalan hidup kami sendiri,”
“Bagaimana dengan
perasaanmu?” tanya tante Lia akhirnya. Aku tersenyum selebar mungkin.
“Aku baik-baik saja.
Luna adalah sahabatku, begitu pula Raka. Aku menyayangi mereka berdua,”
jawabku. Tante Lia berjalan mendekatiku. Memelukku erat. “Alya sangat
menyayangimu, begitu pula kami
terhadapmu,” bisiknya di telingaku. Aku mengaguk
setegar mungkin. “Aku akan merestui mereka, jika itu yang membuatmu bahagia,”
aku tersenyum lebar. Air mataku mengalir tak tertahankan.
“Terima kasih,” bisikku
tertahan. “Terima kasih banyak...”
***
Aku memejamkan mataku
perlahan ketika hembusan angin menerpa wajahku. Begitu lembut dan menenangkan.
Aku sudah mendapat telepon penuh haru dari Kirana pagi tadi. Bahkan Vero
memelukku penuh terima kasih beberapa saat yang lalu. Kini gadis itu sudah
kembali ke Singapura untuk menemani Luna lagi. Aku tersenyum memandang wajah
kakek yang tampak tenang di belakangku.
Andai saja aku bisa menyimpan ketenangan itu.
“Kimi...” aku tercekat
melihat mata kakek perlahan terbuka.
“Kakek!!!” pekikku
girang, memanggil dokter dengan berkali-kali menekan bel darurat di samping
ranjang kakek. Kakek memelukku lemah. Aku menangis di dadanya yang bergetar.
“Tuhan... terima kasih,” bisikku bahagia.
Are tersenyum lebar
disampingku. Ia menggenggam jemariku ketika memperhatikan dokter memeriksa
kakek, dan melepas beberapa alat yang lain. Aku sudah mengabari yang lainnya.
Dan aku tau tante dan om Arya sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia.
“Terima kasih Dokter,”
bisik kakek lemah seraya menatap lurus pada Are. Aku mengerutkan keningku tidak
mengerti. Yang selama ini menjaga kakek adalah aku, tapi mengapa Are adalah
orang yang mendapatkan ucapan terima kasih dari kakek??
“Maaf sudah membuat
kakek lama menunggu. Bahan-bahan obatnya sungguh sulit ditemukan,” ia
tersenyum. Kakek juga. Aku semakin tidak mengerti.
“Bukan untuk obat saja,
tapi untuk menjaga cucuku,” wajahku memerah ketika sadar genggaman tangan Are
yang tidak juga terlepas. Aku menghentakannya, ia nyengir. Aku berjalan
menghampiri kakek dan menuntut penjelasan atas semuanya. “Kakek memang
memintanya meracik obat ini, seminggu sebelum kakek kambuh. Hm... sudah berapa
lama kakek tertidur?? Sepertinya kakek banyak bermimpi tentang seorang gadis
menangis di samping kakek,” wajahku memerah.
“Kalau kalian tidak
keberatan, aku harus pergi sebentar,” ujarnya. Aku dan kakek mengaguk dan
mengucapkan terima kasih dengan tulus.
Sesaat kemudian pintu
terbuka, dan ia disana. Berdiri terengah-engah. Rambut tembaganya tampak lebih
berantakan dari pada biasanya. Ia hanya mengenakan T-shirt dan Jeans hari ini.
begitu tampan dan santai.
“Raka,” sapa kakek
ramah. Raka berjalan tertatih menghampiri kakek dan mencium punggung tangannya.
Aku menatapnya penuh rindu. Andai
daja aku bisa kembali melihat senyumannya, andai saja aku bisa kembali
memandang mata abu-abunya. Raka berbincang sejenak dengan kakek. Begitu normal,
begitu menyenangkan. Membuatku semakin perih menyadari semuanya akan berubah
sebentar lagi.
“Ayah,” panggil tante
Lia. Ia berlari memeluk kakek.
“Thalia... Arya...”
kakek membalas pelukan tante dan om Arya. Aku bisa melihat kebahagian di setiap
pandangan mata itu. tiba-tiba tubuhku menegang, mendapati Raka menatapku tajam.
Ia mengisyaratkanku untuk mengikutinya keluar kamar. Aku melirik kakek, om dan
tante Lia yang masih berbincang ragu. Kemudian berjalan beberapa meter di
belakangnya.
Kami berdiri dalam diam
di taman rumah sakit yang sepi. Aku mendapati tubuhku sedikit menggigil, entah
karena tegang atau karena hembusan angin yang cukup kencang sore itu.
“Apa yang sudah kau
lakukan?” tanyanya datar. Aku menatap punggunya tidak mengerti. “Apa yang kau
katakan pada mom?” aku tersentak.
“Hal yang kau
inginkan,” bisikku, sedikit terkejut mendengar suara dinginku. Raka berbalik
menatapku.
“Kau salah,”
“Salah?” aku menatapnya
tidak mengerti. “Sudahlah, aku sudah lelah dengan semua kepura-puraan ini. kau
mencintai Luna, begitu pula sebaliknya. Dan kau lihat, kakek sudah siuman. Jadi
kau tidak punya alasan untuk khawatir padaku lagi,”
“Kau salah,” ulangnya.
Aku mendesah frustasi.
“Ya, aku selalu salah.
Selalu aku...” bisikku tidak kuasa menahan getar dalam suaraku. “Maaf,” aku
mengatur nafasku sebaik mungkin. “Aku memang salah dengan mengatakan bersedia
untuk menjadi yang kedua setelah Luna. Tentu saja itu sepenuhnya salah. Aku tidak
akan bisa menggantikan Luna, aku tau itu, dan
kau memang tidak pernah melakukannya. Aku hanya ingin membuat tante Lia tenang.
Dan suatu saat nanti aku akan mempunyai alasan yang lebih baik lagi untuk
menghindarimu,”
Raka mencibir perih.
“Menghindariku?” tanyanya pelan.
“Ya. Menghindarimu, dan
semua tentangmu,” bisikku, menatap lurus kedalam matanya. Raka terlihat begitu
kacau. Bahkan pandangan itupun terlihat memilukan. Aku ingin segera memalingkan
wajahku. Namun pandangan matanya seakan mengunciku. Membeku dalam luka. “Luna
lebih membutuhkanmu,” bisikku akhirnya. Tatapan itu mencair. Memperlihatkan
sisi rapuhnya yang lain. Setetes air mata menghiasi pipiku.
“Ya,” jawabnya atas
semua pandangan memilukanku. “Maafkan aku karena tidak bisa terus berada di
sampingmu,” Raka berjalan perlahan kearahku. Mengecup keningku begitu dalam.
Aku menikmati moment itu. ketika perasaan itu begitu nyata dan menyakitkan.
“Aku menyayangimu,” bisik Raka. Nafasku tercekat.
“Aku juga
menyayangimu,” bisikku saat ia sudah berlalu pergi. Aku merasakan sesuatu
menghimpit dadaku. Tangis yang selama ini tertahan dalam diriku yang terdalam.
Luka itu. perih itu. semuanya menyatu, memberontak dalam diriku, meledak.
Aku menangis
sesenggukan di kursi taman. Menangisi semua nasib burukku dalam hidup ini.
mengutuki kebodohanku. Ingin rasanya aku menahannya pergi. Mengatakan bahwa
akupun membutuhkannya, aku mencintainya. Namun aku tidak akan menebar luka pada hati
siapapun. Tidak, tidak akan pernah.