Selasa, 21 Juli 2015

SHADE


Seperti pejuang yang kalah.

Tik tok tik tok.

Aku mendengar suara detak jam tanganku ketika daguku bertumpu pada tangan kiriku. Tik tok, tik tok. Suaranya bergetar sampai ke dadaku yang terdalam. Apa aku kalah?

Sekali lagi aku menatap layar ponselku yang menghitam, tidak ada pesan yang masuk, atau mungkin yang akan masuk, yang sangat aku harapkan. Semuanya membisu. Tapi aku tau mereka tidak menertawakanku, mereka menatap iba, dan itu justru terasa semakin buruk.

Perasaan bahagia mengenai kepulangannya beberapa hari yang lalu mendadak sirna. Binar indah di mataku ketika melihatnya berpose di depan Bandar Udara Mutiara Sis Al Jufri palu, sesaat sebelum keberangkatannya menuju bandara Soekarno Hatta, hilang sudah. Tergantikan oleh pandangan kosong dari mataku.

Mulutku pahit, mungkin karena selama hampir dua hari tidak membiarkan makanan apapun masuk ke dalam lambungku, selain dua aspirin dan CTM semalam untuk membantuku tidur tanpa gangguan pikiran apapun.

Jam 1 di gramedia.

Itu adalah janji yang kutetapkan tanpa menunggu atau mengharapkan jawabannya. Aku sudah memperisapkan diriku untuk kenyataan terburuk yang mungkin akan kutemui. Tapi nyatanya aku tidak pernah bisa kuat. Hatiku hancur lebur, kehilangan harap. Sialnya, aku sama sekali tidak bisa menangis, aku kehilangan rasa sedihku. Atau mungkin semua ini sudah terlalu menyakitkan hingga aku tidak bisa lagi merasa sedih? Aku pias, mati rasa.

H-1 menjelang lebaran aku mendapatkan pesan singkatnya, lengkap dengan fotonya di samping jendela pesawat. Aku masih menertawakannya, lalu sedikit mengomelinya karena masih menggunakan ponsel ketika di pesawat. Aku ingin ia pulang dengan selamat, bukan hanya sekedar nama. Aku ingin menjemputnya di bandara. Seperti yang kerap kulihat di film-film, dimana sang wanita akan berlari untuk memeluk kekasihnya yang baru saja pulang. Tapi di Indonesia? Aku pasti akan membunuh diriku sendiri jika melakukan hal itu. Terlebih, aku memang tidak mengambil cuti hingga hari lebaran.

Kepulangannya hanya dalam hitungan hari, 6 hari. Dengan hati-hati aku menentukan tanggal untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin mengganggunya ketika sedang bersama keluarganya. Ia pasti merindukan mereka lebih dari apapun. Dan aku tidak ingin menjadi penengah yang tidak diharapkan.
Minggu, tanggal 19.

Aku tidak bisa berhenti tersenyum di hari sabtu. Ini akan menjadi first date-ku dengannya. Aku sudah memikirkan tentang apa yang mungkin aku kenakan ketika bertemu dengannya. Sepatu, pakaian, kerudung, bahkan make up seperti apa yang harus aku gunakan ketika saat istimewa itu datang. Aku sudah memikirkannya lama sebelum aku tau ia akan pulang. Aku sudah mempersiapkan diriku dengan sangat matang. Aku ingin tampil secantik mungkin di hadapannya, tanpa menjadi orang lain. Aku ingin ia mencintaiku karena diriku sendiri. Aku ingin menjadi satu-satunya gadis yang bersemayam dihatinya.

Muhammad Rayyan : Yang, kalau bukan minggu, senin aja yah?

Sebuah pesan singkat masuk ketika aku tengah memilih sepatu mana yang akan kugunakan besok. Aku terduduk di depan lemariku. Dua sepatu yang sedang kujajal langsung kutinggalkan.

Sabilla Amira : Apanya?

tanyaku, berpura-pura lugu, berpura-pura tidak tau, tidak mengerti. Berharap ia menjelaskan dengan lebih baik.

Muhammad Rayyan : Ya ampun, pikiran kamu lagi kemana sih yang?!

Nadanya marah, atau tidak, aku tidak tau. Itulah buruknya sosial media. Semuanya tergantung yang membaca, bukan yang menulis. Semua ketikan itu.

Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku tau apa yang dia maksud, hanya saja aku ingin memastikannya.

Sabilla Amira : Oh, I got it. Maksud kamu hari ketemuan kita kan?

ketikku, tanpa balasan.

