Sabtu, 30 Maret 2013

PELANGI HITAM PUTIH -06-


ZAHRA

CINTA-MASA LALU-HIDUP BAHAGIA... Itu adalah tiga kata yang terus berputar-putar di dalam benakku. Aku mempercayai tentang cinta sejati, bukankah sudah tertulis dengan jelas di dalam Al-Qur’an, jika manusia diciptakan secara berpasang-pasangan, jadi untuk apa aku kembali mempertanyakannya.
Di samping itu aku juga sudah melihat kisah cinta sejati yang begitu indah, meskipun saat itu aku tidak terlalu memperdulikannya. Tapi setidaknya, cinta orang tuaku tidak pernah menghilang, bahkan hingga akhirnya mereka meninggal karena kecelakaan tragis beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, sekali lagi, aku pikir semua cinta itu akan berakhir indah, mungkin yang paling buruk adalah ketika akhirnya sepasang kekasih itu mati, dan meninggalkan kenangan cinta mereka di dunia ini. Tapi toh, mereka akan tetap bersama di surga nanti. Aku hanya belum memikirkan kemungkinan tentang cinta yang tidak pernah tersampaikan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Aku memang bukan sosok yang popular semasa SMP dan SMA, namun aku tidak pernah sampai harus mengemis cinta pada pemuda manapun. Aku adalah gadis yang keras kepala, yang menganggap bahwa cinta itu hanyalah sebuah bagian remaja yang ke kanak-kanakan. Aku memang pernah berpacaran dengan beberapa siswa, namun itu hanya sebuah permaian bagiku. Tidak lebih. Aku menikmatinya seperti aku menikmati permainan game di handphoneku. Dan ketika, sebagian besar siswi kelasku menangisi kisah cinta monyet mereka, aku malah sibuk dengan segudang ekstrakulikuler yang ku ikuti selama ini. Mungkin tidak salah jika aku mendapat julukan gadis dingin semasa SMA. Tapi itu sama sekali tidak menjamin, bahwa sepanjang hidupku, selama nafasku berhembus, aku tidak akan pernah menangis karena cinta itu, karena pada akhirnya, siapapun bisa melihat air mata menjijikan tentang kisah cinta yang tak pernah termiliki.
“Kak Zahra!!” teriakan itu menghentakan tubuhku, cengkraman Raihan yang sempat mengendur di tanganku kini benar-benar menghilang. Aku tidak ingin menahan tangannya tetap menggenggam tanganku, aku tidak berhak. Tapi ketika ia melepaskannya, aku mulai merasa takut, terlebih ketika aku menyadari bahwa aku sendirian.
Tangan kecil Aisah terbuka lebar, menawarkan sebuah pelukan hangat. Aku turut membuka lebar tanganku, jatuh di atas lututku ketika akhirnya tubuh mungil gadis itu sampai ke pelukanku. Aisah membenamkan kepalanya di balik bahuku, memeluk tubuhku dengan sangat erat, dan saat itulah aku merasa kehilangan semuanya, kehilangan hidupku.
Tangisan gadis itu sama sekali tidak mengalahkan isakkanku. Air mataku terus menetes di pundaknya, membuat bulatan-bulatan kecil di kerudung ungu muda yang dikenakannya.
Aku ingin bahagia… aku ingin tersenyum untuk saat ini, dan seharusnya aku memang tersenyum, seharusnya aku berbahagia ketika melihat bahwa pria itu kini bahagia bersama cinta sejatinya, jodoh yang dituliskan oleh sang khalik untuknya. Tapi nyatanya hanya air mata itu yang menghiasi hariku, hanya kegelapan yang kini menyelimutiku. Tapi aku tidak bisa membiarkan siapapun melihat luka itu, sederas apapun air mataku menetes. Aku akan menunjukan bahwa aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja, aku harus…
Keningku sedikit berkerut ketika merasakan isakan Aisah terasa begitu menyakitkan. Ia menangis tergugu di pundakku, jemari kecilnya mencengkram kerudungku dengan sangat keras, menunjukan luka yang selama ini ia simpan, dan sejujurnya hal itu membuat otakku bertanya-tanya. Aku mengangkat wajahku ketika melihat sosok lain keluar dari dalam mobil. Seorang wanita dengan gamis putih yang berhiaskan gambar-gambar angsa kecil di bagian kirinya. Seorang wanita yang menautkan kedua tangannya dalam kegelisahan. Seorang wanita yang terlihat begitu ketakutan namun tampak tengah berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya.
Aku mengangkat tubuh mungil Aisah dalam dekapanku, menggendongnya seakan dia hanya sosok gadis berumur lima tahun yang tengah menangis karena kehilangan boneka kesayangannya. Kemudian dengan perlahan aku melangkah mundur, membenamkan wajahku ke jilbab gadis kecil itu dan akhirnya berjalan masuk ke dalam gedung utama panti yang kosong.
Tak lama setelah itu, aku mendengar suara Ummi dan beberapa guru yang baru pulang dari rapat hari ini. Namun aku tidak peduli, aku terus melangkah masuk ke dalam gedung tua itu sambil menggendong Aisah, memasuki kamarku dan menidurkannya di atas ranjangku. Aku membelai kepalanya dengan penuh kasih. Ia masih menangis, namun tidak separah tadi, sepertinya setelah membisikanku seluruh ketakutannya, ia mulai tampak tenang. Aku memberikan senyuman yang menenangkan untuknya, mengucapkan kata baik-baik saja tanpa suara, kemudian mengecup keningnya dengan sangat lembut.

