Kamis, 03 Januari 2013

Written In the Stars -01-


Mendung masih menghiasi langit saat Dara keluar dari sekolahnya. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan, pikir Dara. Dan sesaat kemudian setetes air hujan mengawali tetesan yang lain, membuat Dara terpaksa mematung di halte.
“Dara, kamu belum pulang? Ayo masuk!” teriak Stela dari dalam mobilnya. Tanpa pikir panjang Dara langsung memasuki mobil Stela. “Oya, ada anak baru lho di kelasku,” ujar Stela antusias. Dara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Namanya Damar. Orangnya manis… mirip-mirip Steve Imanuel,” Stela terkekeh pelan mendengar kata-katanya sendiri. Lagi-lagi Dara hanya bisa tersenyum tipis. 
“Ra, sudah sampai,” ujar Stela ketika sampai di depan rumah Dara.
                                                            ***
Dara menatap langit malam yang tak berbintang. Lagi-lagi terdengar teriakan keras dari kamar kedua orang tuanya. Entah apa yang membuat mereka selalu bertengkar. Namun, Dara sudah mulai terbiasa, ia sudah lelah menangis, ia sudah lelah berpura-pura tersenyum diatas tangisannya. Seperti saat ini, ia tidak pernah lagi tersenyum. karena ia tau, itu tidak akan memperbaiki keadaan.
Prang…
Piring-piring terbang itu kembali membentur dinding dan lantai yang menjadi saksi bisu pertengkaran mereka di malam yang kelabu. Dara meneteskan air matanya perlahan, hingga akhirnya ia terlelap dalam kelelahannya.

Sinar lembut sang mentari membangunkan Dara keesokan harinya. ia beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap pergi kesekolah. Dilihatnya meja berbentuk oval itu dengan sedih. Tidak ada siapapun disana, hanya makanan-makanan yang mungkin lezat namun tidak menarik. Membuat Dara enggan untuk menyentuhnya.
                                                            ***
Pantulan bola basket terdengar nyaring. Dara menolehkan wajah cantiknya yang muram, kemudian kembali menelusuri koridor sekolah yang sepi.
“Hei…” panggil seseorang. Dara menoleh namun tak menjawab. “Hm, kenalkan aku Damar,” ujar pemuda itu lantang. Dara membalas uluran tangan Damar dan menariknya kembali dengan cepat. Damar mengerutkan keningnya heran. “Boleh aku tau siapa nama kamu?” tanyanya. Dara membeku, wajah cantiknya sedikit memucat. Damar menatapnya dengan tatapan tidak sabar. Namun belum sempat ia kembali mengulang pertanyaannya, Stela sudah berlari menghampiri mereka.
“Hai Damar,” sapa Stela girang. “Wah sepertinya kalian sedang berkenalan,” ujar Stela. Dara menatapnya sesaat. Stela tersenyum tipis seolah-olah mengerti kata-kata yang terukir dalam benak sahabat terbaiknya. “Damar, kenalkan dia Dara,” ujar Stela, sesaat sebelum Dara berlalu pergi. “Dia bisu,” bisik Stela pelan. namun bisa membuat Damar menahan nafas karena terkejut.
“Gadis cantik itu bisu?” tanyanya tidak percaya. Stela mengangguk perlahan. “Hm… La, aku harus pergi,” Damar melambaikan tangannya sebelum menghilang di balik lapangan. “Dara!!” panggil Damar. Dara menghentikan langkahnya dan berbalik. “Hh… aku… hh… minta… hh… maaf…” ujar Damar dengan nafasnya yang masih terengah-engah. Dara mengeluarkan selembar kertas dari sakunya dan menuliskan sebuah kalimat.
‘Untuk apa?’
Damar membaca kertas itu sesaat. “Sorry, aku nggak tau kalau kamu bisu,” ujar Damar penuh penyesalan. Dara tersenyum manis dan kembali menulis.
‘Nggak apa-apa kok,’
“Hm, boleh aku jadi teman kamu?” Tanya Damar tiba-tiba. Matanya berbinar penuh harap. Dara menatapnya tidak percaya, sebelum akhirnya mengangguk senang.
                                                            ***
                                                                                    27 February 2008
Senin yang sendu… aku terduduk sendiri di depan meja riasku. Ku tatap pantulan wajahku di cermin, berusaha mengukir senyum palsu seperti biasanya. Namun bukannya wajah tersenyum yang kulihat, malah sebaliknya. Wajah dicermin itu seakan mengejekku karena sudah lupa caranya tersenyum…
Senin yang semu…
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Dan orang tuaku memintaku untuk menghadiri perceraian mereka. Aku tersenyum pahit penuh luka. Perih rasanya mengingat kata yang selalu ku takutkan selama ini…
Ku tatap wajah semu di hadapanku dengan pilu. Apakah selama ini wajahku selalu menampilkan kebahagiaan? Sampai-sampai tidak ada satu orangpun yang datang untuk menghapus air mataku?
Samar-samar ku dengar teriakan mama memanggilku. Dengan langkah berat aku menghampirinya yang sudah berada di mobil. Sedangkan papa berada di mobil yang lain. Aku sendiri lebih memilih pergi bersama papa, karena aku sama sekali tida tega melihat wajah mama yang tampak sangat terpukul.