Sabilla Amira : Yang, kalau kamu nggak mau ketemu aku, its okay. Aku nggak apa-apa. kayaknya di sini, Cuma aku yang mau ketemu. Tapi kamu sama sekali nggak mau. Terus aku harus gimana?

Marah, atau lebih tepatnya kecewa. Aku sangat kecewa. Aku sudah memimpikan hari esok entah sejak kapan. Aku sudah membicarakannya dengan semua orang disekitarku. Apa yang harus aku katakan pada dunia kelak?

Lama tidak berbalas. Itu adalah sikap yang selalu ia ambil ketika keadaan menjadi runyam. Lari. Kabur. Ia memilih untuk diam, untuk meredakan amarahku, atau mungkin untuk mengabaikanku.

Dengan perasaan yang tidak menentu aku menendang sepatu-sepatuku, percuma!

Lalu pergi tidur.

***

Keesokan harinya, keadaan memburuk. Pesanku tidak berbalas. Dan saat aku coba meneleponnya, sepertinya nomorku sengaja ia blokir. Aku tidak terlalu yakin, tapi aku sama sekali kehilangan kontaknya. Ini membuatku semakin ketakutan. Aku pernah mengalaminya 2 bulan yang lalu. Ketika aku kehilangan kontaknya, lalu kami putus begitu saja.

Sabilla Amira : Please, udahan main-mainnya, kalau mau putus, bilang baik-baik. Toh aku juga nggak akan tahan kamu, kalau kamu yang mau pergi. Jangan kabur gini!

Tulisku dengan kegalauan yang luar biasa.

Minggu pagi yang buruk. Minggu pagi yang memuakan.

Sabilla Amira : Yang, kamu marah?

Tulisku lagi, tanpa balasan.

Sabilla Amira : Aku sebenernya diajak pergi ke Jogja entah hari senin atau hari selasa berangkatnya. Makanya aku seneng waktu kamu bilang kita ketemu hari minggu.

Tulisku lagi, masih tanpa balasan.

Menjelang tengah hari, tidak ada yang berubah. Membuatku semakin yakin kalau dia memang mengabaikanku dengan sengaja. Mungkin ini memang akhirnya. Dan aku mulai lelah. Aku merasa seperti perempuan hamil yang sedang menuntut pertanggung jawaban darinya.

Aku sudah menjatuhkan seluruh harga diriku di hadapannya.

Dan lihat, ia menginjak-nginjaknya.

Muhammad Rayyan : Kalau gitu kan kamu tinggal bilang kalau kamu diajak ke Jogja, kenapa harus marah-marah segala semalem?

Pesan singkatnya, balasan yang kutunggu sejak 1000 tahun yang lalu.

Muhammad Rayyan : Bisa nggak jangan terlalu berlebihan. Dan sms tadi pagi, apa maksudnya? Kalau kamu udah nggak tahan, aku nggak masalah. Ya udah. Aku sih santai aja.

Tak berharga. Aku merasa sangat rendah. Tapi aku bukan tipikal yang ingin segera menyerah. Entah itu sebuah anugrah atau musibah untuk diriku sendiri. Tapi aku belum puas!

Sabilla Amira : Iya… iya maaf…

Balasku, seakan ini hanya sebuah lelucon.

Muhammad Rayyan : Oke, kalau mau jam 5 aja yang.

Hatiku sudah mulai tak tersentuh, kembali melambung oleh harap. Tapi jam 5? Apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin pulang larut.

Sabilla Amira : Kalau kamu sibuk, besok aja yang, nggak apa-apa.

Aku memutuskan untuk memberikan jawaban itu, yang akhirnya sekarang sangat aku sesali!!

***

Minggu malam.

Aku masih penuh oleh harap. Namun tidak berlebihan seperti kemarin.

Muhammad Rayyan : Yang, besok jam berapa?

pesan itu datang tanpa kuminta.

Sabilla Amira : Terserah kamu bisanya jam berapa.

Jawabku tanpa jeda waktu karena terlalu antusias. Lama tak berbalas. Aku berdoa agar pesan itu segela terbalas.  

Muhammad Rayyan : Hm… gini, kayaknya kamu harus pikirin lagi yang. Aku mau kamu coba untuk dewasa dulu gimanapun caranya. Aku nggak mau kejadian kayak kemarin malem keulang lagi, sms-sms kamu, kegalauan kamu yang berlebihan, cara pandang kamu. Aku nggak mau kita terlanjur melangkah terlalu jauh. Kadang aku kasian sama kamu, aku cuek banget sama kamu, dan akan selalu begitu. Aku enek banget sama kegalauan atau ini itu yang selalu kamu risauin. Coba kamu pikir lagi yang.