Ku genggam erat-erat handle pintu kamarku sebelum membukanya dan melangkah keluar. Sekali lagi ku lirik sosok Aisah yang kini sudah tenang terbaring di ranjang kamarku. Aku tersenyum tipis padanya, dan menguatkan hatiku, lalu melangkah keluar kamar.
“Timsar sudah mencarinya,” langkahku terhenti ketika mendengar perkataan wanita yang tidak lagi asing di mataku itu. “Seharusnya ia sudah datang sejak tujuh jam yang lalu, seharusnya dia sudah berada di sini bersama kita. Tapi bodohnya aku! Bagaimana mungkin aku meninggalkannya seperti ini?!”
Aku menghela nafas panjang, berusaha keras untuk meraih ketenangan yang sangat mustahil ku dapatkan saat ini. Air mataku sudah mengering, hatiku kebas, mati rasa, hingga rasanya aku tidak tau kemana langkahku akan membawaku.
Ketika melihatku memasuki ruang tamu, Anna menyeka air matanya, ia menatapku dengan tatapan yang menyiratkan beribu rasa ketakutan. Ummi duduk di hadapannya, membelakangiku, namun aku bisa melihat punggung tuanya sedikit bergetar. Aku menatap prihatin pada Anna, dan berjalan perlahan untuk menyentuh pundaknya. Memintanya untuk melakukan hal yang takkan pernah bisa ku lakukan… bersabar…
“Aku ingin menitipkan Aisah di sini. Aku sudah menghubungi ibu, dan sebentar lagi ibu akan datang. Kakek Darmawan sudah berangkat ke titik pusat jatuhnya pesawat itu, dan aku akan segera berangkat ke sana.” Tutur Anna. “Ummi… aku tidak tau apa yang harus ku lakukan, aku tidak tau kemana aku harus pergi. Aku hanya seorang wanita sebatang kara, aku tidak tau…”
“Sssttt… Anna beristigfarlah, kau harus bisa kuat nak. Kau harus yakin. Ummi tidak bisa melarangmu, tapi ummi pikir lebih baik kau tetap berada di sini bersama Aisah. Mereka pasti akan mengabarimu jika sudah mendapatkan perkembangan yang baru, kau bersabarlah.”
“Tidak ummi, aku tidak bisa menunggu di sini. Aku harus datang ke sana.” Bisik Anna parau.
Ummi memeluknya dengan sangat erat, seperti aku memeluk Aisah beberapa saat yang lalu. Tangan tuanya membelai punggung gadis itu dengan perlahan. “Anna dengarkan ummi, hidup dan mati ada di tangan Allah. Apapun yang akan terjadi nanti kau harus berdiri sekuat mungkin, kau harus meyakini bahwa ini adalah takdir yang sudah dituliskan Allah untuk kita, untuk Raka. Bahkan jika pada akhirnya kenyataan terburuk itu yang hadir—“
“Tidak.” Potongku, aku menatap ummi dan Anna sambil menggeleng perlahan. “Ummi, apa yang ummi katakan?!” tanyaku, mataku menyipit seakan tidak mengerti dengan perkataannya.
“Zahra…” ummi menatapku dengan pandangan memohon. Namun aku terus menggeleng.
“Ummi, aku sudah melerakan Raka, aku sudah mengikhlaskannya untuk menikahi wanita lain. Tapi kepada kematian?? Aku tidak bisa… Raka… dia tidak boleh mati. Dia harus hidup, dia harus hidup dan bahagia. Bukankah sudah ku katakan padamu?!!” tudingku pada Anna. Wanita itu menunduk perih. “Kalau tau kau hanya akan membuatnya terluka, aku tidak akan pernah membiarkannya menikah denganmu!” teriakku keras. “Kau wanita pembawa kesialan…” bisikku tercekat.
Anna sama sekali tidak terlihat marah dengan seluruh makianku, ia malah terus menunduk sambil memandang pangkuannya. Dan itu membuat amarahku semakin besar, aku berteriak keras dan menarik bahunya. “KENAPA KAU MEMBUATNYA SEPERTI INI?!!” teriakku lagi.
“Zahra lepaskan!” gertak ummi. Namun aku tidak peduli, aku mengguncang-guncangkan bahu Anna dengan sangat keras, membuat air mata wanita itu jatuh kesembarang arah. Aku benar-benar membencinya. Hingga tiba-tiba sebuah tangan kekar menarik kedua tanganku, menghempaskannya hingga jatuh ke samping tubuhku, mengunci kedua tanganku dengan cengkraman kuat di kedua sisi lengan atasku. Aku terhenyak, mataku masih menyala karena kemarahan.
“Cukup.” desis Raihan di hadapanku. Matanya tampak berkilat marah, wajahnya tegang dengan kedua rahang yang mengeras. Aku ingin memberontak namun cengkramannya terlalu keras, memitingku dengan sangat kuat. “Hentikan itu sekarang juga.” Tambahnya.
“Mengapa kau membelanya?” tanyaku perih.
“Aku tidak membela siapapun.” Jawab Raihan sungguh-sungguh.
Aku menggeleng perih, air mataku mulai menetes perlahan. “Mengapa harus Raka? Mengapa selalu dia yang terjatuh dalam jurang itu?”
“Zahra, sudahlah.”
“KENAPA HARUS RAKA?! Apa salahnya?!!!!” teriakku histeris.
“Zahra tenanglah, ada aku di sini.” bisik Raihan melembut. Aku menatap dingin wajahnya.
“Aku tidak membutuhkanmu. Mengapa tidak kau saja yang berada di sana?! Mengapa bukan kau yang jatuh dan hilang bersama seluruh awak pesawat itu?! mengapa Raka??!! MENGAPA RAKA?!!! Mengapa selalu Raka yang berada di ambang kematian, sedangkan kau selalu berdiri dengan tenang di sini? Apa karena Tuhan tau, tidak akan ada air mata yang menetes jika kau hilang, atau bahkan kalau kau mati?!”
“Zahra!” tegur ummi dengan suara tercekat.
Aku menatap tajam kedua mata itu, merasakan tubuh kekarnya perlahan membeku. Tatapannya berubah menjadi sedingin es, aku bisa mendengar suara gemeretuk giginya ketika ia mengatupkan rahangnya dengan sangat keras. Kemudian dalam sekali gerakan, ia menghempaskan kedua tangannya dari lenganku, membebaskan tubuhku dari cengkraman kerasnya, dan berlalu dengan langkah besar yang tidak akan pernah bisa ku kejar.
Tubuhku jatuh terduduk di lantai, air mataku menetes seiring menjauhnya langkah pemuda itu. “Pergi… bawalah kematian itu bersamamu…” bisikku pelan, dan bisa ku lihat kedua tangannya terkepal keras bahkan hingga akhirnya bayangan pemuda itu menghilang, aku masih membisikan kata yang sama, berharap itu bisa berubah menjadi mantra dan akhirnya akan menjadi nyata.


11 komentar:

Unknown mengatakan...

ya ampun zahra ucapannya setajam silet dari dulu ngga suka zahra dengan ucapannya padahal kan berjilbab *maaf*
ya ampun raka anna kapan mereka bahagia :-( , mereka belum menikah kan?
kasian anna ujian terus mengalir.

Unknown mengatakan...

Iya sama mba nao... Aku jg ga suka sama dia... Bner2 keras kepala dan angkuh... Hihihihihi salah pergaulan nih penulisnya...
*toyor kepala sendiri*


Unknown mengatakan...

Wuiih... Zahra kok blm bsa mnerima knyataan ya. Pdhal dgn pendidikn agama Πγª sdkit bsa mngendalikan perasaan Πγª. Jdi kasian sma Raihan dech...

Unknown mengatakan...

Zahra jhat bgt!!! Ksian kn Raihanny!
Bnci ak sma Zahra!
EGOIS!!!

Unknown mengatakan...

Eh hehe...
*garuk2 kepala trus kabur*
Kayaknya penulisnnya... Eh maksudku zahranya harus di rukiyah deh... Hihihi

Anonim mengatakan...

kok g dilanjutin ka?

Fathy mengatakan...

Suka,,,
Aku malah lebih suka zahra, entahlah... Terasa lebih alami sebagai manusia #maaf, aku'a Чªήğ aneh...
Cherry sayang aku tunggu lanjutan'a yah... Miss u already...

Good luck sama KKN nya ya sayang, semangat trsu (งˆヮˆ)ง (งˆヮˆ)ง

Unknown mengatakan...

lanjutin dong cerbungnya
penasaran

Unknown mengatakan...

Maap yah mba mba sekalian.. Aku nya masih kkn... Hehe jd blm bsa lanjut kisah zahra dan raihan...:)

Izu Rae mengatakan...

Ditunggu yah ceritanya coz nunggu banget nih...
Moga sukses aja KKN nya. :)

Nunaalia mengatakan...

di cerita 'cahaya cinta' ga setuju raka sama zahra krn sikapnya yg spt ini.
tapi di cerita ini berharap zahra bs bersama raihan.