Pukul 11.25 sidang terakhir itu selesai. Aku bisa melihat sirat kelegaan dari wajah kedua orang tuaku. Tapi bagaimana denganku? Haruskah aku merasa lega seperti mereka? apa wajahku sedang tersenyum sehingga tidak ada satu orangpun yang menahan bahuku agar tidak terjatuh?
Ingin rasanya aku memberontak. Berteriak dengan suara yang lantang. Namun, aku tidak kuasa… karena aku hanyalah seorang gadis bisu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kadang aku bertanya-tanya mengapa aku bisa mendengar? Padahal bukankah kebanyakan orang bisu itu tidak bisa mendengar? Dan akupun berharap tidak bisa mendengar! Agar aku tidak perlu mendengar tawa papa seusai sidang…

Aku bersedih, namun tidak untuk menangis, hanya ingin mengetahui kapan semua ini akan usai.
Aku menepi bukan lelah mengarungi, hanya saja aku tak kuasa menahan semua pahit hidup ini.
Andai aku bisa meminta dan pasti dikabulkan… aku memilih mati…
Bukan aku tidak mensyukuri hidup ini, hanya saja aku sudah terlalu lelah menjalani semua kisah semu ini…
                                                            ***
Sidang sudah usai, sekarang tinggalah Dara yang harus memilih dengan siapa ia akan tinggal setelah ini. Entah mengapa pilihannya jatuh pada papanya, dan ternyata sang ibunda bisa sangat menerima, bakan di wajahnya tersirat kelegaan yang mendalam. Seakan baru saja terlepas dari beban yang teramat berat. Dara meringis pilu. Ia benar-benar tidak berani melihat mamanya yang kabarnya akna pergi ke Meksiko. Dara sudah tidak peduli, hatinya terlalu sakit dengan semua ini…

Pukul 15:30 Dara baru saja sampai di rumah mewahnya. Kesepian itu mulai menyeruak. Kini tidak ada lagi sosok ibu yang selalu ia nanti untuk memeluknya. Dara menangis pilu, namun seperti biasa, tanpa suara. Hanya sebuah isakan yang mengiris hati. Tiba-tiba telepon berdering. Dengan lesu Dara mengangkatnya. Setetes air mata mengawali kepedihannya yang baru. Tubuhnya terjatuh lemas di samping meja telepon. Hatinya sakit menahan luka yang benar-benar memuncak. Sebuah kabar kelabu yang baru telah menghiasi harinya yang semu. 

INDEKS

0 komentar: