BAB
SATU
Pejuang
Cinta??!
aku
berteriak keras ketika sebuah bola mengenai kepalaku. “AWww!!!!” teriakku.
Beberapa orang langsung mendesis kaget dan sebagian yang lainnya tampak jelas
menertawakanku. Aku meringis sambil mengusap kepalaku. Mungkin sedikit benjol
mengingat benturanna yang cukup keras.
“Maaf,
kau tidak apa-apa?” sebuah tangan terulur kepadaku, menyentuh keningku yang
berdenyut. Aku melongo menatapnya. Terpesona akan wajah tampan di hadapanku.
Matanya indah dan sangat menyejukan; Rambutnya berantakan, berkeringat;
hidungnya begitu indah dan pas di wajahnya. Aku merasakan hatiku sedikit
bergetar, kemudian meleleh bagai ice cream yang diletakan di microwave. Ia
begitu sempurna.
“IZZI!!!”
aku tersentak, kemudian refleks mundur beberapa langkah. Lena sahabatku
menggantikan pangeranku. Ia berdiri menatapku. Matanya menyiratkan kekesalan
dan kekhawatiran. Aku menyeringai kikuk. Kemudian memutar pandanganku, mencari
pangeran tampan itu.
“Hai…”
sapaku kikuk. Lena melongo menatapku.
“Hai??!”
tanyanya tidak percaya. “Sepertinya benturannya terlalu keras. Kau amnesia
ya?!” aku mengerutkan keningku, memasang
wajah ngeri.
“Apa
dia baik-baik saja?” nah itulah suara pangeranku. Aku meliriknya yang berdiri
di balik punggung sahabatku. Wajah tampannya terlihat khawatir. Aku mencelos,
dan merasakan hatiku jatuh begitu saja. “Dia terlihat pucat,” katanya pada
seseorang disampingnya. hah?? Dia?? Dia siapa?? Aku??
“Kau
akan baik-baik saja,” desis Lena kemudian. Aku meronta ketika ia menarikku
menjauhi pangeran tampanku. “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri, bodoh!”
ujar Lena.
***
“Melamun
lagi??!” tegur Lena di tengah pelajaran Matematika siang itu. aku menatapnya
sinis. “Kau akan mendapatkan masalah kalau terus begini, kerjakan nomor dua
belas!” perintahnya. Aku mengulurkan lidahku cepat, kemudian memeriksa buku LKS
ku. Astaga, soal macam apa ini??!! Aku mendesis kemudian melirik Lena yang
tengah asyik mengerjakan. Lena memutar bola matanya ketika melihat
seringaianku. Kemudian menunjukan jawabannya sendiri.
“Kau
jatuh cinta?” tebak Lena ketika pelajaran itu usai. Aku tersentak dan mencibir
padanya. “Izzi!!! Kau suka Ethan?!” tanyanya lagi. Ethan?? Siapa pula si Ethan
itu?? pikirku. “Kau lupa? Anak baru yang melemparkan bola ke kepalamu tadi
siang.” Tambahnya. Wajahku memanas. “Astaga… jadi kau menyukainya?”
“Jadi
namanya Ethan?” tanyaku. Ia mengaguk antusias.
“Astaga
Izzi, akhirnya kau jatuh cinta. Kau tau aku samppai khawatir memikirkan
kalau-kalau kau tidak menyukai makhluk berjenis kelamin laki-laki.” Tuturnya.
Aku mendelik menatapnya. “Ups… hehehe…” ia menutup mulutnya dan menatapku
kikuk. “Sudahlah, tidak penting. Pokoknya mulai saat ini aku akan membantumu
untuk mendapatkan cinta Ethan. Kita akan menjadi pejuang cinta!” ujarnya
benar-benar bersemangat. Aku sampai ngeri menatapnya. Namun, apa tadi katanya?
Pejuang cinta? Yang benar saja? Wajahku kembali memerah.
***
Aku
menatap Lena tidak percaya ketika ia mengeluarkan semua bawaannya. “Kau mau
pindah rumah?” tanyaku. Ia memutar matanya padaku kemudian tersenyum misterius.
Ia mengeluarkan beberapa barang lainnya dari tas besarnya. Aku mendesis.
“Ini
untukmu, sebelum memulai perjuangan cintamu, kau harus merubah dirimu.” Lena
menarik tubuhku ke depan meja belajarku. Menghadapkanku pada cermin seukuran
papan jalan di kamarku. “Dia pindahan dari Bandung, dan kabarnya dia keturunan
Jerman…. Wow seleramu benar-benar bagus.” Wajahku kembali memerah. “Dan kau
tentu sadar bukan, kalau kau mempunyai berjuta saingan?” aku menatapnya takut.
Saingan? “Ayolah Izz… dia itu murid baru, dan lumayan tampan juga, pasti banyak
yang menyukainya.” Aku mendesah setuju akan kata-kata terakhirnya. “Tapi aku
akan membuatmu menjadi gadis tercantik untuk menarik perhatiannya.” Ia
tersenyum menatapku dari cermin. “Kau akan menjadi gadis tercantik.” Ujarnya
lagi. Aku menatap ngeri antusiasmenya.
***
“Izzi?”
aku menyeringai kikuk menatap mama. Ia tampak begitu heran menatapku. Dan
sejujurnya aku juga sangat terkejut dengan penampilan baruku. “Kau yakin akan
berangkat kesekolah seperti itu?” Tanya mama. Penuh rasa ragu. Aku mendesah dan
mengaguk. “Oke, hati-hati kalau begitu.” Ujar mama. Aku mengaguk sekali lagi
dan berlalu.
Lena
tersenyum kepadaku ketika melihatku dibalik tikungan rumahku. “Kau sangat
cantik.” Ujarnya antusias. Aku hanya mengangkat bahu. Namun sejujurnya, dengan
rambut yang di kriting seperti ini, dan aksesoris yang menurutku terlampau
berlebihan membuatku lebih seperti wanita murahan dari pada cantik. Tapi
melihat antusiasme Lena aku hanya bisa mendesah patuh.
Aku
merasa semua tatapan itu mengarah padaku. Mereka berbisik di belakangku
kemudian terkekeh-kekeh. Aku menatap Lena yang dengan santainya mengaguk pasti
ke arahku. Oh Tuhan. “Izzi, dia datang!!” desis Lena. Aku membeku ketika
melihat pangeran tampanku datang. Kini ia masih mengenakan seragam sekolahnya,
namun melihat bola itu di tangannya aku kembali meringis. “Kau tidak apa-apa?”
tanyanya. Aku menatap wajah tampannya dan mulai merasakan lututku kembali
melemas. Lena menyikutku dari samping. Aku terkesiap.
“A..A..Ku…”
bicara idiot!! Runtukku dalam hati. “Aku baik,” bisikku susah payah. Ia
tersenyum lebar. Astaga… ia benar-benar tampan.
“Syukurlah
kalau begitu,” ujarnya kemudian kembali berlari ke lapangan. Aku mencelos
menatapnya. Lena menatapku kesal.
“Apa
kau bercanda?!?! Itu adalah kesempatan emas, dan kau malah tergagap mengucapkan
satu kata. Astaga Issabela, kau bisa menanyakan hal lainnya!!” Lena berteriak
frustasi. Aku menunduk di hadapannya. “Hm, karena dia pemain basket maka kau
harus menjadi anggota cheers,” ujarnya. Aku melotot tidak percaya.
“Itu
terlalu berlebihan Le…” desisku.
“Berlebihan??
Tidak sama sekali! Kau harus bisa menjadi sedekat mungkin dengannya.” Aku
menatapnya lelah. Astaga Tuhan… “Ayo, aku kenal ketuanya, kau mungkin bisa
mendapatkan posisi yang bagus,” ujarnya. Aku mencibir. Seluruh sekolah pun tau
siapa ketua Cheers yang fenomenal itu. Sazkia fayadita.
“Hai
kak fay!” teriak Lena. Fay?? Baru kali ini aku mendengar gadis jangkung itu dipanggil
lain. Sazkia menatap kami.
“Hai
Le, ada apa?” tanyanya. Aku menatap ngeri kakinya yang panjang. Tampak begitu
halus namun begitu menyeramkan.
“Bisakah
kau menerima satu anggota lagi?”
“Ah,
akhirnya kau mau mengikuti klub ini juga,”
“Bukan,
bukan aku, tapi Izzi, sahabatku.” Sazkia
mendelikan matanya padaku, menilaiku. “Bisakah?” tanyanya. “Dia sangat tertarik
menjadi cheers, tapi dia tidak berani mengajukan diri.” Aku memelototi Lena. “Mungkin kau bisa
mengajarinya sedikit, kau tau dia sangat berbakat.” Aku mendesis ngeri. “Dia
hanya butuh sedikit latihan.” Sedikit
latihan??? Yang benar saja?! Aku sama sekali tidak bisa menari! Aku payah dalam
segala hal.
“Well,
mungkin kita bisa lihat nanti. Tapi kau tau sendiri sekarang klub Cheers sedang
banyak peminat.” Sazkia menunjuk beberapa gadis dengan tatapannya. Kami
mengikuti arah pandangannya kemudian mengaguk.
“Tapi
kau tentu bisa melakukan sesuatu untuk sahabatku ini kan kak?” pinta Lena. Lagi-lagi Sazkia menilaiku dengan
tatapannya. Ia satu tingkat di atas kami. Dan tatapannya benar-benar menunjukan
hal itu. mungkin kalau bukan karena Lena yang membawaku, ia sudah mengusirku
dari tadi.
“Aku
tidak terlalu yakin. Tapi kalau memang dia berbakat sebagaimana yang kau
katakan tadi, aku bisa melakukan beberapa hal.” Ujarnya.
“Terima
kasih kak,” ujar Lena dengan keriangan yang tidak dibuat-buat. Sazkia mengaguk
dan kembali berlalu pergi.
“Apa
yang kau lakukan sih?” tanyaku kesal.
“Mempromosikanmu,”
ujarnya santai. Astaga… Tuhan… inikah pengorbanan sebagai pejuang cinta sialan
itu??!
***
4 komentar:
keren ceritanya say.......
hehehe makasiii mba, tpi blum selesai, hihihi
lapak baru nih....
PN udah penuh... bingung disana mo bersuara apa... hihihihi
makasi cherry....
komen dlu baru baca.....
:)
hihihihi silakan di baca aja mba... :) :)
Posting Komentar