Oke. sekarang aku berharap pesan itu tidak pernah terbalas. Tidak sama sekali.

Di otakku pesan itu dengan sederhana mengatakan, kalau dia tidak ingin bertemu denganku. Itu sudah jelas. Tapi sebagian jiwaku tidak bisa menerimanya. Aku tidak ingin menerimanya. Aku tidak bisa membiarkannya.

Sabilla Amira : Terus intinya?
Sabilla Amira : Aku Cuma kamu ketemu kamu, tapi kayaknya itu susah banget!

Tak berbalas. Aku tidak butuh balasan.

Sabilla Amira : Lama-lama sosial media ini bikin aku pusing! Hahahaha apa kita nggak bisa ngomong langsung, putusin gimana baiknya pas ketemu nanti?

Muhammad Rayyan : Lah, yang selama ini bikin ribet itu kamu kan? Dan ini bukan masalah gimana baiknya nanti!

Ia marah, aku tau.

Muhammad Rayyan : Ini soal prinsip!

Ini yang tidak aku mengerti. Prinsip apa yang dia pegang???!!!! Prinsip apa????????!!! kalau kamu tidak boleh menemui pacarmu?!!! Apa itu prinsip yang ia anut?!

Brengsek.

Aku sudah terjun terlalu dalam, lalu kenapa tidak sekalian saja aku ceburkan seluruh tubuhku ke dalam lumpur itu?

Sabilla Amira : Oke, gini yang. Aku tunggu kamu di gramedia besok jam 1 siang. Terserah kamu mau datang atau nggak. Aku pusing. Alergiku kambuh, aku tidur duluan. Kamu jangan tidur larut, masalah ini nggak usah kamu pikirin berlebihan, sekarang mending kamu lepasin kangen ke keluarga kamu. love you.

Muhammad Rayyan : Ok.

Jawaban yang kubaca keesokan harinya ketika terbangun setelah menenggak aspirin dan ctm.

Aku sudah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk. Oke di sana bukan menentukan apakah ia akan datang. Atau pun tidak akan datang. Tapi otakku tau dia tidak akan datang. Dia tidak mungkin datang.  Aku sudah mengenal perangainya. Ia akan memilih untuk melarikan diri, dari pada menghadapi hal yang tidak ia sukai. Sialnya, hatiku tetap menaruh harap.

Entah datang atau tidak, setidaknya aku sudah mencoba. Betapa kata yang sangat menyemangati.

12.33

Muhammad Rayyan : Yang, aku sakit, kita ketemu besok aja yah.

Dan besok kamu sudah berangkat. Tidakkah itu terlalu klise dan dibuat-buat. Bagaimana caranya kami bertemu besok? Dia akan membatalkan penerbangannya? Mustahil! Ini bukan film, dan aku sudah lelah.

Tidakkah aku bisa mengerti satu hal yang sudah jelas terjadi di sini?

Bahwa dia tidak ingin menemuiku?? Tidakkah hatiku bisa mengerti mengenai hal ini?!

Aku sudah berada di dalam mobil, dan kakiku terlalu berat untuk kembali, tapi juga tidak ingin melanjutkan perjalanan. Aku hanya ingin dengan leluasa melamun, mengosongkan isi kepalaku. Meratapi kesakitanku sendiri.

Memposting foto buku-buku di hadapanku, ku harap dia tau aku sudah di gramedia tanpa harus mengatakan hal itu kepadanya. Dengan sebuah harapan lain, ia tiba-tiba datang, tersenyum lemas dalam kesakitannya.

Aku menunggu dari jam 1 sampai jam 5 sore, dengan sebuah harapan kecil mengenai kedatangannya yang tidak terduga-duga, seakan aku tidak mengenalnya. Aku kehilangan arah. Aku terluka. Aku ingin menangis, tapi tidak ada rasa sakit di dadaku, mungkin karena semuanya sudah terlalu dalam, aku mati rasa.

Berdoa, aku berharap itu bisa mengubah kenyataan. Aku sangat menginginkan kehadirannya. Tapi semakin jauh aku melangkah, semakin perih dan lelah jiwaku.

Bibirku terkatup rapat ketika aku memasuki gramedia yang cukup ramai. Aku baru setengah membaca buku Mary Riana ketika terakhir kali aku kesini, dan aku ingin membaca kelanjutannya. Dulu aku kuat membaca berjam-jam di tempat ini. toko buku selalu menjadi surga untukku. Tapi hari ini, efek penelantaran makanan mulai berdampak. Aku hampir saja oleng karena lemas-lapar.

Tapi aku tidak ingin pulang, aku belum ingin pulang, sekali lagi karena sebuah pengharapan bodoh yang tidak pernah menjadi nyata.

Ini bukan dongeng!!

Otakku meneriaki.

Tapi bagaimana jika tiba-tiba dia datang saat aku pergi?

Hatiku menyelak dengan membabi buta.

Aku mengambil salah satu buku, membayarnya di kasir, lalu pergi ke food court terdekat. Memesan Chicken wrap dan milo dingin di sebuah outlet makanan cepat saji untuk sekedar mengganjal perutku. Lalu duduk di pojok sambil berpura-pura asyik membaca buku yang baru kubeli.

Dari luar mungkin aku terlihat normal.

Atau mungkin tidak?

Aku duduk sendirian, mengunyah chicken wrap dengan tangan sedikit bergetar karena kelaparan yang tak lagi bisa kurasakan. Anganku jauh melambung. Tak terkedali. Tidak satu katapun dari buku yang kubaca terserap. Halaman 25, dan aku bahkan tidak tau siapa nama pemeran dalam novel itu.
Sesekali aku melirik jam, lalu melirik ponselku, masih dengan harapan sebuah pesan darinya masuk,
Kamu dimana? Aku udah sampai.

Betapa aku mendamba kata-kata itu. Tapi hatiku pias tidak bisa merasakan apapun.

Seorang ibu berkerudung kuning mengangkat wajahnya, ia duduk satu meja di sebrangku. Matanya seakan bisa membaca wajahku. Cemas, kualihkan lagi wajahku ke buku, menyeruput pelan milo, lalu berpura-pura membaca lagi.

Apa aku masih boleh berharap?
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Apa hati sudah puas dengan penantian omong kosongnya?
Apa aku sudah siap menerima kekalahanku?
Apa aku sudah bisa menerima kenyataan kalau dia tidak akan pernah datang untukku? bahkan meski aku mati sekalipun?

5 jam dalam penantian.

Kosong.

Jiwaku lelah, tapi hatiku belum puas bermimpi.

Tidak bisakah aku menerima kenyataan bahwa dia tidak mencintaiku sebesar aku mencintainya?
Seperti di dalam film. Seorang wanita yang tengah menanti kekasihnya. Tapi di film itu, kekasihnya selalu datang, meski sangat terlambat. Sedang aku? Berapa kali aku harus meneriaki diriku sendiri kalau ini bukan film!!!! Ini kehidupan nyata!

Kebas. Aku tidak bisa menangis.

Dengan langkah gontai aku beranjak dari restoran cepat saji itu. Mataku menerawang jauh pada keramaian yang terasa sangat sunyi. Oke. ini sudah berakhir. Aku menghapus nomornya dari kontakku, berharap bisa semudah itu menghapus bayang-bayangnya dari kehidupanku. Berharap kini hatiku sudah benar-benar tersadar bahwa semuanya sudah berakhir.

Bermain dengan takdir.

Aku berdiri di trotoar menunggu taksi. Cahaya sore sang senja menerpa wajahku. Aku merasa kalah, aku merasa hina. Sebagai seorang perempuan, aku merasa terluka dan kecewa. Dan hal yang ingin aku lakukan saat ini adalah menangis, menumpahkan seluruh perasaan sakitku. Tapi tidak ada air mata yang menetes. Tidak ada sama sekali.

Aku mati rasa. Aku hanya ingin mengatupkan bibirku. Menatap jauh kedepan, meraih kekosongan. Menabrakan diriku pada kenyataan. Aku hanya bisa terdiam menerpa takdir.

Sabilla Amira : Nggak apa-apa, jangan dipaksain. Kamu istirahat aja, persiapan buat berangkat ke Palu lagi besok.

Tulisku sebagai balasan. Berharap ia bisa membaca ketegaranku dari pesan yang kutulis. Di sisi lain, aku berharap ia tau, bahwa semua ini sudah berakhir. Atau lebih tepatnya, aku berharap diriku sadar kalau semua ini sudah berakhir!
Kami tidak akan pernah bertemu.
Mimpiku tidak akan pernah terwujud.
Cintaku tidak berbalas.

0 komentar: